Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

POSISI KRISTEN ARAB DALAM MASALAH

PALESTINA-ISRAEL

Oleh : Bambang Noorsena

 

bullet

GEREJA-GEREJA ARAB MENOLAK ZIONISME ISRAEL

bullet

ORANG-ORANG KRISTEN DI PENTAS PERJUANGAN PALESTINA

bullet

TEOLOGI PEMBEBASAN PALESTINA

 

 Saya ingin jadi martyr di Tanah Suci. Jika saya kalah suatu hari nanti seorang anak Palestina akan mengibarkan bendera di atas gereja dan masjid (Presiden Yasser Arafat).

Sumpah Yasser Arafat ini diucapkan ketika Israel menyekapnya di Ramallah, menyusul pelarangannya untuk menghadiri khidmad Miladiyah (misa hari Natal) lalu, sebuah ritual semi-resmi kenegaraan Palestina setiap akhir tahun.[1]) Pidato Arafat di atas, menunjukkan bagaimana posisi sebenarnya umat Kristen Arab dalam masalah Israel-Palestina, yang selalu bahu membahu dalam menghadapi zionisme Israel. Masalah ini penting dikemukakan sebagai imbangan informasi yang apriori dan serba satu sisi mengenai masalah Timur Tengah selam ini, khususnya Israel-Palestina, yang selama ini dianggap konflik antara Islam dan Kristen.

 

GEREJA-GEREJA ARAB MENOLAK ZIONISME ISRAEL

           Sejak solidaritas Arab Palestina dibentuk, yang pada gilirannya diarahkan untuk menentang zionisme Israel, bahkan pada saat-saat paling krisis, orang-orang Kristen ada di tengah-tengah perjuangan itu sejak semula. “Pada masa-masa krisis melawan Israel”, kata uskup Najib Quba’in, salah seorang pemimpin gerakan ekumene gereja-gereja di Timur Tengah, “secara naluriah, orang-orang Palestina, baik Muslim maupun Kristen, menjadikan gereja sebagai tempat berlindung dan bertahan”.[2]) Najib Quba’in  sudah mengatakan hal itu kira-kira tahun 1986, dan itulah yang kini terjadi kembali di Kanisah al-Mahd (Gereja Kelahiran Kristus), sehingga tentara Israel mengepung bangunan suci Kristen tersebut.

          Mengapa orang-orang Arab Kristen, bersama-sama saudara Muslim mereka, menolak zionisme Israel sejak semula? Penolakan itu, bukan hanya didasarkan atas alasan politis, melainkan juga atas klaim teologis Yahudi di atas tanah yang mereka sebut Erets Yisrael (Tanah Israel) itu. “Janji akan bangsa terpilih itu”, tulis Mar George Khodre, seorang Uskup yang menggeluti dialog antariman di Lebanon, “telah digenapi dalam diri Kristusm keturunan Nabi Ibrahim”[3]) Tanah Israel, dalam perspektif Perjanjian Baru, kini diwujudkan dalam warisan rohani oleh Roh Kudus. Karena itu umat pilihan, tidak hanya dinyatakan dalam satu bangsa, melainkan sebagai kesaksian Allah kepada segala bangsa. Pandangan teologis ini, tidak dapat diartikan sebagai sikap anti-Semistisme, seperti dipahami orang Yahudi zionis.

          “Hati nurani Kristen”, tulis Khodre lagi, “akan terhindar dari sikap anti-semitisme, hanya apabila dibedakan tegas antara umat Yahudi dan Negara Israel”. Karena itu, orang Arab Kristen menolak zionisme sebagai ideologi, karena zionisme menggagahi hak-hak orang Palestina yang hidup di Tanah Suci, lalu mereka mengembangkan kebudayaannya sendir, aspirasi-aspirasi, senti-mensentimen dan keyakinan-keyakinan politik mereka dalam kerangka nasional Yahudi. Sebaliknya, umat Arab Kristen , memaklumkan sebuah universalisme mengatasi konflik, dan menginginkan kebersamaan diantara umat Yahudi, Kristen dan Islam di Palestina berdasarkan keikhlasan dan pengakuan atas pluralisme etnik, sosial dan agama.[4])

          Pemahaman seperti ini, juga menjadi garis perjuangan Yasser Arafat yang memandang perjuangan Palestina bukan didasarkan Islam. Dalam kunjungannya ke Indonesia tahun 1984, Arafat malah mengakui bahwa umat Yahudi, bersama Kristen dan Muslim, adalah bagian dari tradisi Palestina yang hidup berdampingan secara damai dengan hak-hak kewarganegaraan yang sama. Juga, klaim Kristen bahwa umat pilihan Tuhan tidak identik dengan sebuah negara Israel, malahan diakui oleh orang-orang Yahudi di Eropa yang menggelar demo anti-Zionisme akhir-akhir ini. “Zionisme tidak akan sukses”, kata mereka. “Umat Yahudi tidak membutuhkan negara, sebelum kedatangan Mesiah”.[5]) Perlu dicatat, sampai hari orang Yahudi masih menantikan kedatangan Mesiah, karena menolak Yesus sebagaimana dipahami dalam iman Kristen.

  

ORANG-ORANG KRISTEN DI PENTAS PERJUANGAN PALESTINA

 

          Garis pemikiran Arab Kristen, sebagaimana disuarakan oleh tokoh-tokoh gereja di Timur Tengah itu, dilanjutkan oleh para pejuang Kristen Palestina sekarang. Faktanya, diantara para pejuang Palestina yang rata-rata tangguh itu, didalamnya terdapat peran penting orang-orang Kristen. Dr.Hanan Ashrawi, yang sangat berperan sebagai negosiator Palestina dalam Perjanjian Oslo tahun 1993, yang juga pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Riset Otoritas Palestina, adalah juga seorang Kristen. Selain Ashrawi, kita juga mengenal George Habash dari The Populer Front for the Liberation of Palestine (PFLP), Nayef Hawatme dari The Democratic Front for the Liberation of Palestine (DFLP) dan Wali Hadad dari kelompok militan “Black September”. Sekalipun orang-orang Kristen juga turut dalam gerakan Intifadah melawan Israel, tetapi mereka tidak menjadikan Kristen sebagai landasan perjuangan, melainkan nasionalisme yang terbukti lebih mampu menyatukan rakyat Palestina.

          PFLP dan DFLP ini, bersama dengan faksi-faksi nasionalis lain, seperti Al-Fatah, The Arab Liberation Front (ALF). The Palestine Liberation Front (PLF), dan The Palestine Comunist Party (PCP), bergabung dalam The Palestine Liberation Organization (PLO) yang dipimpin Yasser Arafat. Disamping Arafat, George Habash dan Hawatma adalah orang-orang yang berperan dalam terselenggaranya The Palestine National Council (PNC), yang mengangkat masalah Palestina sebagai bagian solidaritas bangsa-bangsa Arab. Selain mengangkat semboyan al-Wahda al-Wathaniyya (kesatuan Tanah Air), eksistensi Palestina, khususnya di bawah PLO, tegak berdiri ‘ala azas mustaqill wa mutakafi’ ma’a al-atraf al-ma’aniyya al-ukhra (menurut dasar kemerdekaan yang berlandaskan kesamaan dengan kekuatan politik lain). Selain itu masih disebut nama Uskup Ilyas al-Khouri, yang menjadi anggota eksekutif comitte (EC) PNC. Perlu dicatat PNC yang merupakan rintisan politik awal menuju terbentuknya negara Palestina ini, mengangkat 15 anggota EC yang mewakili faksi-faksi politik dan kelompok independen masyarakat.[6])

          Setelah perjanjian Oslo 1993 menghasilkan pengakuan berdirinya Palestina, di kalangan Knesset (Parlemen) Israel masih berdiri partai-partai Arab. Partai-partai Arab ini, sekalipun tidak pernah memperoleh suara yang signifikan dalam pemilihan umum, didirikan untuk menampung aspirasi orang-orang Arab yang menjadi warga negara Israel. Disini, kita juga mengenal Dr.Azmi Bishara, seorang Kristen dari Partai Arab Hadash Balad, yang sangat vokal menentang kebijaksanaan partai garis keras Yahudi yang anti Israel. Dr.Azmi Bishara ini, saking vokalnya, pernah mencalonkan diri jadi PM Israel tahun 2000 yang lalu. Langkah tidak populer Bishara ini, tentu saja sangat menjengkelkan partai-partai kanan Yahudi, sampai-sampai Dr.Kteiner dari partai Gesher Likud, mengajukan RUU yang melarang orang Arab menjadi PM Israel.

          Pada saat Israel membombarbir Ramallah, Jenin dan wilayah-wilayah Palestina sekarang, Hadash Balad ini, melalui juru bicaranya Issam Makhaol, bersama-sama dengan Yigal Bibi dari National Religion Party (NRP) dan Talab A.Safa dari United Arab Party (UAP), berusaha keras menentang kebijaksanaan Ariel Sharon, hingga mereka diusir keluar dari ruang sidang Knesset. Partai-partai Arab di Knesset Israel ini, juga menjadi salah satu kekuatan lobi politik Arafat. Dalam konfilk Isarel-Palestina sekarang, yang setelah pembebasan Arafat dari sekapan tentara Israel masih menyisakan “krisis al-Mahd Nativity”,--karena Israel yang dikonsentrasikan pada gereja kelahiran Kristus di Bethlehem,-- sikap para pemimpin gereja di Palestina sangat tegas. Lihat saja, misalnya, bagaimana komentar Patriakh Latin Michel Sabah yang tidak henti-hentinya menyerukan kebersamaan Kristen-Islam dalam melawan agresi Yahudi. Patriakh Theodosious Hanna dari Orthodoks Yunani, yang mengatakan bahwa politik “ethnic cleaning” Sharon lebih buruk ketimbang “apartheid” Afrika Selatan dahulu. Sedangkan uskup Riah Abu al-Essal dari gereja Anglikan, ketika Israel mengutuk trend bom bunuh diri warga Palestina, ia menangkisnya dengan argumen bahwa tindakan itu hanya ekses dari pelanggaran Israel terhadap hak-hak rakyat Palestina.

          Mengenai penilaian “sayap kanan” islamis Palestina terhadap kebijaksanaan penyelesaian damai dengan Israel. “Fatamorgana perdamaian, atau perdamaian fatamorgana?” tanya Yusuf al-Qaradhawi skeptis, dalam al-Quds. Qadhiyyat Kulli Muslim.[7]) Karena itu, bagi Qardhawi, solusi masalah Palestina bukan pena tetapi pedang. Sikap inipun, terlepas menyetujuinya atau tidak, juga tidak bisa dikatakan mewakili “solusi islami” atas masalah Palestina, lalu vis a vis dihadapkan dengan faksi-faksi nasionalis yang mayoritas didukung Kristen. Sebab Edward Said, penulis buku Orientalism yang terkenal itu, juga menolak semua hasil perundingan Oslo tahun 1993 yang menghasilkan perdamaian Palestina-Israel. Bagi intelektual Kristen keturunan Palestina ini, perdamaian dengan Israel akan dijadikan Palestina sebagai pihak yang selalu dikalahkan dan dirugikan.

          Begitu pula, dari antara korban-korban gerakan Intifadah Palestina melawan Israel beberapa tahun lalu, banyak ditemukan mereka yang tewas dengan kalung salib di dada mereka. Salah seorang Kristen Palestina yang menjadi pemimpin gerakan Intifadah adalah Mubarak Awwad, yang juga pendiri The Palestinia Center for Study of Non-violence, di Yerusalem.[8]) Ahmad al-‘Alami, dalam bukunya Yaumiyyat al-Intifadhah, yang memuat laporan lengkap mengenai peristiwa dan korban-korban Intifadhah itu, juga menyebutkan peranan lembaga-lembaga Kristen di Bethlehem bekerjasama dengan pemerintah Palestina membantu para pejuang Palestina.[9])

 

TEOLOGI PEMBEBASAN PALESTINA

 

          Posisi Kristen dalam gerakan Intifadha dan perjuangan Palestina pada umumnya, juga ditulis oleh teolog Pembebasan Palestina, Naim S.Ateek dalam bukunya, Justice, and Only Justice. A Palestinian Theology of Liberation,[10]) dan Faith and The Intifadha: Palestinian Christian Voices.[11]) Perlu ditambahkan di sini, teologi Pembebasan Palestina adalah refleksi teologis Kristen Palestina terhadap situasi yang dialami oleh rakyat Palestina, khususnya dalam menghadapi ketidakadilan Barat dan Israel.

          Tokoh-tokoh teologi Pembebasan Palestina, antara lain: Abba Mitri Raheb dari Bethlehem, Uskup Munib A.Younan dari Ramallah, dan Abba H.Shehadeh dari Shabaram, Galilea. Berbeda dengan teologi Pembebasan di Amerika Latin yang menggunakan “pisau analisa” Marxis, teologi Pembebasan Palestina sepenuhnya adalah refleksi Kristen setempat, yang berangkat dari kondisi riil rakyat Palestina. Pokok-pokok pemikiran teologi Pembebasan Palestina hendak menjawab pergumulan ini:

  1. Cara pendekatan terhadap Alkitab yang melulu dipandang dari sudut Israel, tentu telah melahirkan sikap “menghalalkan segala cara” asal untuk kepentingan Israel, dan itu berarti mengorbankan orang Palestina. Maksudnya, Alkitab ditarik untuk kepentingan kelompok tertentu dengan mengorbankan manusia yang lain yang juga sama-sama umat Allah. Akibatnya, Kitab Suci yang satu dan sama itu menjadi “berkat bagi Israel, dan kutuk bagi Arab-Palestina”.
  2. Bagaimana menjawab klaim kelompok Yahudi (yang didukung kelompok Kristen Injili Amerika) tentang penguasaan terhadap “Tanah Suci”, khususnya Yerusalem, yang dikaitkan dengan kembalinya umat Yahudi diaspora pada tahun 1948. Padahal realitanya sekarang tanah Palestina telah menjadi “wathan” (tanah air) bersama Israel dan Palestina, dengan tetap memelihara identitas Yahudi, Kristen dan Islam. Tidak bisa menghapuskan salah satu identitas ketiga iman rumpun Ibrahim tersebut.
  3. Menghadapi klaim-klaim teologis, baik Yahudi ataupun Islam, umat Kristen merefleksikan bagaimana keadilan Allah dalam kasus yang tak kunjung selesai. Dalam Kristus, Allah tidak hanya mengasihi umat Israel, tetapi juga seluruh dunia (cf. Yohanes 3:16, Liannahu hakadza ahaba Ilahu ‘alam), termasuk bangsa Palestina juga.
  4. Berdasarkan hal itu semua, bagaimanakah sekarang tugas orang beriman dalam menciptakan perdamaian di Palestina. Berdasarkan bunyi Manifesto Nazaret, bahwa Yesus diutus untuk “… menyampaikan kabar baik untuk orang-orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang, tawanan, penglihatan kepada orang buta, membebaskan orang-orang tertindas dan memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Lukas 4:18-19). Mengacu pada sabda Yesus, Thuba lishaani’is salaami, liannahum abbna’a Ilahu yud’uun (Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah), para teolog pembebasan mengajak semua orang Kristen memberlakukan sabda Yesus tersebut dalam konteks Palestina-Israel sekarang.

[1] ) Presiden Arafat selalu berpidato di Gereja al-Ma’had setiap Natal (‘Idul Milad), suatu peristiwa yang justru tidak pernah terjadi di negara Israel yang Yahudi. Ketika pemerintah Israel melarang Arafat berpidato di Gereja, ia tetap menyelenggarakan Natalan di istana Ramallah yang dihadiri 19 denominasi gereja di Tanah Suci (Al-Ru’ya, 26 Desember 2001).

[2] ) Larry Ekin, “Palestinians and the Response of the Oriental Churches” dalam WSCF Journal, May 1986, p.55.

[3] ) Metropolitan George Khodre, “Christian of the Orient: Witness and Future. The Case of Lebanon”, dalam WSCF Journal, May 1986, p.39-40.

[4] ) Ibid,h. 40.

[5] ) Demontrasi Yahudi Orthodoks ini dilancarkan di Gedung Komite Urusan Publik Israel-AS, di Washington, Senin 22 April 2002 (Surabaya Post, 23 April 2002). Di Tel Aviv, Sabtu, 10 Mei 2002 demonstrasi 60.000 (bahkan ada yang menaksir 100.000) warga Israel juga memprotes pendudukan kota-kota Palestina oleh tentara Israel (Media Indonesia, 13 Mei 2002).

[6] ) Joshua Teitelbaum, “The Paletine Liberation Organization” dalam Itamar Rabinovich-Haim Shaked (ed.), Middle East Contemporary Survey (San Fransisco-London : Westview Press 1986), p.205-210.

[7] ) Dr.Yusuf al-Qaradhawi, Palestina Masalah Kita Semua. Alih bahasa: ICMI Orsat Kairo (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999)

[8] ) Daniel L.Vuttry, Christian Peacemaking: From Heritage to Hope (Valley Forge, PA: Judson Press, 1994), pp.89-90.

[9] ) Ahmad al-‘Alami, Yaumiyyat al-Intifadhah (Al-Quds: Mansyurat wal Jaraat al-‘Alam al-Falisthin, 1995)

[10] ) Naim S.Ateek, Justice, And Only Justice. A Palestinian Theology of Liberation (New York: Orbis Books, 1990)

[11] ) Mark H.Elias dan Rosemery Radford Reuther (ed), Faith dan the Intifada: Palestinian Christian Voices (New York: Orbis Books, 1992)