Edisi 055
MENANGANI HARTA
PAK HARTO DKK
Majalah Time edisi Asia dalam laporan utamanya edisi 24 Mei 1999 yang berjudul Suharto Inc. mengulas kekayaan mantan Presiden Soeharto. Harta keluarga Cendana disebut mencapai 15 milyar dollar (setara Rp. 120 trilyun, dengan asumsi kurs satu dollar ± Rp. 8.000) dalam bentuk uang tunai maupun berbagai aset. Majalah Amerika itu juga menyebut bahwa pada bulan Juli 1998 Soeharto mentransfer uang 9 milyar dollar AS dari Swiss ke sebuah bank di Austria.
Namun Soeharto menolak pemberitaan Time dan menyatakannya sebagai bohong dan fitnah belaka. Bahkan melalui pengacaranya, mantan presiden berkuasa selama 32 tahun itu mengajukan somasi (warning letter). Namun majalah yang berpusat di Newyork itu menolak somasi itu dan tetap bertahan dengan berita yang dibuatnya. TM Lubis yang menjadi kuasa hukumnya mengatakan bahwa Time tidak berniat melakukan pemberitaan bohong dan memfitnah orang (Kompas, 23/5/99).
Menurut sejumlah pengamat, laporan Time itu sebenarnya perkara yang sudah lama diketahui masyarakat. Andi Hamzah, mantan Kepala Balitbang Kejagung yang juga pengamat masalah korupsi mengatakan bahwa yang baru dari Time hanyalah masalah transfer 9 milyar ke Austria (Kompas, idem).
Tak urung laporan yang tampak sengaja diturunkan pada momentum kampanye menjelang pemilu ini memang merepotkan pemerintahan Habibie. Saran pengusutan tuntas datang dari berbagai pihak, sebab kalau tidak akan bisa dijadikan bahan kampanye bagi lawan-lawan Habibie. Bahkan Partai Golkar sendiri bakal mencabut pencalonan Habibie jika tidak dapat menuntaskan masalah pengusutan Pak Harto (Republika, 24/5/99). Namun, kata Soetjipto Wirosardjono, nampaknya Habibie lebih mendahulukan agenda Pemilu daripada agenda mengadili mantan Presiden Soeharto (Republika, 23/5/99).
Kenapa masalah pengusutan harta mantan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung kurang lebih setahun ini terkesan bertele-tele? Apa saja problem-problemnya? Bagaimana menyelesaikan problem itu menurut syari'at Islam? Tulisan ini mencoba menguraikannya.
Problem-problem Seputar Pengadilan Mantan Presiden Soeharto
Jaksa Agung Andi M Ghalib mengatakan telah membentuk tim untuk menangani masalah ini dan menyatakan kemungkinannya melakukan cross-chek kepada Pak Harto tentang laporan itu, misalnya adanya account di Austria. Kalau cocok, katanya, ia dapat surat kuasa dan akan terbang ke Austria.
Apa yang dikatakan Ghalib memang sulit terlaksana. Sebab, sebagaimana telah disebut di atas, Soeharto menolak pemberitaan Time. Oleh karena itu, follow up pengusutan sulit diharapkan.
Ada sejumlah alasan yang menjadi problem bagi pengusutan dan pengadilan mantan presiden Soeharto.
Pertama, sikap kejagung yang tampak kurang tegas dan tampak mengulur waktu. Menurut pengamat sospol UGM Muhajir Darwin, laporan hasil investigasi Time yang menunjukkan indikasi kuat atas dugaan KKN yang dilakukan Soeharto harus segera ditindaklanjuti tanpa menunggu pemilu. Darwin melihat bahwa persoalan mantan presiden ini tak cukup hanya dilihat dari argumentasi yuridis formal, tapi harus juga dilihat dari kalkulasi politik. Ia menambahkan, sejak awal sikap kehati-hatian Kejagung tampak bermuatan politik, yakni melindungi mantan presiden Soeharto (Republika, 24/5/99). Apa yang dilakukan oleh Kejagung ini kemudian dipahami sebagai sikap politik sistem yang kemudian dicap dengan istilah Status Quo.
Kedua, cara melihat persoalan hukum atas kasus mantan presiden ini yang berbeda antara pihak kejagung dengan masyarakat, dalam hal ini diwakili oleh tokoh politik semacam Dr. H.M. Amien Rais. Sebagaimana diungkap oleh Peneliti di Pusdiklat BPKP Bambang Setiono (Republika, 19/5/99) Jaksa Agung Andi Ghalib melihat korupsi lebih kepada formalitas terjadinya korupsi (form over substance). Artinya, jika tindakan yang dilakukan selama tidak melanggar peraturan yang berlaku, maka tidak disebut terjadi korupsi. Adapun Amien Rais melihat masalah korupsi menggunakan prinsip substansi mengalahkan formalitas (substance over form). Bagaimana mungkin sebuah keluarga presiden dan para kroninya dapat memiliki kekayaan sampai triliunan dalam tempo relatif singkat? Dan perolehan itu telah menyengsarakan masyarakat banyak, sekalipun legal. Sebut saja kasus pemotongan hasil penjualan petani cengkeh oleh BPPC yang dikendalikan oleh Tommy Soeharto.
Persoalan ini tetap pelik lantaran tidak ada yang berani mendobrak prinsip yang digunakan kejagung.
Ketiga, persyaratan prosedur yang diajukan oleh pihak bank-bank di Swiss maupun Austria untuk pengusutan rekening klien berupa pengadilan terhadap yang bersangkutan, atau minimal menjadikan yang bersangkutan sebagai tersangka.
Maka selama pengusutan masalah mantan Presiden Soeharto dengan prinsip dan anatomi seperti yang dijalankan selama ini, pengusutan secara formal melalui kejagung tak akan pernah menunjukkan kemajuan apapun.
Jelas bahwa sistem hukum dan pengadilan yang diterapkan selama ini tak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang sangat jelas itu. Sulit dijumpai adanya orang yang tidak bisa merasakan adanya KKN dan kejahatan-kejahatan yang lain selama pemerintahan Orde Baru. Tapi tak ada yang mampu menangkapnya secara hukum.
Oleh karena itu, penggunaan sistem hukum lain yang bisa menyelesaikan masalah yang sudah sangat jelas itu adalah keharusan.
Tindakan Hukum Islam Terhadap Kekayaan Gelap Pejabat
Al Baghdadi dalam Hukmul Islam fi malil Ghulul minal Hukkam wa Muwazhzhafid Daulah mengatakan bahwa kekayaan gelap adalah kekayaan yang diperoleh para penguasa, para kepala daerah dan para pejabat lainnya secara tidak sah, baik kekayaan itu berasal dari kekayaan negara maupun kekayaan penduduk. Yang halal dan sah diperoleh mereka ialah penghasilan yang telah ditetapkan oleh negara bagi mereka, seperti gaji, ganti-rugi dan lain sebagainya. Kekayaan lainnya yang diperoleh dengan jalan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan adalah kekayaan gelap dan haram dimiliki.
Harta kekayaan gelap itu harus dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui dengan jelas. Jika tidak, maka kekayaan gelap itu harus disita oleh negara dan dimasukkan ke dalam BaitulMal (Kas Negara). Allah SWT telah memperingatkan dalam firman-Nya:
"Barang siapa berbuat curang, pada hari kiamat ia akan datang membawa hasil kecurangannya, kemudian setiap orang menerima balasan setimpal atas segala yang telah dilakukannya, dan mereka tidak diperlakukan secara zhalim." (QS. Ali Imran :161).
Menurut ayat itu, siapa saja yang menyembunyikan sesuatu yang berasal dari harta kekayaan milik umum pada hari kiamat mereka akan dibangkitkan dalam keadaan memikul beban kecurangannya itu di atas punggungnya. Ia disiksa dengan harus memikul beban berat kejahatannya dan ia akan dipertontonkan kepada orang banyak.
Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Buraidah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Barang siapa yang kami beri tugas melakukan sesuatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rizki (imbalan berupa gaji atau lainnya), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan."
Dalam hadits yang lain diriwayatkan bahwa Nabi secara tegas mengancam para pejabat yang hendak melakukan tindakan korupsi. Beliau bersabda:
"Hai kaum Muslimin, barangsiapa di antara kalian melakukan pekerjaan untuk kami, kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang, dan kecurangan itu akan dibawanya pada hari kiamat."
Artinya, bagi orang yang masih memiliki keimanan kepada kebenaran Islam, kebenaran firman Allah SWT dan sabda Rasul-Nya, tentunya akan tergores dalam hatinya sebuah penyesalan dan rasa takut yang mendalam, manakala dia melakukan tindakan korupsi.
Dan dalam situasi negara dan rakyat yang sedang ditimpa krisis ekonomi yang begitu hebat seperti sekarang ini, sikap kesatria seorang yang masih mengaku muslim adalah bertaubat, mengakui segala kesalahan dan tindakan kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, dan seiring dengan itu adalah menyerahkan kembali kepada negara seluruh harta kekayaan yang merupakan penggelapan kekayaan negara (juga kekayaan hasil rampasan terhadap rakyat yang tak berdaya) itu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Bukan malah menyembunyikan diri di balik prosedur hukum formal yang ada. Allah SWT mengancam siapa saja yang berbuat demikian, sebagaimana firman-Nya:
"Dan janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan bathil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu)." (QS. Al-Baqarah: 188).
.
Itu cara Islam membimbing para pelaku tindak korupsi untuk mensucikan diri sebelum kembali ke akhirat kelak.
Namun Islam bukanlah sistem yang hanya bertopang kepada kesadaran dan ketaqwaan individu semata. Islam ditegakkan dengan kepedulian masyarakat kaum muslimin untuk amar ma'ruf nahi mungkar. Menyuruh pribad-pribadi pelaku korupsi untuk bertaubat dan menyerahkan kembali harta curang hasil korupsinya kepada negara atau rakyat yang dirugikan, serta melarang yang bersangkutan menmpuh jalan buruk dengan berkelit di balik prosedur hukum formal adalah salah satu bagian dari tindakan amar ma'ruf nahi mungkar.
Demikian juga mendesak pemerintah untuk mengusur serta mengadili pelaku tindak korupsi dan melarangnya bermain-main mengelabui rakyat banyak adalah juga tindakan amar ma'ruf nahi mungkar.
Dan negara sebagai lembaga penerap hukum Islam harus bertindak adil dalam menangani setiap perkara kriminal (jarimah). Janganlah kejahatan rakyat kecil cepat ditangani, tetapi kjejahatan orang-orang berkelas tinggi seolah dilupakan. Ketika Rasulullah saw. mendengar orang-orang meminta bantuan kepada orang yang sangat dekat dengan beliau saw., yakni Usamah bin Zaid, agar memintakan maaf kepada beliau saw. terhadap kasus pencurian yang dilakukan oleh seorang bangsawan wanita Quraisy, beliau saw. menolaknya dengan tegas. Beliau bersabda:
"Sungguh, hancurnya umat-umat sebelum kalian adalah manakala kalangan rakyat jelata melanggar aturan Allah, mereka menghukumnya, tetapi jika kalangan bangsawan yang melanggarnya, mereka enggan melaksanakan. Maka sekiranya putriku Fathimah binti Rasulillah mencuri, niscaya kupotong tangannya".
Pernyataan Rasulullah saw. bukanlah semata ucapan beliau secara pribadi atau dalam kedudukan sebagai Rasul, tetapi lebih sebagai kepala negara.
Rasulullah saw. menerapkan disiplin ketat terhadap para pejabatnya. Bahkan menerima hadiah saja beliau larang. Beliau mengatakan kepada salah seorang pejabatnya yang secara jujur menyampaikan bahwa dia mendapatkan hadiah dari penduduk Bahrain:
"...Jika benar apa yang dikatakannya, apakah tidak lebih baik ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya?"
Khalifah Umar bin Al Khaththab r.a., sebagai pelanjut kepemimpinan kaum muslimin setelah Rasulullah saw. dan Abu Bakar r.a., apabila ia meragukan kekayaan seorang penguasa atau pejabat, beliau tidak segan-segan menyita jumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah.
Kadang-kadang jumlah kelebihan itu dibagi dua, separoh untuk yang bersangkutan dan yang separoh lainnya diserahkan kepada Baitul-Mal. Khalifah 'Umar selalu menghitung dan mencatat kekayaan seseorang sebelum ia diangkat sebagai penguasa atau sebagai kepada daerah. Sehabis masa tugasnya kekayaan pejabat negara itu dihitung kembali. Jika ternyata ia mempunyai kekayaan tambahan yang diragukan, maka kelebihannya disita atau dibagi dua. Separoh untuk yang bersangkutan. Separoh lainnya diserahkan kepada Baitul-Mal (Tarikhul-Khulafa hal 132).
Kalau sesuatu yang diragukan atas harta kekayaan pejabat saja sudah cukup untuk melakukan penyitaan, apalagi jika keberadaan harta itu jelas mustahil diperoleh dari luar korupsi!
Tindakan Khalifah Umar itu memberikan pelajaran kepada kita bahwa menangani harta pejabat tidak perlu dengan pembuktian terperinci. Justru pejabat itu yang harus merinci bukti-bukti perolehan hartanya. Menangani persoalan hukum harta pejabat tidak sama dengan rakyat. Sebab, menjadi pejabat dalam pandangan Islam adalah mengemban amanat mengurus urusan kemaslahatan rakyat tanpa jam kerja, alias stand by 24 jam.
Demikian juga terhadap mereka yang berada di sekitar para pejabat. Ketika Abu Bakrah disita separoh harta kekayaannya oleh Khalifah 'Umar, ia mencoba melawan dengan mengatakan: "Aku tidak bekerja pada anda!". Khalifah Umar menjawab: "Ya, tetapi saudaramu bekerja sebagai pengurus Baitul-Mal dan bagi-hasil tanah garapan di Ubullah (suatu tempat di Basrah, Iraq), ia meminjamkan uang (dari Baitul-Mal) kepadamu untuk berdagang !" Khalifah 'Umar lalu mengambil 10.000 dinar dan dibagi dua. Abu Bakrah mengambil separohnya. (Syahidul Mihrab hal.284).
Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz mencabut semua tanah garapan, hak-hak istimewa orang-orang Bani Umayyah, dan hak mereka atas kekayaan lainnya yang mereka peroleh dengan jalan kekerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Beliau r.a. memulai dari dirinya sendiri, melepaskan haknya atas seluruh kekayaannya, semua hewan tunggangannya, semua perkakas rumah tangga dan semua minyak wangi simpanannya. Semuannya itu dijual dengan harga 23.000 dinar, kemudian diserahkan kepada Baitul-Mal ("Thabaqat" Ibnu Sa'ad Jilid V halaman 330).
Khatimah
Demikianlah, Islam tidak segan-segan mengambil tindakan terhadap kekayaan para penguasa dan pejabat yang tidak sah, yakni dengan jalan menyalahgunakan kedudukan dan jabatan. Dengan cara Islam, penanganan kasus mantan presiden Soeharto bukanlah perkara yang rumit.
Namun hukum itu tak mungkin terlaksana tanpa adanya aktualisasi iman dan taqwa kaum muslimin dalam bentuk sistem hukum dan pemerintahan yang diwariskan Nabi saw., sistem khilafah.
Tapi untuk mewujudkan sistem itu memang butuh keyakinan. Marilah kita renungkan firman Allah SWT:
ÆÌijÌÍ ÂÌ´» BÀ¸Y ɼ»A Å¿ ÅnYC Å¿Ë Æ̬JÍ ÒμÇB†A Á¸Z¯C
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?" (QS. Al Maidah 50).
HADIRILAH KAJIAN ISLAM TEMATIK
SISTEM PEMERINTAHAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Pembicara: KH. Ir. M. Al Khaththath (Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam)
Ali Bisir (Partai Bulan Bintang)
Priyatna Kusuma (Forum Ijtihad Politik)
Waktu dan Tempat: Masjid Alumni IPB, Jl. Pajajaran Bogor
Hari Ahad, 30 Mei 1999
Pukul. 08.30 - 12.00 WIB
Hasil kerjasama LPPD Bina Islami Bogor dengan Bidang Dakwah Masjid Alumni IPB