Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!
undefined
undefined ARET lalu ketika karyawan Surabaya Post berjuang untuk tetap terbit, tiba-tiba muncul suratkabar Berita Sore yang dibidani Haryono, suami Didy. Ini bak hujan di siang bolong. Tak salah kalau khalayak Surabaya, dalam obrolan mereka, menyimpulkan keluarga ini tak serius menangani masalah Surabaya Post dan adanya perpecahan serius antara Didy dan Indra. Berita Sore dikerjakan 17 wartawan, termasuk tiga orang mantan wartawan Surabaya Post, seperti Zaenal Arifin, Onny Yoelyana, dan Son Andries. Saat bergabung di Berita Sore, Zaenal baru lima hari meninggalkan Surabaya Post. Haryono membuat suratkabar berukuran lebih kecil dari tabloid. "Saya hanya mengambil peluang bisnis saja," katanya. Penerbitan ini tak ada hubungannya dengan Surabaya Post. "Istri saya saja tak saya beritahu," kata Haryono. Haryono minta bantuan Tjuk Suwarsono. Tapi Tjuk hanya bertahan sebulan. "Ada hal yang tak cocok," kata Tjuk. Haryono dianggapnya tak serius mengelola usaha tersebut. "Sepertinya hanya untuk main-main." Pendirian Berita Sore mengecewakan sejumlah karyawan Surabaya Post. Jaka Mujiana dari Tim Inisiator mengatakan jauh hari sebelum Berita Sore terbit, ia bersama dua rekannya, pernah mendatangi Didy di Jakarta. Mereka mengusulkan tiga alternatif kalau Surabaya Post tak bisa terbit. Salah satu alternatifnya mendirikan suratkabar sore yang baru dan satu tabloid olah raga. "Tetapi koran itu diterbitkan setelah Surabaya Post tidak terbit," kata Jaka. Tapi lama tak ada kabar, tahu-tahu Haryono datang ke Surabaya mendirikan suratkabar sore. Jaka M. Mujiana menilai, selain tidak etis, pendirian Berita Sore melukai perasaan karyawan Surabaya Post. Sementara itu, rapat umum pemegang saham yang dijanjikan Indra, terlaksana 20 Mei lalu di Jakarta, dihadiri Didy, Indra, dan Rusman Mansur sebagai wakilnya Iwan. Tiga wakil karyawan, yang diwakili Dwi Eko Lokononto, Sugeng Purwanto, dan Angky Siswanto, menunggu di luar, begitu juga pengacaranya. Lokononto alias Luki mengatakan hasil pertemuannya adalah kesepakatan baru soal pencarian dana. Semula disepakati cari investor tapi berubah cari kredit bank. "Apa alasannya, saya tidak tahu. Tapi itu permintaan Pak Iwan." Rapat masih harus berjalan lagi untuk sejumlah kesepakatan, khususnya soal aset apa saja yang akan diagunkan ke bank. Sebelumnya harus ada proses perubahan akta pendirian Surabaya Post. Akta pendirian Surabaya Post hanya bermodalkan Rp 1 miliar. Surabaya Post sendiri tak punya aset. Gedung Surabaya Post, percetakan dan gedung redaksi Jalan Sikatan, gedung perwakilan Jakarta dan Malang, masih nama Toety. Juga Balai Surabaya Post beserta barang-barang seni di dalamnya milik Toety. Dan bank tak memberi utang, kalau tak ada asetnya. Menurut Luki, karyawan berharap, pewaris Toety mau menghibahkan aset Toety seperti Gedung Surabaya Post, gedung redaksi, kantor di Jakarta dan Malang, juga Balai Surabaya Post dikonversikan sebagai aset Surabaya Post. Dengan begitu, Surabaya Post punya modal yang memadai. Menurut redaktur Budi Harminto, setelah Toety meninggal, tiga anaknya telah membagi harta waris. Iwan dapat tiga rumah Surabaya di Jalan Panglima Sudirman, Jalan Porong, dan villa di Tretes, Pasuruan. Didy dapat dua rumah di Jalan Sutan Syahrir, Jakarta, sedang Indra dapat dua rumah di Patra Jasa dan Cibubur, Jakarta. Menurut Luki, rumah besar Toety di Jalan Panglima Sudirman dan Balai Surabaya Post, di jalan yang sama, jadi milik bersama tiga saudara itu. Rumah Toety akan dimanfaatkan sebagai museum Abdul Azis. Dm sana banyak peninggalan benda seni. Balai Surabaya Post akan difungsikan secara komersial untuk mendukung Surabaya Post. Yayasan Bhakti Keluarga Surabaya Post akan dibubarkan karena membebani keuangan keluarga. Dua lantai dari tiga lantai Balai Surabaya Post akan disewakan pada sebuah perusahaan asuransi. Satu lantai tetap difungsikan sebagai perpustakaan umum. Sebelumnya, Indra khawatir balai akan dijual Didy. "Itu salah, balai akan difungsikan secara komersial sehingga bisa menekan biaya," kata Didy. Luki tak tahu kapan rapat umum pemegang saham dilakukan. Karyawan sendiri sepakat dengan Didy dan Indra, bahwa mereka mau menerima saham 33,3 persen milik Didy, kalau tak dibenani utang perusahaan. Ada kemungkinan karyawan mau melepaskan sebagian sahamnya kepada investor untuk menutupi utang Surabaya Post. Bisa juga, saham karyawan dimiliki penuh (tanpa jual ke investor) dengan cara mencari pinjaman ke bank. Utang Surabaya Post sendiri, menurut Saiful Irwan, sekitar Rp 1 miliar. Soal kriteria investor, kalau memang ada yang membeli, Luki sudah menyerahkannya ke pemilik saham. "Mereka yang menentukan," kata Luki. Kriteria yang diajukan karyawan haruslah orang dengan reputasi baik, mampu memberikan solusi yang menguntungkan (kompensasi berupa uang pensiun atau pesangon), dan bersedia tak intervensi pada kebijakan redaksi. Dana rasionalisasi memang diperlukan, karena jumlah karyawan Surabaya Post terlalu besar. Soal kemungkinan Dahlan Iskan dari Jawa Pos masuk ke sana, menurut Luki, memang sudah disampaikan kepada Indra dan Didy. Mereka berdua belum tertarik untuk menerima tawaran Dahlan. Indra mengatakan keluarga Azis masih bisa mengatasi Surabaya Post. Mereka juga memperhitungkan bagaimana pendapat masyarakat apabila Surabaya Post dimasuki Jawa Pos? Khususnya soal keseragaman berita akibat monopoli pemberitaan? Keluarga ini, di balik segala keruwetannya, ternyata memegang amanat Abdul dan Toety Azis, bahwa Surabaya Post adalah institusi publik. Mereka adalah penjaganya. *** DA kabar gembira dari Banyumas. Orang dusun meluapkan kejengkelan dengan cara menggugat sebuah suratkabar. Mereka mempermalukan wartawan Banyumas serta mencoreng reputasi Suara Merdeka, harian terbitan Semarang, dengan tiras hampir 100 ribu. Cerita ini berawal ketika Sadir, seorang kepala desa, cerita pada mahasiswa yang praktek kerja di desanya, Piasa Kulon, 40 kilometer tenggara Purwokerto, ibukota Banyumas. Sadir mengatakan gagal panen Piasa Kulon terjadi karena minimnya air akibat pembobolan irigasi oleh warga desa tetangga. Dalam grenengan itu terdapat Indra Wisnu Wardana, mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, yang juga bekerja sebagai reporter harian Republika. Indra tertarik. Indra meneruskan gosip ini di Balai Wartawan, tempat mangkal wartawan Banyumas, awal Maret lalu. "Iki sopo pengin berita hasil investigasi (Ini siapa yang mau berita hasil investigasi)," ujar Agus Wahyudi, seorang wartawan di sana, menirukan Indra. Mereka berbondong mendengarkan Indra. Di antaranya Sigit Oedianto, wartawan Solopos, yang juga menjabat ketua Persatuan Wartawan Indonesia cabang Banyumas, Driyanto dari Kedaulatan Rakyat, Lilik Dharmawan dari Sinar Harapan, Joko Sadewo dari Radar Banyumas, Joko Santoso dari harian Wawasan, Subiantoro dari Pro 2 FM 93 Mhz Purwokerto serta Ali Syamhadi, wartawan Suara Merdeka. Obrolan santai itu pun berubah jadi berita. Tapi hanya Suara Merdeka yang rutin dibaca orang-orang desa Pakikiran. Pada 10 Maret Suara Merdeka menurunkan laporan Ali berjudul "Rebutan Air, Warga Pekikiran Jebol Irigasi Kalisuki 1 km." Dalam berita itu terdapat kalimat langsung, seolah-olah Suara Merdeka melakukan wawancara dengan Sadir, "Akibat penjebolan tanggul tersebut hasil panenan padi IR 64 warga Piasa Kulon mengalami penurunan." Orang Pakikiran diberitakan merusak 20 titik tanggul sepanjang satu kilometer. "Sedang perangkat desa Pekikiran tidak berani menghentikan aksi penjebolan saluran irigasi, sebab takut didemo masa." Grenengan berubah jadi berita! Marwoto, seorang petani Pakikiran, adalah orang pertama yang membaca berita itu. Merasa janggal, Marwoto memberitahu Pak Haji. Lantas Pak Haji memberitahu Pak Bahu. Pak Bahu lapor kepala desa Edi Sukirno. Edi minta Pak Bahu mengecek apa benar ada penjebolan irigasi. Pengecekan Pak Bahu, sampai batas desa menunjukkan kondisi irigasi utuh: air masih sulit dan tanggul banyak ditumbuhi rumput. Tapi tanggul masih utuh. Tak ada penjebolan. Berita Suara Merdeka dianggap bohong. "Kalau ada penjebolan sih saya tidak apa-apa, tapi ini tidak ada. Ini menyingung perasaan warga," ujar Pak Bahu. Edi Sukirno merasa heran karena belum sekali pun ada wartawan yang melakukan verifikasi. "Aneh kok Mas! Sepengetahuan saya panen itu terjadi sekitar tanggal 15 ke atas. Lha ini berita tanggal 10, waktu belum panen, kok sudah bisa menjelaskan panen menurun." Secara ejaan juga banyak salah. Nama desa Pakikiran dicetak "Pekikiran." Nama saluran irigasi tersier Kali Sapi dicetak "Kalisuki." Pantas kalau warga Pakikiran geram. Malam itu juga Suara Merdeka dirapatkan di balai desa. Di sana ada lebih dari 50 pejabat dan tokoh desa Pakikiran. Rembug deso (rapat desa) memutuskan perlu verifikasi. Keesokan pagi, Edi Sukirno beserta beberapa tokoh Pakikiran mendatangi Sadir di Piasa Kulon. Sadir sendiri belum baca. Ia menyangkal jadi sumber Suara Merdeka. Sadir ketakutan didatangi orang banyak. Ia ingat pernah omong-omong dengan mahasiswa. Jangan-jangan di sana letak masalahnya? Maka Indra Wisnu Wardhana pun diundang siang itu juga. Indra ya bagaimana? Ia janji melakukan koreksi. Mekanismenya tak jelas bagaimana? Indra kerja untuk Republika. Koreksi tak dilakukan Suara Merdeka. Hampir sebulan berikutnya, warga Pakikiran, melalui seorang pengacara, mendaftarkan gugatan mereka di pengadilan Banyumas. Tergugatnya ada tiga pihak: Sadir, Indra Wisnu Wardana, dan pemimpin redaksi Suara Merdeka Sutrisna. Mereka total dituntut sekitar Rp 2 miliar. Gugatan malah bikin gusar wartawan Banyumas, termasuk Ali dan Indra. Akibatnya, orang Pakikiran makin bulat meneruskan proses gugatan. Mereka kapok urusan dengan wartawan. Apalagi sampai menjelang sidang pertama, 3 Mei 2002, tak sekali pun wartawan datang minta maaf. Rasa merasa disepelekan memuncak pada sidang perdana. Sidang ditunda karena pengacara Indra belum mendapat pelimpahan wewenang sebagai kuasa hukum. "Aneh kan. Ini sih kayaknya ada permainan belakang," kata Edi. Sutrisna sendiri, redaktur Suara Merdeka yang dianggap wartawan senior Semarang, hendak mengupayakan penyelesaian di luar pengadilan. Siapa sih yang suka membayar Rp 2 miliar? Sutrisna juga berjanji mengadakan koreksi, termasuk memperbaiki liputan wartawan yang lalai. Sutrisna menjanjikan kompensasi. Senin, 6 Mei diadakan pertemuan di balai desa Pakikiran. Sayang, pagi itu hanya Ali Syamhadi yang datang. Indra Wardhana, wartawan yang diundang datang oleh Sutrisna, tak memenuhi undangan. Upaya advokasi juga dilakukan Amir Mahmud dari Persatuan Wartawan Indonesia cabang Jawa Tengah. Minimal dengan memberi dukungan moral. Jika proses hukum berjalan, Amir mengatakan, pendampingan rutin akan diupayakan. Tapi di kalangan wartawan Banyumas, mulai timbul kekhawatiran, jangan-jangan kalau orang Pakikiran menang, banyak warga Banyumas akan ikut-ikutan. Mungkin bahkan orang lain di berbagai pelosok Indonesia bisa belajar dari Banyumas. Salah sedikit wartawan digugat. Apa-apa digugat. Tapi omong-omong, kesalahan Indra dan kawan-kawan bisakah dibilang kecil? *** OLYCARPUS Swantoro melangkah ke ruang tamu. Rambutnya sudah putih, tersisir rapi. Rumah Swantoro, mantan wakil pemimpin redaksi Kompas ada di Cipinang, Jakarta Timur. Lelaki itu Januari lalu genap berusia 70 tahun. Swantoro pensiun, melepaskan semua jabatannya di Kelompok Kompas Gramedia. Di atas meja terletak buku karyanya Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu. Swantoro mengambil buku, membolak-balik halamannya, dan meletakkannya kembali. "Sejak dulu kalau mau menulis sesuatu, termasuk menulis buku ini, saya tidak pernah pakai konsep. Kalau dibikin konsep dulu, ketika menulis isinya selalu berbeda dengan konsep awalnya," kata Swantoro. Sejak kecil ia suka buku, kendati bahasanya ia belum tahu. Ketika duduk di sekolah rakyat ia terkesan dengan buku berbahasa Belanda milik ayahnya. Kenangan akan buku itu terpateri puluhan tahun di otaknya. Pada 1994 ia tak bisa menahan kerinduannya pada buku tua itu. Kepada tetangganya, Bunyamin Wibisono, yang punya hobi berburu buku tua, Swantoro berpesan agar dicarikan buku yang dia maksud. Dalam seminggu buku itu ditemukan, judulnya Geillustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie atau Ensiklopedi Bergambar Hindia-Belanda. Buku itu disusun G.F.E. Gonggryp, W.K. Boogh, E.A. Douglas, G.J. du Marchie Sarvaas, A.Neijtzell de Wilde, dan J.Th.Petrus Blumberger. Buku itu diterbitkan di Leiden, Belanda, pada 1934 oleh NV Leidsche Uitgeversmaatschappij. Ketika menemukan nama J.Th. Petrus Blumberger sebagai salah seorang penyusun nya, Swantoro ingat kepada tokoh ini yang menulis buku berjudul De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indie (Pergerakan Nasional di Hindia-Belanda). Memori tentang pengarang Belanda inilah yang antara lain dituangkan Swantoro dalam bukunya. Swantoro bertemu dengan nama lain yakni J.M. Pluvier, yang kemudian dijadikan tokoh juga. Begitulah, setiap Swantoro bertemu nama baru ketika tengah menulis satu bab, nama itu diurai lagi, ketemu lagi yang baru, diceritakan lagi tentang tokoh tersebut, begitu seterusnya, hingga menghasilkan sebuah buku dengan 32 bab. Swantoro suka buku-buku sejarah. Satu per satu buku kegemarannya dikumpulkannya, kini ada lebih dari 200 judul. Hampir semua buku mengesankannya terekam dalam memori lulusan sekolah calon pastor Katolik, Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang pada 1953 ini. Ia juga alumnus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sanata Dharma dan Universitas Gadjah Mada, jurusan sejarah. Jauh sebelum pensiun, Swantoro ingin menulis buku. Temanya unik, bercerita tentang buku-buku yang dia miliki. "Pertengahan 1998 saya memperlihatkan tulisan saya sebanyak 20 halaman kepada Parakitri Tahi Simbolon, direktur Kepustakaan Populer Gramedia, dia tertarik, dan sangat mendukung supaya saya meneruskan menulis buku itu, juga berjanji untuk menerbitkannya," tutur Swantoro. Pekerjaan menulis buku itu secara serius dimulai sejak 2000. Saat resmi pensiun buku itu sudah jadi. Bahan untuk menulis buku berasal dari pustaka di rumahnya, dan dari pustaka di Kelompok Kompas Gramedia, perwakilan majalah terbitan Belanda Bijdragen Tot De Taal-, Land-en Volkenkunde di Jakarta, juga dari TemBI, rumah budaya, museum benda kuno semacam keris dan buku langka, kepunyaan Swantoro, dan berlokasi di desa Tembi, Bantul, Yogyakarta. "Setelah selesai ditulis naskah itu saya serahkan kepada Parakitri," ujarnya. Naskah mentah buku itu memang sambung-menyambung menjadi satu. Editor di Kepustakaan Populer Gramedia mengedit naskah itu agar layak menjadi buku, dengan memilah-milahnya jadi 32 bab dengan 32 subjudul. Dalam pembikinan subjudul Swantoro dan editor berunding. Editor juga melengkapi buku itu dengan daftar pustaka, daftar foto dan indeks. Setelah jadi buku itu tebalnya 435 halaman. Jacob Oetama, mantan pemimpin redaksi Kompas, kawan Swantoro di Seminari Mertoyudan, menulis kata pengantarnya. Buku itu dimulai dengan judul Bermula dari Gambar Berwarna, berkisah tentang kerinduannya pada gambar berwarna pada buku milik ayahnya. Membaca buku karya Swantoro bagai membaca setumpuk buku, berisi beragam tema cukup menarik. Pada halaman 92 ia menulis, "Orang Jawa yang meninggal dalam Perang Diponegoro 200 ribu orang, padahal penduduk seluruh Hindia Belanda pada waktu itu baru tujuh juta orang. Penduduk Yogyakarta tinggal separohnya." Masih di halaman sama diungkapkan adanya dua orang "Pangeran Diponegoro" yang berlainan kurun waktu keberadaannya. Keduanya sama-sama memakai gelar Erucakra atau Ratu Adil. "Pangeran Diponegoro" pertama setelah terlibat perang melawan Belanda, diasingkan ke Afrika Selatan, meninggal di sana pada 1720. Pangeran Diponegoro yang kedua, yang dikenal secara umum setelah terlibat perang, lalu ditangkap, kemudian diasingkan ke Makassar, meninggal di sana pada 1855. Pada bab 30 dengan subjudul Babak Terakhir Tan Malaka-Hatta dan bab 31 dengan subjudul Babak Terakhir Sukarno-Hatta. Dalam kedua bab itu Swantoro mencari kisah-kisah paralel antara Tan Malaka dengan Bung Hatta atau antara Bung Karno dengan Bung Hatta. Kini, ia tinggal bersama istrinya, Rosa Antonia Kusmardijah, perempuan kelahiran 3 Februari 1935, yang ia nikahi 28 Desember 1960 di Yogyakarta. Pasangan ini punya empat anak lelaki. Anak ketiga, Henricus Herianto, menderita gagal ginjal. Untuk menopang hidup Henricus, beberapa tahun lalu sang ibu memberikan ginjalnya sebelah kiri. Namun, sejak dua tahun lalu ginjal cangkokan itu tak berfungsi lagi. "Kini dia, setiap minggu cuci darah," kata Swantoro lirih. Swantoro, lelaki itu, di hari tuanya, akan terus menulis buku. Sejumlah tema sudah ada di tangan seperti menulis pengalamannya selama puluhan tahun sebagai wartawan dan menulis buku sejarah Kelompok Kompas Gramedia. "Saya prioritaskan menulis tentang sejarah Kompas. Buku tentang itu belum ada," ujar Swantoro. *** UATU siang awal Februari lalu, di satu ruangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatra Barat di Padang, seorang pegawai mengamati sejumlah nama wartawan dalam daftar Forum Wartawan Parlemen. Pegawai keuangan itu belum selesai membaca ketika Israr, reporter harian Mimbar Minang, datang menghampirinya, "Uni (kakak) tolong nama saya dicoret saja. Saya sudah sampaikan kepada pengurus, bahwa saya tidak mau lagi menerima uang itu." Israr bukan menolak amplop. Israr mencoba jujur terhadap dirinya sendiri. Daftar itu berisi nama-nama wartawan penerima uang yang dialokasikan dari anggaran parlemen Sumatra Barat. Forum Wartawan Parlemen adalah nama sekelompok wartawan yang mangkal di gedung itu. Total ada 25 wartawan dalam daftar. Jumlahnya tak banyak. Tiap wartawan dapat Rp 200 ribu (belum pajak Rp 30 ribu). Anggaran bulanan ini total Rp 62,4 juta setahun. Tercatat nama ada Irsyad dari Bisnis Indonesia, Kasparman dari The Jakarta Post, Sri Rahayu Ningsih dari Sinar Harapan, Hendra Agusta dari Antara, Bonar Harahap dari Media Indonesia. Semuanya nama media Jakarta. Dari media Padang antara lain John Edward Rony dan Devi Diany (Haluan), Hendri (Singgalang), Mairi Nandarson (Mimbar Minang), Alfitra (Padang Ekspres) dan dan Rahadio Suroso dari Padang FM 102,3 MHz dan kantor berita radio 68H, Jakarta. Menurut Israr, Forum memilih 25 nama itu setelah menilai wartawan bersangkutan. Apa sering menulis berita parlemen? Kalau sering ya masuk daftar. Kalau tidak ya tidak. Masuk pun tak berarti otomatis bisa dapat bulanan terus. Kalau frekuensinya menurun, uang itu bisa pindah ke tangan wartawan lain, yang lebih rajin. "Saya ingin jadi wartawan yang baik. Memang, dari kantor saya hanya menerima gaji Rp 350 ribu, namun bukan berarti saya harus menerima gaji pula dari DPRD," kata Israr. Tapi Israr sempat mengambil jatah bulan Oktober, November, dan Desember. "Saya takut dituding sok moralis oleh teman-teman. Makanya, lebih baik saya keluar dari forum, sehingga tidak lagi menerima uang itu. Lagi pula, selama ini, pemberitaan yang saya buat terus mengkritik dewan, jadi tidak etislah kalau uang diterima, berita terus mengkritik." Irsyad dari Bisnis Indonesia lebih tegas lagi. Irsyad tak pernah mengambil jatah itu. "Saya pribadi tidak menerima. Saya kira hanya saya sendiri yang tidak mengambil uang itu. Soal orang lain, itu urusan mereka," katanya. Bagaimana dengan yang mengambil? Apa alasannya? Bonar Harahap, yang bekerja untuk harian Semangat Demokrasi dan Media Indonesia, mengatakan, "Ini 'kan hanya uang transport. Lagi pula dengan menerima uang itu, bukan berarti berita yang dibuat adalah berita angkek talua (yang baik-baik)." Idham Firmantara dari Pos Metro Padang mengatakan, "Tahu sendirilah bagaimana susahnya kehidupan wartawan di sini. Sudahlah gaji kecil kita diperintahkan bekerja siang malam. Bagaimana menulis berita-berita berbobot kalau perut kosong? Jadi, sepanjang tidak mengintervensi pemberitaan, saya kira sah-sah saja menerima uang itu." Rahadio Suroso, yang jadi sekretaris Forum Wartawan Parlemen, mengatakan mereka justru bermaksud membatasi ruang gerak "wartawan bodrex" dan wartawan tanpa media yang sering minta uang kepada anggota parlemen. Forum juga untuk menjalin silaturahim dan solidaritas sesama wartawan. "Anggaran khusus itu bukanlah suap agar berita-berita DPRD di media yang baik-baik saja. Pemikiran ini semula hanya untuk mengimbangi wartawan di kantor gubernur. Mereka yang ditugaskan di sana selalu mendapatkan uang lelah setiap ada kegiatan. Lagi pula, kita tidak minta. Anggota dewan yang menawari kita untuk menerima uang ini sebagai pengganti ongkos naik bus kota," kata Rahadio. Tapi tunggu dulu. Praktek ini bukan monopoli Rahadio dan kawan-kawan. Setali tiga uang, kondisi sama juga terjadi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kota Padang. Di sini wartawan memakai nama Forum Wartawan DPRD Padang. Jatahnya Rp 150 ribu per bulan. Alasannya kurang lebih sama. Gaji kecil. Uang lelah. Tak ada intervensi. Kazzaini K.S., pemimpin redaksi harian Padang Ekspres, mengatakan dana-dana itu bisa merusak integritas wartawan. Kazzani prihatin karena manajemen media sering tak bisa menggaji wartawannya dengan layak. "Hal kedua, memang karena mental wartawan itu sendiri yang merasa tidak puas meski gaji yang diperolehnya sudah lebih dari cukup." Media yang mereka wakili, belum tentu, mengetahui masalah ini. Harian The Jakarta Post atau Media Indonesia, tegas melarang reporter mereka menerima uang di luar redaksi. Heru Hendratmoko, direktur program radio 68H, mengatakan, "Padang FM memang radio jaringan kami, tapi Rahadio bukan koresponden kami." Apa kata orang parlemen sendiri? Syahrial dari DPRD Sumatra Barat mengatakan mereka memberikan bantuan karena rendahnya gaji wartawan. "Banyak yang mengeluh. Hanya sekadar bantuan, dan tidak mengintervensi pemberitaan yang mereka buat." Apakah benar tak berpengaruh pada berita? Menurut Israr dari Mimbar Minang, dulunya berita skandal PT Minang Malindo, sebuah perusahaan penambangan batubara milik Afrizal, seorang anggota parlemen, sangatlah kritis. Minang Malindo dipersoalkan karena terlibat permainan tak sehat dengan PT Semen Padang. Afrizal adalah tokoh yang mempertahankan PT Semen Padang dari upaya penjualannya oleh pemerintah pusat Jakarta. Minang Malindo adalah perusahaan yang menyuplai batubara untuk Semen Padang. Batubara yang diambil Minang Malindo itu sendiri dipersoalkan PT Bukit Asam, perusahaan milik negara, yang mengatakan batubara yang ditambang dan dijual Minang Malindo berasal dari wilayah PT Bukit Asam. Kini, berita soal Afrizal dan Minang Malindo berbalik 360 derajat. Sikap kritis ganti pembelaan. Kenapa terjadi? Boleh jadi tak ada hubungan antara tunjangan wartawan dengan PT Minang Malindo walau Afrizal merupakan salah satu inisiator bantuan tersebut. *** UMAT, 3 April lalu. Di sebuah ruangan kerja lantai dua sebuah gedung produk jamu, kawasan Pancoran Jakarta, Gusti Randa terlihat serius menyiapkan pemutaran perdana film tentang Marsinah. Randa, aktor sinetron, produser film itu, di bawah bendera PT Gedam Sinemuda Perkasa. Marsinah Cry Justice, judul film itu, mengisahkan pembunuhan aktivis buruh pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Mei 1993. Marsinah ditemukan tewas empat hari setelah memimpin unjuk rasa menuntut kenaikan upah, tak banyak sekitar Rp 450, dari Rp 1.700 sehari menjadi Rp 2.250. Randa merangkap jadi manajer pemasaran film itu. Koordinasi dan strategi pemasaran film berada di tangannya. Bagaimana memasarkan film layar lebar dengan karakteristik khusus ini kepada masyarakat luas, yang baru saja disuguhi film-film macam Pasir Berbisik atau Ada Apa dengan Cinta? Cara yang lazim ya bekerja sama dengan jaringan bioskop 21, karena jaringan milik Sudwikatmono, ipar tiri Soeharto, mantan orang kuat Indonesia, memiliki fasilitas lengkap. "Tetapi, kerja sama dengan jaringan bioskop lainnya juga tetap mendapat prioritas. Terutama untuk memperlancar pemutaran film ini di daerah," ujar Randa. Randa merekrut tiga orang staf khusus untuk mendukung kegiatan pemasaran film yang bernilai produksi Rp 4 miliar. Tiga karyawan tersebut bekerja dengan sistem jemput bola. Misalnya, saat mendengar kabar di Mojokerto, Jawa Timur, ada komunitas buruh yang ingin menonton, staf pemasaran langsung mendatangi komunitas itu. Mereka merencanakannya bersama pihak perusahaan tempat buruh-buruh itu bekerja. Ada dua tahap untuk menghadirkan film itu di tengah masyarakat. Pertama strategi first run, film diputar di kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, Bandung, dan Medan. Selanjutnya ditempuh langkah second run, film diputar pada bioskop di daerah. Randa berharap strategi itu bisa menyedot dua juta penonton selama setahun. Di tangan Randa, tampaknya urusan pemasaran jadi mudah tapi di pasaran belum tentu. Namun, Slamet Rahardjo Djarot, sang sutradara, mengatakan kisah Marsinah diangkat bukan untuk mengejar keuntungan bisnis semata. Setidaknya keseriusan untuk memperhatikan mutu pun bisa dilihat pada pascaproduksi, mulai mixing, penataan audio, hingga pemrosesan film dikerjakan di Bangkok, Thailand. "Kematiannya di usia muda, membuat Marsinah jadi monumental untuk diangkat dalam film. Ia menjadi pahlawan kemanusiaan. Saya bekerja keras melahirkan film ini," ujar Djarot. Garin Nugroho, sutradara film yang kaya gagasan, bilang film ini memiliki daya tarik besar bagi publik. Karena itu katanya, "Slamet harus tetap teguh mengedarkan film ini ke tengah masyarakat. Tak perlu mempedulikan Jacob Nuwawea, yang meminta agar film ini ditunda penayangannya." Nuwawea, menteri tenaga kerja, meminta agar pemutaran film itu ditunda dengan alasan bukan soal politis, tapi ia tak suka sosok Mutiari, kepala personalia PT Catur Putra Surya, pabrik tempat Marsinah bekerja, lebih menonjol ketimbang sosok Marsinah. Tokoh Marsinah diperankan Megarita, seorang mahasiswa Institut Kesenian Jakarta sedangkan Mutiari diperankan oleh Diah Arum. Keduanya cukup berhasil menghadirkan adegan-adegan yang bersifat natural dalam film yang berdurasi satu jam 55 menit itu sehingga ciri khas film ini yang kuat dengan nilai true story kian mengental. Kisah nyata Marsinah disajikan sebagai tontonan alternatif bagi segala lapisan masyarakat, namun dengan harga tiket tontonan sesuai standar harga film nasional. "Harga tiketnya sekitar Rp 15 ribu. Tapi mengenai kepastian harga tiket akan ditentukan sendiri oleh para pemilik bioskop," ujar Randa. *** WAL Mei lalu bertempat di Hotel JW Marriot, Jakarta, berlangsung peluncuran buku The Lexus and The Olive Tree. Ini salah satu buku laris di dunia. Sudah diterjemahkan ke 24 bahasa termasuk bahasa Indonesia. Pengarangnya kolumnis harian The New York Times Thomas L. Friedman. Acaranya mewah. Ramai. Wangi. Karpet merah kuning dengan motif kembang. Friedman datang ke sana bak bintang. Pokoknya wah. Duta besar Amerika Serikat Ralph L. Boyce tampak di sana bersama Bungaran Saragih, salah satu menteri kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, juga Jakob Oetama, dari Kompas, dan Djafar Assegaf dari Media Indonesia. "Friedman is my hero," kata Wimar Witoelar, mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, yang kini mengajar di Universitas Deakin, Australia, yang didaulat membahas buku Friedman. "Friedman adalah guru globalisasi, penulis yang superproduktif, sangat bersahabat dan sangat berkualitas. Ia memberikan kontribusi yang objektif dalam memahami globalisasi." Membaca biodata Friedman, tak heran jika Witoelar terkesima. Friedman menulis kolom tiap Selasa dan Jumat. Dateline selalu berubah. Washington. Moskow. Beirut. Tel Aviv. Beijing. Tokyo. London. Kairo. Ia mungkin kolumnis yang hari ini kolomnya paling banyak dibaca di muka bumi. Kolomnya diterjemahkan ke beberapa bahasa, termasuk Arab dan Yahudi, dan diterbitkan berbagai suratkabar di berbagai negara. Ia mendapat hadiah Pulitzer tiga kali. Pertama pada 1983 ketika Friedman jadi koresponden New York Times biro Beirut. Pada 1988 ia memenangi Pulitzer, kali ini dari biro New York Times Jerusalem. Pulitzer ketiga didapatnya tahun lalu untuk ulasannya mengenai dampak terorisme di tingkat global. Bukunya From Beirut to Jerusalem, yang terbit 1989, memenangi penghargaan National Book. Buku The Lexus and the Olive Tree, yang terbit 1999, memenangi penghargaan Overseas Press Club. Kumisnya tebal. Orangnya glundang-glundung, terkekeh-kekeh, seenaknya sendiri, aksen bicaranya khas Minnesota -sebuah negara bagian Amerika tempat kelahirannya. Tapi malam itu, Friedman memesona Jakarta. Ia bukan hanya kolumnis piawai, tapi juga orator yang memukau. Ia mampu mendorong pembaca untuk percaya pada tulisannya. Ia juga mampu mendorong pendengar untuk percaya pada apa yang dikatakannya. Ia benar-benar seorang "pangeran neoliberalisme" -julukan yang diberikan kritisi globalisasi kepada Thomas Friedman karena advokasinya terhadap privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi. Coba dengarkan. "Semakin Anda membiarkan kekuatan pasar berkuasa dan semakin Anda membuka perekonomian Anda bagi perdagangan bebas dan kompetisi, perekonomian Anda akan semakin efisien dan berkembang pesat," ujarnya. Globalisasi berarti integrasi. Globalisasi adalah orde dunia pasca-Perang Dingin yang bercirikan kompetisi negara-negara barat dan negara-negara tirai besi. Apa yang yang terintegrasi? "Pasar, negara, dan teknologi sampai pada tingkat yang tak pernah disaksikan sebelumnya," kata Friedman. Dari pertemuannya dengan banyak pemimpin pemerintah dan bisnis, ia melihat akibat perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi macam internet dan telepon, dunia makin menyatu dan mengecil, secara ekonomi, sosial, politik, dan gaya hidup. Globalisasi, di tangan Friedman, nampak begitu indah, menawarkan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk makmur dan sejahtera. Syaratnya, Anda harus memahami sistem baru itu dan menceburkan diri di dalamnya. Itu pesan Friedman. "Kritik saya pada tulisan-tulisan Friedman, adalah gayanya yang sangat simplistik, ia menghindari kompleksitas. Tapi, mungkin ia dituntut harus begitu, karena Friedman adalah jendela orang Amerika untuk melihat dunia luar," kata Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal. Ulil termasuk salah satu cendekiawan Jakarta yang ada dalam jadwal supersibuk Friedman. Acara lainnya? Makan malam dengan tuan rumah Jane Perlez dan Raymond Bonner, dua koresponden New York Times biro Jakarta, makan malam dengan para wartawan lokal dan asing di Merchantile Club (sembari Friedman mewawancarai mereka), diskusi dengan Freedom Institute (Ulil hadir di sini), maupun pergi ke sebuah pesantren di Jakarta untuk mewawancarai belasan santri, hasilnya sebuah kolom berjudul "Listening to the Future." Mungkin karena optimisme itu, Friedman tak terima munculnya gerakan anti-globalisasi. November 1999, di tengah kehidupan rakyat Amerika yang serba berlimpah, sekitar 60 ribu demonstran tumpah-ruah di jalan-jalan Seattle, Amerika Serikat, tempat sidang World Trade Organization. Untuk pertama kalinya setelah Perang Dingin usai, terjadi demonstrasi gede menentang pertemuan para menteri ekonomi negara-negara anggota World Trade Organization yang tengah bertemu di Seattle. Protes itu mengejutkan karena terjadi di negara benteng terkuat kapitalisme. Gerakan itu membelalakkan mata para pembela pasar bebas. Paling lantang dari mereka ya Thomas L. Friedman. "Mereka hanya bisa bilang STOP, tapi tidak bisa menyiapkan solusinya." Friedman mencaci-maki tapi gerakan anti-globalisasi itu makin membesar. Bagi pelancong global seperti Friedman, yang hidup dari satu hotel mewah di Jepang, pindah ke hotel mewah lain di Bangkok, Paris, Kairo, atau Hanoi (di Jakarta ia menginap di hotel Mandarin), globalisasi memang menjanjikan kemakmuran. Tak demikian dengan petani kecil di pedalaman Bolivia, Meksiko, dan Kalimantan. Globalisasi adalah penderitaan. "Pokoknya globalisasi telah menyebabkan meningkatnya perbudakan baru, pembantaian baru, dan politik apartheid yang baru. Ia adalah pernyataan perang terhadap alam, perempuan, anak-anak, dan kaum miskin. Sebuah perang yang mengubah setiap komunitas dan keluarga ke dalam sebuah zona perang. Sebuah perang antara monokultur melawan keragaman, yang besar melawan yang kecil," ujar Vandhana Shiva, seorang pemikir dari New Delhi, India, dalam tulisannya Violence of Globalization. Hingga hari ini, ketegangan soal globalisasi makin memanas. Buku Friedman sangat menyumbang pada perdebatan itu. Sayangnya, ketika diterbitkan dalam versi Indonesia, dengan judul Memahami Globalisasi: Lexus dan Pohon Zaitun, oleh Penerbit Institut Teknologi Bandung, karena gramatikanya yang kacau, buku ini malah jadi membingungkan untuk dibaca, boro-boro memahami globalisasi. *** UANG biro harian Waspada di Lhokseumawe sumpek dan panas. Pendingin udara mati. Beberapa komputer di atas meja kerja lama tak disentuh orang. Reporter Nasir A.G. duduk gelisah. Suara ribut mesin tik terdengar lagi. "Susah juga, suka sering salah ketik," keluhnya. Selamat datang di Aceh! Sejak infrastruktur listrik pelan-pelan rusak, entah dibakar atau tiangnya dipotong, sejak itu pula wartawan muda macam Nasir, yang tak pernah merasakan zaman mesin tik, harus membiasakan diri dengan mesin tik. Kalau terpaksa kerja sampai malam, dia dan teman-temannya mengandalkan lampu teplok dan lilin. Listrik padam berulang kali terjadi dalam setengah tahun belakangan. Biro harian Serambi masih lumayan. Mereka mengoperasikan mesin generator di kantornya. Celakanya, mereka kesulitan dalam pengiriman berita. Selama ini biro Serambi mengirim berita ke kantor pusat mereka di Banda Aceh dengan perangkat modem. Tapi sekarang modem sulit digunakan karena saluran telepon Banda Aceh-Lhokseumawe juga terganggu. "Pernah kami mencoba mengirim satu berita dari pukul 10 pagi hingga lima sore tidak bisa connect. Kalau pun bisa terkirim, hasil penerimaan di Banda Aceh sering terputus-putus," kata Nasir Nurdin, kepala biro harian Serambi. Serambi mengambil langkah lain. Pengiriman berita dilakukan secara manual. Berita harian yang tak begitu penting dimasukkan ke disket, dan dikirim via kurir ke Banda Aceh. Akibatnya banyak publikasi berita menjadi basi sehari. Hanya untuk berita penting yang tak bisa ditunda, mereka pakai fasilitas faksimile yang berfungsi dengan bagus. Beberapa wartawan yang tak punya kantor di Lhokseumawe lebih kewalahan lagi. Mereka mengetik berita dengan mesin tik di rumah, sepulang meliput seharian. Zainal Bakri, koresponden Tempo, yang selama ini mengandalkan telepon seluler beberapa kali kebobolan berita besar. "Pokoknya sekarang agenda kerja kita kacau. Sudah listrik mati, jaringan telepon terganggu, akses internet juga sudah tidak ada lagi di Lhokseumawe," kata Bakri. Sejak Januari para pelanggan memang tak bisa akses internet dari rumah, karena server Wasantaranet milik PT Pos Indonesia rusak akibat listrik sering padam. Kota Lhokseumawe, terutama di daerah pinggiran, seperti kota mati menjelang pukul 20.00. Gelap di mana-mana, kecuali di kompleks perumahan dan sejumlah pabrik yang punya pembangkit listrik sendiri, juga rumah orang-orang kaya yang mampu beli generator listrik. Semangat wartawan untuk membuat berita pun terpengaruh. "Keengganan kawan-kawan karena mereka kesal. Udah capek-capek bikin, beritanya tidak terkirim," kata Nurdin. Lhokseumawe merupakan salah satu sumber berita utama di Aceh, karena di situ konflik aparat Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sering terjadi. Listrik dan telepon jadi masalah sejak PT Telkom dan Perusahaan Listrik Negara sering kena musibah. Mungkin ini boleh disebut sabotase. Pada 8 Maret lalu, repeater Telkom di Gle Cut, sekitar 160 kilometer timur Banda Aceh, dibakar. Tak ada yang tahu siapa pelakunya. Penjaga lari menyelamatkan diri ketika api melalap semua ruang dan alat-alat. Akibatnya secara mendadak, jalur telepon terputus. Limabelas ribu pelanggan telepon sore itu kesulitan sambungan telepon. Telkom bertindak cepat dengan mengalihkan hubungan jaringan langsung via satelit. Tapi, kapasitas saluran yang bisa diaktifkan jauh di bawah kebutuhan. Telkom rugi sekitar Rp 4 miliar. Repeater Gle Cut setahun sebelumnya pernah juga coba dibakar oleh sekelompok orang. Waktu itu transmisi TVRI yang berjarak 250 meter dari lokasi repeater juga dibakar. Upaya membakar repeater cepat diketahui orang kampung, sehingga berhasil digagalkan. Sehari sebelumnya, masalah listrik dikerjai. Tepat pukul 21.05, wilayah pantai timur yang mencakup sebagian Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Tengah, dan sebagian Pidie, mendadak gelap total. Banyak orang berprasangka malam itu menara listrik pasti ditumbangkan lagi. Benar saja. Satu dari tiga menara interkoneksi tumbang total. Menara yang terletak di desa Sarah Teube, Rantau Panjang Bayeun, kabupaten Aceh Timur roboh setelah kakinya digergaji sekelompok orang. Ini kejadian yang kelima kalinya di wilayah yang hampir berdekatan dalam enam bulan terakhir. Dua kejadian lain berhasil digagalkan, karena laporan masyarakat. Sejak 1998, sebagian besar kebutuhan listrik di Aceh dipasok dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Si Gura-Gura di Sumatra Utara. Tumbangnya menara memutuskan arus listrik secara otomatis. "Tidak mungkin kami mengawasi semua tower yang jumlahnya ratusan itu," kata Panglima Operasi Tentara Nasional Indonesia di Aceh Brigadir M. Djali Yusuf. Wilayah antara Langsa dan Idi itu dikenal orang sebagai daerah rawan, karena merupakan salah satu basis GAM Peurelak. Aparat pun menduga kuat GAM melakukan semua aksi tersebut. Menangkis tudingan itu, sehari setelah menara tumbang, juru bicara GAM Peurelak Ishak Dawod buru-buru menelepon beberapa wartawan di Aceh, mengatakan bahwa GAM tak melakukan penumbangan menara listrik kali ini. "Tidak mungkin GAM melakukan itu, karena masyarakat Aceh akan sengsara tanpa listrik," katanya. Ishak Dawod bercerita, dia kini juga kesulitan, karena susah mengisi ulang baterai telepon satelitnya dan juga handy talky-nya. Tapi militer Indonesia bersikeras GAM pelakunya. "Kami sekarang sedang melakukan pengejaran terhadap kelompok si Bo'eng yang melakukan penumbangan tower Pusat Listrik Negara selama ini," kata Djali Yusuf. Si Bo'eng diklaim militer sebagai salah satu pemimpin GAM Peureulak. Ada 11 orang yang dituduh militer sebagai anggota si Bo'eng telah ditangkap dan ditahan polisi. Militer Indonesia kini sudah konsentrasi di tempat-tempat rawan untuk pengamanan aset Telkom dan PLN. "Saya akan kirim pasukan lebih banyak lagi ke Aceh Timur untuk mengatasi hal ini," kata Yusuf. Kepala PLN Lhokseumawe Sulaiman Daud menyebutkan PLN mengalami kerugian besar. Bayangkan saja, satu menara harganya sekitar Rp 300 juta. Selama ini sudah delapan menara dirobohkan. Untuk memperbaikinya, butuh biaya miliaran rupiah. Selain itu, mereka kehilangan penghasilan sekitar Rp 150 juta per hari. Siapa pun pelakunya, tindakan membakar dan merusak aset vital publik ini benar-benar keterlaluan. Tapi siapa yang dapat mencegah kalau mereka berpikir jahat lagi? Tapi untunglah, awal Mei lalu, jaringan listrik di pantai utara Aceh sudah normal lagi. Tentara mendirikan pos pemantauan di sana. Wartawan pun ikut menarik napas lega. *** UANGAN gelap. Di sudut kanan ruang ada sebuah layar besar yang menampilkan gambar-gambar pemberitaan di televisi. Mulai dari rapat redaksi untuk mengumpulkan ide berita, sampai kerja para reporter di lapangan. Mulai dari liputan banjir hingga liputan kerusuhan. Waktu banjir, para reporter melaporkan langsung dari daerah yang kebanjiran, bahkan masuk ke genangan air. Gambar di layar berubah cepat. Kali ini liputan kerusuhan dan demonstrasi, ada gambar reporter televisi dipukuli hingga berdarah, ada juga yang ditodong senjata api. Para peserta, dari kalangan kampus, yang menyaksikan cuplikan tayangan itu kagum, marah, juga benci, silih berganti. Don Bosco Selamun wakil pemimpin redaksi SCTV, membuka diskusi tentang kebijakan pemberitaan SCTV. Selamun bercerita bagaimana berita dibuat. Bagaimana kemasan yang menarik? Bagaimana alurnya? Itu yang berperan memainkan emosi penonton, sedih saat melihat korban atau marah kepada mereka yang bertindak semena-mena. Hari itu 23 April 2002, SCTV menggelar seminar sehari tentang kebijakan dan proses produksi program berita Liputan 6 SCTV di Yogyakarta. Kegiatan serupa juga dilakukan di Jakarta, Bandung, Semarang, Malang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Selama ini, Liputan 6 SCTV menjadi salah satu siaran berita paling menarik dari hasil poling pilihan pemirsa dan memperoleh SCTV Award pada 16 Agustus 2001. Tak pelak acara ini jadi unggulan SCTV. "Acara ini yang paling digemari. Saya sendiri nggak ngerti kenapa," kata Selamun. Maka SCTV pun berusaha menaikan peringkat penonton. Salah satunya dengan mengenalkan proses kerja mereka ke khalayak ramai, tentang apa yang sudah mereka lakukan. Maret tahun lalu mereka juga melakukan kegiatan serupa. Hanya saja beda tema. Waktu itu mereka membuat acara seminar sehari tentang jurnalisme televisi. Peserta yang hadir banyak. Mahasiswa yang menjadi sasaran, antusias. Acaranya terbilang sukses. Sayang, hanya empat kota yang mereka datangi. Lantas muncul keingingan untuk mengadakannya lagi. Ternyata keputusan mereka tak keliru. Meski tema yang disuguhkan berbeda, peserta yang datang tetap banyak. "Untuk ikut acara ini uang pendaftarannya sebesar Rp 25 ribu," kata Alia Swastika, salah seorang panitia. Harga karcis masuk yang tergolong lumayan besar untuk kocek mahasiswa itu nampaknya tak terlalu berpengaruh. Di Yogyakarta mahasiswa yang ingin ikut melebihi target. "Targetnya hanya 300 orang, tapi yang mendaftar lebih dari 600 orang," ujar Ahmad Faisal, ketua panitia acara itu. Faisal dan beberapa temannya dari jurusan komunikasi, Universitas Gadjah Mada diminta jadi panitia di Yogyakarta. Sebenarnya acara itu tidak khusus untuk mahasiswa, tapi SCTV menggelarnya di kampus. Alasannya sebagai upaya untuk mengenalkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang sudah mereka pelajari di kampus. "Ini semacam praktek dari apa yang mereka pelajari di kelas," ujar Selamun. Tema sama di tiap kampus, tapi di tiap-tiap kota tema dan acara yang dikemas berbeda. Di tiap-tiap kota topik yang mau diangkat pun beda, "Di Jakarta kami bahas tentang kegiatan presenternya maka di Yogyakarta yang kami bahas dapur kami," kata Selamun. Untuk membongkar dapur Liputan 6 SCTV, Selamun harus membawa mobil satelit untuk siaran langsung acara dialognya dan bebapa kru yang terlibat. Di acara itu ada pula pemimpin redaksi Liputan 6 SCTV, Karni Ilyas, penyiar Rosiana Silalahi dan Bayu Sutiono. Sebelum acara dialog disiarkan tak lupa dijelaskan tentang proses kerjanya. Sebelum acara siaran ada perbaikan make-up dan tata rambut Silalahi, yang saat itu jadi pewawancara. Kehadiran mereka, dengan penampilan yang memukau, membuat mereka lebih tampak sebagai selebritas ketimbang penyiar televisi. Silalahi dan Bayu dikenal karena wajah mereka sering muncul di layar kaca. Tak heran kalau mereka kemudian dikerubuti untuk dimintai foto bareng. Begitulah, acara itu terlihat sebagai acara jumpa penggemar ketimbang sebuah seminar. Peserta lebih tertarik untuk mengajak Silalahi dan Bayu foto bareng. Panitia lokal dapat bagian juga dari hasil penjualan tiket. Mereka memperoleh 10 persen. Kegiatan di delapan kota ini mengharuskan SCTV mengeluarkan anggaran sebesar Rp 400 juta. "Kalau untuk mencari profit jelas kami nggak dapat," kata Selamun, "Ini bisa dikatakan semacam promosi. Tapi setidaknya ada manfaat timbal-baliknya." *** ANA Rp 500 juta ramai dibicarakan wartawan Nusa Tenggara Barat. Mulanya, harian Lombok Post, memberitakan 27 April lalu bahwa ada majalah dari Jakarta yang disponsori perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara. Isinya, ada isu adanya kontrak Newmont dan "majalah P terbitan Jakarta" Rp 500 juta per tahun. Lombok Post mewawancarai Edy Rosidi dari "komunitas nonpartisan Kelurahan Brang Bara" yang mempersoalkan mengapa hanya wartawan yang diberi majalah itu gratis? Mengapa kok bukan pers lokal yang banyak membantu Newmont? Suhardie, wartawan Lombok Post, yang selama ini memakai kode "die" -sama dengan berita itu- yang kelihatannya bikin berita itu. Suhardie mengatakan "die" belum tentu karyanya. Bagaimana dapat angka Rp 500 juta? "Saya tidak bisa memberitahukan siapa yang menjadi sumber saya. Ini berkaitan dengan piring hidupnya orang yang mungkin akan hilang jika saya menyebutkannya." Berita tanpa verifikasi ala Suhardie ternyata muncul juga di harian Gaung Sumbawa pada 6 Mei dengan judul, "PT NNT Diskreditkan Pers Lokal: Diduga ingin Memecah Belah." Gaung Sumbawa menyebut majalah Jakarta itu tak lain adalah Pantau -majalah yang sedang Anda pegang ini. Kontrak kerja sama itu, menurut Gaung Sumbawa, adalah upaya memecah-belah pers Nusa Tenggara Barat. Menurut logika Gaung Sumbawa, media lokal sering menyoroti kinerja Newmont. Gaung Sumbawa juga memuat bantahan Robert Humberson dari Newmont. Tak benar ada kontrak Rp 500 juta dengan Pantau. Tampaknya kehadiran Pantau berita hangat di Nusa Tenggara Barat. NTB Post, menurunkan sebuah opini dari Antara yang ditulis Edy K.S. Ia mewawancarai Eri Sutrisno, manajer pemasaran Pantau, yang mengatakan Newmont melanggankan sejumlah wartawan di sana majalah Pantau, jumlahnya jauh dari Rp 500 juta. Achmad Hirawan dari bagian distribusi mengatakan langganan ada 30 eksemplar selama setahun. Bila biaya langganan ditambah ongkos kirim maka didapat angka sebesar Rp 7, 2 juta. "Kami sebenarnya ingin membagi gratis majalah ini ke semua jurnalis. Tapi kami tidak mampu menyebarkan secara gratis, karenanya kami menyodorkan penawaran ke perusahan-perusahaan besar (salah satunya Newmont)," kata Sutrisno. Apa tujuan Newmont? Memecah-belah media lokal? Mempengaruhinya agar tak merugikan Newmont? Anton Susanto, manajer hubungan masyarakat Newmont, mengatakan Pantau diperlukan karena informasinya tentang media dan jurnalisme. Pantau dianggapnya berguna buat wartawan. Keputusan diambil setelah Newmont diskusi dengan beberapa wartawan. Langganan dimulai Februari 2002. "Kami juga melakukan kerja sama dengan beberapa radio di Sumbawa Besar, Mataram dan Lombok Timur dengan menggelar acara dialog langsung atau pun pemasangan iklan," kata Susanto. Newmont memang menaruh perhatian pada media karena raksasa pertambangan ini tak sedikit menghadapi kritik dengan organisasi nirlaba. Newmont dituduh merusak lingkungan. Media berperan penting dalam mempengaruhi opini publik. Eri Sutrisno mengatakan, "Bagian redaksi tidak pernah tahu bagaimana bagian bisnis mengembangkan pemasarannya, kerja sama dengan siapa saja dan sebagainya." *** KLAN tentang Perang Teluk berpendar-pendar dari neon sign Gedung Surabaya Post. Ia tak pernah berhenti sepanjang sore sampai malam sehingga menarik perhatian orang yang lewat Jalan Taman Ade Suryani, Surabaya. Tahun l991 memang puncak kejayaan harian sore Surabaya Post. Gempuran pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat terhadap Irak turut menaikkan sirkulasi Surabaya Post hingga 210 ribu eksemplar. "Kami pernah cetak malam hari, lalu pagi harinya cetak lagi, karena ada permintaan dari Jember," kata Tatang Istiawan, mantan pemimpin perusahaan Surabaya Post. Kini semua tinggal kenangan. Sejak 1 Mei lalu, suratkabar ini berhenti terbit. Sore sebelumnya ada pengumuman, "Mulai tanggal 1 Mei 2002, harian kita, Surabaya Post untuk sementara waktu akan berhenti terbit karena ketiadaan bahan baku." Mereka berjanji terbit kembali. Tapi entah kapan janji itu dilaksanakan mengingat rumitnya masalah di sana. Semula karyawan berharap pertikaian bisa diselesaikan 29 April lalu saat dilaksanakan pertemuan antara tiga pemilik saham: Glady (Didy) Indriyani Azis, Indra Jaya Azis, dan Iwan Jaya Azis, disertai tiga wakil karyawan Surabaya Post di Hotel Elmi. Didy, Indra, dan Iwan adalah putri-putra pasangan mendiang Abdul dan Toety Azis, pendiri Surabaya Post pada 1953. Mereka mewarisi saham Surabaya Post masing-masing 33,3 persen. Didy seorang ibu rumahtangga. Ia sarjana psikologi dari Universitas Gadjah Mada dan menyelesaikan program master dari Universitas Indonesia. Didy sempat bekerja di Departemen Tenaga Kerja sebelum memutuskan memberikan waktu penuh pada keluarganya. Didy pernah sebentar jadi pemimpin umum Surabaya Post sebelum menyerahkannya pada Indra. Indra adik Didy. Indra pemimpin umum, pemimpin redaksi, sekaligus penanggung jawab harian Surabaya Post. Baik Didy dan Indra tinggal di Jakarta. Didy tinggal di Jalan Sutan Syahrir, Menteng, dan Indra tinggal di Patra Kuningan, berdekatan dengan rumah mantan presiden B.J. Habibie. Iwan anak bungsu dan ekonom. Ia kini tinggal di Ithaca, negara bagian New York, Amerika Serikat, tempat Iwan jadi profesor di Universitas Cornell. Pertemuan itu dijadwalkan untuk melakukan rapat umum pemegang saham Surabaya Post. Tapi gagal karena hanya dihadiri Didy dan Rusman Mansur (wakil Iwan Jaya Azis). Indra tak hadir. Akhirnya, pertemuan itu hanya dipakai untuk mengobrol antara Didy dengan wakil karyawan. "Sebenarnya undangan rapat umum pemegang saham sudah dikirimkan Bu Didy sejak Sabtu sebelumnya," kata Saiful Irwan, ketua Serikat Pekerja Pers Surabaya Post, yang ikut hadir di sana. Rapat umum pemegang saham dianggap satu-satunya cara penyelesaian kemelut Surabaya Post. Harian yang mempekerjakan 243 karyawan ini mulai goncang sejak Januari lalu saat menghadapi krisis keuangan, sehingga kesulitan bahan baku dan hanya mampu mencicil gaji karyawannya. Krisis bahan baku pertama kali disampaikan oleh Zaenal Arifin, wakil pemimpin redaksi Surabaya Post, awal Februari lalu dengan mengundang Angky F. Siswanto (pemimpin perusahaan), Syahrul Bachtiar (wakil pemimpin umum), redaktur pelaksana (Gatot Susanto dan Son Andreas), dan beberapa manajer. Zaenal Arifin mengatakan umur Surabaya Post hanya sampai hitungan minggu. Tak ada dana untuk membeli kertas, plat, dan tinta. Rapat membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun anggaran cadangan agar Surabaya Post bisa aman sampai empat bulan ke depan. Tim ini menyusun anggaran Rp 4 miliar dan dimintakan kepada direktur utama Indra. "Nggak usah khawatir, nggak ada masalah," jawab Indra kepada Imam Pujiono, pemimpin PT Surabaya Post Printing, seperti ditirukan Zaenal. Zaenal berkesimpulan Indra menolak mengucurkan dana. Dua pekan berikutnya, kertas benar-benar habis. Para wartawan gelisah. Bagi mereka, hidup tanpa suratkabar adalah aib. Melihat kondisi kritis, mereka membentuk Tim Inisiator yang anggotanya 17 orang mewakili lintas bagian termasuk Saiful Irwan dan Sugeng Purwanto (Serikat Pekerja Pers Surabaya Pos), Imung Mulyanto (Koperasi Karyawan Surabaya Post), wartawan Dwi Eko Lokononto dan Nanang Krisdinanto, serta Angky F. Siswanto (pemimpin perusahaan). "Kita sudah tahu gaya kepemimpinan Pak Indra yang hanya mengobral janji," kata Dwi Eko Lokononto. Sejak itu peran wakil pemimpin redaksi Zaenal Arifin dan wakil pemimpin umum Syahrul Bachtiar, mereka orang kedua dalam jajaran redaksi dan bisnis Surabaya Post, diambil alih Tim Inisiator. Tim ini memutuskan efisensi dengan mengurangi halaman Surabaya Post dari 20 jadi 16 halaman. Tim juga menghentikan penerbitan tabloid Kredit, suplemen Bewara untuk edisi Jawa Barat, dan suplemen Layar untuk edisi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tim Inisiator menganggap Kredit, Bewara, dan Layar benalu perusahaan. Kredit didirikan Indra Jaya Azis bersama Tatang Istiawan pada l999, tak lama setelah Toety Azis meninggal dunia. Kredit didirikan dengan bendera PT Indas Media Utama, modal awal sekitar Rp 2 miliar, dan komposisi sahamnya 80 persen Indra dan 20 persen Tatang. Kredit berdiri 1 April 2000, berkantor di Jalan Pahlawan, Surabaya, bekas kantor pemasaran Surabaya Post. Tatang merekrut 22 karyawan, termasuk Noor Ipansyah, seorang mantan redaktur pelaksana Surabaya Post. Sejak terbit, Tatang ingin tabloid itu meniru tabloid Kontan milik Kelompok Kompas Gramedia. Kredit rencananya dikelola terintegrasi dengan Surabaya Post. Percetakan, promosi, jaringan berita, dan distribusi akan didukung Surabaya Post. Dengan cara itu, biaya bisa ditekan. Tapi, langkah Tatang itu dihadang karyawan Surabaya Post. Mereka sering menunda pemasangan iklan. Percetakan juga sering diulur-ulur. Tatang mengeluh pada Indra, tapi tak ada tanggapan. Merasa komitmennya dilanggar, Tatang hanya bertahan empat bulan mengelola Kredit. Ia hengkang ke Pulau Batam dan Riau untuk jadi konsultan media di sana. Indra tetap meneruskan Kredit. Tim Inisiator menganggap manajemen Kredit tak transparan. Indra tak pernah terbuka menjelaskan, apakah Kredit anak perusahaan Surabaya Post atau hanya ingin memberikan kompensasi kepada Tatang. Bagi karyawan, penerbitan Kredit akan jadi masalah kalau terus menggerogoti uang Surabaya Post. Penerbitan Bewara dan Layar sama anehnya dengan Kredit, tanpa disertai studi kelayakan dan pertimbangan matang. Sumber pendanaannya tak jelas. "Yang saya dengar, gaji wartawan Bewara dan Layar dari Indra sendiri," kata Zaenal Arifin. Biaya cetak Kredit, Bewara, dan Layar ditanggung PT Surabaya Post Printing, yang sahamnya juga dimiliki tiga bersaudara Didy, Indra, dan Iwan. Beban inilah yang membuat Surabaya Post makin berat. Saat Surabaya Post dilanda krisis, karyawan seperti menemukan momentum untuk menghentikan pencetakan Kredit, Bewara, juga Layar, meski berdampak 22 karyawan Kredit kehilangan pekerjaan. Menurut Saiful Irwan dari Tim Inisiator, ketika mereka menghentikan Kredit, Bewara, dan Layar, mereka bisa menekan angka kerugian dari Rp 1,2 miliar pada Desember 2001 jadi Rp 725 juta pada Februari dan Rp 516 juta pada Maret 2002. Pengeluaran terbesar Surabaya Post untuk bahan baku sekitar Rp 846 juta pada Januari lalu dan hampir separohnya untuk biaya cetak Kredit, Bewara, dan Layar. Dengan mencetak 7.500 eksemplar Bewara dan Layar setiap hari, Surabaya Post menanggung kerugian Rp 200 juta per bulan. Kapal Surabaya Post sudah lama karam karena terlalu berat muatan. Nah untuk bisa berlayar, sebagian penumpangnya harus diturunkan. Tapi sampai Maret, dana tetap tersendat. Ada kabar, Indra sudah tak mau mengucurkan dana karena Didy dan Iwan melakukan hal serupa. Dalam berbagai kesempatan, Indra mengungkapkan kekesalannya dengan mengatakan kesulitan dana itu merupakan "pendidikan politik" bagi karyawan dan pemilik saham. "Kalimat itu dikatakan berulang-ulang dan saya juga tak tahu apa maksudnya," kata Zaenal Arifin. Situasi kian tak menentu sehingga Serikat Pekerja Pers Surabaya Post melayangkan somasi sampai tiga kali kepada Indra. "Kita ingatkan agar Indra tidak melalaikan tanggung jawabnya," kata Saiful Irwan. Kondisi Surabaya Post saat itu berdarah-darah. Untuk menggaji karyawannya saja, manajemen Surabaya Post menggadaikan dua buah mobil operasional. Tapi Indra tak juga bertindak. Dalam pertemuan 25 April di restoran Nur Pasifik, Surabaya, Indra mengatakan tak ada masalah keuangan di Surabaya Post. Dia seakan-akan hendak mengatakan krisis itu bukan sesuatu yang membahayakan. Tapi bagaimana karyawan percaya? Selain melakukan somasi, Tim Inisiator menemui Didy dan Indra di Jakarta. Dalam pertemuan itu, Didy menyatakan sanggup datang ke Surabaya pada 29 April untuk rapat umum pemegang saham. Tapi Indra keberatan dan minta rapatnya pada 27 April. Mereka juga menghubungi Rusman Mansur, wakil Iwan di Surabaya Post, karena Iwan tinggal di Amerika Serikat. Keberatan Indra terbukti. Rapat umum pemegang saham di Hotel Elmi itu batal karena Indra tak datang. Karena kecewa, pada 30 April, karyawan Surabaya Post bergerak ke gedung parlemen Jawa Timur. Dengan mengusung dua foto Abdul Azis dan Toety Azis, mereka minta Komisi E Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur untuk memanggil Indra ke Surabaya. Mereka juga mendesak Indra bertanggung jawab atas nasib karyawan. Harbiyah Salahudin, ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, mengatakan, "Akan saya panggil semua pemilik sahamnya." Sepekan kemudian, Didy, Indra, dan Rusman Mansur datang ke tempat Harbiyah. Indra datang berpakaian necis, pakai dasi, dan berjas warna coklat. Didy berpenampilan trendi, memakai hem putih dipadu celana dan jas warna hitam, tak lupa kacamata minus tipis. Kerapian busana mereka tak menutupi kesan ada ketegangan antara kakak-beradik ini. Mereka berangkat sendiri-sendiri dari Jakarta. Mereka tak duduk berdampingan dalam satu meja. Didy dan Indra juga tak satu kata dalam menyelesaikan persoalan Surabaya Post. Selama enam jam mereka berdebat soal kapan bisa mengadakan rapat umum pemegang saham. Yang satu kata adalah Didy, Iwan, dan wakil karyawan Surabaya Post. Bahkan, Didy seperti membangun koalisi dengan karyawan, untuk menekan Indra. Mereka sepakat rapat umum pemegang saham dilakukan hari itu juga di Surabaya mumpung mereka semua ada di sana. Kesediaan Iwan itu disampaikan langsung dari luar negeri kepada Didy, Indra, dan Harbiyah lewat telepon seluler milik Didy. "Semakin cepat rapat umum pemegang saham dilaksanakan, bleeding Surabaya Post bisa segera dihentikan," kata Didy. Indra, yang waktu itu didampingi tiga pengacara, menolak pelaksanaan rapat hari itu. Indra mengatakan rapat itu adalah hak dan tanggung jawab direktur utama. "Rapat umum pemegang saham ada prosedurnya dan tidak bisa dipaksakan," kata Indra. Perdebatan akhirnya bisa ditengahi setelah Didy dan Indra berkompromi. Indra siap melaksanakan rapat selambat-lambatnya 20 Mei. Itu pun setelah didesak anggota Komisi E dan karyawan berulang kali. "Pak Indra, marilah dilepaskan baju direktur utamanya dan lihatlah nasib karyawan," kata Saefudin H.S., wartawan Surabaya Post yang juga anggota Tim Inisiator. Ada kesimpulan lain. Dalam pertemuan itu, Didy dan Indra membuat kesepakatan tertulis yang intinya mengatakan Didy akan menghibahkan semua sahamnya kepada Koperasi Karyawan. Iwan sepakat adanya investor sebagai syarat penyerahan saham milik Iwan kepada Indra. Indra tampaknya berniat menguasai saham mayoritas Surabaya Post. Indra beberapa kali mengatakan Iwan akan memberikan sahamnya kepada Indra agar bagian Indra jadi 66,6 persen. Usai pertemuan di dewan, Indra langsung pergi bersama pengacaranya dan tak mampir ke kantor Surabaya Post. Agak sedikit tak enak, sebagai direktur utama, ia tak menengok perusahaannya. Sikap ini berbeda dengan Didy. Ia langsung menuruti keinginan karyawan ketika ia diajak bertandang ke Gedung Surabaya Post. "Sudah dua tahun saya tidak ke sana," kata Didy. Di kantor Surabaya Post yang lengang, Didy langsung diajak menuju ke lantai tiga, ruang redaksi yang saat itu dalam keadaan gelap dan agak panas-karena sebagian pendingin dan listrik dipadamkan. Didy mengobrol lama dengan para karyawan. Didy hanya bisa menyaksikan wajah-wajah karyawan yang sembab. Mereka menangis. Surabaya Post diterbitkan pasangan Abdul dan Toety Azis pada 1 April 1953. aku Bre Redana Ayahnya hilang, namanya diganti, redaktur Kompas ini tetap getol budaya pop. Oleh: LINDA CHRISTANTY OSTER bugil Madonna. Parfum-parfum dari Loris Azzaro. Tempat tidur bambu. Lemari kayu. Sebuah ruang yang sederhana. Dari kamar 3x3 meter persegi itu ia kerap melihat hujan lewat jendela. Ia selalu mendahuluinya dengan ritual kecil, tanpa suara; mematikan lampu, berbaring dalam gelap. Ia senang mendengar jejak hujan pada atap, turun bergemericik di kolam kecil. Sebelum lelap sebotol bir Bintang diteguknya. Jumlah botol yang kosong makin bertambah bila ia sulit memejamkan mata. Sebentar kemudian ia turun ke lantai bawah, membuka kulkas di dapur dan mengambil sebotol bir lagi. Rumah begitu sunyi. Ia menyalakan televisi, lalu duduk di sofa. Keponakannya, Ferri, sudah tidur sejak tadi. Joko, pembantunya, sudah pulas. Petman, anjingnya yang blasteran chow chow dan anjing kampung sudah mendengkur. Pengaruh alkohol mulai terasa. Matanya mengantuk. Adegan televisi mulai mengabur. Ia bangun dengan susah-payah, lalu mendaki anak-anak tangga menuju kamarnya. Dalam lelap ia tak bermimpi apa-apa. Dunia menjadi ringan. Namun, malam ini tak ada hujan. Langit hitam pekat. Jalan aspal di muka rumah sunyi. Udara terasa bersih dan dingin. Ia juga tak minum bir. Seorang perempuan menemaninya di perpustakaan. "Setelah di Kompas saya nggak mau kerja di mana-mana lagi. Saya ingin pensiun, lalu menulis. Saya nggak mau diperbudak," katanya. Bre Redana meluruskan punggungnya di kursi, menghela napas dalam-dalam. Ia menggerai rambutnya yang keriting, panjang, dan beruban, lalu mencopot kacamatanya. "Sekarang ini saya cuma pengrajin tulisan. Semua tulisan saya kerjakan dalam waktu singkat, sesuai permintaan, kayak gitu. Ya, pengrajin tulisan." Ia terkekeh. Ruangan ini dipenuhi musik. Suara penyanyi Cina-yang ia tak hapal namanya-bersenandung dalam irama tenang. Suara itu seperti denting pada dawai kecapi, bening dan tinggi. Hampir tiga tahun ini ia tak punya waktu luang di hari Sabtu, bekerja sampai tengah malam, menyiapkan Kompas edisi Minggu. Ia menyunting tulisan sampai memeriksa tata letak. Ia juga bertanggung jawab terhadap feature di halaman pertama dan profil di halaman 12 suratkabar itu, dari Senin sampai Jumat. Ia redaktur budaya sekaligus kepala desk Kompas Minggu. Di kantor tadi ia menunggu kabar terakhir dari Ambon pascapenangkapan Ja'far Umar Thalib dari Laskar Jihad. Ja'far ditangkap polisi di bandara Surabaya, Jawa Timur. Ia dituduh membakar emosi massa lewat pidatonya, selain dianggap menghina pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Pendukung Ja'far di Ambon protes. Mereka membuat rusuh. Dua orang meninggal, sebelas luka-luka. Berjam-jam Bre menunggu. Tak ada perkembangan baru. Ia lelah sekali, tapi mencoba bertahan sampai pukul 23.00. Ya, sudah, itu kabar terakhir. Berita ini pun menjadi headline. Sering kali menjelang tengah malam terjadi perkembangan drastis di lapangan. Ia tak boleh luput. Urusannya bisa ramai nanti. "Don, mau ke mana?" tanya Soelastri, seorang staf redaksi, ketika melihatnya bersiap meninggalkan ruangan di lantai tiga itu. "Ke Tanamur," serunya, menyebut salah satu diskotek Jakarta, seraya menyambar ransel. Ia hanya bergurau. Bre masuk ke dalam lift. Nissan Terrano hitamnya menunggu di tempat parkir, pasti berembun. Ia ingin segera pulang, bukan ke kafe. Besok ia berangkat ke luar kota dengan penerbangan pukul 09.45. "Untuk mewawancarai calon-calon wartawan di daerah. Ini yang melelahkan saya sebetulnya, melebihi pekerjaan rutin saya. Beban psikologisnya berat. Karena ini menentukan masa depan seseorang. Jangan sampai kita membuat kesalahan pada nasib orang, kayak-kayak gitu." RE Redana baru lulus sarjana muda bahasa Inggris dari Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, pada 1981 saat harian Kompas membuka lowongan wartawan. Ia ke Jakarta untuk melamar. Kereta api ekonomi jurusan Semarang-Jakarta itu berhenti di stasiun Gambir. Seorang pemuda kurus bercelana jins lusuh menggendong ransel terseret dalam arus penumpang turun. Ia melangkah ke luar stasiun, menyeberang ke arah jalan Merdeka Selatan. Ia terpaksa berjalan agak jauh untuk mencapai halte bus. Tak ada uang untuk naik taksi. Kecemasan mampir juga di benaknya, "Keterima nggak, ya di Kompas?" Seorang pemuda berambut gondrong melangkah di jalan yang sama. Mereka berpapasan. Keduanya sama-sama kaget. Mereka saling kenal. Akrab. Ariel pun mengajak Bre menginap bersamanya di Hotel Transaera. Hotel tua, sederhana, punya kamar lumayan besar dengan dua ranjang, dekat stasiun. Bre menerima tawaran itu dengan senang hati. Tentunya, mereka tak lapor penjaga untuk menghindari tambahan biaya hotel. Ariel Heryanto tengah mengikuti tes beasiswa Fulbright untuk kuliah di Amerika Serikat. Semua biaya transportasi dan akomodasi para calon penerima beasiswa itu ditanggung Fulbright. Niat Bre agak aneh di mata Ariel. Ketika itu lembaga swadaya masyarakat sebagai counter argument terhadap pemerintah sedang ngetren dan anak-anak muda yang cerdas serta kritis memilih bergabung di dalamnya. Pemerintah Presiden Soeharto sedang jaya dan sewenang-wenang. Tak suka orang punya pendapat berbeda. Otoriterisme ini harus dilawan bersama. Tapi, Bre punya cita-cita lain. Ia ingin bakat menulisnya berkembang. Suratkabar adalah salah satu wadah. Kata-kata Ariel terbukti. Bre diterima di Kompas. Pertama kali bekerja, ia ditugaskan di desk kebudayaan, lalu dipindahkan ke desk olah raga, terakhir di desk metropolitan, sebelum kembali ke desk kebudayaan lagi. "Hampir seluruh karier saya di Kompas di desk itu. Nggak tahu, kenapa nggak dipindah-pindah." Bre menulis apa saja, dari ketoprak keliling sampai tayub. "Sejak pertama masuk Kompas, saya lebih tertarik pada kebudayaan massa ketimbang adiluhung, seperti teater rakyat, ketoprak, sandiwara keliling. Ini kesenian yang hidup di masyarakat dan saya menulis kesenian lebih untuk menulis masyarakat ketimbang keseniannya sendiri," katanya. Ia segera terseret dalam irama kerja yang cepat dan rutin. Tapi, tujuh tahun kemudian, mata rantai ini terputus. Penyebabnya, situasi politik Indonesia. Pada 1988, terjadi ketegangan dalam pemilihan wakil presiden, antara Sudharmono dan Try Sutrisno. Sudharmono dari Golongan Karya, orang sipil. Try jenderal bintang empat dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, militer _________________