Edisi 054
MEMECAHKAN MASALAH
KEMISKINAN
Berita alokasi Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang salah alamat, membuat berbagai kalangan menggelengkan kepala. Sekalipun sudah diantisipasi jauh hari sebelumnya, namun tak pernah terbayangkan, dana alokasi JPS yang salah alamat itu mencapai Rp 8 trilyun (Kompas,24/04/99). Dalam laporan terbarunya, Kompas (17/5/1999) menyebut bahwa angka salah alamat Rp. 8,6 trilyun maksudnya adalah salah anggaran, yakni yang teranggar sebagai program JPS Pendukung yang masuk dalam bidang-bidang industri, pengairan, transportasi, meteorologi dan geofisika, pertambangan dan energi, hukum, dan lain-lain. Adapun dalam program JPS inti untuk sektor pertanian, kehutanan, tenaga kerja, pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, peranan wanita, anak, dan remaja serta sektor lainnya yang benar-benar merupakan sasaran prgram JPS, terdapat kebocoran sebesar Rp. 411,746 milyar. Sedangkan dana yang seharusnya diterima korban krisis tetapi karena salah sasaran sekitar Rp. 518,096 milyar. Jadi jumlah dana JPS yang bocoran dan salah sasaran menurut penelitian sementara adalah hampir Rp. 1 trilyun!
Seperti diketahui, bahwa JPS ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin yang sudah semakin terhimpit beban ekonomi akibat krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan, termasuk di dalamnya korban-korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Melesetnya JPS, akibat pelaksanaan program JPS tidak efektif lantaran rendahnya kontrol di tingkat lokal. Apalagi program ini kurang disosialisasikan, tidak didukung data base yang kuat, dan target waktu yang sangat singkat, yakni target tiga bulan, sehingga pelaksanaannya cenderung sekedar mengejar target agar uang habis diserap (Kompas, 24/04/1999).
Wajar saja kemudian banyak pihak ada yang menuntut dihentikannya program JPS, seperti yang dilakukan ribuan masyarakat miskin kota, yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Bappenas. Mereka menuntut agar program JPS dihentikan, karena dana JPS tidak sampai kepada masyarakat miskin dan menghilangkan kreativitas rakyat untuk mandiri (Kompas, 23/04/99).
Sebenarnya siapa yang disebut dengan orang/masyarakat miskin itu? Dan bagaimana mekanisme pemecahan masalah kemiskinan ini menurut konsep dan hukum Islam? Tulisan ini menguraikannya.
Siapa Fakir Miskin?
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah SWT menggunakan istilah itu dalam firman-Nya:
ÒIjN Ag BÄÎn ËC
"atau orang miskin yang sangat fakir"
. (QS. Al Balad : 16).
Sedangkan kata fakir yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Sedangkan orang yang membutuhkan kata disebut fakir. Allah SWT berfirman:
jÎ jÎa Å ÏG OlÃC B ÏÃG Li B
"Lalu dia berdoa: "Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al Qashash : 24).
Dalam pengertian yang lebih definitif, Syaikh An Nabhani mengkategorikan orang yang punya harta (uang) tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sedangkan orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang) sekaligus tak punya penghasilan. (Nizhomul Iqtishadi fil Islam, hal. 236, Darul Ummah-Beirut). Pembedaan kategori ini tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al fuqara (orang-orang faqir) dan al masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya dalam QS. At Taubah 60.
Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata dan sudut manapun seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang, peradaban Barat Kapitalis pengemban sistem ekonomi Kapitalis memiliki gambaran/fakta tentang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap bahwasanya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang maupun jasa secara mutlak. Dan karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang maupun jasa, maka mereka menganggap usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itupun mengalami perkembangan dan perbedaan.
Akibatnya, standard kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki batasan-batasan yang fixed. Di AS atau di negara-negara Eropa Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Sementara di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan ini meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja dimanapun akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan masalah kemiskinan.
Berbeda halnya dengan pandangan Islam, yang melihat fakta kefakiran/kemiskinan sebagai perkara yang sama, baik di Eropa, AS maupun di negeri-negeri Islam. Bahkan pada zaman kapanpun, kemiskinan itu sama saja hakikatnya. Oleh karena itu, mekanisme dan cara penyelesaian atas problematika kemiskinan dalam pandangan Islam tetap sama, hukum-hukumnya fixed, tidak berubah dan tidak berbeda dari satu negeri ke negeri lainnya. Karena Islam memandang bahwa kemiskinan adalah fakta yang dihadapi umat manusia, baik itu muslim ataupun bukan.
Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Dan syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan dan papan. Allah SWT berfirman:
ËjBI ÅÈMÌnË ÅÈki É eÌÌA ÓË
"Dan kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf." (QS. Al Baqarah : 233).
ÁfUË Å ÁNÄm SÎY Å ÅÇÌÄmC
"Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu." (QS. Ath-Thalaq : 6)
Rasulullah saw bersabda:
"Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan." (HR. Ibnu Majah).
Dari ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok (primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) ummat manusia. Karenanya Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh Setan, sebagaimana firman Allah SWT:
jA ÁfÍ ÆBñÎrA
"Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan." (QS. Al Baqarah : 268).
Maka, siapapun dan dimanapun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)-nya, yaitu sandang, pangan dan papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir maupun miskin. Dengan demikian, setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan untuk mengentaskan - fakir miskin, harus ditujukan kepada mereka yang tergolong pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki pekerjaan tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara yang maruf, yakni fakir, ataupun yang tidak memiliki perkerjaan karena PHK atau sebab lainnya, yakni miskin.
Pemecahan Islam
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer (pokok) tersebut, Islam telah mewajibkan setiap muslim (khususnya yang laki-laki) untuk berusaha bekerja semaksimal mungkin agar dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dan kebutuhan pokok orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Namun demikian, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya karena tidak lagi memiliki harta (miskin), atau ia tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya tersebut (fakir), maka hukum Islam telah menjadikan orang tadi wajib ditolong oleh orang lain, agar ia dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya dengan normal.
Dalam hal ini Islam datang dengan mekanisme yang adil dan mampu menyelesaikan masalah tanpa masalah, ketika berhadapan dengan kefakiran dan kemiskinan. Setelah seseorang berupaya mencari nafkah hidup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya, namun tetap berada dalam kondisi fakir atau miskin, maka mekanisme penyelesaian perkara itu antara lain:
Pertama:
Islam mewajibkan kepada kerabat terdekat yang memiliki hubungan darah untuk membantu menanggung kebutuhan-kebutuhan pokok saudara senasabnya. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT:ÑfAË iBzM Ü BÈmË ÜG oà M Ü ËjBI ÅÈMÌnË ÅÈki É eÌÌA ÓË
g R TiAÌA ÓË ÊfÌI É eÌÌ ÜË BÇfÌI
"Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maruf. Seseorang tidak dibebani, selain menurut kadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan begitu pula (ahli) waris berkewajiban demikian."
(QS. Al Baqarah : 233).Yang dimaksud dengan dan begitu pula (ahli) waris berkewajiban demikian adalah bahwa ahli waris memiliki kewajiban yang sama dengan seorang ayah dari sisi kewajiban nafkah (makan) dan pakaian. Jadi siapa saja yang berhak memperoleh waris, maka orang-orang itu memiliki kewajiban untuk membantu dan menanggung pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok saudara senasabnya apabila mereka tergolong orang-orang yang fakir. Rasulullah saw telah mempertegas kewajiban keluarga dekat (kerabat dekat) ini sebagaimana yang digambarkan dalam sabdanya:
"Mulailah dari dirimu. Maka nafkahilah dirimu. Apabila ada kelebihan, maka peruntukkanlah bagi keluargamu. Apabila masih ada sisa kelebihan (setelah memberikan nafkah) terhadap keluargamu, maka peruntukkanlah bagi kerabat dekatmu. Apabila masih ada tersisa kelebihan (setelah memberi nafkah) terhadap kerabat dekatmu, maka beginilah. Dan begitulah (yang seharusnya) dia katakan. Maka, (mulailah) yang didepanmu, lalu terhadap kananmu, serta (kemudian) terhadap kirimu." (HR. Muslim).
Kedua:
Apabila kondisi pertama belum juga dapat menyelesaikan masalah kemiskinan, maka Islam memecahkannya dengan memberikan harta sedekah (zakat) yang dikumpulkan oleh negara (dalam kas baitul mal) dari para muzakki untuk diberikan kepada faqir miskin. Allah SWT berfirman:"BnAË ÕAj PBfvA BG
"Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para faqir miskin..."
(QS. At Taubah 60).Perlu diketahui bahwasanya di dalam kas negara (Baitul Mal) tersimpan harta-harta zakat, baik berbentuk produk-produk pertanian, zakat mal (emas dan perak, dan uang kertas), peternakan (kambing, unta, sapi), perdagangan, yang kesemuanya itu berhak dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pokok orang-orang faqir/miskin. Negara dalam hal ini dapat memaksa orang-orang muslim yang mampu mengeluarkan zakat, dan memberikan sanksi yang keras terhadap orang-orang muslim yang mampu namun tidak bersedia mengeluarkan zakat. Melalui pemecahan kedua ini, pada masa ke-Khilafahan Umar bin Abdul Aziz, negara kaum muslimin mampu mengatasi problema kemiskinan, sehingga amat sulit bagi negara untuk menemukan orang-orang faqir/miskin.
Ketiga:
Apabila kondisi kedua juga belum berhasil memecahkan problematika kemiskinan, maka Islam mengharuskan negara (pemerintahan Islam) menanggung kebutuhan pokok orang-orang faqir/miskin dari kas Baitul Mal di luar pos zakat. Sabda Rasulullah saw:"Siapa saja yang meninggalkan harta (karena mati), maka ia akan mewariskannya. Dan siapa saja yang meninggalkan kalla, maka ia menjadi kewajiban kami." (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan kalla adalah orang yang lemah, tidak memiliki anak, atau juga tidak memiliki orang tua. Dalam hal ini Rasulullah saw bertindak selaku kepala negara yang berkewajiban memenuhi dan menanggung seluruh kebutuhan pokok rakyatnya yang berada dalam keadaan faqir/miskin.
Keempat:
Apabila kas negara dalam keadaan kosong, maka kewajiban itu beralih kepada seluruh kaum muslimin yang memiliki kemampuan. Allah SWT berfirman:ÂËjZAË ÖBn Y ÁÈAÌC Ë
"Dan di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta, yang tidak memperoleh bagian."
(QS. Ad Dzariyaat 19).Islam bahkan menganggap seorang muslim yang tidak mau peduli dan tidak terketuk hatinya terhadap problematika kemiskinan yang ada di sekitarnya sebagai tidak lagi beriman kepada Rasulullah saw. Sabda Rasulullah saw:
"Tidaklah beriman kepadaku, siapa saja yang tidur kekenyangan sementara tetangga (disampingnya) kelaparan, padahal ia mengetahui hal itu." (HR. al Bazzaar).
Hadits ini menghubungkan antara perkara keimanan dengan kepedulian kita terhadap orang-orang faqir/miskin. Dan menegaskan tidak adanya keimanan bagi orang-orang yang tidak mau peduli dengan upaya pemecahan kemiskinan yang ada di sekelilingnya.
Khatimah
Dengan demikian, tidak ada ideologi atau agama manapun yang sedemikian rinci dan menjelaskan mekanisme-mekanisme yang harus dijalankan pemeluknya menghadapi berbagai problematika kehidupan, kecuali Dinul Islam. Di sinilah letaknya Diinul Islam sebagai sumber hukum, pegangan hidup, azas, fikroh (pemikiran), metodologi (thariqah), tolok ukur, poros hidup yang wajib dianut, dimiliki, dijalankan, diperjuangkan, diemban dan dipropagandakan oleh setiap muslim ke seluruh pelosok dunia.
Islam telah menegaskan pula kategori faqir/miskin, cara pemecahannya yang unik dan berjenjang, pengkhususan harta yang digunakan untuk memecahkan problematika kemiskinan (zakat disamping infaq dan shodaqoh). Malah menyatukan perkara pemecahan kemiskinan dengan keimanan seseorang. Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita wajib memahami, bahwa Islam memiliki sistem/mekanisme bahkan yang lebih praktis dan teliti yang menuntun dan menuntut pemeluknya untuk konsisten dengan apa yang telah Allah SWT berikan kepada kita, berupa hukum-hukum Islam. Dan berusaha mewujudkannya secara terus menerus dan sungguh-sungguh, agar Dinul Islam sebagai ajaran rahmatan lil alamin dapat terwujud di tengah-tengah ummat manusia.
Jika, metoda pemecahan masalah kemiskinan ini dilaksanakan oleh negara yang mayoritasnya muslim ini, maka anak cucu kita tak perlu menanggung tambahan beban membayar kepada Bank Dunia dan IMF akibat nenek moyang mereka mengambil program social safety net loan dengan ribanya yang tidak diridlai Allah SWT tentunya!
Wallaahu a'lam!