Surat Muhammad kepada Negus (Najasyi) al-Ashham,Raja Habshah | |
Sosok Muqawqis Dalam Sejarah Islam dan Gereja Orthodoks Koptik
|
Allah, Allah fi ahl adz adzimmi, ahl al-madarati as sauda’i as ssuhmi al-ji’adi, faa inna lahum nasaba wa shihran. Artinya:Allah, dan Allah terhadap orang-orang dzimmi, yaitu kaum Koptik di negeri yang banyak pepohonan, yang berkulit hitam dan berambut ikal, karena sesungguhnya mereka adalah nasab dan kerabatku (Hadits Muhammad SAW).[1]
Sejarah perjumpaan Islam dengan Gereja Orthodoks Koptik sudah dimulai sejak jaman Nabi Muhammad masih hidup, dan selanjutnya kedua umat ini dengan suasana persahabatan merajut masa depan bersama, meskipun diakui kadang-kadang ada beberapa gesekan kecil-kecil yang lebih didorong oleh faktor politik dalam rentangan panjang sejarahnya yang hampir empat ratus tahun itu. Sumber sejarah Islam juga mencatat, bahwa istri ke-11 Nabi Muhammad adalah seorang perempuan Kristen Koptik, yaitu Mariyah al-Qibtiyah (Mary the Coptic), yang telah melahirkan baginya seorang laki-laki bernama Ibrahim.[2] Gadis Mesiryang akhirnya dinikahi oleh Muhammad itu adalah hadiah dari Muqauqis, pembesar Mesir yang menolak memeluk Islam, tetapi menyambut seruan Muhammad dengan rasa simpatik dan penuh persahabatan.
Sebagaimana diketahui, bahwa pada masa kehidupan Muhammad, kira-kira pada masa-masa antara perjanjian Hudaibiyah hingga menjelang kematiannya, Nabi umat Islam ini mengirimkan surat-surat dakwah kepada raja-raja Arab maupun non-Arab untuk menerima Islam. Sebuah catatan menarik dari Ibnu Hisyam patut dicatat di sini, bahwa Muhammad membagi murid-muridnya untuk menyampaikan dakwah Islam kepada penguasa-penguasa politik pada zamannya, sebagaimananya ‘Isa al-Masih telah mengutus al-hawariyun (rasul-rasul),[3] menyebarkan syiar Injil ke pelosok-pelosok dunia. Dengan membandingkan perjalanan misi murid-murid ‘Isa al-Masih, lengkap dengan nama-nama dengan wilayah pelayanannya,[4] Ibn Ishaq mencatat para utusan Nabi: Salt al-‘Amir bin ‘Abdu Syam diutus kepada Haudhah bin ‘Ali, penguasa Yamamah, Al-‘Ala al-Hadrami kepada Al-Mundhir bin Sawa, penguasa Bahrain, ‘Amr bin ‘Ash kepada Ja’far bin Julanda dan ‘Abbad, keduanya adalah pembesar Oman, Dihyah bin Khalifah al-Kalbi al-Khazraji kepada Heraclius, Kaisar Roma dan Hatib bin Abu Balta’a kepada Muqauqis, penguasa Iskandariya.
Menurut sumber-sumber sejarah Islam, diantara para penguasa Kristen yang menanggapi positip seruan Muhammad adalah Najasyi al-Ashham dan Muqauqis. Sikap ini menjadi awal hubungan yang sangat baik antara Islam dan Kristen selanjutnya. Sebelum seruan kepada Muqauqis, ketika umat Islam dalam keadaan kritis karena ditekan oleh kaum kafir Quraisyi, Negus al-Ashham, raja Habsyah, negara Kristen yang wilayahnya pada waktu itu secara yurisdiksi gerejani berada di bawah Gereja Orthodoks Koptik di Mesir, telah mengulurkan tangan persahabatan untuk membantu umat Islam. Meskipun historisitas surat-surat Muhammad itu dapat diterima, tetapi kisah-kisah di sekitar tanggapan penguasa-penguasa Kristen atas surat-surat itu disajikan dengan varian perbedaan, sehingga diperlukan kajian kritis lebih lanjut. Misalnya, beberapa riwayat menyajikan bahwa Negus (Najasyi) akhirnya masuk Islam, ternyata masih menjadi perdebatan di kalangan sejarahwan Islam sendiri.[5]
Meskipun demikian, surat Muhammad kepada Negus, menyajikan fakta paling dini mengenai paham Kristologi Islam. Maksudnya, sekalipun pada akhirnya menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan kristologi gereja, tetapi berangkat dari dalil yang sama dengan Injil Yohanes yang menyebut ‘Isa al-Masih sebagai Firman Allah (Arab:al-Kalimah) dan kelahiran perawaniah (the virgin of birth) ‘Isa dari Sayidatina Maryam melalui Roh Allah. Dalam surat ini, setelah ditekankan keesaan Allah, maka disusunlah pengakuan Muhammad akan ‘Isa dalam format credo (syahadat) sebagai berikut:
Wa ashhadu ‘ana ‘Isa bnu Maryama Ruhu llah wa Kalimatuhu al-qaha ‘ila Maryam al-Batuli al-thabiyah ath thahirah al-muthaharath al-hashinah. Artinya: Dan aku bersaksi bahwa ‘Isa Putra Maryam adalah Roh Allah dan Firman-Nya yang dijatuhkan kepada Maryam, perawan yang baik, suci, lagi memelihara diri.[6]
Membaca surat Muhammad di atas, baik orang Kristen maupun Islam dapat lebih meningkatkan dialog-dialog teologis yang fair mengenai tema ‘Isa sebagai Kalimat Allah ini. Sebab baik klaim Kristen atas keilahian-Nya, maupun Islam yang menerima kelahiran-Nya dari seorang perawan dan sekaligus menegaskan penolakan atas kelahiran ilahi-Nya, sama-sama berangkat dari gelar yang sama tersebut. Dan tidak boleh dilupakan, dan hal itu agaknya didukung oleh data ini, bahwa sekalipun Islam menekankan gelar ‘Isa sebagai Firman Allah dan Ruh-Nya, tetapi tidak lebih dan tidak kurang tetap menolak kelahiran Ilahi-Nya dari Allah (The Divine Birth of Jesus Christ).[7]
Walaupun dalam hal ini Islam dan Kristen tidak mencapai titik temu, tetapi ternyata tidak mengurangi sikap hormat Negus al-Ashham kepada pandangan teologis kaum Muslimin tersebut. Inilah makna dialog yang otentik, yaitu ketika seorang dapat menghormati perbedaan dan merayakan perbedaan itu sebagai nilai azasi dalam kehidupan. Sikap simpatik Negus ini direspon pula secara positip dengan sikap hormat yang sama oleh Muhammad dan kaum Muslimin. Nabi Muhammad sendiri, ketika mendengar kematian Negus, langsung mengadakan shalat ghaib bersama sahabat-sahabatnya, bahkan peristiwa itu menjadi awal disyariatkannya ibadah ini kepada kaum Muslimin.[8] Bahkan Ibnu Hisyam juga mencatat riwayat bahwa Muhammad melihat ada cahaya dari pemakaman Najasyi. Menurut Hasan Ibrahim, fakta-fakta ini menjelaskan kepada kita betapa kaum Muslimin sangat mengagumi Najasyi.
Meskipun ada beberapa versi yang berbeda-beda dalam kitab-kitab tarikh, tetapi surat Muhammad ini masih bisa dilacak historisitasnya. Karena baru-baru ini manuskrip asli surat ini berhasil ditemukan kembali ini dan pernah diumumkan oleh Raja Husein di Yordania, dan setelah dinyatakan keasliannya kini disimpan di Museum Inggris. Lain halnya dengan surat jawaban Najasyi dan kisah-kisah di seputar “masuk Islam”-nya Raja Habsyah tersebut tidak ada bukti sejarah yang secara kuat mendukungnya.
Berikut ini teks surat Muhammad kepada Najasyi Al-Ashham, Raja Habsyah, berdasarkan versi Sirah al-Halabiyah dalam bahasa Arab dan terjemahannya :
Artinya: “Dengan Nama Allah yang maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah untuk Najasyi al-Ashham, Raja Habsyah. Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu. Sesungguhnya aku menyampaikan pujian kepada-Mu, Ya Allah, yang tidak ada ilah selain Dia, yang mempunyai Kerajaan, Yang Mahasuci, Pemberi kesejahteraan, kesentosaan dan Perlindungan. Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya ‘Isa Putra Maryam adalah Roh Allah dan Firman-Nya yang disampaikan kepada Perawan Maryam yang baik, suci dan disucikan, lagi memelihara dirinya. Kemudian ia hamil mengandungkan ‘Isa, dan Allah telah menciptakannya dari Ruh-Nya dan meniupkannya, sebagaimana Allah menciptakan Adam dan meniupkannya. Sesungguhnya aku menyerumu kepada Allah Yang Mahaesa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan agar selalu bersikap taat kepada-Nya, lalu ikutlah aku dan berimanlah kepada yang aku bawa karena sesungguhnya aku Rasul Allah. Aku telah mengutus kepadamu anak laki-laki pamanku, yakni Ja’far, dan serombongan kaum Muslimin yang menyertainya. Semoga keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk”[9]
Menurut Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, sebelum mengirimkan surat dakwahnya Muhammad mengumpulkan para sahabatnya dan berkata:
Ya ayyuha an-nas, inna llaha khad ba’atsani rahmatu li an-nas kaffata faa lan takhtalifu alayya kama akhtalafa al hawariyyuna ‘ala ‘Isa bni Maryam. Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya aku ini diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh manusia, maka janganlah kamu menentangku sebagai kaum Hawari menentang Isa bin Maryam.”
Para sahabat mendengar sabda Muhammad itu, lalu bertanya: “Bagaimana kaum hawariy menentang Isa, ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Da’ahum ila alladzi da’utukum ilaihi faa amma man ba’atsahu mab’atsan qariban faradhiya wasallama, wa amma man ba’atsahu mab’atsan baidan fakariha wa wajhuhu wa tatsaqala. Artinya: “Isa memanggil mereka seperti aku memanggilmu. Orang yang diutusnya ke tempat yang dekat rela dan menerima dan orang yang diutusnya ke tempat yang jauh tidak senang air mukanya dan merasa keberatan.”[10]
Salah satu surat Muhammad dikirimkan kepada Al-Muqauqis, Gubernur Mesir, dibawa oleh sahabat Hathib bin Ali Baltaa’. Bunyi teks asli surat tersebut, menurut Sirat al-Halabiyah,[11] adalah sebagai berikut :
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Utusan Allah, kepada Muqawqis, Pembesar Qibthi (Mesir). Kesejahteraan semoga atas orang yang mengikuti petunjuk. Sesungguhnya aku berseru kepada engkau dengan seruan Islam, Islamlah engkau agar engkau selamat. Allah akan memberi pahala engkau dua kali lipat. Maka, jika engkau menolak, sesungguhnya atas engkaulah dosa segenap rakyat Qibthi. Wahai Ahli Kitab, Marilah kepada suatu kalimat yang sama antar kami dan engkau semua, yaitu janganlah kita mempersekutukan Dia dengan yang lain beberapa Tuhan yang selain Allah. Jika kamu berpaling, katakanlah olehmu: “Saksikanlah, bahwa sesungguhnya kami orang-orang Islam.”[12]
Dalam sejarah Islam, surat dakwah Muhammad itu ditanggapi Muqawqis dengan simpatik. Meskipun Muqawqis akhirnya menolak untuk masuk Islam, tetapi ia menyambut ramah utusan Muhammad, dan ia mengirimkan 2 orang sahaya cantik, bernama Mariyah al-Qibthi dan Sirin al-Qibthi, 20 helai kain sutra Mesir, seekor bighal kelabu bernama Dudul, dan beberapa hadiah lainnya. Muhammad akhirnya mengambil Mariyah al-Qibthi sebagai istrinya, sedangkan Sirin al-Qibthi dihadiahkan Muhammad kepada sahabatnya, penyair Hassan bin Tsabit.
Balasan atas sambutan Muqawqis yang sangat ramah kepada utusan Muhammad adalah sanjungan Muhammad kepada penduduk Mesir, khususnya mereka yang berdarah Koptik, yang menurut wasiat Muhammad agar penduduk Koptik itu diperlakukan dengan baik, sebagaimana yang dicatat dalam sabdanya: Idza fatahtum mishra fastushu biahliha khairan, fain lahum dzimmatu wa rahiman. Artinya: “Apabila kalian berhasil menaklukan Mesir, maka wasiatkanlah hal-hal yang baik kepada penduduk Koptik, karena mereka menanggung beban dan kekerabatan.”[13]
Ketika berhasil menaklukkan Mesir, pidato pertama ‘Amr bin al-‘Ash mengacu pada wasiat Muhammad tersebut, dan memperlakukan kaum Koptik dengan sangat hormat.[14] Menurut sumber sejarah gereja Koptik sendiri, ‘Amr bin al-‘Ash bersama pasukannya tiba di Mesir pada tanggal 12 bulan ‘Baunah tahun 357 Anno Martyri (li diqladianus qatal asy syuhada’),[15] kira-kira bertepatan dengan 26 Mei atau 24 Juni 640 Masehi.
Dalam sejarah Islam, biasanya Muqawqis digambarkan dengan cukup positip, mungkin karena sikapnya yang positip dalam menyambut utusan Muhammad. Kenyataannya, sosok Muqawqis tidak seterang yang digambarkan, ia merupakan sosok yang tetap misterius. Menurut sumber sejarahwan Kristen Barat, ia lebih ditonjolkan sebagai seorang pengkhianat, karena ditengah-tengah berkecamuknya perang antara Romawi dengan Islam, ia sibuk menawarkan perundingan dengan ‘Amr bin al-‘Ash.[16] Sebaliknya, di mata sejarahwan Islam ia dipandang sebagai, setidak-tidaknya, seorang musuh yang baik dan tidak menyulitkan. Meskipun di beberapa literatur tarikh digambarkan, Muqawqis sebenarnya menerima dakwah Muhammad, tetapi ia lebih cinta kepada kedudukannya sebagai seorang Gubernur.
Tetapi menurut ahli sejarah lain, Muqawqis sebenarnya tidak menerima Islam, melainkan sejak semula sudah menyadari kekuatan Muhammad, dan mempertimbangkan lebih baik menyerah sebelum dikalahkan secara tidak hormat. Dan atas sikapnya ini, Kaisar Heraklius sangat marah dan memaki-maki anak buahnya itu,[17] yang tidak lain adalah Gubernur sekaligus Patriakh dari Gereja Orthodoks Yunani yang diangkat demi mengamankan posisi politik Byzantium atas kontrol wilayah Mesir. Siapakah Muqawqis ini menurut sejarahwan Gereja Koptik? Sosok ini tidak bisa dikenal tanpa melihat latarbelakang politik Byzantium atas Mesir, dan negara-negara taklukannya di Timur Tengah pada umumnya.
Ketika menggantikan kaisar pendahulunya, Yustinianus I (527-565 M), Heraklius (610-641) melanjutkan kebijakan politik uniformitas politik dan agama atas daerah-daerah taklukkannya. Dalam rangka itu, ia mengangkat Cyrus pada tahun 631 sebagai “prefek” atau kepala wilayah (Gubernur) sekaligus Patriakh Gereja Orthodoks Yunani di seluruh Mesir. Cyrus memaksa kaum Koptik yang menolak Konsili Kalsedon tahun 451 untuk meninggalkan paham yang dituduh Monofisit itu. “Muqawqis”, tulis Geston Wiet, pada umumnya disetujui, ia adalah Cyrus, Patriakh Yunani yang ditempatkan Heraklius sebagai administrator sipil negara di Mesir.”[18] Karena itu pula, Muqawqis sebenarnya bukan nama diri, melainkan sebuah gelar atau jabatan. Menurut D.Goeje dan Karabacek gelar Muqawqis adalah bentuk Arab dari gelar penghormatan dari bahasa Yunani megaukes (al-Muktabir), sejajar dengan gelar megaloprepestatos, eudozotatos dan eukleestatos yang berarti “Paduka Yang Mulia”. Gelar-gelar ini ternyata paralel dengan fragmen papyrus yang ditemukan di wilayah Mesir pada zaman penaklukan Islam.[19]
Menurut beberapa sejarahwan, Muqawqis adalah seorang strategos, yang di dalam bahasa Arab biasanya diterjemahkan dengan sahib al-mauna, atau ‘amala al-mauna (perwira militer dan pemungut pajak bumi).[20] Salah satu yang memudahkan penaklukan Mesir, adalah kenyataan beratnya pajak yang harus oleh orang-orang Orthodoks Koptik yang dibebankan oleh pemerintah Byzantium benar-benar dibenci oleh rakyat setempat. Karena itu, orang-orang Koptik yang benar-benar tidak puas dengan kekuasaan Yunani telah siap membantu penyerbu-penyerbu Islam.[21]
Menurut sumber sejarah Gereja Koptik, ketika Cyrus (Muqawqis) tiba di Iskandaria yang diduduki oleh Anba Benyamin yang dipilih langsung oleh rakyat Mesir, yang membawa misi dari Heraklius untuk memaksa rakyat Mesir meninggalkan Kristologi non Kalsedonia mereka. Untuk itu, Cyrus melakukan penganiayaan demi penganiayaan yang sangat keji. Akan tetapi Patriakh Benyamin menerima visi Ilahi untuk segera meninggalkan Iskandaria dan mengungsi ke padang-padang bersama dengan uskup-uskupnya. Ketika, Muqawqis dengan tentaranya memasuki Iskandaria untuk menangkap Benyamin, mereka tidak menemukannya, melainkan Menas, saudara sang Patriakh sendiri, yang akhirnya ditangkap, disiksa dan dibunuh dengan cara yang sangat keji.[22] Dalam masa penganiayaan imperium Kristen Barat Byzantium atas Gereja Orthodoks Koptik (451-641 M), Menas adalah martir pertama yang dibunuh ditangan Cyrus al-Muqawqis.[23] Pembunuhan ini terjadi 6 tahun sebelum kedatangan pasukan Islam yang dipimpin oleh ‘Amr bin al-‘Ash. Dalam suasana seperti itu perebutan kekuasaan Islam dari tangan Byzantium tidak mendapatkan kesulitan yang berarti, lebih-lebih karena dukungan orang-orang Kristen Koptik yang menghendaki perubahan kekuasaan dalam keadaan apapun juga.
Dalam pertempuran ini, Islam tampil sebagai pemenang dan Cyrus menandatangani perjanjian damai. Mesir diwajibkan membayar pajak (jizyah) kepada pemerintahan Islam dengan imbalan kebebasan beragama. Namun kebebasan ini tidak hanya dinikmati oleh orang-orang Orthodoks Yunani yang dipimpinnya, tetapi terutama oleh orang-orang Orthodoks Koptik yang selama itu ditindasnya. Islam sendiri tidak membedakan perbedaan madzab di kalangan Kristen, mereka lebih tertarik memanfaatkan hasil propinsi taklukannya, ketimbang mencampuri urusan agama. Harus dicatat, penaklukan Mesir oleh tangan Islam itu, bagi orang-orang Orthodoks Koptik justru merupakan kebebasan Mesir dari penindasan Byzantium. Dikisahkan bahwa setelah kemenangannya, ‘Amr bin al-Ash menanyakan keberadaan Anba Benyamin: “Saya tidak melihat Hamba Allah yang saleh dan mulia yang pernah saya jumpai di seluruh wilayah Mesir.”[24]
Maka Anba Benyamin akhirnya keluar dari tempat persembunyiannya, setelah
sebagian besar kaum Orthodoks Yunani diantarkan oleh pasukan Islam untuk
meninggalkan Mesir menuju Cyprus.[25]
Sedangkan dari kaum Melkit Yunani itu, bila menghendaki mereka diijinkan
tinggal di Mesir dengan syarat mereka diizinkan tinggal di Mesir dengan syarat
mereka mereka harus menerima ketentuan pemerintah Islam, termasuk membayar
jizyah dan bersedia hidup berdampingan dengan Islam dan kaum Orthodoks Koptik,
yang melalui pemerintahan Islam tersebut. Sejak saat itu kaum Koptik menjalani
kebebasan beragama, bahkan gereja-gereja dan biara-biara mereka yang selama
itu dirampas Byzantium, dikembalikan kepada mereka oleh pemerintah Islam.
Hubungan baik Islam dengan kaum Koptik itu selanjutnya berjalan cukup
harmonis, meskipun orang Kristen Barat dan kaum fundamentalis Islam acap kali
menodai hubungan kekerabatan itu.
[1] Abu Muhammad Ibn Hisyam, Sirah An Nabawiyah li Ibn Hisyam Juzz I (Dimasyq: Dar al-Khair, 1412 H/1992 M),h.7.
[2] Aisyah Bintusy Syathi, Istri-istri Nabi: Fenomena Poligami Di Mata Seorang Tokoh Wanita (Jakarta: Pustaka Mantiq, 1998). Menurut sejarah turunnya surah 66 At Tahrim juga untuk membela Mariyah al-Qibtiyah dari serangan istri-istri Muhammad, terutama ‘Aisyah. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad menyetubuhi Mariyah di rumah Hafsah bin Umar bin Khattab, istrinya. Hafsah protes. Tetapi Nabi berkata: “Apakah anda tidak puas jika kuharamkan Mariyah dan tidak kudekati lagi?” Jawab Hafsah: “Baiklah”. Lalu sabda Nabi: “Jangan kau ceritakan hal ini kepada siapapun”. Tetapi akhirnya Hafsah menceritakannya kepada Aisyah, dan menyebabkan kehebohan di rumah tangga Muhammad. Maka turunlah teguran Allah kepada Muhammad: Ya Ayyuhan Nabi, lam tahrimu maa ahalla llahu laka, yabtaghi mardhatu azwajika, wa llahu ghafurur rahim. Artinya: “Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah bagimu semata-mata karena mengambil hati istrimu. Dan Allah Pengampun dan Penyayang” (Surah At Tahrim/66:1).Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Jilid IV (Beirut: Dar al-Fiqr, 1412 H/1992 M),h. 464-465.
[3] Kata Arab al-Hawariyun adalah pinjaman dari bahasa Habsyah (Ethiopia) yang artinya “utusan-utusan, rasul-rasul”. Lih. Arthur Jefferey, The Foreign Vocabulary of the Qur’an (Lahore: Al-Bintuni, 1977). Dalam makna Kristen, istilah ini diterapkan bagi murid-murid Yesus, bukan kepada Nabi-nabi yang menerima wahyu Allah, seperti yang digunakan dalam Islam. Istilah “Hawari” paralel dengan istilah Ibrani sheliah, yang dalam konteks agama Yahudi pra-Kristen diterapkan bagi “utusan-utusan dari Kohen (Imam) di Bait Allah maupun sinagoge”. Dalam Iman Kristen Yesus adalah Imam Besar dan murid-muridNya adalah sheliah (utusan-utusan) yang membantu pekerjaanNya.
[4] Teks lengkap dalam bahasa Arab, lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
Artinya: “Dan ‘Isa Putra Maryam as. Mengirimkan murid-muridNya dan generasi kedua setelah kaum Hawari itu menyebar ke pelosok-pelosok dunia: Petrus sang Murid (dan Paulus yang berasal dari masa belakangan, dan tidak termasuk murid langsung Yesus) ke Roma, Andreas dan Matius ke tanah kanibal, Tomas ke Babel dan wilayah sebelah timur, Filipus ke Kartago di wilayah Afrika, Yohanes ke Efesus, kota kaum muda Ashhab al-Kahfi, Yakobus ke Yerusalem, yaitu Ilya atau kota Bait al-Maqdis, Bartolomeus ke negeri Arab, yaitu wilayah Hijaz, Simon ke wilayah Barbar, dan Yahuda yang tidak lagi menjadi murid-murid Yesus, dan posisinya digantikan oleh Yudas (Matias, penulis)”. Lih. Sirah Nabawiyah li Ibn Hisyam, Juzz IV, h.192.
[5] Menurut Dr.Hasan Ibrahim Hasan, Guru Besar Islam di Universitas Kairo, kisah masuk Islamnya Najasyi ini sangat dipengaruhi oleh sikap raja Kristen yang sangat simpatik kepada delegasi Islam Mekah. Malahan pula, ketika kaum Musyrikin Mekah mengirim delegasi kepadanya untuk orang-orang Muslim yang mengungsi ke Habsyah, dengan tegas Najasyi menolak dan tetap melindungi kaum Muslim. Kisah-kisah masuk Islamnya Negus sangat meragukan, karena Islam tidak muncul di Habsyah sesudah peristiwa itu melainkan baru pada masa-masa belakangan. Hal ini didukung oleh riwayat Ath Thabari dan Ibnu Atsir yang menceritakan bahwa pada masa Kalifah Umar orang Habsyah masih menyerang perbatasan negeri kaum Muslim, sehingga Umar mengirimkan ‘Alqamah bin Mujzar al Mudallaj bersama kaum Muslim untuk mengadakan patroli di laut. Lih. Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jilid I (Jakarta: Kalam Mulia,2002),h.316-317.
[6] K.H Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 4 (Jakarta: Gema Insani, 2001), h.93. Buku ini memuat surat Muhammad kepada Najasyi menurut ulama ahli tarikh Sirah al-Halabiyah. Al-Qalqashyandi, dalam kitabnya Shubh al-A’sya. Jilid VI, memuat versi yang lebih singkat. Ibid, h.305.
[7] Berbeda dengan kesimpulan Gereja bahwa Firman Allah yang diterapkan bagi Yesus itu bersifat qadim (kekal) dan ghayr al-makhluq (bukan ciptaan), sebagaimana akhirnya ilmu Kalam Islam menerapkannya dalil paralel kepada al- Qur’an sebagai Kalam Allah yang kekal, dalam surat Muhammad kepada Najasyi ini ditekankan bahwa kalimah yang diterapkan bagi ‘Isa itu bersifat muhdish (baru). Hal ini tampak dari ungkapan faahamalat bi ‘Isa, khalaqa llahu min ruhihi wa nafkhihi kamma khalaqa Adama biyadihi wa nafkhihi (Maka dikandungnya ‘Isa, dan Allah menciptakan ‘Isa dari Ruh dan tiupan-Nya, sebagaimana penciptaan Adam dari tangan dari tiupan-Nya). K.H.Moenawa Khalil, Op.Cit, h.94.
[8] Khalid Sayyid Ali, Surat-surat Nabi Muhammad (Jakarta: Gema Insani Press, 1990),h.24.
[9] Ibid, h.94-95.
[10] Ibn Hisyam, Op.Cit.h.192.
[11] Surat ini diriwayatkan oleh sebagian ulama tarikh tetapi menurut al-Wakidi bunyi surat yang dikirimkan kepada al-Muqawqis tidak seperti itu melainkan lebih ringkas lagi. Mengenai murid Yesus yang diutus ke tempat yang jauh, maksudnya Tomas yang menolak diutus ke India sebagaimana dicatat dalam buku-buku sejarah gereja abad permulaan, yang rupanya cukup dikenal Ibnu Hisyam. Dalam kisah itu, Rasul Tomas, atas ijin Tuhan, akhirnya dijual sebagai seorang budak raja Gundhapur, dan justru menjadi awal berdirinya 7 gereja Syria di India Selatan.
[12] K.H.Moenawar Chalil, Op.Cit.h.95.
[13] Ibnu Hisyam, Op.Cit,h.9-10.
[14] A.Wessels, Arab and Christian? Christian in the Middle East (Kampen, Netherland: Kok Parhos Publishing House, 1995), p.130.s
[15] Anna Martyri adalah tahun Koptik yang dihitung dari masa penganiayaan imperium Romawi atas Kekristenan, yang berpuncak pada masa Kaisar Dakhius tahun 284 Masehi. Lih. B.T.A. Evetts (ed), The Churches and Monasteries of Egypt and Some Neighouring Countries. Attributed to Abu Salih, The Armenian (Oxford: At The Clarendon Press, 1969),p.79.
[16] “Siapakah persisnya Muqawqis si pengkhianat ini? Ia tidak lain Cyrus, Patriakh Yunani itu, ataukah sosok imajiner belaka?”, begitu sejarahwan Pere de Henaut, seperti dikutip oleh Iris Habib al-Misri, The Story of the Copts (Kairo: The Middle East Council of Churches, tanpa tahun),h.277-278.
[17] Hasan Ibrahim Hasan, Op.Cit, h.313-315.
[18] Iris Habib al-Masri, Op. Cit,h.280.
[19] Ibid, h.82
[20] Ibid.
[21] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintas Sejarah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988),h.42.
[22] Azis S.Atiya, History of Eastern Christianity (Notre Dame, Indiana: University of Notre Dame Press, tanpa tahun), p.80-81.
[23] Irish Habib al-Misri, Op.Cit, h.279.
[24] Irish Habib al-Misri, Op.Cit,h.281.
[25] Anton Wessels, Loc.Cit.