Edisi 048 B
JANGAN CENDERUNG KEPADA
PARTAI YANG ZHALIM
Partai yang baik, menjaga kedamaian, bukan ketakutan. Boleh jadi itu cuma slogan yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi akhir-akhir ini. Sebab, ribuan massa PDI Perjuangan kemarin (02/04/99) menyerbu rombongan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar Tanjung yang akan mengadakan acara silaturahmi dengan para kadernya di Purbalingga, Jawa Tengah. Pada saat yang bersamaan massa PDI Perjuangan yang berada di dekat Mapolres kemudian menyerbu tempat acara silatutahmi. Dua tenda tamu dirobohkan dan panggung dirusak (Republika, 03/04/99). Namun yang paling memprihatinkan, massa PDI Perjuangan kemudian memaksa melucuti kaos kuning yang dikenakan oleh puluhan laki-laki dan perempuan kader Golkar yang masih berada di tempat acara. Beberapa wanita dengan hanya mengenakan —maaf— BH sambil menangis terpaksa berlarian meminta perlindungan ke Mapolres (ibidem). Insiden serupa terjadi di Kodya Cirebon, Jabar, meski tidak dalam skala seperti di Purbalingga, tatkala kantor DPD Golkar Cirebon diserbu 200-an massa yang juga beratribut PDI Perjuangan (Republika, 06/04/99).
Peristiwa Purbalingga itu dikomentari berbagai pihak dengan gemas. Menurut Ketua Umum Partai Kebangkitan Ummat, KH Yusuf Hasyim, tindakan massa PDI Perjuangan di Purbalingga itu jelas mengarah ke anarkisme. "Tindakan massa di Purbalingga itu jelas anarki dan brutal. Dan sayapun akhirnya berpikir, belum apa-apa saja sudah sewenang-wenang, apalagi nanti setelah mereka berkuasa", kata KH Yusuf Hasyim, di Surabaya, kemarin (Republika, 04/04/99). Wakil Ketua Komnas HAM, Bambang W Suharto di Semarang mengatakan "Pelecehan terhadap wanita itu merupakan pelanggaran HAM terberat" (Republika, 06/04/99). Rendahnya sikap berpolitik itu juga dinilai Prof. Loekman Soetrisno sebagai salah satu pemicu insiden Purbalingga.
Terlepas dari berbagai komentar tadi, peristiwa di Purbalingga menunjukkan runtuhnya tata nilai, etika dan hukum di tengah-tengah massa Partai Politik itu sendiri. Lalu bagaimana seharusnya —menurut Islam— sikap dan perlakuan partai terhadap anggota-anggotanya, terhadap masyarakat, termasuk partai-partai lain?
Parpol Ideologis
Salah satu kriteria partai politik sejati —bukan sekedar parpol namanya saja atau perkumpulan biasa, apalagi rekayasa kepentingan tertentu— adalah sifatnya yang ideologis. Sehingga partai politik adalah sekumpulan orang yang beriman, meyakini ideologi/ajaran tertentu, dan berjuang untuk merealisasikannya di tengah-tengah masyarakat. Ini berarti partai politik memang memiliki cita-cita atau keinginan membentuk masyarakat/peradaban yang khas, yang tentu berbeda dengan partai politik yang memiliki ideologi berseberangan. Partai politik yang jelas-jelas sekular, seperti PDI, PKB, PAN, PRD dan yang sejenisnya tentu memiliki visi, tujuan, gambaran tentang masyarakat yang dicita-citakan, dan tema-tema yang dikembangkan di tengah-tengah masya- rakat yang berbeda dari partai-partai yang menisbatkan dirinya dengan label Islam.
Partai politik yang bersifat ideologis, akan menjadikan poros pemikirannya, poros tindakannya, acuan dan tolok ukur perbuatannya, bahkan unsur yang mengikat anggota-anggota dan pengurusnya hanya pada ideologinya. Sebab, itulah yang dianut dan diyakini kebenarannya. Oleh karena itu, partai-partai politik yang masih mendewa-dewakan tokoh-tokoh atau pemimpin partainya, melebihi tolok ukur dan acuannya yang bersandar pada ideologi tertentu tidak dapat digolongkan dalam partai politik ideologis. Partai itu tidak lebih dari sekumpulan orang fanatik yang mengkultuskan individu tertentu. Kondisi ini dapat mengarah pada kejumudan berpikir maupun kepemimpinan yang otoriter.
Taqiyuddin an Nabhani mengungkapkan, bahwa dalam partai politik yang bersifat ideologis akan dijumpai unsur-unsur : 1) Ideologi atau pemikiran yang mendalam; 2) Metodologi (untuk merealisir idea) yang jelas; 3) Para penganut/pengembannya yang bersih (lihat At Takattul al Hizbiy, kar. Taqiyuddin an Nabhani, hal 22). Apabila salah satu unsur dari ketiga unsur itu tidak terpenuhi, maka partai politik tersebut tidak tergolong partai politik ideologis.
Dengan demikian partai politik yang benar dan bersifat ideologis adalah partai politik yang menjadikan tolok ukur pemikiran-pemikiran maupun langkah-langkahnya dan ikatan yang menjalin anggota-anggota dan pendukungnya berasaskan dan bercirikan Ideologi yang sahih, yaitu partai politik yang bersifat Islam saja, lain tidak! Juga, partai itu berjuang merealisir sistem hidup dan sistem hukum Islam melalui metodologi yang dituntun dan disahihkan oleh Islam. Allah SWT berfirman :
ÅÍjmBˆA Å¿ ÑjaàA Ÿ ÌÇË ÉÄ¿ ½J´Í ż¯ BÄÍe ÂÝmâA jΫ NJÍ Å¿Ë
"Barangsiapa mencari diin (agama/ideologi/pandangan hidup/sistem hukum) selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama/ideologi/pandangan hidup/sistem hukum) itu darinya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi"
(QS. Ali Imran 85).Ayat ini menegaskan bahwa Ideologi atau pemikiran yang benar hanyalah Islam. Di luar Islam adalah batil dan kufur. Oleh karena itu, tidak layak seorang muslim terlibat dan menyerahkan loyalitasnya sebagai pendukung, anggota, ataupun pengurus partai politik sekular yang nyata-nyata tidak mengacu pada asas dan metodologi Islam, tidak memperjuangkan Islam dan kaum muslimin. Malah mengejek, mengolok-olok, melanggar kehormatan dan merusak harta milik kaum muslimin secara terang-terangan, sebagaimana yang terjadi di Purbalingga. Sementara jajaran pengurusnya berdiam diri, tidak menindak dengan tegas dan mengeluarkan para pelakunya dari keanggotaan parpol, sekaligus menyeret pelakunya ke pengadilan.
Padahal, sebagaimana reaksi Wakil Ketua Komnas HAM, Bambang W Suharto, bahwa pelecehan terhadap wanita itu merupakan pelanggaran HAM terberat. Malah menurut syariat Islam, pelaku pelecehan seksual dapat dikenakan hukum ta'zir, yang bentuknya bisa hukuman cambuk, dipenjara dan sejenisnya selain harus membayar ganti rugi kepada korban, sesuai dengan ijtihad hakim. Dan kalau sampai terjadi perkosaan, maka pelakunya, selain harus membayar ganti rugi kepada korban, juga dihukum mati! Jadi, tidak dibiarkan berkeliaran seenaknya.
Anggota partai serta para pendukungnya yang jumud, yang hanya membebek pada keinginan dan statement tokoh-tokohnya, yang loyalitasnya bukan pada nilai-nilai kebenaran, dikecam Allah SWT dalam firman-Nya :
ÆÌYj¯ ÁÈÍf» B– LlY ½· B¨Îq AÌÃB·Ë ÁÈÄÍe A̳j¯ ÅÍh»A Å¿
"… tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka."
(QS. Ar Ruum 32).Akibat kejumudan itu, partai-partai politik sekular yang berasaskan ideologi dan nilai-nilai Demokrasi, Nasionalisme, Kebebasan, HAM dan sejenisnya yang selama ini senantiasa menggembar-gemborkan slogan-slogan tersebut, mereka sendirilah yang melanggar dan menginjak-injak ideologi dan tata nilai yang selama ini mereka agung-agungkan! Sungguh ironis!
Fungsi Parpol : Membina Masyarakat
Salah satu fungsi sebuah partai politik yang bersifat ideologis adalah memahamkan ideologi/pemikirannya yang mendalam itu serta menjelaskan dengan gamblang serta terperinci metodologi untuk merealisir ideologinya kepada para anggota dan pendukung partai. Dengan kata lain, untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat sebagaimana yang diinginkan dan diperjuangkan oleh partai politik yang bersifat ideologis, harus ada proses membina masyarakat, lebih-lebih anggota dan simpatisan partai politik. Dengan pembinaan oleh partai politik itu, masyarakat memahami ideologi partai dan metode implementasinya secara jelas dan rinci.
Apabila masyarakat dididik hanya dengan simbol dan jargon-jargon politik yang kosong, dilenakan dengan retorika tanpa makna, serta dibius dengan euphoria dan histeria massa yang emosional, maka kondisi ini dapat mengarah pada bentuk-bentuk dan tradisi anarki akibat ashabiyah (fanatisme kelompok/golongan) secara membabi buta.
Maka, sebenarnya akan digiring dan diarahkan ke mana masyarakat kita —yang mayoritas muslim ini— dengan berbagai propaganda yang dilakukan oleh partai-partai politik tersebut?
Rasulullah saw. sebagai suri teladan (uswatun hasanah, QS. Al Ahzab 21 dan QS. Al Hasyr 7) bagi setiap umat Islam telah mencontohkan proses perubahan secara politis dengan membentuk kelompok politis yang bersifat ideologis. Seluruh ciri (tiga poin ciri partai politik yang bersifat ideologis) dijumpai dalam aktivitas dakwah dan politik Beliau saw.
Salah satu aktivitas yang dikembangkan dan dijadikan metodologi oleh Rasulullah saw. ketika membentuk dan mengumpulkan orang-orang yang masuk Islam, adalah mengajarkan mereka Dinul Islam, mengkader mereka agar menjadi pengemban dakwah yang kuat. Beliau saw. menentukan rumah (tempat tinggal) untuk dijadikan pusat pembinaan dan madrasah bagi orang-orang mukmin. Salah satu rumah yang terkenal dalam sejarah Islam adalah rumah Arqam bin Abi Arqam r.a. Di sanalah Beliau saw. mengumpulkan kaum muslimin (para sahabat), membacakan al Quran, menjelaskannya kepada mereka, memerintahkan mereka untuk menghafalkan dan memahami. Dan setiap kali ada orang baru yang memeluk Islam, langsung bergabung dengan mereka di Darul Arqam.
Beliau hidup bersama-sama dengan mereka kurang lebih tiga tahun, membina mereka secara terus menerus, menjalankan shalat (saat itu difardlukan shalat dua rakaat, yang di kemudian hari dinasakh) tahajud. Beliau bangkitkan aspek-aspek kerohanian mereka dengan melakukan shalat dan tilawah. Pemikiran mereka amat terpengaruh serta sarat dengan ayat-ayat Allah. Akal mereka dibina dengan makna ayat-ayat al Quran, dengan pemahaman dan pemikiran-pemikiran Islam. Itu mendorong mereka bersikap shabar terhadap ujian yang menimpa mereka (lantaran mengimani Islam), serta mendorong mereka agar taat (kepada Allah) dan selalu terikat dengan (perintah-perintah)-Nya hingga mereka pasrah kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Berkuasa (lihat Ad Daulah al Islamiyah, kar. Taqiyuddin an-Nabhani, hal. 13-14).
Perlu dicatat, bahwa angota partai Rasulullah saw., sekalipun sebagaimana kebiasaan setiap lelaki Arab adalah selalu membawa pedang, mereka tak melakukan tindakan kekerasan di dalam mengajak masyarakat musyrik Quraisy kepada diinul Islam serta meninggalkan ideologi kemusyrikan mereka.
Tradisi metode ini terus berlanjut meskipun Rasulullah saw. dan kaum muslimin telah berhasil menegakkan pemerintahan dan masyarakat Islam di Madinah. Diriwayatkan dari Umar bin Khaththab ra :
"Aku dan seorang tetanggaku dari kalangan Anshar keturunan Umayyah bin Zaid —salah satu qabilah miskin di Madinah— bergantian singgah di sisi Rasulullah saw. Ia bergantian singgah sehari, dan aku sehari. Bila aku telah singgah, maka aku datang kepadanya dengan membawa berita yang kudapat dari Rasulullah pada hari itu, baik yang berupa wahyu maupun yang lainnya. Dan bila ia yang singgah, maka iapun melakukan hal yang sama." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Nasaa-i)
Hadits ini menunjukkan bahwa proses pengkaderan terhadap para sahabat dan kaum muslimin terus berlangsung, bahkan mencapai tingkat tertinggi sampai-sampai para pengikutnya, yaitu para sahabat demikian antusiasnya bergantian datang kepada Rasulullah saw. Kemudian menyampaikan apa yang didengar dan disampaikan oleh Rasulullah saw kepada sahabat lainnya yang tidak dapat hadir.
Sudahkah partai-partai politik di negeri ini —termasuk yang menisbahkan dirinya sebagai Parpol Islam— melakukan proses kaderisasi dan pembinaan terhadap pengurusnya, terhadap anggota-anggotanya, terhadap simpatisannya, serta terhadap masyarakat secara umum? Apakah yang dimaksud dengan pengkaderan dan pembinaan itu mengajak masyarakat turun ke jalan (melakukan show of force), meneriakkan yel-yel, jargon-jargon dan slogan kosong yang mereka sendiripun tidak mengetahui hakikatnya, menjadikan masyarakat itu sekedar alat dan kepentingan partai yang dimanfaatkan hanya sesaat, yaitu pada saat pemilu. Setelah itu masyarakat kembali pada kebodohannya, kemiskinannya, keterbelakangannya, dan hidup di tengah-tengah kesewenang-wenangan kekuasaan, tanpa dipedulikan lagi oleh partai politik yang sebelumnya mereka bela mati-matian. Tragis!
Sungguh kelalaian parpol-parpol dari tugas membina para anggota dan masyarakat pendukungnya sehingga melahirkan sikap-sikap dan tindakan brutal dan tidak Islami adalah sebuah kezhaliman yang nyata!
Semestinyalah para pemimpin partai, manakala mereka mengaku muslim, segera bertobat dari kezaliman dan kelalaiannya dan segera membenahi diri dan partainya agar sesuai dengan tuntutan partai dalam pandangan Islam. Mereka mestinya merenungkan firman Allah SWT:
ÆÌZ¼°A ÁÇ ¹×»ËCË j¸ÄA ŧ ÆÌÈÄÍË ²Ëj¨BI ÆËj¿DÍË jΈA Ó»G Æ̧fÍ Ò¿C Á¸Ä¿ ŸN»Ë
"Dan hendaknya ada segolongan (partai) di antara kamu yang menyeru kepada al khair (Al Islam) dan menyuruh kepada perbuatan yang ma'ruf dan melarang perbuatan yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang menang"
. (QS. Ali Imran 104).Ayat ini memberi petunjuk bahwa kemenangan itu bukanlah dengan pengerahan masa yang banyak lagi brutal dan bertindak anarkis. Kemenangan justru terletak pada banyaknya konsep Islam yang tersampaikan, banyak ketegasan menyuruh manusia kepada kema'rufan yang diperintahkan Allah, dan banyaknya keberanian serta ketegasan melarang kemungkaran yang diharamkan Allah SWT. Seharusnya mereka memikirkan dan aktif mengkonsentrasikan aktivitas gerakannya itu pada fungsi pengkaderan, membina masyarakat dengan Islam, memberikan gambaran secara rinci pemecahan-pemecahan masalah yang dihadapi umat ini (baik krisis moneter, krisis kepemimpinan, krisis peradilan dan hukum, krisis militer, krisis kepercayaan, krisis pendidikan, krisis ekonomi dan lain-lain) dengan pemecahan Islam yang syar’i dan argumentatif. Setelah seruan-seruannya dipenuhi oleh umat dan ide-ide serta pendapat-pendapatnya yang Islami menjadi pendapat umat, mereka seharusnya memobilisir umat untuk mewujudkan penerapan sistem hukum dan pemerintahan yang Islami sebagai pilar utama bangunan peradaban Islam.
Khatimah
Berdasarkan pemaparan di atas kami mengajak kaum muslimin merenung sejenak, akan dibawa ke mana umat ini oleh partai-partai politik yang ada —termasuk oleh partai-partai politik yang berlabelkan Islam? Apakah benar-benar diajak untuk memperjuangkan tegaknya Islam dan untuk kejayaan kaum muslimin? Atau diajak untuk menegakkan kebatilan dan kekufuran, yaitu mengokohkan ideologi dan sistem hukum dan pemerintahan yang Kapitalis, Demokratis, Sekularis, Nasionalis, dan fanatis buta terhadap partai (ashabiyah)? Atau bahkan untuk saling menghancurkan dengan cara anarki?
Bukankah Rasulullah saw memperingatkan kita —kaum muslimin— agar waspada terhadap fanatisme golongan (ashabiyah), yang tidak mempedulikan lagi ajaran dan hukum Islam, tidak menggubris akhlaq Islam, menutup mata terhadap aqidah Islam. Sabda beliau saw :
ÒÎ@Jv§ Ó»G B§e Å¿ BÄ¿ oλ
"Siapa saja yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme golongan), maka dia tidak termasuk golongan kita (kaum muslimin)."
(HR. Abu Daud).Janganlah kalian tertipu oleh penipuan dan kezhaliman, serta propaganda yang menyesatkan. Ingatlah firman Allah SWT:
ÆÌuj‘ ÜG ÁÇ ÆGË Å¤»A ÜG Æ̨JNÍ ÆG ɼ»A ½ÎJm ŧ ºÌ¼zÍ ~iÞA Ÿ Å¿ jR·C ©ñM ÆGË
"Jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah… "
(QS. Al An'am 116).Perhatikan pula peringatan Allah SWT:
ÆËjvÄM Ü ÁQ ÕBλËC Å¿ ɼ»A ÆËe Å¿ Á¸» B¿Ë iBÄ»A Á¸nÀN¯ AÌÀ¼£ ÅÍh»A Ó»G AÌÄ·jM ÜË
"Dan janganlah kalian cenderung kepada orang-orang yang zhalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah… "
(QS. Huud 113).Wallaahu ghalibun 'ala amrihi!