Edisi 041

NEGARA ISLAM

BUKAN THEOKRASI

Kekhawatiran akan berdirinya negara agama (baca: Islam) karena ada kemungkinan menangnya partai politik berbasis Islam dalam pemilu Juni mendatang, dinilai banyak pihak sangat tidak beralasan. "Justru munculnya kekhawatiran ini bisa jadi merupakan upaya kelompok tertentu yang sengaja mendiskreditkan rakyat, khususnya umat Islam," tegas Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) AM Fatwa. Fatwa menambahkan, bahwa saat ini tidak ada satu kekuatan politik pun yang bertujuan untuk mendirikan negara agama. Jadi, tak mungkin parpol-parpol Islam membentuk negara agama (Republika, 8/2/1999).

Hal senada diungkapkan Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid yang juga menegaskan kekhawatiran tersebut tak perlu ditanggapi serius. Sebab, menurut Gus Dur, partai-partai politik Islam yang ada pendirian formalnya adalah nasionalis. "Tidak mungkin mereka membentuk negara agama," tandasnya.

Lebih gamblang lagi adalah pernyataan Ketua Umum PAN, Prof. Dr. Amien Rais. Menurut Amien, kendati Indonesia mayoritas umat Islam, namun tidak bakal membentuk negara agama. Sebab, umumnya umat Islam sudah bersepakat sejak kelahiran republik ini, menjadikan Pancasila sebagai filosofi dan dasar negara. Amien menambahkan, secara obyektif, mainstream atau arus utama umat Islam di Indonesia --Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU) dan organisasi Islam besar lainnya-- tidak pernah terpikir ke arah theokrasi, apalagi menginginkan negara agama. Sehingga tidak perlu khawatir bahwa mayoritas umat muslim ini akan membentuk negara agama.

Amien juga menyebut bahwa memang ada sebagian kecil umat Islam yang berpikir tentang negara theokrasi dan negara syari'at. Tapi itu hanya kelompok kecil saja, katanya. Amien pun menambahkan, bila partainya menang dalam pemilu nanti akan mewujudkan cita-cita demokrasi tanpa embel-embel (Republika, idem).

Dalam menyikapi realitas politik yang berkembang di masa reformasi ini, kaum muslimin selayaknya bersikap kritis dan tetap berada di dalam koridor berfikir Islami. Sehingga dapat menilai sebuah ide atau fakta sesuai dengan keadaannya dan sesuai dengan pandangan Islam atas fakta itu. Karenanya, dalam menyikapi masalah theokrasi dan kekhawatiran berdirinya negara theokrasi di Indonesia, perlu dikaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan negara theokrasi, lalu apakah negara Islam, yakni negara khilafah Islamiyyah itu sama dengan dengan negara theokrasi? Bila tidak , apakah negara Islam itu sama dengan negara demokrasi? Tulisan ini akan mencoba mengungkapkannya.

Pengertian Negara Theokrasi

Theokrasi berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan kratos (kekuasaan). Istilah theokrasi biasa digunakan untuk menyebut sistem politik yang didasarkan atas kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh kekuasaan spiritual sekaligus menguasai kekuasaan politik (Dr. Jamil Shaliba, Al Mu'jam al Falsafi, hal 369). Menurut Ensiklopedi Indonesia (Hassan Sadily, dkk.) theokrasi digunakan oleh kerajaan-kerajaan kuno yang mengaku mendapatkan legitimasi kekuasaan dari dewa atau Tuhan, misalnya kekaisaran Jepang.

Disamping legitimasi kekuasaan dari Tuhan yang tak bisa diganggu-gugat, dalam negara theokrasi para pemimpin negara dianggap mendapatkan wewenang untuk membuat hukum dan sekaligus menariknya kembali kapan saja tanpa koreksi dari yang lain. Menurut Ustadz Syibly Al Islamy, negara theokrasi adalah negara di tangan para pemimpin gereja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka batasi di dunia, tentu dibatasi pula di langit. Tak seorang pun manusia boleh berkata kepada para pemimpin gereja itu, "Engkau telah berbuat buruk, engkau telah berbuat salah". Sebab dengan perkataannya itu berarti telah menentang Tuhan yang telah mewakilkan kepadanya (lihat Dr. Yusuf Qardhawy, Fiqih Daulah, hal 81). Bahkan kesucian pemimpin /penguasa (Imam) itu menurut Imam Khomeini, berada pada martabat yang sangat tinggi, yang tak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (lihat Al Imam Al Khomeini, Al Hukumah Al Islamiyah, 52).

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa dalam negara theokrasi, kekuasaan dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan legitimasi dari Tuhan, bukan dari rakyat. Oleh karena itu rakyat tidak berwenang untuk mencabutnya dari kursi kekuasaan. Disamping itu, tatkala penguasa membuat hukum, dia berkedudukan sebagai wakil Tuhan yang berwenang mengatur kehidupan di muka bumi. Dengan demikian berarti kedaulatan (as siyadah/sovereignty) dan kekuasaan (as sulthon/autority) berada di tangan seorang atau beberapa orang pengu- asa negara theokrasi itu sendiri.

Negara Khilafah Berbeda dengan Theokrasi

Sistem Khilafah adalah sistem negara Islam yang diwariskan oleh Rasulullah saw. dengan perangkat sistem yang sudah lengkap yaitu:

  1. Menjadikan syahadat "LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMAD RASULULLAH", sebagai asas kehidupan dalam seluruh aspeknya.

  2. Mengangkat para Pejabat yang membantu beliau dalam menjalankan tugas pemerintahan, seperti :

a. Mu’awin (Wazir)

b. Wali dan Amil (Penguasa Wilayah)

c. Qadli (Hakim)

d. Al Jaisy (Angkatan Bersenjata)

e. Pejabat Administrasi

  1. Melakukan musyawarah dengan kaum muslimin (majelis syura).

Sistem pemerintahan versi Rasulullah saw. itu merupakan sunnah beliau saw. yang harus menjadi pedoman bagi kaum muslimin sepanjang masa. Kaum muslimin pun harus memahami bahwa sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan yang diwariskan Rasulullah saw. itu sama sekali berbeda dari sistem theokrasi. Paling tidak ada empat perbedaan.

Pertama, legitimasi kekuasaan para penguasa dalam sistem theokrasi berasal dari Allah atau Tuhan atau Dewa. Mereka mengaku wakil Allah. Rakyat hanya menerima pengakuan mereka. Dalam sistem khilafah, legitimasi kekuasaan diperoleh oleh seorang khalifah dari umat karena khalifah dipilih oleh umat atau rakyat secara keseluruhan atau mayoritasnya, baik secara langsung atau melalui perwakilan mereka (majelis umat/syuro). Khalifah bukanlah wakil Allah, melainkan wakil umat. Jadi sumber kekuasaan dalam sistem khilafah adalah umat (As Sulthan lil Ummah). Lalu umat menyerahkan pelaksanaan kekuasaan pemerintahan itu kepada seseorang yang mereka bai'at menjadi khalifah untuk mewakili mereka. Rasulullah saw. dan para khulafaur Rasyidin mendapat- kan baiat dari kaum muslimin untuk menjalankan kekuasaan menerapkan hukum-hukum Islam dalam negara Islam. Bahkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah beliau saw. pernah bersabda: "Dulu urusan kemaslahatan Bani Israil dipimpin oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Dan sesungguhnya tak ada nabi sesudahku (yang akan memimpin kalian kaum muslimin). Yang ada adalah para khalifah yang boleh jadi jumlahnya banyak". Para sahabat bertanya: Apa yang anda perintahkan kepada kami? Nabi menjawab: "Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama..." (lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizham Al Hukm, hal 39-41)

Kedua, hukum yang diterapkan dalam sistem theokrasi adalah hukum yang dibuat sendiri oleh para penguasa yang mengklaim telah mendapatkan legitimasi dan wewenang dari Allah untuk membuat hukum sesuka mereka. Sedangkan dalam sistem khilafah, khalifah tidak membuat hukum sendiri, tetapi khalifah dibai'at oleh umat Islam untuk melaksanakan hukum Allah yang terdapat dalam al Qur'an dan Sunnah. Karena dimungkinkan adanya pluralitas hukum Islam pada masalah-masalah cabang yang bersifat zhanniyyah dan pelaksanaannya melibatkan interaksi antar umat, syara' memberikan wewenang kepada khalifah untuk mentabanni salah satu hukum untuk dilaksanakan bersama. Hukum cabang yang ditabanni khalifah itu bisa merupakan ijtihad khalifah itu sendiri --jika dia seorang mujtahid, bisa juga ijtiohad mujtahid yang bertebaran di antara masyarakat kaum muslimin. Ijtihad apapun dalam hukum Islam tentunya bersumber kepada nash syara, Al Qur'an dan As Sunnah, serta dua sumber hukum yang ditunjukkan keduanya, yaitu Ijma shahabat dan Qiyas. Jadi sumber hukum itu adalah syari'at Allah SWT (As Siyadah lis Syar'i). Dengan demikian negara khilafah mampu menjawab tantang zaman dengan jawaban yang bersumber dari Allah SWT yang Maha Tahu. Sedangkan, dalam negara theokrasi, para pemimpin/penguasa membuat hukum seindiri dengan segala kelemahan pengetahuannya sebagai manusia.

Ketiga, dalam negara theokrasi, penguasa sebagai wakil Allah atau Tuhan di muka bumi tidak bisa berbuat salah. Penguasa ma'shum, dijaga oleh oleh Allah dari kesalahan dan dosa. Dalam sistem khilafah, penguasa justru tidak ma'shum. Dalam hadits-hadits tentang ketatan, Rasulullah saw. antara lain menyebutkan adanya penguasa yang baik dan penguasa yang buruk. Hisyam bin Urwah meriwayatkan hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah r.a. yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Setelahku akan ada para penguasa, maka yang baik akan memimpin kalian dengan kebaikannya, sedangkan yang jelek akan memimpin kalian dengan kejelekannya. Maka dengar dan taatilah mereka dalam segala urusan bila sesuai dengan yang haq (kebenaran/Islam). Apabila mereka berbuat baik, maka kebaikan itu hak bagi kalian. Dan apabila mereka berbuat jelek, maka kejelekan itu hak bagi kalian untuk mengingatkan mereka, serta kewajiban mereka untuk melaksanakan kebaikan".

"Mendengarkan dan mentaati penguasa tetap wajib atas seorang muslim dalam hal yang ia sukai atau ia benci, selagi tidak diperintahkan berbuat maksiat. Apabila dia berbuat maksiat, maka dia tidak boleh mendengarkan dan tidak boleh mentaatinya" (HR. Muslim).

Keempat, karena kemaksuman dalam poin ketiga, maka penguasa dalam sistem theokrasi tidak bisa dikritik dan dikoreksi. Sedangkan dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi (muhasabah) adalah hak kaum muslimin sekaligus kewajiban mereka sebagai rakyat yang mewakilkan kekuasaan melaksanakan hukum Allah SWT kepada khalifah. Sebab, khalifah sebagaimana umat adalah manusia yang bisa melakukan kekeliruan dalam melaksanakan hukum Allah SWT. Dan pelanggaran hukum Allah SWT atau kemungkaran yang dilakukan penguasa, bisa menjadi sebuah bencana yang besar. Oleh karena itu, Allah dan rasul-Nya memerintahkan amar ma'ruf nahi mungkar, termasuk kepada para penguasa. Allah SWT berfirman:

"Hendaklah ada di antara kalian, sekelompok umat yang mengajak kepada kebaikan (Islam), serta menyuruh kepada perbuatan ma'ruf (dikenal dan diakui kebaikannya oleh Islam) dan mencegah perbuatan yang munkar (perbuatan buruk yang diingkari oleh Islam keberadaannya)" (QS. Ali Imran 104).

Nabi saw. bersabda:

"Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan kepada yang ma'ruf serta mencegah dari perbuatan yang munkar, atau sampai Allah betul-betul akan akan memberikan siksa untuk kalian dari sisi-Nya, kemudian kalian dengan sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya, niscaya Dia tidak akan mengabulkan doa kalian" (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

"Penghulu para syuhada adalah Hamzah, serta orang yang berdiri di hadapan seorang penguasa yang zhalim, lalu memerintahkannya berbuat makruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar, lalu penguasa itu membunuhnya" (HR. Hakim dari Jabir).

Khilafah Tidak Sama dengan Demokrasi

Jelaslah, bahwa negara Islam atau khilafah bukanlah negara theokrasi. Namun demikian tidak berarti negara khilafah sama dengan negara demokrasi. Memang, dalam sistem khilafah, kekuasaan di tangan umat dan ini mirip dengan sistem demokrasi. Perbedaannya, umat tidak berwenang men- cabut kekuasaan khalifah sebagaimana dalam sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, rakyat melalui wakilnya mengangkat kepala negara, memberikannya kekuasaan dalam masa jabatan tertentu, lalu memberhentikannya. Dalam sistem khilafah, rakyat menyerahkan kekuasaan kepada khalifah tanpa pembatasan masa jabatan. Hal ini tidak bisa ditafsirkan bahwa dalam sistem khilafah seorang kepala negara mutlak berkuasa selama hidupnya sebagaimana halnya sistem monarki maupun theokrasi. Khalifah tetap harus terikat dengan hukum syara' dan syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh hukum syara. Jika khalifah kehilangan syarat-syarat tersebut, bisa jadi ia kehilangan jabatannya dalam tempo seminggu bahkan sehari!

Dalam demokrasi memang ada kritik dan koreksi. Biasanya, hal ini dilakukan oleh pihak oposisi untuk kepentingan politik mereka, semisal untuk memenangkan pemilu berikutnya, bahkan untuk menjatuhkan kekuasaan. Dalam sistem khilafah, kritik dan koreksi dilakukan oleh partai politik maupun perorangan untuk meluruskan jalannya pemerintahan tanpa kepentingan politik, karena partai dalam sistem politik Islam tidak melakukan aktivitas pemerintahan maupun oposisi, melainkan amar ma'ruf nahi mungkar.

Lagipula kritik dan koreksi dalam sistem demokrasi menggunakan standar hukum- hukum kufur yang diadopsi oleh sistem demokrasi. Sedangkan dalam sistem khilafah, standar kritik dan koreksi adalah hukum Allah SWT. Karenanya, dalam sistem demokrasi tidak ada amar makruf nahi munkar. Sebab, standar amar makruf nahi mungkar itu adalah hukum syari'at Islam yang justru tidak diinginkan oleh sistem demokrasi.

Khatimah

Dengan demikian, secara fundamental, justru sistem demokrasi lebih dekat kepada sistem theokrasi ketimbang sistem khilafah. Bila dalam sistem theokrasi penguasa mengaku mendapat legitimasi dari Tuhan untuk berkuasa dan membuat hukum sendiri di dalam menjalankan kekuasaannya, dalam sistem demokrasi rakyatlah (demos) yang mengklaim bahwa mereka telah dibebaskan oleh Tuhan untuk membuat hukum sendiri lalu mengontrak penguasa untuk menjalankan hukum itu.

Sedangkan dalam sistem khilafah, kaum muslimin menyerahkan kekuasaan kepada seorang khalifah agar menjaga keberlangsungan kehidupan kaum muslimin itu sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman:

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka se- sungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata" (QS. Al Ahzab 36).

Jika demikian, umat tidak perlu khawatir terhadap sistem khilafah. Justru mereka harus menghindari sistem theokrasi maupun demokrasi, karena keduanya adalah sistem yang tidak diridloi oleh Allah SWT.

Wallahu ghalibun 'ala amrihi walaakinna aktsaran naasi laa ya'lamuun!