Edisi 048 A

MELURUSKAN KONTROVERSI

PENETAPAN HARI IEDUL ADHA 1419H

Berbeda hari dalam merayakan hari raya Iedul Adha 1419H kemarin bagaimanapun juga tidak mengenakkan semua pihak. Hal itu kelihatannya sudah diantisipasi oleh pemerintah dan berbagai ormas Islam di Indonesia dengan kesepakatan mereka untuk menetapkan hari Iedul Adha 1419H pada hari Ahad, 28 Maret 1999. Depag, MUI, dan ormas-ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyyah, dan Persis tetap teguh dengan keputusan itu sekalipun ada upaya-upaya sekelompok kaum muslimin yang berusaha mendiskusikan dan mengoreksi penetapan Depag itu lantaran keputusan Depag itu berbeda dari apa yang terjadi di Makkah Al Mukarramah sebagai tempat manasik haji, yakni Wuquf pada hari Jum’at, 9 Dzulhijjah 1419H yang bertepatan dengan 26 Maret 1999M dan Yaum Nahar atau Iedul Adha pada hari Sabtu, 10 Dzul Hijjah 1419H yang bertepatan dengan 27 Maret 1999M.

Kejanggalan keputusan Depag itu terasa manakala sebuah stasiun televisi swasta menayangkan siaran langsung shalat Iedul Adha dari Masjidil Haram pada hari Sabtu 27 Maret 1999. Terlihat sekali jawaban-jawaban dari narasumber televisi atas pertanyaan-pertanyaan langsung pemirsa (on air), kurang memperhatikan standar jawaban syar’i berkenaan dengan masalah seputar manasik haji dan amalan-amalan ibadah kaum muslimin yang berkaitan dengan hal itu. Sampai-sampai ada pernyataan: Mungkin saja hari Arafah di Indonesia lebih dulu daripada hari Arafah di Makkah/Padang Arafah!!!

Sungguh di era globalisasi ini, perbedaan hari di dalam menentukan satu tanggal (yang sekaligus juga berarti menetapkan dua tanggal untuk satu hari) menjadi kejanggalan yang terasakan. Serorang aktivis Persis (ormas yang selalu menggunakan hisab) menuding bahwa Arab Saudi salah dalam menentukan tanggal. Menurutnya, Persis sudah mengjukan koreksi kepada pemerintahan Arab Saudi. Alasannya, tidak mungkin bulan bisa dilihat di Arab Saudi, sebab ijtimak (konjungsi) bulan pada akhir bulan Dzul Qa’dah di Makkah terjadi pada tanggal 17 Maret pukul 21.48 WAS (Waktu Arab Saudi). Menurutnya, 1 Dzul Hijjah di Arab Saudi bukan hari Kamis, 18 Maret, tetapi hari Jum’at 19 Maret 1999, sama dengan di Indonesia. Pertanyaannya, jika yang benar penetapan di Indonesia, apakah berarti seluruh jama’ah haji termasuk di dalamnya ketua MUI KH Ali Yafie dan beberapa ulama lainnya tidak sah ibadah haji yang mereka jalani?

Sungguh penetapan tanggal yang berbeda ini mengesalkan kita semua. Oleh karena itu, penyatuan tanggal dan hari dalam kalender Hijriyah yang sama untuk seluruh permukaan bumi adalah masalah yang urgen bagi kaum muslimin di era globalisasi ini. Dan upaya-upaya mewujudkan hal itu, terlebih bila dikaitkan dengan keserempakan dalam pelaksanaan ibadah kaum muslimin di seluruh dunia adalah langkah yang mulia yang harus ditempuh setiap muslim.

Dengan fenomena perbedaan yang ada (bahkan sampai ada seorang kyai di Jawa Barat yang ketika ditanya tentang penetapan Ideul Adha 1419H dengan sinis ia menjawab, kalau jawaban dengan ilmu adalah hari Minggu, kalau jawaban ikut-ikutan adalah hari Sabtu), mungkinkah hal itu terwujud? Lalu tuntutan dan tuntunan syar’I bagaimana? Secara teknis operasionalnya bagaimana? Tulisan ini mencoba mengulasnya.

Faktor Koreksi, Sebuah Petunjuk Rasulullah SAW

Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk praktis kepada kita mengenai cara pengambilan keputusan penetapan hari-hari ma- nasik haji dan Iedul Adha dengan sejelas-jelasnya. Ini dapat kita lihat dari sebuah hadits dari Husain bin Al Harits Al Jadaly ra. yang menyatakan:

"Bahwa Amir (gubernur di masa Rasul) Makkah berpidato dan menyatakan bahwa: Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru’yah. Jika kita tidak melihatnya sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya bulan) maka kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang itu". (H.R. Abu Dawud).

Hadits ini menjelaskan tentang penetapan hari Arafah dan hari-hari ibadah haji seluruhnya --pada masa adanya Daulah Islam-- hanya dilakukan oleh gubernur Makkah. Hal tersebut berdasarkan perintah Nabi saw. kepadanya yaitu agar memulai manasik haji berdasarkan ru’yah.

Rasulullah saw tidak pernah menyerah- kan wewenang penetapan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhoh, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah dan sebagainya berdasarkan ru’yah penduduk Madinah atau penduduk Nejed, apalagi pendapat kaum muslimin di Indonesia. Beliau hanya mendasarkan kepada ru’yah penduduk Makkah dan sekitarnya.

Lalu bagaimana jika saat ini tidak ada Daulah Khilafah Islamiyah? Maka hal tersebut harus dilakukan oleh siapa saja dari kalangan kaum muslimin yang saat ini memerintah dan menguasai negeri-negeri Hijaz, meskipun ke-kuasaannya itu tidak sesuai dengan syariat Islam. Dalam kondisi ini seluruh kaum muslimin di dunia wajib untuk berhari raya kurban pada saat yang sama dengan jamaah haji yang menyembelih hewan kurbannya pada hari ke-10 bulan Dzulhijjah, bukan pada awal hari Tasyriq (11 Dzulhijjah).

Satu hal yang barangkali luput dari perhatian kaum muslimin adalah faktor koreksi yang terdapat dalam hadit tersebut. Yakni, manakala Gubernur Mekah (dan seluruh masyarakat Mekkah yang berusaha mengintai hilal pada akhir bulan Dzul Qa’dah) tidak berhasil melihat hilal bulan baru, namun ada dua saksi yang adil (dari tempat lain) yang menyaksikan masuknya bulan baru Dzul Hijjah, maka Gubernur Mekkah harus memulai manasik berdasarkan kesaksian kedua saksi yang adil itu. Artinya, andaikata tidak ada koreksi dari dua orang saksi yang adil, Gubernur Mekkah akan memulai manasik haji berdasarkan penggenapan dari bulan Dzul Qa’dah menjadi 30 hari lantaran ketidak berhasilan merukyat bulan baru pada akhir tanggal 29 Dzul Qa’dah.

Mekanisme koreksi itu rupanya tidak hanya sebuah perintah dari Rasulullah saw. kepada Gubernur Mekkah sebagai pemegang otoritas penetapan tanggal pelaksanaan manasik haji. Bahkan Rasulullah saw. melaksanakannnya sendiri pada penetapan tanggal 1 Syawal, yakni Iedul Fithri. Ini dapat kita lihat dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dan Imam an Nasai dari Abi Umair bin Anas dari paman--pamannya yang merupakan sahabat Rasulullah saw. yang berkata: "Kami terhalang (tidak melihat) hilal (bulan baru/sabit) Syawal sehingga keesokan harinya kami shaum, lalu datanglah serombongan kafilah pada sore hari dan mereka bersaksi telah melihat hilal bulan Syawal kemarin, maka Nabi memerintahkan masyarakat untuk berbuka pada sore hari itu dan sholat Iedul Fitrhi keesokan harinya".

Keputusan Rasulullah saw. mengoreksi tanggal 30 Ramadlan menjadi tanggal 1 Syawal pada sore hari itu (sekalipun tinggal beberapa jam saja) adalah satu petunjuk yang jelas adanya faktor koreksi pada penetapan satu syawal dalam rangka menjalankan kedisiplinan dalam ibadah kepada Allah SWT. Dan metode faktor koreksi ini pulalah yang menjadi petunjuk dan pegangan bagi kita dalam menetapkan tanggal hijriyyah, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan ibadah seperti shaum Ramadlan, pelaksanaan shalat Ied, dan manasik haji.

Hisab Global dan Rukyat Global

Di era globalisasi dimana mobilitas manusia dan hubungan antar manusia dari berbagai belahan dunia berlangsung begitu cepat, maka penanggalan yang berbeda untuk hari yang sama (lantaran hisab lokal maupun rukyat lokal) bisa membingungkan dan menjadi salah satu sumber konflik. Hal ini, memang tak terasa oleh kaum muslimin lantaran hari ini kaum muslimin di belahan bumi manapun boleh dikatakan semuanya tidak menggunakan kalender hijriyyah dalam melakukan hubungan muamalah internasional atau antar benua. Tak terasa karena kaum muslimin sebagaimana umat lain menggunakan kalender Masehi (Gregorion) yang satu untuk seluruh dunia. Namun manakala kaum muslimin sudah menggunakan kalender hijriyyah untuk transaksi-transaksi internasional mereka, maka problem perbedaan tanggal tersebut akan terasakan.

Oleh karena itu, dalam rtangka menyongsong kesatuan negeri-negeri Islam dan bangkitnya kaum muslimin untuk membangun peradaban Islam di negeri-negeri Islam yang terbentang dari Maroko sampai Merauke, penyatuan kalender hijriyyah secara internasional adalah keharusan yang tak bisa ditolak. Dan menyatukan penanggalan kalender hijriyyah internasional itu tidak sulit sebagaimana dijadikannya kalender Masehi Gregorion untuk seluruh dunia pada abad 18.

Hal ini bisa ditempuh dengan cara membuat kalender internasional hijriyah yang baku berdsarkan dua cara. Pertama, kalender internasional berdasarkan hisab urfi yang menghitung bulan gasal dengan 30 hari dan bulan genap dengan 29 hari dan bulan kesebelas (gasal) 30 hari untuk 19 tahun pertama, lalu menghitung bulan gasal dengan 30 hari dan bulan genap 29 hari dan bulan kesebelas (gasal) 29 hari untuk 11 tahun kedua dan seterusnya pola tigapuluhtahunannya seperti itu. Menurut Ahli astronomi Hisab Urfi ini tingkat kesalahannya adalah satu hari dalam 2500 tahun.

Kedua, menggunakan perhitungan (hisab) astronomi modern yang bersifat global dengan patokan ijtima’ bulan diangkasa yang satu dan berlaku bagi seluruh permukaan bumi. Tingkat akurasi astronomi modern tentu lebih tinggi daripada hisab urfi.

Hanya saja penentuan kalender hijriyyah internasional ini hanya berlaku bagi mu’amalah kaum muslimin untuk memudahkan perencanaan dan aktivitas kaum muslimin dalam berbagai bidang kehidupan selain ibadah. Sebab dasar penentuan ibadah seperti awal Ramadlan, 1 Syawal, dan manasik haji haruslah dengan menggunakan rukyatul hilal. Berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

"Berpuasalah kalian lantaran melihat bulan (1 Ramadlan) dan berbukalah (Iedul Fithri) kalian lantaran melihat bulan (1 Syawal). Jika penglihatan kalian tertutup oleh awan, maka genapkanlah hitungan bulan Sya’ban 30 hari" (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah).

Dengan demikian tidak dibenarkan menjadikan perhitungan (hisab) semata, baik urfi maupun atronomi, sebagai dasar penetapan hari-hari ibadah kaum muslimin.

Oleh karena itu, untuk menentukan hari-hari ibadah kaum muslimin yang serempak pada hari yang sama di seluruh dunia, harus dilakukan rukyat global. Hisab astronomi global bisa membantu untuk menentukan daerah-daerah yang paling berpeluang melihat hilal di seluruh permukaan bumi ini. Dengan rukyat global, yakni keberhasilan satu rukyat berlaku bagi kaum muslimin di seluruh permukaan bumi, maka seluruh bumi akan serempak memiliki hari dan tanggal untuk ibadah yang sama di seluruh bumi.

Dengan metode rukyat global, manakala di negeri-negeri Islam bagian timur seperti Indonesia, Brunei dan Malaysia tidak berhasil melihat hilal bulan Ramadlan, misalnya, keberhasilan merukyat di negeri-negeri Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, atau Yordan akan menjadi koreksi bagi terhalangnya kaum muslimin di bagian timur dari hilal. Bahkan manakala hilal itu baru berhasil dirukyat di daerah Maghribi atau bahkan di Amerika Barat, maka keberhasiulan rukyat di sana juga menjadi koreksi bagi terhalangnya negeri-negeri muslim bagian timur dalam melihat hilal, sekalipun di negeri-negeri itu sudah pagi atau siang. Koreksi ini tetap berlaku terhadap suatu negeri sekalipun sudah sore hari sebagaimana Rasulullah saw. terlambat menerima kabar rukyat 1 Syawal seperti dalam hadits di atas.

Dengan metode praktis seperti itu hilanglah kerancuan dan kontroversi yang selama ini menghantui kaum muslimin dalam penetapan hari-hari ibadahnya yang seringkali mengalami perbedaan hari akibat rukyat lokal dan hisab lokal dan perbedaan otoritas yang bersandarkan pada rukyat lokal dan hisab lokal tersebut. Dengan metode itu, aktivis Persis tersebut tak akan menyalahkan pemerintah Arab Saudi. Sebab, andaikata, hisab astronomi benar dan ijtimak bulan baru pada pukul 21.48 WAS dan posisi bulan di Jedah –3,42 derajat (di bawah ufuk sehingga mustahil dirukyat di Jedah atau Mekkah) namun dengan ijtimak serentak di seluruh dunia pada hari Rabu tanggal 17 Maret 1999 pukul 18.48 Universal Time (di Inggris), maka hilal bulan Dzul Hijjah kemungkinan terlihat di Amerika Barat dan Mexico dan kemungkinan besar akan terlihat di Hawai (yang saat ijtimak masih pagi atau siang) pada saat maghrib (posisi bulan sudah di atas ufuk) hari Rabu tanggal 17 Maret 1999. Pada saat itu di Mekkah adalah hari Kamis tanggal 18 Maret 1999 pagi atau siang hari. Jika metode koreksi petunjuk Rasulullah saw dalam hadits shahih riwayat Al Baihaqi dan an Nasai juga hadits Abu Dawud tentang pidato Gubernur Mekkah itu dipakai, maka siang itu juga dikoreksi penanggalan di Mekkah, bukan Kamis 30 Dzul Qa’dah, tetapi Kamis 1 Dzul Hijjah. Dan koreksi ini tidak akan terlambat, mengingat wuquf Haji adalah tanggal 9 Dzul Hijjah, yakni bertepatan dengan hari Jum’at 26 Maret 1999.

Khatimah

Dengan metode rukyat global dan koreksi atas daerah-daerah yang tak terlihat hilal bulan baru lantaran terhalang oleh awan maupun secara teoritis masih di bawah ufuk, maka kaum muslimin akan melaksanakan ibadah shaum, Ied, dan ibdah-ibdah yang berkaitan dengan manasik haji secara serempak pada hari dan tanggal yang sama di seluruh dunia sebagaimana mereka biasa shalat Jum’at serempak di seluruh dunia pada tanggal dan hari yang sama, yakni hari Jum’at. Sebagaimana mereka biasa melakukan shaum sunnah Senin dan Kamis pada dua hari yang sama di seluruh dunia. Bahkan kalau mereka melakukan puasa sunnah hari putih (tanggal 13, 14, dan 15 Hijriyyah) mereka pun akan melakukannya secara serempak pada hari dan tanggal yang sama setiap bulan.

Fenomena kesatuan ibadah itulah tanda persatuan dan kesatuan umat yang bakal membawa kepada kejayaan umat ini. Umat membutuhkan keberanian kita semua untuk bersama-sama mengambil keputusan untuk berjuang mewujudkan hal itu. Dan karena hal itu tak mungkin terwujud tanpa adanya kesamaan pemikiran dan kesatuan otoritas penetapan kalender kaum muslimin internasional, maka mewujudkan institusi yang memiliki otoritas itu, yakni khalifah yang menaungi kaum muslimin secara universal, adalah perkara yang tak bisa ditawar lagi.

Dan duduk berdiam diri dari perjuangan menegakkan institusi khilafah yang bakal memelihara dinul Islam dan melindungi keselamatan dan kemaslahatan pada hakikatnya adalah membiarkan agama Allah ini terbengkalai dan tersia-siakan serta membiarkan kaum muslimin dalam keterpecahannya.

Sudahkah kita berjuang untuk kesatuan dan kejayaan kaum muslimin serta meninggikan kalimat Allah?