Edisi 042

MULTI PARTAI

DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Salah satu "hasil" reformasi yang terpenting adalah dibukanya kebebasan berpendapat dan berkumpul yang ditandai dengan banyaknya partai (multi partai) dengan berbagai asas dan ciri. Undang-undang kepartaian telah membolehkan berdirinya partai dengan berbagai asas dan ciri dengan tetap harus mengakui satu-satunya asas negara, yakni Pancasila. Partai-partai baru pun bermunculan dan dideklarasikan bahkan tampil dalam berbagai kesempatan untuk mempropagandakan "ide-ide" dan "program-program mereka". Ratusan partai telah berdiri dan berusaha mendaftarkan diri ke Departemen kehakiman untuk mendapatkan pengesahan. Tak ketinggalan media massa sebagai "alat pengarah dan penggiring massa" mengikuti gejala pluralitas partai itu pun dengan masing-masing menekankan dan menonjolkan partai atau tokoh partai yang cenderung didukungnya. Ini kelihatan pada judul-judul berita yang dimuatnya. Kompas, misalnya, lebih mengutamakan pemberitaan tentang keutamaan PDI Perjuangan. Sedangkan Republika, cenderung lebih menonjolkan Amien Rais daripada Megawati. Sekalipun hal itu tidak atau kurang mencerminkan realitas berita yang sesungguhnya. Ini bisa kita lihat dalam pemberitaan Kompas (15/12/99) yang berjudul "PDI Perjuangan di urutan pertama" untuk hasil polling pendapat pemilih partai politik yang hasilnya mayoritas responden tidak tahu (43,2%) atau tidak menjawab (24,5%), sementara PDI hanya mendapatkan 17,1%.

Partai-partai yang begitu banyak dan masing-masing memiliki kepentingan sendiri Namun yang jelas, target partai-partai yang ada, apapun asas ciri dan warna partai itu, termasuk dalam hal ini partai-partai yang mengaku berasaskan Islam atau berbasis umat Islam, jelas adalah mendapatkan suara dan kekuasaan dalam pemilu mendatang untuk nantinya menyusun pemerintahan yang mendapatkan legitimasi. Partai apapun yang menang, sekalipun asas dan cirinya mengarah kekiri-kirian, partai itu akan dianggap layak memerintah. Sekalipun partai itu adalah partai yang menyerukan kepada ide-ide sekularisme dan gaya hidup kebebasan, jika mendapat suara terbanyak, pemerintahan partai itu harus ditaati. Itulah realitas multipartai yang ada dalam sistem demokrasi.

Dalam kerangka inilah pertarungan antar partai atau lebih tepatnya kepentingan politik partai akan semakin seru. Ya mereka akan bertarung untuk menjadi penguasa atau oposisi. Namun semua berada dalam platform politik demokrasi. Dan siapapun akan dikeluar- kan dari pertarungan itu ataupun kemenang- annya bakal dianulir manakala dianggap mengancam platform demokrasi itu. Yang menjadi pertanyaan kita, bagaimana pandangan Islam tentang pluralisme dan multipartai dalam pengertian demokrasi? Bagaimana pula pandangan Islam tentang partai? Adakah multipartai dalam perspektif Islam? Tulisan ini mencoba mengungkapkannya.

Pluralisme dalam timbangan Islam

Ide pluralisme dalam ideologi Kapitalisme lahir dari pandangan mereka terhadap masyarakat. Menurut mereka, masyarakat tersusun dari individu-individu, dan individu-individu ini memiliki beraneka ragam keyakinan, opini, kepentingan, asal-usul, dan kebutuhan.

Maka atas dasar ini, mereka berpandangan bahwa sudah merupakan keharusan, bahwa dalam masyarakat akan terdapat golongan-golongan yang berbeda-beda. Setiap golongan mempunyai tujuan dan target tersendiri, yang harus diwakili oleh partai, gerakan, atau organisasi. Dan setiap partai, gerakan, atau organisasi ini harus diakui eksistensinya dan diberikan kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik. Jadi, pluralisme dalam pandangan kapitalisme merupakan kebalikan dari ide kelompok tunggal atau partai tunggal.

Namun demikian, pluralisme ini sebenarnya adalah kemajemukan yang harus disesuaikan sedemikian rupa dengan format sistem politik kapitalisme. Sehingga oleh karenanya, dalam masyarakat kapitalis tidak ada tempat bagi golongan yang tidak mempercayai ideologi Kapitalisme, atau kelompok yang berjuang untuk menghancurkan sistem Kapitalisme yang ada.

Logika ini, yakni logika kemajemukan partai sesuai aqidah tunggal atau format sistem politik tunggal, sebenarnya diakui pula keberadaannya oleh Islam. Hanya saja, tentu hal ini bukanlah Pluaralisme seperti yang digembar-gemborkan oleh orang-orang Kapitalis.

Islam memang membenarkan kemajemukan berbagai partai dan gerakan, selama mereka tetap mendasarkan diri pada Aqidah Islamiyah. Namun, Islam tidak mentolerir keberadaan partai atau gerakan yang bertujuan merobohkan sistem politik Islam. Jadi, keberadaan partai dan gerakan apapun tetap dibenarkan selama mereka tetap berpedoman dengan pendapat-pendapat yang Islami, yakni pendapat-pendapat yang terpancar dari Aqidah Islamiyah atau yang dibangun di atasnya.

Tetapi sekali lagi, bukan berarti Islam menerima Pluralisme dalam pengertiannya menurut Kapitalisme seperti yang dipropagandakan oleh Amerika dan Barat pada umumnya. Sebab, Pluralisme dalam Kapitalisme lahir dari Aqidah Kapitalisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan.

Berdasarkan Pluralisme sesuai pengertian ideologi Kapitalisme tersebut, maka dibolehkan berdirinya partai atau gerakan yang mengajak kepada Aqidah kufur, semisal pemisahan agama dari kehidupan. Atas dasar Pluralisme ini, dibolehkan juga adanya partai yang berdiri di atas asas yang diharamkan Islam, seperti partai yang berdasarkan Nasioanalisme dan Patriotisme. Begitu pula berdasarkan Pluralisme dibolehkan berdirinya gerakan-gerakan yang mengajak kepada apa yang diharamkan Allah, seperti melakukan menyimpangan seksual dan perzinaan, serta dibenarkan pula adanya kelompok-kelompok yang membela perjudian, minuman keras, aborsi, dan kebebasan wanita. Demikian seterusnya.

Seorang muslim tidak boleh menerima Pluralisme yang diprogandakan AS itu dan tidak boleh pula menerima Pluralisme secara mutlak. Sebab, menerima Pluralisme berarti membenarkan adanya seruan-seruan kepada kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.

Sungguh, Pluralisme adalah ide yang tidak akan pernah diterima oleh seorang mu'min yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sebab dia mengetahui --berdasarkan ilmul yaqin (informasi dari wahyu yang bersifat qath'i)-- bahwa Allah di akhirat nanti akan mengazab semua orang yang melakukan kekufuran dan segala sesuatu yang diharamkan Allah.

Sifat-sifat Partai Islam

Partai Islam dalam sistem negara Islam keberadaannya sangat diperlukan. Ini berkaitan dengan urgensi dasar negara Islam (daulah Islamiyah) yaitu melaksanakan Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh alam. Mengingat aktivitas amar ma'ruf nahi mungkar adalah pagar pengaman bagi penguasa agar tidak melenceng dari hukum-hukum Islam dan hal itu merupakan perkara yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslimin, maka berdirinya partai-partai dalam sistem Islam tidak memer- lukan ijin dari penguasa. Sebab berdirinya partai itu bukan sesuatu yang memerlukan ijin, bahkan adalah suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Allah SWT berfirman:

"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. 3 : 104)

Dalam tafsir Al Manaar, Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa kata "ummat" pada ayat itu bukanlah umat Islam atau kaum muslimin secara umum, tapi justru menunjuk kepada makna "kelompok khusus" (jamaa'atun khasshah) yang memiliki satu ikatan tertentu. Abdul Qadim Zallum dalam kitab Ta'rif menegaskan bahwa kata umat dalam ayat tersebut adalah sebuah partai politik (hizbus siyasi).

Partai politik yang disebut dalam ayat tersebut bukanlah sembarang partai politik, atau bukanlah partai politik yang ada dalam realitas parpol dalam sistem demokrasi. Sebab, partai dalam sistem demokrasi selalu diasosiasikan sebagai kelompok yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan pemerintahan dalam setiap aktivitasnya dan kalau kalah dalam pemilu akan berfungsi sebagai oposisi yang selalu mengawasi jalannya pemerintahan partai yang menang dalam pemilu serta mengintai untuk mencari kesempatan berkuasa kembali. Sedangkan partai politik dalam ayat itu memiliki sifat-sifat yang khas, yaitu: (1) menyeru kepada al khair, yakni Al Islam; (2) menyuruh kepada perbuatan yang ma'ruf, yakni perkara-perkara yang dikenal kebaikannya dan diakui eksis- tensinya oleh Islam; (3) melarang perbuatan yang munkar, yakni perkara-perkara yang dingkari keberadaannya oleh Islam dan dikategorikan haram hukuimnya oleh syari'at Islam.

Oleh karena itu, tidak boleh orang dengan serampangan mengklaim partai yang dibentuknya atau dimasukinya sebagai partai Islam sementara ide-ide yang diembannya bukanlah ide-ide Islam.

Perlu disadari bahwa membentuk partai Islam dengan karakter yang khas seperti itu adalah kewajiban yang diperintahkan Allah kepada kaum muslimin. Keberadaan partai itu dalam ayat di atas didahului dengan lafazh "laamul amr" kata lam perintah yang berarti perintah atas kaum muslimin. Dan banyaknya hadits-hadits Rasulullah saw. tentang urgensi kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar memberikan indikasi yang memastikan bahwa perintah Allah SWT dalam ayat tersebut adalah suatu kewajiban bagi kaum muslimin.

Boleh Lebih dari Satu Partai Islam

Dalam ayat di atas kata "ummah" yang maksudnya adalah partai atau kelompok memiliki bentuk nakirah (tidak dibatasi) dan kata itu tidak dilanjutkan dengan kata wahidah (satu), artinya partai itu tidak dibatasi dengan hanya satu partai. Maka partai Islam yang memiliki sifat dan karakter partai Islam di atas boleh banyak jumlahnya. Jadi boleh ada multipartai dalam kehidupan di dalam sistem negara Islam, yakni sistem khilafah Islamiyyah.

Namun ayat di atas memberi batas bahwa partai-partai dan kelompok gerakan yang boleh ada di dalam sistem Islam itu hanyalah partai kaum muslimin. Tidak diperkenankan orang-orang non muslim membuat partai politik. Kata "minkum" dalam firman Allah tersebut di atas berarti minal muslimin, yakni dari kaum muslimin.

Selain hanya itu, asas partai itu haruslah aqidah islamiyah. Sebab, partai tak mungkin bisa menjalankan tugas kepartaian manakala tidak berasas aqidah Islamiyyah. Bagaimana mungkin anggota partai mengajak manusia kepada Islam kalau ia tidak mengadopsi aqidah Islamiyyah. Amar ma'ruf nahi mungkar tak mungkin dilaksanakan oleh sebuah partai yang tidak berasas Islam. Sebab pengertian dan batasan yang ma'ruf dan yang mungkar itu hanyalah ketetapan hukum yang muncul dari aqidah islamiyah.

Tak mungkin orang akan menyuruh para wanita muslimah untuk memakai jilbab kalau dia tidak memandang bahwa busana jilbab itu adalah busana yang ma'ruf dikenakan wanita muslimah manakala keluar rumah. Sebuah partai tidak mungkin akan memerintahkan penguasa untuk melakasanakan hukum potong tangan bagi pencuri atau hukum qishash/diat bagi pembunuh manakala partai itu tidak mengadopsi bahwa pelakanaaan hukum hudud dan jinayat tersebut adalah sanksi hukum yang ma'ruf dalam Islam dan diyakini sebagai perintah Allah.

Sebaliknya, sebuah partai akan menyuruh pemerintah melakukan lokalisasi pelacuran kalau menganggap bahwa pelacuran yang dilokalisir bukanlah sebuah kemungkaran. Partai tersebut mungkin menganggap bahwa kemungkaran sebuah prostitusi terjadi manakala tak dilokalisir dalam tempat tertentu. Padahal sebenarnya menurut aturan Islam, sebuah perzinaan tetap adalah kemungkaran yang harus dicegah dan dilarang, sekalipun tertutup rapi.

Jadi sebuah partai Islam harus mengadopsi pemikiran dan hukum yang terpancar dari aqidah Islamiyyah semata. Memang sulit dibayangkan orang-orang nonmuslim berkumpul dan bergerak mengamalkan tiga sifat partai Islam yang diterang- kan dalam ayat di atas. Dan tugas-tugas itu memang sulit dipercaya apalagi dilaksanakan oleh orang-orang yang sekalipun identitas formalnya (KTP) Islam, tetapi yang becokol di kepalanya adalah ideologi selain Islam, seperti sekularisme, nasionalisme, patriotisme, sosial- isme, komunisme, dan lain sebagainya.

Khatimah

Kini jelaslah bahwa Islam mengharamkan kaum muslimin turut serta mempropagan- dakan pluralisme dalam sistem kapitalisme yang kini sedang gencar-gencarnya dipropagandakan AS untuk menjadikan kapitalisme sebagai agama dunia, sejak runtuhnya komunisme. Keterlibatan dalam kegiatan propaganda pluralisme tersebut pada hakikatnya adalah sebuah serangan terhadap Islam dan kaum muslimin.

Oleh karena itu, janganlah kaum muslimin terlibat dalam proses yang berarti bunuh diri, yakni membunuh Islam oleh kaum muslimin sendiri. Sebab, Islam dan kaum muslimin yang berpegang kepada Islam dianggap ancaman oleh para pengemban Kapitalisme. Dan negara

Pembentukan partai-partai politik (multi partai) dalam konteks pluralisme kapitalisme adalah langkah bunuh diri yang seharusnya dihindari kaum muslimin.

Pembentukan partai-partai Islam (multi partai) dalam konteks sistem kepartaian Islam adalah langkah awal untuk mengembalikan kejayaan Islam yang pernah memimpin dunia berabad-abad. Partai-partai yang telah terlanjur mengklaim dirinya partai islam atau berbasis Islam hendaknya kembali kepada garis-garis Islam yang ditentukan allah dan Rasul-Nya. Dan kaum muslimin wajib menyatukan dan merapatkan barisan pada partai-partai Islam yang sejati, yang hanya berdasar asas aqidah Islam dan menyeru kepada manusia untuk kembali kepada sistem Islam. Sebab, hanya dengan kembali kepada Islam, kehidupan ini dapat diselamatkan. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan" (QS. 8 : 24).

Wallahu ghalibun 'ala amrihi walaakinna aktsrannaasi laa ya'lamuun!