Edisi 052

PEMILU; WAJIB!?

Inga, inga, badaftar rame-rame. Itu bunyi iklan layanan masyarakat yang paling populer, dan hampir setiap hari ditayangkan di TV. Untuk menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya Pemilu. Juga untuk mengantisipasi sikap tidak peduli masyarakat terhadap pendaftaran dan pelaksanaan Pemilu. Memang, hingga akhir masa pendaftaran sistem aktif, banyak pos pendaftaran pemilih sepi kunjungan. Maka tak aneh bila berbagai upaya penyadaran gencar diserukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), partai-partai politik, dan pemuka masyarakat (Forum Keadilan, no.03, 25/04/99).

Upaya itupun melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) —yang dalam kasus Ambon dan Tual diam membisu. Melalui salah seorang ketuanya, KH. Chalid Fadlullah, MUI mengimbau masyarakat agar proaktif. "Ini masalah kehidupan dan keselamatan bangsa di masa depan", katanya. Karena itulah, dalam penjelasannya ia menegaskan bahwa ikut menyukseskan Pemilu adalah sebuah keharusan. "Bagi umat Islam, melaksanakan Pemilu itu hukumnya wajib ‘ain", ujar KH. Chalid (Forum Keadilan, ibidem).

Meskipun demikian, banyak juga tokoh dan ulama yang tak sepaham dengan fatwa wajib ‘ain itu. Termasuk Ketua Umum MUI sendiri, KH. Ali Yafie. "Wajib ‘ain bersifat tanggung jawab langsung kepada Allah. Seperti shalat", katanya kepada Forum. Artinya, jika dikenai sebagai wajib ‘ain, umat Islam —termasuk muslim di negara lain— yang tidak mengikuti Pemilu mendatang akan ikut berdosa (Forum Keadilan, ibidem). Begitu juga komentar wakil ketua Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI) KH. Didin Hafidhuddin. Menurut ulama calon Presiden RI dari Partai Keadilan itu, mengikuti Pemilu itu hanyalah pelaksanaan hak. "Seharusnya rakyat disadarkan akan pentingnya soal itu, bukan karena takut berdosa", ujarnya (Forum Keadilan, ibidem).

Bagaimana sebenarnya kedudukan hukum Pemilu dalam syariat Islam? Dan sejauh mana keterlibatan kaum muslimin —terutama para Sahabat Nabi saw— dalam proses politik seperti ini? Lalu bagaimana sikap kita —kaum muslimin— saat ini menghadapi fenomena politik tersebut agar sesuai dengan syariat Islam?

Wajib Mengangkat Seorang Pemimpin Atas Seluruh Kaum Muslimin

Salah satu perkara yang tidak dapat dilepaskan dari ajaran Islam, dan termasuk perkara yang ma’lumun min ad-diin bi adl-dlaruurah adalah masalah kepemimpinan. Sedemikian pentingnya sehingga Islam mengharuskan dalam suatu perjalanan —yang mungkin dianggap oleh sebagian orang sebagai perkara sepele— wajib diangkat seorang pemimpin (amir as-safar), jika perjalanan bersama itu dilakukan oleh tiga orang atau lebih. Rasulullah saw bersabda:

ÁÇfYA ÁÈμ§ AËj¿C ÜG ~iÜA Å¿ ÑÝ°I ÆÌÃÌ¸Í ÒQÝR» ½Ü

"Tidak boleh bagi tiga orang berada di mana-pun di bumi ini, kecuali memilih salah seorang di antara mereka itu sebagai pemimpin/amir." (Musnad Imam Ahmad, jilid II, hal.177)

Dari hadits ini dapat dipahami pula, apabila perkara kecil saja diperintahkan untuk memilih dan mengangkat seorang pemimpin/amir, apalagi perkara-perkara besar, seperti mengurus urusan perjalanan dan kebutuhan para jamaah haji (biasa dikenal dengan amirul hajj), atau mengurus urusan kaum muslimin secara keseluruhan (amirul mukminin/kepala negara), tentu lebih utama lagi keperluannya. Konsekwensi hukum tersebut mengacu pada kaidah min baabil aula (hukum yang lebih utama bagi perkara sejenis yang lebih kadarnya).

Di samping itu Ijma Shahabat telah menegaskan bahwa pemilihan dan pengangkatan seorang pemimpin kaum muslimin (seorang kepala negara/Khalifah) wajib hukumnya dilakukan oleh kaum muslimin. Bukankah para sahabat (al-Anshar dan al-Muhajirin) dahulu telah mengutamakan proses pemilihan dan pengangkatan pemimpin mereka, yang menggantikan Rasulullah saw. Padahal jenazah Rasulullah saw. belum lagi dikebumikan. Hal ini menunjukkan bahwa perkara kepemimpinan, terutama mengangkat seorang kepala negara/Khalifah atas seluruh kaum muslimin, yang akan mengatur, mengurus dan memelihara kaum muslimin, menjaga negeri-negeri kaum muslimin, mengembangkan dakwah dengan hujjah dan jihad, mengatasi kezhaliman dan penyimpangan, melindungi orang-orang tertindas, menunaikan hak-hak kaum muslimin dan mendorong agar kewajiban itu ditunaikan kepada yang berhak adalah perkara yang wajib! (lihat ath-Thariiq ila al-Khilafah, kar. Muhammad Syakir Syarif, hal 19-20. Yang merupakan ikhtishar kitab Ghiyaatsul umam, kar. Imam al-Haramain al-Juwaini).

Juga terdapat firman Allah SWT yang mewajibkan atas seluruh kaum muslimin untuk mentaati pemegang kekuasaan (ulil amri) yang berasal dari kaum muslimin dan yang mentaati Allah SWT dan Rasul-Nya (yang menjalankan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan), sebagaimana firman Allah SWT:

Á¸Ä¿ j¿ÞA Ï»ËCË ¾Ìmj»A ĄÎCË É¼»A ĄÎC AÌÄ¿E ÅÍh»A BÈÍC BÍ

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu." (QS. An-Nisa 59)

Maka bagaimana mungkin Allah SWT memerintahkan kita untuk taat kepada Ulil Amri (pemimpin), sementara wujudnya di tengah-tengah umat belum ada? Dengan demikian jelaslah bahwa mewujudkan Ulil Amri adalah perkara yang wajib.

Oleh karena itu, tidak pernah kita temukan dalam sejarah kaum muslimin yang panjang, mereka membiarkan kursi kepemimpinan ter-tinggi (Khalifah) itu kosong walaupun beberapa hari saja. Mereka rela dan sepakat mengundurkan waktu pengurusan jenazah Rasulullah saw yang mulia, dan mendahulukan perkara yang jauh lebih penting, menyangkut pengurusan eksistensi kaum muslimin, yaitu mengangkat Khalifah Abubakar ash-Shiddiq r.a., sebagai pengganti Rasulullah dalam perkara kepemimpinan atas kaum muslimin.

Sayangnya kepedulian dan semangat umat untuk selalu menjaga eksistensi kepemimpinan atas seluruh kaum muslimin ini pudar, dengan tiadanya seorang pemimpin (Khalifah) atas seluruh kaum muslimin yang menjalankan sistem hukum Islam secara total. Hal ini berlangsung sejak dihancurkannya sistem pemerintahan Islam Khilafah di Istanbul pada tahun 1924 oleh konspirasi jahat negara-negara Barat (yaitu Inggris dan Perancis) dengan Yahudi Zionis (yang diwakili Kemal Ataturk peranakan Yahudi suku Dunamah). Sejak saat itu, hingga kini umat Islam tidak lagi memiliki pemimpin yang siap sedia menjaga dan memelihara urusan kaum muslimin dengan sistem/hukum Islam.

Maka, kewajiban utama yang harus dipikul kaum muslimin —tentu juga parpol-parpol Islam saat ini— adalah memilih dan mengangkat kembali seorang pemimpin (khalifah) atas seluruh kaum muslimin di seluruh dunia yang akan menjalankan sistem Islam secara total. Bila tidak,maka berdosalah setiap muslim yang mengetahui hal ini namun tidak mau peduli dan enggan terlibat dengan aktivitas yang dapat mewujudkannya.

Pemilu Itu Cara, Bai’at Itu Metoda

Islam tidak hanya memberikan ide/hukum atas suatu perkara, melainkan juga menjelaskan metodologi pelaksanaannya. Metoda yang dijelaskan oleh syariat Islam dalam mengangkat seorang pemimpin (Kepala Negara/Khalifah) adalah dengan jalan bai’at (akad khilafah) kaum muslimin kepada seseorang (untuk memerintah) atas dasar Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (lihat al-Khilafah, kar. Taqiyuddin an-Nabhani, hal.38). Kedudukan bai’at ini telah ditunjukkan oleh generasi pertama kaum muslimin kepada Nabi saw. Di samping perintah beliau kepada umatnya untuk membai’at seorang Imam/ Khalifah. Dalam hal ini bai’at kaum muslimin kepada Nabi saw menyangkut kepemimpinan dan kekuasaan beliau sebagai kepala negara, bukan selaku seorang Nabi dan Rasul. Karena sebagai seorang Nabi dan Rasul, tidak memerlukan legalitas dari manusia, melainkan cukup dari Allah SWT, baik manusia itu mengakui (keRasulannya) atau menolaknya.

Hadits-hadits Rasulullah saw tentang perintah bai’at sebagai satu-satunya metodologi yang legal dalam pengangkatan seorang pemimpin kaum muslimin, antara lain sabdanya:

,Êj¸AË ¡rÄA ϯ Ò§Bñ»AË ©Àn»AÓ¼§ Á¼mË Éμ§ ɼ»AÓ¼u ɼ»A ¾Ìmi BĨÍBI

.ÂÙÜ Ò¿Ì» ɼ»A ϯ ²BŽÜ ,BÄ· BÀRÎY µ‡A ¾Ì´Ã ËC ÂÌ´Ã ÆCË ,ɼÇC j¿ÞA ªkBÄÃÜ ÆCË

"Kami telah berbai’at kepada Nabi saw untuk senantiasa mendengar dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi maupun yang tidak kami senangi, dan kami tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak (sah), dan agar kami senantiasa mengerjakan atau mengatakan yang haq dimanapun kami berada, tidak takut akan celaan dari orang-orang yang mencela." (HR. Bukhari dari Ubadah bin Shamit).

,Ôf¨I ÏJÃÜ ÉÃCË ,É°¼a ÏJà ¹¼Ç BÀ¼· ,ÕBÎJÃÞA ÁÈmÌnM ½ÍÙAjmG ÌÄI OÃB·

.¾ËÞB¯ ¾ËÞA Ò¨Î@J@I A̯ ?BÃj¿D@M AgB¿ .jR¸N¯ ÕB°¼a Æ̸NmË

"Dahulu Bani Israil selalu dipimpin para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, segera digantikan oleh Nabi yang lain, dan sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan banyak Khalifah. Para Shahabat bertanya, ‘Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?’. Beliau menjawab, ‘Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja." (HR. Muslim dari Abi Hazim)

"Siapa saja yang telah membai’at seorang Imam lalu memberikan uluran tangan dan buah hatinya, maka hendaknya ia mentaatinya semampunya. Dan jika datang orang lain hendak mengambil alih kekuasaannya, maka penggallah leher orang itu." (HR. Muslim)

Demikianlah yang dilakukan kaum muslimin terhadap Khulafaur Rasyidin. Abubakar ra dibai’at kaum muslimin di Saqifah bani Saidah. Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan serta Ali bin Abi Thalib juga dibai’at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah (kepala negara atas seluruh kaum muslimin).

Adapun cara pemilihan seorang Khalifah, maka berdasarkan pelaksanaan pemilihan Khulafaur Rasyidin, terdapat empat cara (uslub):

(1). Setelah kepala negara (Khalifah) sebelumnya wafat atau berhenti atau diberhentikan, maka sekelompok kaum muslimin yang mewakili seluruh kaum muslimin segera menentukan siapa penggantinya dari beberapa calon yang ada. Dan ini dilakukan pada masa pemilihan Abubakar Shiddiq ra.

(2). Proses pemilihan calon Khalifah juga dilakukan pada saat kepala negara sebelumnya masih hidup, setelah terdapat tanda-tanda akan berakhirnya kepemimpinan (karena usia tua/menjelang wafat). Hanya saja pengangkatannya dilakukan setelah kepala negara sebelumnya wafat atau berhenti. Hal ini dilakukan pada pemilihan Umar bin Khaththab ra. (3). Menjelang kepala negara sebelumnya wafat, ia menunjuk sekelompok tokoh-tokoh kaum muslimin yang mewakili aspirasi kaum muslimin (dalam khasanah fiqih Islam dikenal istilah ahlul halli wal ‘aqdi) untuk memilih seorang khalifah. Hal ini dilakukan pada pemilihan Utsman bin Affan ra.

(4). Beberapa tokoh kaum muslimin mendatangi seorang calon khalifah dan meminta kesediaannya untuk menjadi khalifah (setelah khalifah sebelumnya wafat atau berhenti). Dan mayoritas kaum musliminpun mendukungnya. Hal ini dilakukan pada pemilihan Ali bin Abi Thalib ra.

Karena kesulitan transportasi dan komunikasi, maka proses pemilihan di masa Khulafaur Rasyidin hanya melibatkan penduduk Madinah saja, ataupun penduduk Kufah (di masa Ali bin Abi Thalib). Tidak melibatkan penduduk Makkah, Thaif, Yaman, Syam, maupun Mesir. Meskipun demikian kepemimpinan Khulafaur Rasyidin tetap legal dan sah secara syar’i. Dan itu diakui oleh seluruh kaum muslimin.

Sedangkan proses Pemilu (Pemilihan Umum) langsung, yang melibatkan sebagian besar rakyat dalam menentukan pilihan/ nominasi calon pemimpinnya, atau proses Pemilu tak langsung, yaitu rakyat memilih wakil-wakilnya lalu wakil-wakil rakyat ini yang akan memilih calon pemimpinnya, dalam pandangan hukum Islam, itu semua adalah cara (uslub), bukan metode (thariqah). Yang penting dalam waktu singkat (tidak lebih dari tiga hari dua malam) umat telah memilih dan mengangkat pemimpinnya sebagai Khalifah atas seluruh kaum muslimin, yang akan menjalankan sistem hukum berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Berdasarkan pemaparan di atas tadi, pernyataan bahwa pemilu itu wajib, apalagi wajib ‘ain adalah kekeliruan besar. Karena berarti telah menempatkan cara (uslub) sebagai metoda (thariqah). Sebaliknya pernyataan itu telah menyampingkan metoda (thariqah), bahkan menghilangkannya. Padahal hukum Islam terhadap cara (uslub) itu ya mubah saja, bisa yang ini, bisa juga yang itu. Sedangkan hukum Islam atas metoda (thariqah) adalah wajib! Sebab Islam memiliki banyak cara (uslub) untuk memilih seorang Khalifah, sebagaimana pernah dicontohkan pada masa pemilihan Khulafaur Rasyidin. Bukan hanya melalui pemilu.

Pemilu merupakan salah satu dari sekian banyak cara yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk memilih para wakil atau utusan-utusan. Rasulullah saw pernah mengatakan kepada orang-orang yang akan membai’atnya pada peristiwa bai’at aqabah ke-2:

"Pilihlah untukku 12 orang pemimpin dari kalian, yang akan menjadi pengurus segala kepentingan kaumnya." (lihat Sirah Ibnu Hisyam, jilid I, hal.434).

Selama berbagai cara di atas, termasuk juga cara pemilu dijalankan untuk memilih seorang pemimpin (kepala negara/Khalifah) yang akan menjalankan sistem hukum Islam berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, maka salah satu dari berbagai cara itu dibolehkan untuk dijalankan.

Hanya saja, kenyataan menunjukkan bahwasanya sistem-sistem pemerintahan yang ada di negeri-negeri Islam saat ini adalah sistem yang tidak Islami, sistem yang merujuk pada ideologi Demokrasi yang kufur dan bertentangan dengan Islam. Malah seluruh sistem itu tidak berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, kecuali sebagian urusan kecil. Maka apabila proses pemilu atau cara apapun yang digunakan untuk memilih wakil maupun memilih pemimpin itu digunakan untuk mendirikan sistem yang bertolak belakang dengan syariat Islam, tidak berlandaskan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, hukumnya berubah menjadi haram. Sebab yang diwajibkan oleh Islam adalah mengangkat pemimpin yang siap menjalankan sistem hukum dan pemerintahannya sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Khatimah

Jelaslah bahwa Islam mewajibkan kaum muslimin untuk mengangkat (membai'at) seorang khalifah sebagai pemimpin/kepala negara kaum muslimin di seluruh dunia. Sedangkan pemilu untuk memilih khalifah itu dalam syari'at Islam hukumnya sebagai uslub yang mubah.

Namun, jika pemilu dijadikan sebagai uslub untuk memilih wakil rakyat dan mengangkat kepala negara untuk menerapkan hukum-hukum yang tidak disyari'atkan oleh Allah SWT, maka Islam tidak membenarkan hal ini. Lalu bagaimana pula, pemilu seperti itu dikatakan wajib, bahkan wajib 'ain!?

Kiranya kita semua perlu merenungkan kembali. Wallahu a'lam bishawab!