Edisi 056
AGAMA DAN NEGARA
Dalam Pandangan Islam
Pembicaraan publik tentang hubungan agama dan negara kembali mencuat. Kompas (28-29/5/99) secara khusus mengungkap pandangan mengenai hubungan agama dan negara dari beberapa partai politik peserta pemilu (PKU, Golkar, PBB, PKB, PAN, dan PK).
Asnawi Latief, Sekjen PKU, menyatakan bahwa hubungan agama dan negara sudah selesai dan tak ada masalah. Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler, melainkan negara Ketuhanan, katanya. Sementara Slamet Effendy Yusuf, ketua partai Golkar, berpendapat bahwa nilai substansial dari agama harus tercermin dalam keseluruhan pengelolaan negara, tanpa harus menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Senada dengan ini, adalah pernyataan Wakil Sekjen PAN, Hasballah M.Saad. Katanya, negara itu tidak mempunyai agama, tetapi warga negara punya agama. (Kompas, 28-29/5/1999).
Berbeda dari mereka, adalah pendapat Dr. HM. Hidayat Nur Wahid (PK) dan H. Ahmad Sumargono (PBB). Menurut Hidayat, ungkapan Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler mengandung ambivalen dan kontraproduktif. Ungkapan ini menafikan faktor agama dalam kehidupan bernegara, seolah-olah nilai agama boleh dipinggirkan. Sedang Sumargono menyatakan, dalam Islam, agama dan negara tak bisa dipisahkan. (Ibid., 28-29/5/99).
Yang tampak paling kontroversial adalah pandangan Dr. Alwi Shihab, Ketua PKB. Mengacu kepada pendapat Ali Abdur Raziq, pengarang kitab Al Islam wa Ushulul Hukm, Alwi berpandangan, pertama, Nabi Muhammad SAW tidak diperintahkan membentuk negara, dan otoritasnya pun hanya di bidang spiritual saja. Kedua, Islam tidak mencanangkan sistem negara tertentu, apakah itu monarki, republik, atau apa pun. Ketiga, bentuk pemerintahan yang didirikan setelah wafatnya Nabi SAW (Khilafah) tidak memiliki landasan doktrin, tetapi hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis saja, yang kemudian baru dinyatakan legitimate dari segi doktrin. Keempat, dalam sejarah Islam, pemerintahan yang diberi legitimasi agama (yaitu Khilafah, yang menurutnya seharusnya tidak ada!) bertanggung jawab atas lahirnya tirani. (Ibid., 29/5/99)
Umat mungkin bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya hubungan agama dan negara dalam pandangan Islam? Siapa itu Ali Abdur Raziq yang pendapatnya diadopsi oleh Alwi Shihab? Tulisan ini mencoba menguraikannya.
Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Setidaknya terdapat tiga pandangan hubungan agama-negara, sesuai dengan ketiga ideologi yang ada di dunia dewasa ini; Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam,.
Pertama, agama tidak mendapat tempat sama sekali dalam kehidupan bernegara. Sebab agama dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya bagaikan candu bagi masyarakat. Agama dipandang sebagai ilusi belaka yang diciptakan kaum agamawan yang berkolaborasi dengan penguasa borjuis, dengan tujuan untuk meninabobokkan rakyat sehingga rakyat lebih mudah ditindas dan dieksploitir. Agama dianggap khayalan, karena berhubungan dengan hal-hal gaib yang non-empirik. Segala sesuatu yang ada, dalam pandangan ini, adalah benda (materi) belaka. Inilah pandangan ideologi Sosialisme yang telah diadopsi oleh negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan sebagainya.
Kedua, agama terpisah dari negara. Pandangan ini tidak menafikan agama, tetapi hanya menolak peran agama dalam kehidupan publik. Agama hanya menjadi urusan pribadi antara manusia dengan Tuhan, atau sekedar sebagai ajaran moral atau etika bagi individu, tetapi tidak menjadi peraturan untuk kehidupan bernegara dan bermasyarakat, seperti peraturan untuk sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem sosial, dan sebagainya. Pandangan ini dikenal dengan Sekularisme, yang menjadi asas ideologi Kapitalisme yang dianut negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Eropa serta negara-negara lain pengikut mereka.
Ketiga, agama tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Agama bukan sekedar urusan pribadi atau ajaran moral yang bersifat individual belaka, melainkan pengatur bagi seluruh interaksi yang dilakukan oleh manusia dalam hidupnya, baik interaksi manusia dengan Tuhan, manusia dengan dirinya sendiri, maupun manusia yang satu dengan manusia yang lain. Keberadaan negara bahkan dipandang sebagai syarat mutlak agar seluruh peraturan agama dapat diterapkan. Inilah pandangan ideologi Islam, yang pernah diterapkan sejak Rasulullah SAW berhijrah dan menjadi kepala negara Islam di Madinah hingga hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924. (Lihat Taqiyuddin An Nabhani, Nizhamul Islam, hal. 24-26; juga Abdul Qadim Zallum, Ad Dimuqrathiyah Nizham Kufur, hal. 39-40).
Islam adalah agama yang telah sempurna lagipula menjelaskan segala sesuatu. Artinya, Islam telah menjangkau dan menerangkan peraturan untuk semua perbuatan manusia dalam segala aspek kehidupannya, secara sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya aspek kenegaraan. Allah SWT berfirman :
BÄÍe ÂÝmâA Á OÎyiË ÏNÀÃ ÁÎ OÀCË ÁÄÍe Á OÀC ÂÌÎA
"Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridlai Islam itu menjadi agama bagi kalian."
(QS. Al Maa`idah 3)Allah SWT berfirman :
ÕÏq BÃBÎJM LBNA Î BÄlÃË
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu."
(QS. An Nahl 89).Walhasil, Islam tidak pernah melalaikan dan mendiamkan satu pun perbuatan manusia, apalagi aspek kenegaraan yang sangat berpengaruh atas masyarakat luas. Mengatakan Islam tidak punya konsep negara, sama saja menganggap Islam tidak sempurna. Tentu saja, kesempurnaan Islam tidak berarti semua hukum-hukumnya sudah tersedia secara instan seperti ensiklopedi atau buku pintar, sehingga tinggal diterapkan begitu saja. Tidak demikian, sebab terkadang Islam menjelaskan suatu perbuatan dengan nash Al Qur`an dan As Sunnah, dan terkadang dengan menetapkan amaarah (tanda/isyarat) dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menunjukkan suatu status hukum. Untuk yang kedua ini, kaum muslimin tidak bisa hanya berpangku tangan, tetapi harus mengerahkan daya pikir untuk berijtihad guna mengetahui hukum-hukumnya (Lihat Abdul Qadim Zallum, idem, hal. 32-33).
Berdasarkan keyakinan akan kesempurnaan Islam itu, wajarlah jika para ulama yang terpercaya menyusun formulasi hubungan agama-negara secara tepat, yakni sebagai satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Abdul Qadir 'Audah, misalnya, menerangkan bahwa Islam adalah agama yang menyeluruh, yang di dalamnya tercakup aspek kenegaraan. Beliau mengatakan :
ÒËe É ÆÌM ÆC ÂÝmâA ÒÎJ ÏË ÒËeË ÅÍe ÌÇ BGË KnZ BÄÍe oÎ ÂÝmâAË
"Islam itu bukanlah sekedar agama (ritual) belaka, akan tetapi ia adalah agama dan (di antaranya adalah) negara. Dan sudah menjadi tabi'at agama Islam, bahwa dia itu mempunyai negara untuk melaksanakan Islam..."
(Lihat Abdul Qadir 'Audah, Al Islam wa Audla'una As Siyasiyah, hal. 19)Muhammad Al Ghazali menjelaskan hubungan erat agama-negara dengan mengatakan :
`Ëi ÝI fnU ËC ÑjÀQ ÝI ÑjVq ÒËe ÝI ÂÝmAË
"Islam tanpa negara adalah bagaikan pohon tanpa buah, atau bagaikan tubuh tanpa nyawa."
(Lihat M Al Ghazali, Ma'rakat Al Mushhaf, hal. 68)Sementara itu Imam Al Ghazali menyatakan bahwa agama dan kekuasaan (baca:negara), adalah bagaikan saudara kembar, serta saling membutuhkan satu sama lain. Jadi, keduanya tak terpisahkan. Beliau mengatakan :
piBY ÆBñnAË pC ÅÍfA Î AhÈË ÆBCÌM ÆBñnAË ÅÍfA Î AhÈË
©@ÙBz É piBYÜBË ÂËfÈ É pC ÜBË
"...Oleh karena itu, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah bagaikan dua saudara kembar. Dikatakan pula, bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi akan runtuh, sedang segala sesuatu yang tidak berpenjaga akan hilang lenyap."
(Lihat Imam Al Ghazali, Al Iqtishad fil I'tiqad, hal. 199)Selain itu, tak sedikit ulama yang menerangkan, bahwa keberadaan negara Islam sangatlah mutlak demi terlaksananya beranekaragam hukum yang memang tak akan dapat berjalan tanpa negara, seperti ahkam jina`iyah (sanksi-sanksi pidana) misalnya qishash, ahkam maaliyah (aspek keuangan dan perekonomian) misalnya pengumpulan dan pendistribusian zakat, ahkam dauliyah (hubungan internasional) misalnya jihad dan cabang-cabang hukumnya seperti pembagian ghanimah dan penebusan tawanan perang, dan ahkam dusturiah (aspek pemerintahan) misalnya hak dan kewajiban dari penguasa dan rakyat. Muhammad bin Al Mubarak, misalnya, berkata :
...ÒËeË ÁY eÌUË ÆËe BÇhÎÄM iÌvNÍÜ BBYC ÆEjA ÅÀzNÍ
ÂÝmâA Å ÐiËjy ÕlU ÒñnAË ÁBI ÝñyÜAË ÒËfA ÒBG ÆG
ÉÃËfI ÅÎÀnA ÂÝmG ÁNÍÜË ÉI ÜG ÂÌÍÜË
"Al Qur`an mengandung hukum-hukum yang mustahil dapat diterapkan tanpa adanya pemerintahan dan negara (Islam), yang mengambil dan menerapkan hukum-hukum itu...Maka sesungguhnya mendirikan negara dan menjalankan tugas pemerintahan dan kekuasaan, adalah bagian substansial dari ajaran Islam. Islam tak akan tegak sempurna tanpa negara dan bahkan keislaman kaum muslimin pun tak akan sempurna tanpa negara."
(Muhammad bin Al Mubarak, Al Hukmu wa Ad Daulah, hal. 11)Demikianlah sekelumit pandangan ulama yang mengungkapkan hubungan agama-negara menurut Islam. Jelas bahwa agama (Islam) memang tidak terpisah dari negara, sebab agama mengatur segala aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek politik dan kenegaraan. Dengan kata lain, hubungan agama dan negara, adalah hubungan keseluruhan dengan sebagian dari keseluruhan itu. Namun kedudukan negara berbeda dengan bagian-bagian lain dari ajaran Islam. Kedudukan negara dipandang sangat urgen, karena pelaksanaan ajaran-ajaran Islam secara total, bertumpu pada keberadaan institusi negara. Karenanya, keberadaan negara merupakan syarat mutlak dan esensial, agar seluruh peraturan Islam dapat diterapkan secara kaffah tanpa mengecualikan yang satu dari lainnya.
Sejalan dengan pandangan di atas, maka sudah sewajarnya dan bahkan sudah seharusnya, bila Islam mewajibkan eksistensi negara yang bertugas menerapkan Islam secara total. Inilah negara Islam, atau dalam khazanah hukum Islam, dikenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah. Dalam hal ini, seluruh ulama di sepanjang jaman telah sepakat bahwa mengangkat seorang Khalifah atau mendirikan Khilafah, adalah suatu kewajiban. Hanya segelintir saja yang mengatakan tidak wajib, dan itu pun dianggap sebagai pendapat yang tidak mu'tabar (tidak perlu dianggap), karena bertentangan dengan nash-nash syara'.
Syaikh Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh 'Ala Al Madzahib Al Arba'ah, juz 5, halaman 614 menegaskan :
ÅÎÀnÀ fIÜ ÉÃAË .~j ÒBâA ÆCÓÓBM ÉA ÁÈi ÒÀ@ÙÞA MG
ÅÎBA Å ÅÎÌA vÄÍË ÅÍfAj@ÙBq ÁÎÍ ÂBG Å
"Para imam (yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardlu, dan bahwa kaum muslimin wajib mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syi'ar-syi'ar agama, dan menolong orang-orang yang dizhalimi..."
Bahkan kewajiban Khilafah tersebut bukan saja pegangan kaum Ahlus Sunnah, melainkan juga golongan-golongan lain. Imam Ibnu Hazm mengatakan :
XiAÌA ©ÎË ÒÎrA ©ÎË Ò@ØUjA ©ÎË ÒÄnA ÇC ©Î MA
ÉA ÂBYC ÁÈÎ ÁÎÍ eB ÂBâ eBÎÃÜABÈÎ KUAË ÒÞA ÆCË ÒBâA LÌUË Ó
ÁmË ÉÎ ÉAÓu ÉA Ìmi BÈIÓMC ÏNA ÒÍjrA ÂBYDI ÁÈmÌnÍË
"Seluruh golongan Ahlus Sunnah, Murji`ah, Syi'ah, dan Khawarij telah sepakat mengenai kewajiban Imamah, dan bahwa umat wajib mentaati Imam yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah dan memimpin mereka dengan hukum-hukum syari'at yang dibawa oleh Rasulullah SAW
..." (Lihat Ibnu Hazm, Al Fashlu fil Milal wal Ahwa` wan Nihal, juz 4, hal. 87)Di antara segelintir orang yang menolak kewajiban Khilafah, misalnya An Najdaat dari golongan Khawarij, dan Al Asham. Tapi orang-orang semacam ini oleh Imam Al Qurthubi dianggap orang yang tuli dari syari'ah, yakni tidak mau mendengar kebenaran dari syari'at. Imam Al Qurthubi berkata :
ÁuÞA Å ÐËi B ÜG ÒÀ@ÙÞA ÅÎIÜË ÒÞA ÅÎI g LÌUË Ï ÝaÜË
ÉJÇhË ÉÍCi Ó ÊÌJMAË ÉÌI B Å hË @ ÁuC @ ÒÍjrA Å ÆB SÎY
"Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya perkara itu (yakni, kewajiban Khilafah) baik di antara umat maupun di antara para imam, kecuali pendapat Al Asham --yang tuli (Arab: "asham"=tuli) terhadap syari'at-- dan siapa saja yang mengambil dan mengikuti pendapatnya."
(Lihat Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, juz 1, hal. 264)Jelas, bahwa mendirikan negara Islam (Khilafah/Imamah) merupakan suatu kewajiban yang telah disepakati ulama di segala jaman (lihat Ensiklopedi Ijmak, Sa'di Abu Habieb, Terj. KH. A. Sahal Machfudz & H.A. Musthofa Bisri, Kata Pengantar KH. Abdurrahman Wahid, Pustaka Firdaus, hal. 312). Dan ini, merupakan bukti pula betapa erat dan padunya hubungan agama dengan negara. Agama dan negara tidak terpisahkan dalam Islam!
Pendapat Yang Batil
Berdasarkan uraian sebelumnya, kiranya kita dapat menilai dan memaklumi sejauh mana kualitas dan validitas dari pernyataan-pernyataan tokoh-tokoh PKU, Golkar, PBB, PKB, PAN, dan PK di atas. Pendapat Dr. HM. Hidayat Nur Wahid (PK) dan Ahmad Sumargono (PBB), boleh dikata relatif "Islami", terbebas dari polusi ideologi Kapitalisme yang sekularistik itu. Sayang, kedua tokoh itu belum secara tuntas mengartikulasikan tipologi negara ideal yang menjadi cita-cita mereka. Tidak tegas menyebut Khilafah.
Pernyataan Asnawi Latief (PKU) bahwa Indonesia bukan negara agama, bukan pula negara sekuler sebenarnya terjebak oleh tipologi negara yang dibuat oleh Barat, yakni seolah tipe negara cuma theokrasi dan demokrasi. Konsep negara theokrasi di Eropa --yang intinya adalah mendapatkan legitimasi dari Tuhan namun hukum dibuat oleh para tokoh gereja sendiri-- memang tidak bisa dibenarkan. Namun mengidentikkan negara Khilafah Islamiyyah sebagai theokrasi adalah kesalahan lain. Padahal Negara Khilafah Islamiyyah bukan theokrasi dan bukan demokrasi. Oleh karena itu, pernyataan tokoh PKU tersebut --disadari atau tidak-- bisa jatuh pada pengingkaran terhadap kewajiban Khilafah dalam Islam. Padahal beliau adalah tokoh partai dengan basis massa NU yang mengaku Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Ahlus Sunnah itu tidak pernah mengingkari kewajiban Khilafah (lihat Sa'di Abu Habieb, idem).
Pernyataan Slamet Effendy Yusuf (Partai Golkar) dan Hasballah M. Saad (PAN) setali tiga uang. Sama-sama sekularistik, menolak peran agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sangat disayangkan, kedua partai yang pendukungnya mayoritas muslim itu --disadari atau tidak-- kok malah menggiring massanya kepada ideologi Sekularisme!
Yang membuat kita geleng-geleng kepala adalah pendapat Alwi Shihab (PKB), yang mengambil pendapat Ali Abdur Raziq dalam kitabnya Al Islam wa Ushulul Hukm, yang sebenarnya ditulis demi kepentingan penjajah Inggris pada PD I untuk menghancurkan Khilafah. Kitab sekularistik itu ditulis antara 1915-1918 oleh Ali Abdur Raziq, yang selain seorang hakim peradilan agama Mesir, juga anggota partai Hizbul Ahraar Ad Dusturiyin (berdiri 1915). Partai ini adalah kepanjangan tangan partai Hizbul Ummah, yang dibentuk 1907 berdasarkan arahan penjajah Inggris melalui kaki tangannya, Lord Kromer (lihat Ismail Al Kailani, Fashluddin 'anid Daulah, Bab 2 Pasal 2).
Pada saat meletus PD I (1914), Khilafah Utsmaniyah berada pada pihak yang berperang melawan Inggris. Sementara di sisi lain, Inggris masih menjajah Mesir. Inggris takut, bila Mesir akan membantu Khilafah, karena Mesir masih memiliki ikatan spiritual yang kuat dengan Khilafah di Turki. Karena itu, Inggris berkepentingan untuk memutus habis ikatan antara Mesir dan Turki, sebagai langkah awal untuk menghancurkan Khilafah. Maka demi kepentingan Inggris yang kafir ini, tak heran bila dalam kitabnya Ali Abdur Raziq menganggap Khilafah itu sangat tidak sesuai dengan Islam, tidak memiliki landasan doktrin, hanya isapan jempol dan karangan ulama belaka, bahkan harus dibatalkan dan dihancurkan.
Dalam kitab itu Ali Abdur Raziq menuduh bahwa para ulama tidak tahu apa-apa tentang politik dan pemerintahan. Sebaliknya dia malah menunjukkan kekaguman yang sangat terhadap para orientalis yang kafir, seperti Thomas W. Arnold (Inggris).
Mereka yang mendalami kitab itu akan insyaf, bahwa asumsi dasar yang dipakai Ali Abdur Raziq, adalah asumsi yang bersumber dari agama Nashrani, yang memang secara ajaran telah memisahkan aspek agama dan negara, sesuai dengan bunyi Al Kitab (kitab suci mereka): "Berikanlah apa yang menjadi milik kaisar kepada kaisar, dan apa yang menjadi milik Tuhan kepada Tuhan." (Matius 22:21)
Khatimah
Jelaslah bahwa hubungan antara agama dengan negara dalam pandangan Islam adalah sangat erat. Bahkan hukum-hukum tentang ketatanegaraan adalah bagian dari ajaran Islam yang paling esensial dan penting. Dan sifat Rasululullah saw. (yakni risalah Islam) sebagai "Rahmatan lil Alamin" tak mungkin terwujud secara sempurna tanpa penerapan hukum-hukum Islam secara keseluruhan oleh negara Khilafah Islamiyyah yang sistemnya telah disunnahkan oleh Nabi Muhammad saw. (khilafah 'ala minhaaj an nubuwwah, lihat Musnad Imam Ahmad, hadits nomor 17680 dan 22335).
Oleh karena itu, setiap pendapat yang melepaskan hubungan antara agama Islam dengan negara (penerap sistemnya) adalah tidak wajar jika keluar dari seorang muslim, apalagi tokoh umat Islam. Sebab hal itu bertentangan dengan firman Allah SWT, Sunnah Nabi SAW, ijma' sahabat, serta kesepakatan para ulama kaum muslimin dari masa ke masa!
Na'uudzu billahi min dzaalik!