Edisi 043

HUKUM MENYADAP TELEPON DAN SPIONASE

Salah satu berita yang paling sensasional di masa reformasi ini adalah beredarnya kaset dan tran- skrip penyadapan pembicaraan telepon antara "Presiden Habibie dan Jaksa Agung AM Ghalib" oleh Majalah Panjimas edisi 24 Pebruari 1999 yang sudah beredar sejak seminggu sebelumnya. Koran-koran dan media elektronik pun ramai membicarakannya. Kenapa begitu ramai? Sebab transkrip dan kaset rekaman yang beredar itu, jika benar, menyangkut rahasia besar dua orang petinggi negara. Bahkan bukan sembarang rahasia, tetapi rahasia tingkat tinggi mengenai ketidakseriusan dalam menangani kasus terbesar di negeri ini, yakni kasus mantan Presiden Soeharto!

Oleh karenanya, reaksi terhadap berita penyadapan maupun materinya begitu besar. Jaksa Agung menyangkal adanya pembicaraan telepon itu. Presiden Habibie memerintahkan Pangab agar segera mengusutnya. Presiden sendiri tidak menyangkal adanya kemungkinan suara dalam kaset hasil sadapan itu suaranya. Dalam wawancara TV Ketua PKB Matori Abdul Jalil, menuntut Habibie mundur karena dia anggap mengkhianati kepercayaan rakyat yang diamanatkan melalui MPR. Pemred Panjimas, Sinansari Ecip menyatakan bahwa laporan majalahnya itu tak punya motif politik (Republika, 19/2/99). Namun demikian pihak kepolisian toh menjemput dan memeriksa Wakil Pemimpin Umum Panjimas.

Apa tujuan penyadapan? Jelas untuk menjatuhkan Habibie. Ada juga yang menganalisis justru kasus penyadapan itu sengaja dicuatkan untuk menutupi kasus-kasus lain yang bermunculan sebelumnya. Apapun tujuannya, yang perlu diketahui adalah siapa yang melakukan penyadapan itu? Sebab kasus penyadapan tersebut, sebagaimana dinilai Asisten Wapres Jimly Asshidiqie, adalah keja- hatan spionase kelas tinggi yang disengaja dan terprogram (Republika, 20/2/99).

Bagi kita kaum muslimin, kasus itu memberi pengalaman agar kaum muslimin (baik rakyat maupun penguasa) senantiasa waspada terhadap kemungkinan adanya aktivitas penyadapan dan spionase yang bertujuan mendiskreditkan kaum muslimin. Lebih dari itu, yang perlu diketahui oleh kaum muslimin adalah apa hukum penyadapan? Apakah ia terkategori tindakan mata-mata atau spionase (tajassus)? Apa hukum tajassus terhadap kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa? Bagaimana kalau tajassus itu dilakukan terhadap pihak lawan, yakni negara atau rakyat kafir harbi? Bagaimana pula hukuman bagi pelaku tindakan spionase terhadap rahasia negara kaum muslimin serta pembocorannya?

Tulisan ini mencoba mengungkapkannya dalam perspektif Islam.

Hukum Penyadapan Telepon

Penyadapan telepon merupakan kasus yang "lazim" dalam arena dan pertarungan politik dalam negara-negara demokrasi modern. Dalam kasus di sejumlah negara, penyadapan telepon dilakukan aparat pemerintah terhadap pesawat-pesawat telepon milik politisi dan wartawan terkemuka di negeri-negeri masing-masing. Ini biasanya dilakukan untuk mengontrol aktivitas para politisi dan wartawan. Salah satu kasus yang terjadi baru-baru ini adalah penyadapan telepon oleh pejabat tinggi Peru kepada para agen rahasianya.

Prancis juga sempat digoyang skandal penyadapan telepon dan hingga kini belum tuntas penyelidikannya. Skandal ini meledak setelah ada sejumlah tudingan bahwa anggota pasukan anti teroris di masa pemerintahan Presiden Francois Mitterand menyadap pesawat-pesawat telepon wartawan, politisi-politisi yang berseberangan dengan kubu Mitterand, dan sejumlah tokoh-tokoh penting di Prancis sepanjang tahun 1982 hingga 1986.

Untuk kasus penyadapan pembicaraan tele- pon Habibie ini kiranya tak jauh dari kasus-kasus yang terjadi di berbagai negara. Sekalipun Pangab Wiranto menolak keterlibatan intelejen ABRI dalam kasus tersebut, orang susah menghilangkan anggapan bahwa yang mampu menembus sistem keamanan istana atau kediaman presiden tak bisa tidak kecuali badan intelejen negara, entah Bakin entah BIA. Jika tidak salah satu dari keduanya, tentulah pihak yang lebih kuat dari kedua badan tersebut. Ini tentunya akan melibatkan kedubes asing atau tepatnya negara adikuasa semacam AS dalam kasus penyadapan yang canggih itu.

Oleh karena itu, dari segi fakta penyadapan telepon, yang tidak lain adalah untuk mengetahui isi pembicaraan rahasia antara dua orang yang sedang menelpon, dapat kita kategorikan bahwa penyadapan telepon itu adalah salah satu jenis kegiatan mata atau spionase atau tajassus. Sebab, tajassus itu, menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab As Syakhshiyyah al Islamiyyah Juz 2 hal 211, adalah kegiatan menyelidiki atau mengusut suatu kabar untuk menelitinya lebih lanjut. Selain kegiatan spionase oleh badan intelejen, tajassus bisa terjadi pada wartawan yang melebihi tugasnya sebagai reporter (pengumpul dan penyebar berita), yakni melakukan investigasi untuk mendapatkan laporan-laporan yang sensasional. Termasuk dalam hal ini adalah apa yang dilakukan oleh paparrazi yang mencuri-curi momen-momen rahasia untuk difotonya. Bahkan menurut An Nabhani (idem), kegiatan yang terkategori tajassus itu tidak hanya terbatas pada pengusutan kabar rahasia, pengusutan kabar yang nyata pun (investigasi) bisa merupakan tajassus selama ada unsur mencari-cari, menyelidiki, dan mengusut.

Dalam hukum Islam, kegiatan tajassus memiliki hukum sesuai dengan fakta kegiatannya. Jika aktivitas itu ditujukan kepada kaum muslimin, baik rakyat maupun penguasa, hukumnya haram. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prangsangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian melakukan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain)..." (QS. Al Hujurat 12).

Menurut Imam As Shaabuni dalam tafsirnya Shafwatut Tafaasiir Juz 3 hal 218, kalimat "walaa tajassasuu" berarti janganlah mencari-cari aurat (rahasia) kaum muslimin dan jangan memonitor aib-aib mereka. Ketika ditanya tentang kejadian menetesnya khamer (minuman keras) dari jenggot seorang yang bernama Walid bin Uqbah bin Abi Mu'ith, Ibnu Mas'ud r.a. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan : "Kita dilarang melakukan tajassus, jika sesuatu telah nyata bagi kita, kita akan ambil (atasi)" (lihat Imam Az Zamakhsyari, Tafsir Al Kasysyaf Juz 4 hal 363).

Larangan tajassus terhadap kaum muslimin dalam ayat di atas bersifat umum, berlaku bagi perorangan, kelompok, maupun negara. Baik tajassus itu dilakukan untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Hukum larangan tajassus terhadap kaum muslimin itu berlaku pula terhadap warga negara non muslim (kafir dzimmi). Sebab, seorang kafir yang tunduk kepada negara Islam dan berstatus sebagai warga negara yang dilindungi, terhadapnya belaku seluruh hukum Islam kecuali hukum-hukum yang berkenaan dengan aqidah dan ibadah, dan masalah tajassus ini tidak termasuk dalam hal itu (An Nabhani, idem, hal 212).

Namun jika sasaran tajassus adalah negara lawan atau warga negaranya yang statusnya adalah orang kafir harbi (baik kafir must'min maupun kafir mu'ahid) yang memasuki negeri-negeri Islam atau berada di negeri mereka sendiri, maka tajassus terhadap mereka hukumnya boleh (jaiz) dilakukan oleh kaum muslimin dan wajib bagi negara khilafah. Rasulullah saw. pernah mengutus serombongan pasukan yang dipimpin oleh Abdullah bin Jahsy. Beliau membuat surat buat komandan pasukan itu dengan pesan agar hanya dibaca setelah dua hari perjalanan. Dalam surat itu disebut agar komandan pasukan itu melaksanakan isi perintah dalam surat itu dan tidak memaksakan --berilah pilihan-- kepada anggota pasukan guna mengikuti pelaksanaan tugas dari yang diperintahkan dalam surat itu. Isi surat perintah Rasulullah saw. itu adalah: "Jika anda melihat suratku ini, maka berjalanlah terus hingga sampai ke kebun korma antara Makkah dan Thaif, dari situ intailah orang-orang Quraisy dan sampaikan- lah kepada kai informasi tentang mereka".

Dari riwayat hadits itu dapat kita ketahui hukum tajassus terhadap orang-orang kafir harbi musuh kaum muslimin (baik secara de facto maupun de jure) adalah wajib bagi negara khilafah dan boleh (jaiz) mubah bagi kaum muslimin. Mengingat kegiatan tajassus merupakan perkara yang harus dilakukan oleh tentara kaum muslimin dalam rangka jihad fi sabilillah menghadapi tentara musuh, dan tidak sempurna struktur angkatan bersenjata kaum muslimin tanpa adanya badan pelaksana kegiatan tajassus (intelejen maupun kontra intelejen), maka pembentukan badan intelejen untuk angkatan bersenjata hukumnya wajib atas negara khilafah. Ini berdasarkan kaidah syara: "Tidak sempurna suatu kewajiban tanpa adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib".

Dengan demikian jika ada yang bertanya, apakah haram hukumnya adanya badan intelejen dan aktivitas seorang intel di negeri-negeri kaum muslimin? Dan haruskah badan-badan tersebut dibubarkan? Maka dilihat dari sasaran kegiatan tajassus yang dilakukannya. Jika sasarannya adalah kaum muslimin, maka haram. Apapun alasannya. Bahkan jika dikhawatirkan rakyat (atau aktivis) melakukan perbuatan makar. Penanganan terhadap mereka cukup dengan polisi yang menjaga ketertiban umum dan mengambil tindakan untuk aktivitas yang nyata melanggar hukum. Namun jika sasarannya adalah pihak asing yakni warga maupun staf kedubes negara adikuasa yang ingin menguasai kaum muslimin, maka hukumnya adalah wajib atas negara dan petugas intelejen negara. Jadi dalam hal ini, bukan badan intelejen itu dibubarkan, tetapi sasaran aktivitasnya dibatasi pada yang diwajibkan dan harus ditinggalkan aktivitas yang diharamkan.

Hukum Spionase dan Membocorkan Rahasia Negara Islam

Kewajiban melakukan tajassus terhadap orang-orang kafir yang memusuhi kaum muslimin (kafir harbi) adalah berkaitan dengan aktivitas tajassus yang bisa jadi mereka lakukan di negeri-negeri kaum muslimin. Jika Negara kaum muslimin berhasil mengungkap sebuah konspirasi yang dilakukan pihak musuh (daulah muharibah), maka bisa jadi terungkap adanya kegiatan mata-mata yang dilakukan oleh warga negara asing (kafir musta'min atau kafir mu'ahid) atau warga negara khilafah (kafir dzimmi maupun kaum muslimin). Apa hukuman bagi orang-orang yang melakukan spionase terhadap negara Islam dan melakukan kegiatan membocorkan rahasia negara?

Abdurrahman Al Maliki dalam kitab Nizham Al 'Uquubaat hal 198 menggolongkan sanksi aktivitas tajassus alias spionase yang membahayakan negara khilafah Islamiyyah ke dalam golongan ta'ziir. Apabila aktivitas spionase di negeri-negeri Islam itu dilakukan oleh orang asing, maka sanksi hukumnya adalah hukuman mati. Jika dilakukan oleh seorang kafir dzimmi (warga negara Islam non muslim) untuk kepentingan pihak asing, maka ia akan dikenakan hukuman penjara antara 5-25 tahun, dan boleh pula hakim menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Jika seorang muslim melakukannya untuk kepentingan pihak asing, maka akan dijatuhi hukuman antara 5-25 tahun.

Dalam sistem negara Islam, tak ada kata ampun bagi aktivitas spionase yang dilakukan oleh orang kafir harbi terhadap negara Khilafah Islamiyyah. Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadits dari Salamah bin Al Akwa' yang berkata: "Seorang mata-mata kaum musyrikin dalam sebuah perjalanan mendatangi Nabi saw. dan dia berbincang-bincang dengan para sahabat Nabi saw. lalu pergi. Maka Nabi saw. bersabda: "Carilah dia dan bunuhlah". Lalu aku lebih dulu mendapatkannya daripada yang lain dan aku membunuh mata-mata itu". Dalam riwayat Abu Nau'aim Nabi bersabda: "Dapatkan (tangkap) dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang mata-mata" Jika kegiatan spionase itu dilakukan oleh seorang warga negara non muslim (kafir dzimmi), maka dilihat sejarah masuknya dia sebagai warga negara. Jika disyaratkan bahwa dia tidak akan melakukan tajassus dan akan dibunuh kalau melakukannya, maka ia akan diperlakukan sesuai dengan persyaratan yang dibuat. Jika tidak ada persyaratan yang ditandatangani, maka khalifah atau hakim yang mewakilinya boleh menjatuhkan hukuman mati boleh juga tidak. Dalilnya adalah tidak segeranya Rasulullah saw. memerintahkan membunuh seorang yang dikenal sebagai kafir dzimmi dan mata-mata Abu Sufyan yang bernama, Furat bin Hayyan. Dan Furat memang kemudian tidak jadi dijatuhi hukuman mati karena mengaku muslim. Tidak seperti kasus dalam hadits Salamah bin Al Akwa di atas (lihat An Nabhani, idem , hal 215).

Jika pelaku sionase dan pembocor rahasia negara Islam adalah seorang muslim yang bekerja untuk musuh, maka ia akan dijatuhi hukuman tapi bukan hukuman mati. Dalilnya adalah dibatalkannya hukuman mati terhadap Furat bin Hayyan di atas lantaran pengakuannya bahwa dia seorang muslim. Juga Imam Bukhari meriwayatkan suatu hadits dari Ali bin Abi Thalib r.a. yang berkata: Rasulullah saw. telah mengutusku bersama Az Zubair dan Miqdad bin Al Aswad. Beliau bersabda: Berangkatlah kalian hingga sampai di Raudlah Khakh. Sebab disana ada seorang perempuan yang membawa sebuah surat. Ambilah surat itu darinya". Kami berangkat hingga sampai pada tempat yang disebut Rasulullah saw. dan mendapatkan wanita itu. Kami berkata: Keluarkan surat itu! Wanita itu mengelak dengan berkata saya tak membawa surat. Kami berkata: Anda keluarkan surat itu atau kami lucuti pakaian anda. Maka wanita itu mengeluarkannya dari gelungan rambutnya. Lalu surat itu kami bawa kepada Rasulullah saw. Ternyata surat itu dari Hathib bin Abi Balta'ah buat orang-orang Makkah. Dia mengabarkan (membocorkan) sebagian perintah Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. menanyai Hathib. Hathib yang juga pejuang perang Badar dengan gugup membela diri menjelaskan motivasinya bahwa dia melakukan hal itu bukanlah karena kekufuran dan tindakan murtad, melainkan ingin melindungi keluarganya yang ada di kota Mekkah. Umar yang meminta izin untuk memenggal orang yang melakukan tindakan mata-mata itu dicegah oleh Rasulullah saw. Ini menunjukkan bahwa seorang muslim yang melakukan aktivitas mata-mata itu tidak dijatuhi hukuman mati, melainkan hukum ta'zir (pendidikan) semisal penjara selama 5 sampai 25 tahun.

Khatimah

Kini jelaslah sudah bahwa kegiatan memata-matai kaum muslimin adalah haram. Jelas pula bagi kita bahwa aktivitas mata-mata oleh musuh kepada kaum muslimin dalam rangka menjatuhkan kaum muslimin dan negara mereka adalah suatu hal yang lazim dilakukan oleh musuh-musuh mereka. Baik kaum muslimin dalam keadaan terikat erat dengan ide dan hukum-hukum Islam maupun kaum muslimin dalam keadaan jauh dari hukum-hukum Islam seperti sekarang.

Tidak bisa kaum muslimin menghindari bahya yang senantiasa dirancang dan dilancarkan oleh musuh-musuhnya kecuali kaum muslimin menyadari dan memahami ide dan hukum-hukum Islam serta menjadikannya sebagai pemikiran-pemikiran politik (afkar siyasiyah). Oleh karena itu, kini saatnya kaum muslimin (baik rakyat, penguasa, maupun cendekiawan dan ulama) kembali kepada Islam yang akan memberikan vitalitas dalam kehidupan kita. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan" (QS. 8 : 24).

Wallahu ghalibun 'ala amrihi walaakinna aktsraannaasi laa ya'lamuun!