Edisi 040

MASALAH TIMOR TIMUR DALAM PERSPEKTIF ISLAM

 

Masalah Timor Timur kembali menghangat. Diluar dugaan siapapun Pemerintah Indonesia memberikan pilihan yang sangat tegas; otonomi luas atau keluar dari Indonesia. Usulan dan desakan untuk melakukan referendum pun nampaknya ditolak pemerintah. Bagaikan mendapat durian runtuh, tawaran kemerdekaan ini segera disambut baik oleh berbagai pihak yang selama ini menganggap Indonesia sebagai penjajah negeri Timor Timur dan menghendaki kemerdekaan penuh. Sementara pada kutub yang berseberangan, tawaran kemerdekaan ini justru sangat mengkhawatirkan kalangan pro integrasi.

Kebijakan 'spektakuler' pemerintahan Habibie ini tentunya mengundang pertanyaan, kecurigaan plus komentar para politikus dan pengamat masalah Timor Timur. Ada apa sesungguhnya di balik tawaran pemerintah Indonesia?

Hal yang barangkali tidak terbersit dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia yang mayoritas kaum muslimin adalah; apa pandangan Islam terhadap tanah Timor Timur yang telah berintegrasi selama 24 tahun dengan Indonesia sebagai sebuah negeri yang menurut hukum Islam adalah terkategori sebagai tanah u'sriyyah; tanah yang penduduknya masuk Islam? Dan karena bergabungnya tanah Timor Timur dengan Indonesia juga melalui pendudukan tentara kaum muslimin dari Indonesia, maka bagaimana status tanahnya menurut sistem hukum pertanahan Islam? Tulisan ini mencoba menguraikannya agar menjadi persepsi kaum muslimin Indonesia sebagai bagian dari dunia Islam secara Internasional.

Status Negeri dalam Sistem Islam

Dalam hukum pertanahan Islam, negeri Islam dibagi menjadi dua jenis; negeri dengan status tanahnya 'usyriyah dan negeri yang tanahnya berstatus kharajiyah. Negeri yang tanahnya berstatus tanah 'usyriyah adalah Jazirah Arab dan negeri yang penduduknya masuk Islam tanpa datangnya pasukan penakluk dari negara Khilafah seperti Indonesia dan kawasan Asia Tenggara. Sedangkan negeri yang tanahnya berstatus tanah kharajiyah adalah negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslimin dengan masuknya pasukan Khilafah ke negeri tersebut, semisal Irak, Syam, Iran, Mesir dan lain-lain (lihat Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulatil Khilafah hal. 52).

Implikasi hukum dari status tanah negeri-negeri tersebut adalah terhadap status kepemilikan tanah pertanian dan pungutan negara atas tanah tersebut. Pada tanah kharajiyyah, status tanah adalah milik negara atau milik kaum muslimin secara keseluruhan. Namun pemanfaatan tanah dapat dimiliki oleh siapa saja di antara warga negara, baik muslim maupun non muslim (kafir dzimmi) yang memiliki kesempatan dan kemampuan mengelolanya. Akan tetapi, tanah-tanah tersebut dibebankan pembayaran kharaj (semacam pajak tanah) setiap tahun berdasar taksiran ahli pertanian untuk produktivitas lahan tahunan. Pendapatan kharaj ini masuk ke Baitul Mal sebagai penghasilan negara yang akan digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi tanggung jawab negara.

Sedangkan tanah usyriyah dimiliki oleh para pemiliknya dan harus diproduktifkan berdasarkan hukum-hukum pemilikan lahan. Para pemiliknya tidak dikenai beban kewajiban membayar kharaj tahunan. Hanya saja, jika pemiliknya adalah seorang warga negara yang beragama Islam, maka pada setiap panen wajib atasnya menunaikan zakat dari jenis tanaman hinthah, sya'ir, tamar, dan zabib sebanyak 10 % (usyur) jika tidak meng- gunakan penyiraman teknis. Adapun bila pemiliknya adalah seorang Kafir Dzimmi, maka tidak wajib baginya membayar zakat, karena zakat adalah ibadah khusus bagi orang-orang mukmin dan diambil oleh negara (QS. At Taubah 103) untuk didistribusikan kepada pos-pos yang khusus pula (QS. At Taubah 60).

Persoalan menjadi rumit setelah sejumlah negeri Islam dikuasai oleh orang-orang kafir dan terpaksa ditinggalkan oleh kaum muslimin --seperti Andalusia (Spanyol), Macedonia, Balkan,Yugoslavia, Palestina, India, dan lain-lain. Apakah negeri-negeri tersebut statusnya masih milik kaum muslimin ataukah tidak? Jika benar, sejauh mana kewajiban kaum muslimin mengambilnya kembali?

Mengenai hukum sebagian wilayah dunia Islam yang kehilangan kedaulatan Islam di sana, para fuqaha berbeda pendapat. Pertama, Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf menyebutkan bahwa negeri-negeri Islam yang kehilangan kedaulatan itu menjadi hilang sifat keislamannya dan tidak bisa dianggap sebagai bagian dari wilayah dunia Islam. Kedua, menurut Abu Hanifah negeri tersebut berubah statusnya menjadi negeri yang harus diperangi (darul harb) jika memenuhi tiga syarat, yaitu: (1) sistem keamanan di negeri itu dikontrol oleh orang-orang kafir, (2) tampilnya hukum-hukum kufur diberlakukan di sana menggantikan posisi hukum Islam, dan (3) negeri itu telah bersambungan dengan negeri kufur dan susah dijangkau kaum muslimin. Ketiga, pendapat sebagian ulama madzhab Syafi'i bahwa negeri Islam yang telah dikuasai oleh orang-orang kafir tidak hilang sifatnya sebagai negeri Islam.

Imam Al Buijarimi As Syafi'i menyebutkan bahwa "darul Islam" adalah negeri yang ditempati kaum muslimin sekalipun di dalamnya ada orang Kafir Dzimmi (ahlu dzimmah), atau negeri yang dibebaskan dan ditundukkan oleh kaum muslimin, atau dulu pernah dihuni kaum muslimin kemudian dikuasai oleh kaum kafir (lihat Hasyiyah Al Buijarimi Juz 4 hal 220).

Dalam hal ini perlu dijernihkan perbedaan antara negara Islam (Darul Islam) dan negeri Islam (Balad Islami). Negeri Islam adalah negeri yang status tanahnya 'usyriyah maupun kharajiyah, baik pernah berada di dalam wilayah khilafah Islamiyah maupun hanya sekedar pemerintahan Islam belaka, alias sultan Islam yang belum bergabung dengan khilafah, seperti kesultanan Islam di Indonesia pada masa lalu. Sedangkan Negara Islam adalah negara yang sistem keamanan negara itu dijamin secara mandiri oleh kaum muslimin (tanpa campur tangan kekuatan militer dan politik asing) dan di dalamnya diterapkan hukum-hukum Islam.

Dari ketiga pendapat di atas tersimpul sikap yang sama yang harus diambil kaum muslimin yaitu, menjadikannya negeri yang harus dibebaskan dari kekuasaan belenggu kekufuran.

Mengembalikan Kesatuan Negeri-negeri Islam

Setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Istambul pada tahun 1924, khilafah Islamiyah yang tadinya merupakan bentangan luas yang satu, runtuh dan terpecah-pecah menjadi negeri-negeri yang memiliki pemerintahan masing-masing. Kini negeri dan negara Islam yang satu itu terpecah lebih dari 50 negeri dan negara dalam bentuk nation state. Bahkan bangsa Arab yang satu pun terpecah menjadi negara-negara dengan kebangsaan yang lebih kecil lagi; bangsa Saudi, bangsa Kuwait, bangsa Irak, bangsa Mesir, bangsa Yordan, dan sebagainya. Sungguh tragis memang. Tapi kenyataan ini tak boleh dibiarkan oleh kaum muslimin.

Kaum muslimin di seluruh dunia wajib memiliki hanya satu negara khilafah. Mereka juga harus memiliki hanya seorang Khalifah, tidak lebih. Bahkan, haram hukumnya bagi kaum muslimin di seluruh dunia memiliki lebih dari satu negara dan satu Khalifah. Serta wajib hukumnya menjadikan sistem pemerintahan di dalam negara khilafah dengan sistem kesatuan dan mengharamkan sistem federasi.

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Arfajah yang berkata, "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda,  

'Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian --sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang (Khalifah)-- kemudian hendak memecah-belah kesatuan jama'ah kalian, maka bunuhlah dia',"

Imam Muslim juga meriwayatkan hadits dari Abi sa'id Al Khudri dari Rasulullah SAW, yang bersabda: 

"Apabila dibai'at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya."

Sedangkan Abi Hazim meriwayatkan bahwa Abu Hurairah r.a. menyampaikan sebuah hadits dari Nabi SAW. yang bersabda:

'Dahulu bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, segera digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada lagi nabi sesudahku, (Tetapi) nanti akan muncul banyak Khalifah.' Para shahabat bertanya: 'Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?'. Beliau menjawab: 'Tetapilah bai'at yang pertama dan yang pertama itu saja, serta berikanlah kepada mereka hak-haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggung- jawaban mereka tentang apa yang Allah kuasakan kepada mereka'."

Ketiga hadits di atas menekankan urgensi kesatuan negara dan negeri-negeri Islam dan kewajiban kaum muslim untuk tetap memelihara kesatuan tersebut. Perintah Nabi agar membunuh si pemecah belah kaum muslimin yang telah hidup di bawah satu Imam dalam sistem khilafah menjelaskan makna kinayah (kiasan) terhadap larangan membelah dan membagi-bagi negara, serta tidak mentolelir terhadap upaya pembagian negara, termasuk upaya melepaskan diri darinya sekalipun dengan kekuatan senjata.

Perintah Nabi agar membunuh khalifah yang terakhir dibai'at manakala ada dua orang yang dibai'at pada masa kekosongan lantaran meninggalnya khalifah atau berhentinya khalifah setelah gugur syarat pengangkatannya, juga merupakan kinayah terhadap larangan adanya pembagian negara Khilafah, yang juga berarti mengharamkan negara khilafah menjadi banyak negar. Demikian juga perintah Nabi agar menetapi bai'at yang pertama bila banyak khalifah dibai'at sepeninggal Nabi, menegaskan bahwa sistem khilafah yang disebut secara eksplisit sebagai sistem pemerintahan warisan Nabi Muham- mad saw. itu adalah sistem kesatuan yang tak mengenal perpecahan dan pembagian negara.

Mencermati Timor Timur

Timor Timur adalah negeri bekas jajahan Portugis yang datang ke wilayah Hindia untuk menjarah kekuasaan kaum muslimin seperti yang telah dilakukannya di Malaka, dan terakhir mendududuki Timor Timur. Setelah Portugis pergi, Timor Timur resmi bergabung ke dalam Negara Kesatuan RI sejak 7 Juli 1976.

Menurut pendapat madzhab Syafi'i di atas, maka wilayah Timor Timur termasuk Darul Islam atau dalam realitas geopolitik sekarang adalah negeri Islam (bilad Islami). Karenanya dengan integrasi selama 24 tahun, nyatalah bahwa Timor Timur adalah bagian dari negeri Islam Indonesia yang secara universal adalah bagian dari dunia Islam.

Masuknya birokrasi sipil maupun militer Indonesia --disamping menyebarnya penduduk Timor Timur di berbagai pulau di seluruh negeri Islam Indonesia-- selama hampir seperempat abad itu, menurut hukum Islam menjadi fakta bahwa Timor Timur adalah bagian yang tak terpisahkan dan tak boleh dipisahkan dari dunia Islam. Pendapat ini lebih ditegaskan oleh firman Allah SWT :

"Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan begitu pula tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu" (QS. Al Ahzab 27).

Imam At Thabari dalam tafsirnya menyebut bahwa tanah yang belum diinjak itu adalah tanah-tanah yang dibukakan Allah kepada Rasulullah saw. dan kaum muslimin setelah penaklukan tanah Bani Quraizhah yang bersekongkol dengan pasukan Ahzab melawan negara yang dipimpin Rasulullah saw. (lihat Mukhtashar Tafsir At Thabari hal 421).

Sedangkan Ikrimah r.a. yang dinukil oleh Imam Az Zamakhsyari dalam Tafsir al Kasysyaf Juz 3 hal. 518 menyebut bahwa tanah yang belum diinjak itu maksudnya adalah setiap negeri yang ditaklukkan kaum muslimin hingga hari kiyamat.

Dengan demikian tidak ada alasan bagi kaum muslimin Indonesia menyerahkan masalah Timor Timur kepada kebijakan PBB atau pun melakukan referendum terhadap rakyat Timor Timur. Demikian juga tak bisa diterima dalam perspektif Islam melepaskan Timor Timur untuk dikuasai orang-orang kafir.

Khatimah

Suatu negeri yang telah menjadi negeri Islam, tetap hukumnya sebagai negeri Islam selamanya meskipun telah dikuasai oleh orang-orang kafir. Demikian pula wajib hukumnya bagi kaum muslimin untuk mengembalikan negeri tersebut ke pangkuan kekuasaan kaum muslimin.

Timor Timur adalah negeri yang telah bergabung dengan Indonesia pada tahun 1976 setelah lepas dari penjajahan Portugis yang menyengsarakan mereka selama ratusan tahun. Kini setelah 24 tahun pembangunan dilakukan oleh pemerintahan kaum muslimin, tidak dibenarkan melepaskannya kembali serta membiarkannya akan menjadi negeri kufur. Negeri itu harus dipertahankan apapun resikonya. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung" (QS. Ali Imran 200).