Edisi 057

INTERVENSI AMERIKA

ATAS NAMA DEMOKRATISASI

Pemilu yang "jurdil" usai sudah. Perhitungan sementara suara pemilih banyak diraih oleh PDI-P. Berbagai media massa simpatisan partai itu secara atraktif menonjolkan kemenangan itu, sekalipun hasilnya masih satu persen.

Oleh karena itu, ulah KPU ini menimbulkan protes berbagai pihak yang merasa dirugikan. Golkar misalnya, melihat pengumuman KPU dan hasil laporan yang diperolehnya sangat berbeda. Menurut pengakuan Ketua Golkar Akbar Tanjung, dari berbagai daerah hingga Selasa 8 Juni 1999 pukul 19.23 WIB, Golkar mendapatkan suara 2,08 juta sementara PDI-P 2,7 juta. Suara yang berimbang. Namun, pada saat yang hampir bersamaan KPU mengumumkan Golkar tertinggal dari PDI-P, yakni PDI-P 437.596 suara sedangkan Golkar 145.893. Cara pemberitaan KPU seperti itu menurut Sekjen PPP Ali Marwan Hanan adalah shock therapy terhadap partai lain yang biasa dilakukan rezim orde baru. Menurut Presiden PK Nur Mahmudi, apa yang diumumkan KPU itu tidak fair, yakni belum diumumkannya hasil di Jakarta sementara daerah lain yang jauh sudah. Keanehan ini juga disorot Ketua PBB Fadli Zon yang merasa aneh bahwa suara dari TPS di Bali dan di Lampung bisa masuk datanya lebih awal dari TPS di Menteng, Jakarta. Oleh karena itu, perlu dilacak kenapa KPU mengeluarkan data demikian (Republika, 9/6/1999).

Namun ketua KPU Rudini mengatakan, hambatan di KPU semata-mata faktor teknis dan tak ada motif politis (Republika, idem).

Bagaimana pun juga itu menunjukkan pemilu ini memiliki kekurangan dan kelemahan prosedur yang justru bisa menyulut persengketaan baru lantaran ada yang merasa dicurangi. Padahal pemilu di luar negeri lebih sederhana dan hasilnya cepat diperoleh.

Yang merasa puas kelihatannya adalah para pemantau dari luar negeri, khususnya mantan Presiden AS Jimmy Carter yang sudah sejak lama ingin mengikuti dari dekat pemilu yang membatasi kekuasaan Habibie cuma sekitar setahun ini. Carter mengatakan, ia dan beberapa anggota dari Carter Center telah meninjau 15 hingga 20 lokasi tempat pemungutan suara di Jakarta.

Pertanyaan kita, kenapa pemilu ini harus diurusi begitu rupa oleh pihak asing yang jumlahnya sampai 300 ribu orang? Ada apa sebenarnya? Sejauh mana keterlibatan asing dalam hal ini AS? Apa tujuan mereka melakukan intervensi sebegitu jauh? Tulisan ini mencoba mengurainya agar diketahui dan disadari oleh kaum muslimin.

Amanat Demokratisasi Kongres AS

Adalah Jeffrey Winters, tokoh yang beberapa waktu lalu mengguncang pemerintah Indonesia dengan mengungkap keterlibatan Menteri Ginanjar dalam KKN di PT Freeport, dalam pemilu kini pun ikut hadir sebagai pengamat asing dari AS di Joint Operation Media Center (JOMC) Hotel Aryaduta, Jakarta dan meninjau langsung perolehan suara demi suara. Menurut Winters, baru dalam pemilu 1999 ini Indonesia berpeluang menciptakan demokratisasi setelah selama lebih dari 40 tahun dibungkam, khususnya tidak diberi kesempatannya rakyat Indonesia memilih pemimpinnya. (Kompas, 8/6/1999).

"Demokratisasi", itulah kata kunci dari seluruh hiruk-pikuk kejadian politik yang menimpa negeri ini sejak menjelang lengsernya Soeharto. Kata itulah yang ingin diwujudkan oleh para pengamat asing seperti Winters, Carter, dan ratusan ribu lainnya. Bahkan untuk itu sebelumnya Winters hadir dalam sebuah kampanye partai. Padahal kehadiran pengamat politik asing dalam kampenya sebuah partai, dalam peraturan dilarang. Inilah yang menurut Faisal Basyir dari PPP adalah bagian intervensi AS yang nampak sekali. Bahkan, mereka melakukan pendekatan terhadap kelompok-kelompok tertentu dan cara tertutup. Misalnya, sekitar 12 jam menjelang pelaksanaan Pemilu, bekas presiden AS, Jimmy Carter, memberi pesan khusus kepada dua capres RI, Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum PDI Perjuangan), dan Amien Rais (Ketua Umum Partai Amanat Nasional) di sebuah hotel berbintang di Jakarta.

Dan kata "demokratisasi" itulah yang dulu diungkap oleh para pemimpin AS dalam rangka melengserkan Soeharto. Dalam pernyataan di CNN dalam breaking news 10 jam sebelum Soeharto mundur, Albright mengatakan langkah itu (mundurnya Soeharto) semestinya diambil untuk memberi jalan bagi transisi demokratis negerinya. Dan pemilu yang demokratis adalah amanat kongres AS sejak runtuhnya rezim Soeharto yang dulunya adalah "kawan dekat" AS juga. Dalam kunjungan di Indonesia setelah jatuhnya Presiden Soeharto, Christopher H. Smith bersama 14 anggota kongres AS lainnya menandatangani nota tertulis yang berisi 8 himbauan (tekanan) kepada Presiden Habibie, agar Habibie :

1. Membebaskan tanpa syarat tahanan politik, seperti Mochtar Pakpahan, Sri-Bintang Pamungkas, Xanana Gusmao, Andi Arief, Garda Sembiring, Budiman Sudjatmiko, dan lain-lain.

2. Memantapkan prosedur dengan jadwal yang jelas tentang pelaksanaan pemilu yang luber dan jurdil.

3. Mewujudkan reformasi hukum seperti yang dijanjikan Presiden Habibie, antara lain UU yang mendukung budaya oposisi dan pencabutan UU subversi.

4. Mengawali dialog terbuka dan dengan itikad baik dengan rakyat Timor Timur.

5. Memperluas partisipasi politik WNI khususnya yang berada di luar Jawa.

6. Pemerintah Indonesia diharapkan segera meratifikasi konvensi tentang HAM.

7. Menghentikan penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan ekstrajudisial terhadap aktivis politik.

8. Meminta Habibie mengkaji ulang dwi fungsi ABRI. (Kompas, 26/5/1999)

Oleh karena itu, wajarlah ungkapan Faisal Basyir bahwa intervensi AS sudah direncanakan. Statemen yang diungkapkan Carter bahwa kegiatannya bukanlah sebuah intervensi, sebenarnya bertujuan untuk menutupi sesuatu. Semua merasakan adanya intervensi terselubung itu, namun sayangnya kita tidak dapat membuktikan hal itu. Katanya, masak para pemimpin dan tokoh-tokoh bangsa selalu harus minta restu atau mengontak AS (Harian Rakyat Merdeka, Selasa, 8 Juni 1999).

. Kini jelaslah bagi kita bahwa pemilu "jurdil" dan "demokratis" yang baru-baru ini terjadi jelas merupakan amanat Kongres AS sebagaimana masalah Timor Timur yang telah diobok-obok Pasukan AS atas nama PBB. Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini secara histeria menuntut demokratisasi, tanpa mereka sadari wilayah mereka di Timor Timur sedang digarap secara sistematis oleh lembaga kepanjangan tangan AS di PBB, UNAMET.

Tidak hanya itu, di satu sisi mereka antusias seolah Pemilu akan mengatasi masalah, di sisi lain mereka tidak sadar bahwa masalah-masalah baru siap menghadang. Salah satunya, rencana dibukanya hubungan dengan negara Zionis Israel yang telah lama dan hingga kini membantai kaum muslimin dan merampas harta mereka di Palestina serta Masjidil Aqsha. Perihal akan dibukanya hubungan dengan Israel ini diungkapkan seorang pengurus senior PDI-P, Subagio, yang tampaknya yakin akan memegang pemerintahan di sini. Dalam wawancara dengan harian Israel, Ha'aretz, edisi 8/6/1999, Subagio menyebut bahwa partainya tidak tertutup kemungkinan akan menjalin hubungan dengan Israel; dan hubungan diplomatik dengan negara Zionis itu tinggal masalah waktu. (Radar Bogor, 9/6/1999).

Strategi AS di Indonesia

Apa sesungguhnya yang dimaui AS di negeri yang Islam terbesar di dunia ini? Untuk mengetahui hal itu, terlebih dahulu kita perlu memahami asas strategi politik AS di dunia. Ada dua prinsip utama. Pertama, menjaga dan mempertahankan AS dari setiap ancaman yang dapat menghilangkan pengaruhnya. Kedua, mengeksploitir berbagai bangsa dan umat lain demi kepentingan AS.

Dan keterlibatan AS di Indonesia tentu tidak boleh hanya kita lihat dari keadaan hari ini, tapi sejak Indonesia merdeka dari Belanda. Dan persepsi AS terhadap Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia tentunya dipengaruhi oleh tesis Huntington bahwa pasca runtuhnya Komunis, ancaman AS adalah Islam dan Cina.

Berdasarkan hal-hal di atas AS telah menyusun strategi imperialismenya terhadap Asia —khususnya Indonesia— sebagai berikut :

Satu, Politik Pembebasan dari Penjajah Lain. AS berhasil mendorong rakyat Indonesia mengusir Belanda. Lalu, mencengkeram Indonesia melalui Soekarno dan Soeharto.

Dua, Bantuan Ekonomi. Tujuannya menjadikan Indonesia sebagai negara miskin. Juga alat untuk menguasai ekonomi dan politik Indonesia, baik pinjaman melalui Bank Dunia maupun IMF. Instrumen-instrumen inilah yang digunakan AS untuk menjatuhkan Soeharto dan merekayasa krisis-krisis yang tak kunjung reda hingga sekarang.

Tiga, Bantuan Militer. Maksudnya, Pertama, menciptakan pasar bagi produk industri senjata AS, seperti yang dilakukannya terhadap Arab Saudi dan Kuwait dalam Perang Teluk II. Kedua, menghamburkan uang negara konsumen untuk membeli senjata. Bahaya terbesar dari adanya strategi ini, adalah terperosoknya Indonesia ke jurang kekacauan terus-menerus, dengan direkayasanya perang buatan, pemberontakan, ataupun gerakan pengacau keamanan, sehingga negeri ini tak henti-hentinya terus berada dalam kekacauan dan kekisruhan. Kondisi ini pernah terjadi tahun 1951 sampai 1965 dan setelah jatuhnya Soeharto hingga sekarang, mulai dari kerusuhan Mei 1998, pemberontakan separatis Irian Jaya, Aceh, dan Timor Timur, kerusuhan Ambon, hingga kasus pembunuhan para kiai di Banyuwangi, Tragedi Semanggi, dan sebagainya. Tujuan AS adalah agar Indonesia meminta bantuan militer kepada AS, seperti yang dikemukakan oleh salah seorang agennya kepada Madeleine Albright. Setelah itu, AS akan dapat menentukan siapa yang akan menjadi presiden Indonesia.

Empat, Proyek-proyek Produktif. Misalnya proyek minyak, emas, fosfat, dan lain-lain, baik yang dimiliki AS maupun yang dikuasainya bersama negara lain, seperti PT. Caltex di Pekanbaru, Riau. Tujuannya agar AS mempunyai kekuatan ekonomi dan politik di Indonesia. Juga, sebagai sarana untuk menguras kekayaan negeri ini.

Lima, Manipulasi Politik. Terwujud dalam dua perkara: Pertama, merealisasikan keinginan AS melalui para agennya, baik dengan slogan nasionalisme, menentang dominasi penjajah, maupun slogan palsu lainnya. Contohnya, pada tahun 1965 hingga 1990-an ketika Soeharto masih kuat, slogan yang dihembuskan adalah "mewaspadai bahaya laten Komunisme." Tetapi setelah Soeharto jatuh, para tahanan politik PKI, seperti Soebandrio dan yang lainnya, malah dilepaskan atas perintah dan tekanan AS. Tujuannya untuk membangkitkan pengaruh Komunisme dan menciptakan kekacauan dan kerusuhan sehingga Indonesia memerlukan bantuan militer AS. Slogan lainnya, seperti "Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler" yang digembar-gemborkan tahun 1970-an hingga 1990-an, dengan tujuan menciptakan Islam Phobi (rasa takut yang menggila terhadap Islam). Atau slogan "Pemerintahan Habibie adalah pemerintahan transisional," untuk menjatuhkan Habibie dan menggantinya dengan orang lain. Habibie dan rakyat pun terpengaruh dan mereka dipaksa oleh AS untuk mengadakan Pemilu pada tanggal 7 Juni 1999. Kedua, AS melakukan aksi yang secara lahir sepertinya untuk kepentingan rakyat, padahal hakikatnya adalah untuk kepentingan AS sendiri, seperti rencana membangun Universitas Amerika di Indonesia seperti telah dilakukan di Beirut, Ankara, dan Kairo, dan sebagainya.

Enam, Manipulasi Pemikiran. AS telah menggunakan pemikiran Kebebasan (Freedom), yaitu Hak Asasi Manusia (HAM), kebebasan berpendapat (demokratisasi), kebebasan berusaha (Liberalisasi Ekonomi), dan kebebasan beragama (Pluralisme), juga pemikiran Sosialisme agar masyarakat Indonesia ramai-ramai sibuk menuntut HAM, demokratisasi, dan sebagainya. Sedang Sosialisme, untuk menciptakan kontradiksi yang terus-menerus di antara komponen masyarakat, sebagaimana tercermin dalam tuntutan-tuntutan PRD di Indonesia.

Tujuh, Pemerintahan Militer. Untuk mengekalkan hegemoninya terhadap Indonesia dengan memperalat para jenderal oportunis. Mulai dari presiden, gubernur, bupati, sampai camat semuanya adalah militer. Agar mereka dapat memerintah rakyat dengan tangan besi dan agar rezim yang loyal kepada AS tetap dapat dipertahankan. Strategi ini dijalankan selama 32 tahun di masa Soeharto.

Delapan, Pembangunan Pangkalan Militer. Tujuannya untuk mengencangkan dominasinya atas Indonesia, atau untuk menundukkan negara-negara kuat yang lain. Ini rencana terbaru. AS akan membangun pangkalan militernya di Timor Timur (Selain Biak dan Natuna) untuk menguasai secara total kawasan Asia, khususnya Cina, Korea Utara, dan Malaysia. Malaysia akan diambil dari tangan Inggris, sedangkan Cina serta Korea Utara sebagai negara sosialis terakhir di wilayah Asia, akan dikuasai secara total, setelah Uni Soviet dihancurkan.

Sembilan, Pembentukan Negara Federal. Tujuannya adalah melemahkan Indonesia sebagai negara belasan ribu pulau dan suku bangsa yang sangat banyak. Mentimurtengahkan Indonesia, meminjam istilah Bilveer Singh dari National University, Singapura. Pengalaman di Amerika Latin, ketika Mexico dipisahkan agar tidak bersatu dengan Brazilia dan terus-menerus diadudomba oleh AS, kedua negara itu menjadi lemah dan mudah dijajah. Inilah strategi imperialisme AS di Indonesia. Strategi tersebut memustahilkan reformasi yang digulirkan akan mencapai tujuannya, yaitu kesejahteraan, ketenteraman, dan kemakmuran rakyat. Malah sebaliknya, itu akan mengantarkan AS untuk tetap mendominasi Indonesia, hingga suatu saat dimana rakyat Indonesia sadar akan tipu muslihat dan strategi imperialisme AS yang sangat keji itu.

Khatimah

Kini jelaslah bahwa pemilu dengan berbagai problematika yang masih meliputi rakyat Indonesia adalah hasil intervensi AS atas nama "demokratisasi" guna mempertahankan kepentingannya di negeri ini.

Jika tidak memahami strategi AS itu, kaum muslimin yang menjadi mayoritas penduduk negeri ini bakal jadi bulan-bulanan. Juga, jika kaum muslimin tak mengambil langkah strategis untuk menghadapinya, kaum muslimin hanya akan menjadi makanan empuk para imperialis internasional itu.

Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslimin menyadari hal ini dan berjuang keras untuk membebaskan diri dari segala pengaruh dan jeratan strategi AS maupun negara-negara imperialis Barat lainnya, serta bersatu padu dalam satu institusi internasional, yakni Khilafah Islamiyyah, yang mampu menghadapi hegemoni AS dan Barat.

Marilah kita renungkan sabda Rasulullah saw.:

BÈN¨v³Ó»G Ò¼·ÞA Ó§AfM BÀ· Á¸Î¼§Ó§AfM ÆC Á¿ÞA ¹qÌÍ

jÎR· h@Ø¿ÌÍ ÁNÃC ½I ¾B³ h@Ø¿ÌÍ Å Ò¼³ Å¿ Ë ½@ÙB³ ¾B´¯

Á¸Ä¿ ÒIBÈA Á·Ëf§ iËfu Å¿ ɼ»A ŧ lÄÎ»Ë ½În»A ÕBR¬· ÕBR« Á¸Ä¸»Ë

ÅÇÌ»A B¿Ë ɼ»A ¾ÌmiBÍ ½@ÙB³ ¾B´¯ ÅÇÌ»A Á¸I̼³ Ó¯ ɼ»A ůh´Î»Ë

PÌA ÒÎÇAj·Ë BÎÃf»A KY ¾B³

"Umat-umat (suatu saat nanti) akan mengerubuti kalian sebagaimana orang-orang yang makan mengerubuti meja hidangannya". Seseorang bertanya, "Apakah itu karena sedikitnya kami saat itu?" Rasulullah menjawab, "Bahkan kalian saat itu banyak jumlahnya. Tetapi kalian (saat itu) bagaikan buih di air mengalir. Allah telah mencabut kesan kehebatan kalian dari dada musuh kalian. Allah sebaliknya telah melemparkan penyakit 'wahn' ke dalam hati kalian". Seseorang bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah 'wahn' itu?" Rasulullah menjawab, "Cinta dunia dan benci mati". (HR. Abu Dawud, dari Tsauban ra.).