Edisi 047
'IDUL ADHA BERBEDA ADALAH BID'AH MUNKAROHBeda lagi, beda lagi, barangkali itu gambaran tepat mewakili pelaksanaan Idul Fithri dan Idul Adha di Indonesia dengan negeri-negeri muslim lainnya. Bukan hanya Idul Fithri 1419H kemarin, tetapi juga Idul Adha tahun 1419 H pun tampaknya berbeda juga dengan kebanyakan negeri-negeri muslim lainnya. Dewan Ulama Arab Saudi memutuskan bahwa pelaksanaan wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Jumat yang bertepatan dengan tanggal 26 Maret 1999 (Kompas,21/03/99 dan Republika 22/03/99). Artinya, Idul Adha 10 Dzulhijjah 1419H akan bertepatan dengan hari Sabtu tanggal 27 Maret 1999. Padahal di Indonesia --entah karena ingin tampil beda atau kalendernya sudah dicap tinta merah-- terlanjur diketahui bahwa Idul Adha jatuh pada hari Ahad tanggal 28 Maret 1999.
Masalahnya menjadi tidak sederhana, sebab pelaksanaan Idul Adha termasuk ibadah ritual yang mengacu pada hukum-hukum Islam yang amat tegas. Jadi bisa anda bayangkan, kalau ada kaum muslimin melaksanakan puasa sunnah hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah, sementara ia mengira Idul Adha jatuh pada hari Ahad (28/03/99). Padahal berpuasa di hari raya itu jelas-jelas diharamkan.
Lalu bagaimana sesungguhnya penetapan Idul Adha menurut syariat Islam dan bagaimana dengan kaum muslimin yang berbeda hari Id-nya, serta apa yang harus dilakukan oleh ummat ini menghadapi perbedaan hari pelaksanaan Idul Adha ?
HARI RAYA KURBAN WAJIB SAMA Sejak Islam muncul di dunia, kaum muslimin senantiasa merayakan Idul Adha pada hari yang sama, tak ada seorangpun yang merayakannya pada hari yang berbeda, padahal mereka berbeda ketika menetapkan Hari Raya Idul Fitri. Hal ini diriwayatkan secara mutawatir amali (berita mutawatir berkaitan dengan perbuatan praktis) sejak masa kenabi-an (nubuwwah) dan berlanjut pada masa Khulafaur Rasyidin, Umayyah, Abbasiyah, Utsmaniyah sampai saat ini. Tidak ada perselisihan diantara para ulama meskipun berbeda madzhabnya, yakni tidak berbeda antara madzhab Syafii, Hanafi, Hanbali dan Maliki.Meskipun perkara tersebut masuk dalam masalah yang bersifat malumun min addin bi adh-dharurrah (perkara-perkara agama yang sudah diketahui secara umum), anehnya negara Indonesia --bersandar pada fatwa sebagian orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ahli fiqh (al mutafaihiquun)-- menyatakan boleh berbeda dalam penetapan hari Idul Adha. Dengan demikian Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia yang tidak mengikuti negeri-negeri Hijaz dalam Idul Adha, bahkan Indonesia memiliki hari Idul Adha yang berbeda dari seluruh negara-negara yang ada di dunia Islam. Sehingga di Indonesia --jika pemerintah tidak mau mengoreksi apa yang tercantum di kalender-- Idul Adhanya diselenggarakan pada awal hari Tasyriq, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah bukan pada hari kurban yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Adapun kewajiban satunya hari raya bagi kaum muslimin pada hari yang sama ditunjukkan oleh nash-nash syara yang jumlahnya banyak dan diantaranya adalah:
1. Hadits dari Aisyah ra yang berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda:
"(Idul) Fitri adalah hari raya saat umat manusia berbuka, dan (Idul) Adha adalah saat umat manusia menyembelih (kurbannya)". (H.R. Tirmidzi).
Imam Tirmidzi berkata bahwa sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini sebagai berikut: Makna hadits ini adalah melaksanakan shaum dan berbuka (Idul Fitri) bersama-sama dengan seluruh manusia (lihat Sunan at Tirmidzi, hadits no.97)
Dalam kitab "Umdatu Al-Qari karangan Al Aini dinyatakan: Masyarakat (senantiasa) mengikuti Imam (Khalifah) ketika ia berpuasa, maka merekapun berpuasa, dan jika ia berbuka, maka mereka pun berbuka. (lihat Umdatu al Qari, jilid 10, hal 273)
Hadits di atas mewajibkan puasa dan berbuka serta berhari raya bersama-sama, yaitu bersama-sama seluruh kaum muslimin. Baik mereka berada dalam satu negara sebagaimana yang terjadi pada masa lalu yakni saat ada negara Khilafah maupun keadaan kaum muslimin tercerai-berai dan terkotak-kotak dalam berbagai negara dan bangsa sebagaimana kondisi saat ini sejak runtuhnya Daulah Khilafah Islamiyah. Oleh karena itu seorang muslim tidak boleh berpuasa sendirian, ia harus berpuasa dan berbuka serta berhari raya bersama-sama kaum muslimin atas dasar perintah Khalifah atau Imam.
Dalam masalah tersebut Ummul Muk-minin Aisyah r.a. berkata:
"Bahwa hari Arafah itu adalah suatu hari yang telah ditetapkan oleh Imam dan hari berkurban itu adalah saat Imam menyembelih kurban" (H.R. Thabrani dalam kitab Al-Awsath dengan sanad hasan).
Ini berarti kaum muslimin wajib menyatukan awal bulan Ramadhan dan Syawal, demikian juga hari raya Idul Adha pada hari yang sama bagi seluruh kaum muslimin di dunia berdasarkan perintah Imam atau Khalifah.
2. Hadits dari Husain bin Al Harits Al Jadaly ra. yang menyatakan:
"Bahwa Amir (gubernur di masa Rasul) Makkah berpidato dan menyatakan bahwa: Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan ruyah. Jika kita tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya bulan) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang itu". (H.R. Abu Dawud).
Hadits ini menjelaskan tentang penetapan hari Arafah dan hari-hari ibadah haji seluruhnya --pada masa adanya Daulah Islam-- hanya dilakukan oleh gubernur Makkah. Hal tersebut berdasarkan perintah Nabi saw kepadanya yaitu agar memulai manasik haji berdasarkan ruyah.
Rasulullah saw tidak pernah menyerah- kan wewenang penetapan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhoh, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah dan sebagainya berdasarkan ruyah penduduk Madinah atau penduduk Nejed, apalagi pendapat kaum muslimin di Indonesia. Beliau hanya mendasarkan kepada ruyah penduduk Makkah dan sekitarnya.
Lalu bagaimana jika saat ini tidak ada Daulah Khilafah Islamiyah? Maka hal tersebut harus dilakukan oleh siapa saja dari kalangan kaum muslimin yang saat ini memerintah dan menguasai negeri-negeri Hijaz, meskipun ke-kuasaannya itu tidak sesuai dengan syariat Islam. Dalam kondisi ini seluruh kaum muslimin di dunia wajib untuk berhari raya kurban pada saat yang sama dengan jamaah haji yang menyembelih hewan kurbannya pada hari ke-10 bulan Dzulhijjah, bukan pada awal hari Tasyriq (11 Dzulhijjah).
3. Hadits Abu Hurairah ra yang menyatakan bahwa:
Sesungguhnya Rasulullah saw melarang berpuasa pada hari Arafah di Padang Arafah (bagi jamaah yang sedang berhaji)". (H.R. Abu Dawud, An-Nasai, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya).
Imam Syafii berpendapat bahwa disunahkan berpuasa pada hari Arafah bagi selain orang yang berhaji. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat jika seseorang mampu untuk berpuasa maka puasalah sedangkan jika ia ingin berbuka maka hari itu memang suatu hari yang memerlukan kekuatan di dalamnya.
Disyariatkan bagi siapa saja yang tidak sedang berhaji untuk puasa pada hari Arafah, dimana puasa pada hari itu akan menghapus- kan dosa-dosa setahun lalu dan setahun yang akan datang-- dan ini sekaligus menjadi dalil yang jelas dan gamblang tentang wajibnya kesatuan Idul Adha (wajib ain) pada hari yang sama bagi seluruh kaum muslimin. Sebab jika disyariatkan bagi orang yang tidak sedang berhaji untuk berpuasa pada hari Arafah atau hari ke-9 bulan Dzulhijjah, maka berarti hari Arafah itu satu dan tidak berbilang serta tidak boleh berbilang. Hari Arafah tiada lain adalah hari saat jamaah haji wukuf di Padang Arafah.
Jadi, bagaimana mungkin kaum muslimin di Indonesia berpuasa Arafah pada saat hari kurban, yaitu hari raya Idhul Adha? Dan bagaimana mungkin mereka Shalat Ied bukan pada waktunya serta merayakan Idul Adha di awal hari Tasyriq?. Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah bidah munkaroh. Seorang muslim yang takut kepada Allah, dan bertaqwa kepada-Nya serta takut dengan siksa-Nya tidak mungkin akan membiarkan begitu saja hal tersebut dilakukan.
4. Hadits dari Abu Hurairah ra. yang me-nyatakan:
"Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang berpuasa pada dua hari yaitu hari (Idul) Fitri, dan hari Idul Adha". (H.R. Bukhari dan Muslim).
"Hari-hari (di) Mina adalah hari-harinya (untuk) makan dan minum serta mengingat Allah."(HR. Muslim)
Ulama madzhab Maliki membatasi keharaman puasa di hari-hari Tasyriq yaitu dua hari setelah Idul Adha, sedangkan puasa pada hari yang keempat (tiga hari setelah Idul Adha) hukumnya makruh. Jumhur ulama berpendapat haram puasa pada tiga hari setelah Idul Adha. Namun demikian, jumhur ulama (selain ulama madzhab Syafii) mengecualikan keharaman puasa tersebut bagi orang yang berhaji Tamatu dan Qiran berdasarkan ucapan Umar dan Aisyah yang menyatakan:
"Tidak ada keringanan (rukhsah) untuk berpuasa pada hari-hari Tasyriq kecuali bagi siapa saja yang tidak mendapati hadya (kurban)". (H.R. Bukhari).
Dengan demikian, karena hukum syara telah mengharamkan puasa pada dua hari raya yaitu Idul Adha dan Idul fitri, serta keberadaan hilal (bulan) telah Allah jadikan sebagai sarana untuk penetapan waktu bagi manusia termasuk untuk ibadah haji, mengetahui dua hari raya dan awal setiap bulan; maka ini berarti perkara-perkara tersebut tidak mungkin berbeda-beda dan jelas tidak boleh berbeda-beda. Sehingga hari raya adalah satu bagi seluruh kaum muslimin di dunia dan kenyataan ini sekaligus menjadi salah satu manifestasi dari kesatuan umat Islam.
KHATIMAH Penetapan Idul Adha ditentukan berdasarkan pelaksanaan wuquf yang diperoleh melalui ruyah, dan diputuskan oleh Gubernur Makkah. Oleh karena itu, jika penetapan wuquf (9 Dzulhijjah 1419 H bersamaan dengan 26/03/99) maka berarti hari raya kurban (Idul Adlha) jatuh pada 10 Dzulhijjah 1419 H (bersamaan dengan tgl 27/03/99), yaitu hari Sabtu. Artinya, Indonesia tidak boleh memisahkan diri dalam merayakan hari raya Islamnya dari seluruh negeri kaum muslimin yang lain. Demikian juga Indonesia tidak boleh keluar dari kesepakatan seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia Islam, karena seluruh negara tersebut menganggap hari ke-10 Dzulhijjah berdasarkan ruyah negeri Hijaz sebagai hari raya mereka, dimana tidak seorangpun dari mereka yang menyalahinya kecuali Indonesia. Dengan kata lain, meskipun mereka berbeda dalam melaksanakan Idul Fitri berdasarkan satu ruyah , namun mereka sepakat melaksanakan Idul Adha berdasarkan satu ruyah.Maka, mengapa Indonesia saja satu-satunya negara yang keluar dari kesepakatan ini dan melakukan perbuatan memecah belah kesatuan kaum muslimin? Apakah Indonesia hendak menjadi negara pertama yang membuat kebiasaan yang buruk (sunnatan sayyiatan) dalam Islam, sehingga beban dosa akibat perbuatan itu harus ditanggung oleh para ulamanya, termasuk dosa semua orang yang ikut melaksanakannya hingga hari Kiamat ?
Kami yakin bahwa perbedaan dalam berhari raya disebabkan karena perbedaan pemerintahan dan kekuasaan serta terkotak-kotaknya kaum muslimin dalam puluhan negara kecil yang lemah dan didominasi oleh para penguasa mereka yang benci terhadap pelaksanaan sistem hukum Islam. Kami pun yakin bahwa masalah penyatuan Idul Adha ini sangat tergantung kepada kesatuan pemerintahan dan kekuasaan serta kesatuan negeri-negeri Islam. Hal ini tidak akan terjadi kecuali kaum muslimin berada dalam naungan negara Khilafah Islamiyah.
Oleh karena itu, bangkitlah wahai kaum muslimin untuk menegakkan Khilafah Islamiyah dan mengembalikan pemerintahan Islam yang baru di dunia. Bekerjalah bersama-sama dengan orang-orang ikhlas di antara kalian untuk mengangkat seorang Khalifah bagi seluruh kaum muslimin. Dialah yang akan memerintah kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Maka, sudahkah kalian melakukannya?.
TEMPAT PELAKSANAAN
SHALAT 'IDUL ADHA 1419 H
SABTU, 27 MARET 1999
JAKARTA
Masjid Nurul Islam,
Jalan Pramuka Raya (Depan Hotel Sentral) Jak-Tim
Masjid At-Ta'lim,
Kampus Institut Ilmu Pemerintahan (IIP)
Depdagri, Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan
Masjid Al Muhajirin
Slipi Jaya Jakarta Barat
Lapangan Parkir
Jl. Lapangan Tembak No. 1 Cibubur Jakarta Timur
(100 m Sebelah Timur Kel. Cibubur)
BOGOR
Lapangan Samping GOR Padjadjaran
Jl. Ahmad Yani, Bogor
Masjid At-Taqwa,
Empang Pakojan, Bogor Selatan
Masjid Al-Hidayah,
Perumahan Kedung Badak Baru, Jalan Baru, Bogor
Lapangan Komplek Perumahan
Taman Darmaga Hijau, Jl. Raya Darmaga
Sawah Baru Darmaga (100 m dari Dolog)Keluarga Besar Buletin As Salam
Mengucapkan:
Selamat Menunaikan Sholat Idul Adha 1419 H
dan
Penyembelihan Hewan Qurban
Semoga amal ibadah kita diridhoi Allah SWT, dan semakin meningkatkan semangat berkorban kita demi tegaknya syi'ar Islam di muka bumi ini.
Amin.