Edisi 058
BANYAK ALASAN UNTUK
MENOLAK HUBUNGAN DENGAN ISRAELSejumlah reaksi terhadap PDI-P muncul setelah harian Israel Ha'aretz menerbitkan hasil wawancaranya dengan anggota Balitbang PDI-P, Subagio Anam (8/6/99). Dalam wawancara itu Subagio menyatakan hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel akan dibuka jika PDI-P menang. Pernyataan itu dikuatkan oleh pengurus DPP PDI-P, Aberson Marle Sihaloho. Menurutnya, tidak ada masalah membuka hubungan dengan Israel. Ia menambahkan, menurut UUD 1945, tidak ada alasan untuk tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel (Republika, 10/6/1999).
Direktur Penerangan DEPLU, Sulaiman Abdulmanan, menilai sangat sensitif membuka hubungan diplomatik dengan Israel karena mayoritas rakyat Indonesia adalah muslim. Pejabat DEPLU itu kaget dengan niat itu lantaran program itu tak diungkapkan dalam kampanye (Republika, 12/6/99).
Manuver PDI-P itu juga bikin kaget Ketua Komisi I DPR Aisyah Amini. Aisyah menjelaskan bahwa Israel menyebabkan timbulnya ketidakstabilan di Timur Tengah. Membuka hubungan diplomatik dengan Israel sekarang ini, bertentangan dengan prinsip luar negeri yang ingin mewujudkan perdamaian abadi seperti yang diungkap dalam UUD 1945.
Menteri Agama H.A. Malik Fajar menyatakan belum saatnya bagi Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, hingga saat ini Israel masih menjajah Palestina. "Bahkan, di negara-negara Barat, Israel masih dikenal sebagai penjajah, paling tidak penjajah ideologis dengan Zionismenya. Sementara UUD 1945 mengamanatkan untuk menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas dunia", ujar Menag (Republika, 14/6/99)
Sedangkan Rektor IAIN, Prof. Azyumardi Azra, mengatakan ditinjau dari segi manapun, pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel sama sekali tidak menguntungkan. Dan yang jelas, katanya, bila itu benar dilakukan, hanya akan membuat sakit hati umat Islam.
Sungguh manuver PDI-P memang tidak kira-kira. Kita patut bertanya, adakah konspirasi zionisme telah bermain di negeri ini? Bolehkah kita membuka hubungan diplomatik dengan negara zionis yang telah merampok tanah kaum muslimin di Palestina itu? Berkaitan dengan keyahudian mereka, bagaimana track record di masa pemerintahan Nabi Muhammad saw. dan Khulafaur Rasyidin serta kekhilafahan yang panjang itu? Bagaimana rambu-rambu Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah saw. berkaitan dengan mereka? Tulisan ini mencoba menguraikannya untuk diketahui dan disadari oleh kaum muslimin.
Konspirasi Zionis, Adakah?
Pertanyaan tentang kemungkinan adanya kaitan manuver pengurus PDI-P itu dengan gerakan zionisme muncul dari pengurus DPP-PAN Hasbalah M Saad (Republika, 11/6/1999). Pertanyaan itu wajar, mengingat pada waktu kampanye masalah pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel itu tak pernah disebut. Pengamat politik Riza Sihbudi merasa curiga bahwa lobi dan elite Yahudi ikut bermain dalam perpolitikan di negeri ini. "Saya memang agak curiga, ya, misalnya kenapa dalam kampanye PDI-P terakhir muncul bendera-bendera beberapa negara asing, terutama yang saya lihat bendera Amerika Serikat. Jadi itu sekadar dibawa atau ada makna di balik itu", ujarnya.
Niat membuka hubungan dengan Israel, tentunya takkan terungkap kalau tidak ada rencana yang matang. Selain pihak PDI-P, pihak PKB —sekalipun mungkin terbatas pada elit politik mereka— merasa sreg juga. Wakil Ketua PKB Alwi Shihab —yang cukup lama bermukim di AS dan pada masa reformasi pulang ke Indonesia nampaknya dengan misi khusus— berpendapat partainya tidak keberatan Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel. "Jika Mesir dan Jordania sebagai negara tetangga terdekat telah membuka diri, tentu Indonesia juga bisa melakukan langkah serupa." ujarnya. Pendapat senada juga pernah dikemukakan oleh Ketua PBNU Abdurrahman Wahid. Menurut Gus Dur tidak logis kalau Indonesia menolak hubungan dengan Israel. Sebab, negara Zionis itu adalah negara yang mengakui Tuhan. Padahal Indonesia menjalin hubungan dengan negara yang tidak mengakui Tuhan seperti Cina dan Rusia.
Sikap Gus Dur yang sering nyeleneh dari dulu memang tidak mengherankan. Apalagi Gus Dur sudah lama menjalin hubungan khusus dengan Israel dan dia anggota Institut Shimon Peres. Maka tidak heran kalau Ketua Front Pembela Islam, Habib Rizieq Shihab menyebut bahwa mereka yang berupaya untuk mengadakan pendekatan dengan Israel itu adalah para agen dan antek zionisme yang kini banyak bermunculan di tanah air.
Artinya, selain Gus Dur dan Alwi Shihab, masih ada yang lain yang merasa sreg dengan rencana PDI-P. Azyumardi Azra menengarai adanya beberapa orang di Indonesia yang secara diam-diam melakukan hubungan dengan Israel. "Ini terlihat dari adanya sebuah makalah dalam sebuah seminar internasional di Singapura yang membahas tentang perlu dibukanya hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel", ujarnya.
Dan upaya Israel untuk membuka hubungan dengan Indonesia ini memang sudah dilakukan sejak ditandatanganinya "Perjanjian Damai" Israel-PLO bulan September 1993 di AS. Deputi Direktur Jenderal Departemen Pariwisata Israel Mordechai Ben Ari dengan didampingi Dubes Israel untuk Singapura Daniel Megiddo datang ke Denpasar —katanya atas undangan WTO— dalam sidang WTO (World Trade Organization) pada awal Oktober 1993. Sekitar dua minggu kemudian, secara mendadak, yakni pada saat sholat Jum'at, secara diam-diam Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin datang ke Jakarta menemui Presiden Soeharto —konon dalam kapasitasnya sebagai Ketua Gerakan Non Blok (lihat Ahmad Sumargono, Republika, 16/6/1999).
Kecenderungan pemerintah Orde Baru membuka hubungan dengan Israel tampak dengan dihapuskannya —entah sejak kapan— kalimat except Israel (kecuali ke Israel) dalam paspor RI. Namun karena tentangan keras dari rakyat Indonesia yang mayoritas muslim, pemerintahan Soeharto yang pada akhir masa pemerintahannya berbulan madu dengan umat Islam nampak tidak berani membuka hubungan diplomatik itu sekalipun ada berbagai desakan termasuk dari AS. Sehingga ketika PDI-P menang dan partai-partai Islam kalah —tentunya tidak berarti umat Islam kalah— PDI-P yang mendapat dukungan besar —bersama kalangan elit PKB yang pro Israel— secara atraktif memanfaatkan momentum kemenangan ini dengan mengumumkan niatnya.
Bisa juga momentum kemenangan PDI-P itu justru dimanfaatkan oleh Israel —yang mungkin berasumsi bahwa umat Islam sudah tak dapat berpikir waras lagi— untuk mendesakkan kehendaknya. Dan intervensi yang dilakukan pemerintah AS dalam proses demokratisasi di negeri ini di masa reformasi ini memang tak bisa dilepaskan sama sekali dari "sentuhan-sentuhan" tangan Yahudi. Sebab, Menlu AS kali ini Madeline Albright adalah seorang wanita Yahudi. Dan yang menggoncang perekonomian Indonesia dengan krisis moneter adalah George Soros seorang Yahudi. Lebih dari itu, dalam sebuah wawancara dengan tabloid SIAR (edisi no. 13, 19-25 April 1999), mantan Presiden Soeharto mengatakan bahwa dia di-lengser-kan secara sistematis oleh gerakan Zionis yang mengidentifikasi Indonesia sebagai kekuatan yang perlu dikhawatirkan menjadi pusat kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Perkembangan ekonomi dan industri di Indonesia yang mewujudkan pengaruh di negara-negara berkembang dan negara Industri kemudian dihambat oleh kaum Zionis dengan krisis moneter dan krisis ekonomi. Sampai Soeharto lengser keprabon.
Yang tak boleh kita lupakan, jaringan pembangkit niat membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang dalam bahasa Pak Harto adalah konspirasi yang terencana dan sistematis —dikaitkan dengan tengara Azyumardi di atas— adalah permainan gerakan politik rahasia Yahudi Internasional Freemasonry dengan lembaga mantel dan berbagai lembaga bentukannya seperti Rotary Club, Lions Club, perkumpulan theosofi, dan lain-lain yang sudah lama bekerja di negeri ini. Merekalah yang mula-mula mengakui eksistensi Yahudi di Palestina. (lihat Muhammad Fahim Amin, Rahasia Gerakan Freemasonry dan Rotary Club, 1991 dan Ridwan Saidi, Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, 1993).
Namun tokoh PDI-P Subagio membantah semua analisa adanya hubungan PDI-P dengan negara Zionis itu. Ia bahkan mengatakan tak pernah diwawancarai oleh harian Israel Ha'aretz yang menerbitkan berita yang menghebohkan itu. Hanya saja —lucunya— ia mengakui mungkin saja ada wartawan Israel yang ada di Indonesia dan mewawancarainya (Republika, 11/6/1999).
Bagaimana pun PDI-P perlu menjauhkan diri dari konspirasi Zionis apalagi melakukan hubungan diplomatik dengan negara yang sangat memusuhi umat Islam itu. Sebab umat Islam yang mayoritas dan telah memberikan suara mayoritasnya ke PDI-P dalam memenangkan pemilu kali ini pasti menolaknya. Kalaupun Gus Dur dan Alwi Shihab menerima, apakah benar para ulama dan kyai yang menjadi tulang punggung perolehan suara PKB itu bisa menerima? Kalaupun para ulama itu menerima —lantaran tertipu— benarkah Islam membolehkan? Benarkah Allah SWT akan meridloinya?
Status Hukum Membuka Hubungan Dengan Israel?
Para pakar politik dan politisi melihat bahwa membuka hubungan diplomatik dengan Israel saat ini justru akan merugikan bagi Indonesia dan hanya menguntungkan Israel. Asisten Mensesneg Urusan Luar Negeri Dewi Fortuna Anwar, misalnya, mengatakan "Israel akan membual kemana-mana bahwa negara Muslim terbesar di dunia telah mengakui negeri Zionis ini. Israel akan lebih semena-mena jika berhadapan dengan negeri Muslim lainnya yang lebih kecil dibandingkan Indonesia."
Satu hal yang belum dilihat para pakar dan politisi, pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel juga akan memberikan keuntungan ekonomi yang luar biasa kepada Israel. Dengan penguasaan modal yang besar dan kemajuan teknologinya, Israel bakal menjadikan Indonesia yang berpenduduk lebih dari 200 juta orang ini sebagai pasar produknya sekaligus basis industrinya dengan bahan baku dan tenaga kerja murah. Perlu diketahui bahwa pada hari ini ada produk Israel yang telah dipasarkan di sini dengan atas nama perusahaan AS dan para insinyur Indonesia yang bekerja di perusahaan itu pun ditraining di Israel. Bukan mustahil, mereka membeli saham murah berbagai perusahaan swasta maupun BUMN yang pada bangkrut yang akan semakin mengukuhkan kekuasaan para kapitalis Yahudi Israel di negeri ini setelah Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel!
Hitungan untung rugi dalam politik semata suatu ketika akan menjebloskan bangsa muslim terbesar di dunia ini dalam jurang penderitaan yang dalam. Namun, sebenarnya, kalau mereka menggunakan cara berpikir Islami dan menjadikan hukum-hukum Islam sebagai afkar siyasiyah (pemikiran politik), mereka akan terbebas dari segala macam jebakan musuh-musuhnya yang akan memusnahkan mereka. Lalu, dalam membentuk hubungan internasional, bagaimana menurut hukum Islam?
Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Muqaddimat Dustur, menyebut bahwa negara yang tak memiliki perjanjian dengan negara khilafah, statusnya adalah Darul Harb atau Daulah Muharibah. Tidak dipandang apakah penduduknya mengakui Tuhan seperti Israel, Amerika, Eropa, maupun yang tidak mengakui (atheis) seperti Rusia dan China. Hanya saja, negara Daulah Muharibah itu dibagi menjadi Daulah Muharibah Fi'lan dan Daulah Muharibah Hukman. Daulah Muharibah Fi'lan berarti secara riil negara itu berperang dengan Negara Khilafah Islamiyyah atau kaum muslimin seperti Israel dan Serbia sekarang. Hubungan dengan negara yang sedang memerangi kaum muslimin cuma satu, yaitu: kondisi perang atau jihad fi sabilillah!
Adapun Negara Muharibah Hukman, Islam membolehkan negara Islam membuat hubungan dengan negara-negara itu dengan syarat bukan negara kolonialis yang lazimnya menggunakan kedubesnya sebagai sarana mendominasi kaum muslimin. Fakta kemudian menunjukkan bahwa hubungan negara-negara kaum muslimin setelah runtuhnya khilafah dengan negara-negara kolonialis imperialis semacam Inggris, Perancis, dan AS telah menjatuhkan kaum muslimin di bawah telapak kaki mereka dalam bidang ekonomi, politik, pemikiran, kebudayaan, dan lain-lain. Hegemoni mereka tak bisa ditolak oleh kaum muslimin.
Dengan demikian jelaslah bahwa Islam mengharamkan kaum muslimin menjalin hubungan diplomatik dengan negeri Yahudi Israel selama mereka masih memerangi kaum muslimin dan merampas negeri Palestina. Hubungan dengan Israel —sekalipun sulit terbayangkan faktanya jika menyesuaikan diri dengan hukum Islam— bisa dilakukan manakala Israel meninggalkan seluruh negeri Palestina, bukan hanya meninggalkan Masjidil Aqsha dan tepi Barat serta Jalur Ghaza. Selain itu, Israel harus menanggalkan substansi dirinya sebagai negara imperialis sebagai hasil asuhan Inggris dan AS.
Rambu-Rambu Al Qur'an Dan Sunnah
Banyak sekali ayat maupun hadits yang menyebut berbagai keburukan sifat bangsa Israel yang menyebabkan mereka selalu dihinakan oleh Allah SWT di muka bumi (Ali Imran 112), seperti khianat, suka mengingkari janji, makan yang haram-haram, amat suka mendengar berita-berita bohong (Al Maidah 41-42), bersegera membuat dosa dan permusuhan (Al Maidah 62), membuat kerusakan (Al Maidah 64), menyembunyikan kebenaran (Al Baqarah 146), mengubah-ubah Taurat, membunuh para Nabi (Ali Imran 183), kufur dan kalaupun beriman tipis dan suka mempermainkan agama (An Nisa 46) dan lain-lain.
Kini, tatkala mereka sedikit diberi kemenangan oleh Allah SWT kesombongannya pun muncul (Al Isra 4) dan permusuhan yang sangat kepada kaum muslimin pun muncul. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik." (QS. Al Maidah 82)
Oleh karena permusuhan dan pengkhianatan mereka kepada kaum muslimin membuat suku-suku Yahudi diusir oleh Rasulullah saw. dari kota Madinah. Bani Qainuqa diusir lantaran tindakan pelecehan (membuka aurat) terhadap seorang muslimah yang dilakukan oleh seorang Yahudi Bani Qainuqa di pasar mereka dan pembunuhan terhadap seorang muslim yang membela wanita muslimah itu. Bani Nadlir diusir lantaran menyalahi perjanjian dan bersekongkol hendak membunuh nabi. Bani Quraizhah dihukum mati lantaran mengkhianati perjanjian, bersekongkol dan menghasut kaum musyrikin untuk memusuhi kaum muslimin dalam peperangan Ahzab. Yahudi Khaibar ditaklukkan lantaran membentuk front perlawanan baru terhadap kaum muslimin dan melancarkan tipu daya untuk menjerumuskan Rasulullah saw. beserta para sahabatnya. Sayyidina Umar bin Khaththab pun mengusir mereka dari Baitul Maqdis (Yerusalem). Namun beliau membiarkan kaum Nasrani tetap tinggal di sana bahkan pada masa berikutnya kaum Nasrani selalu bersama kaum muslimin menghadapi Pasukan Salib dari Eropa. Meskipun demikian Khilafah Islamiyyah masih melindungi Yahudi. Khilafah Utsmaniyah menjadikan Yahudi sebagai ahlu dzimmah. Hanya saja mereka tak tahu membalas budi. Bahkan bersekongkol dengan imperialis Inggris meruntuhkan Khilafah Islamiyyah. Lalu mendirikan Israel atas belas kasihan imperialis Inggris.
Rasulullah saw. bersabda ketika mendekati perbentengan Bani Quraizhah setelah perang Al Ahzab: "Hai gerombolan kera, tahukah kalian bahwa Allah telah menghinakan kalian dan akan menimpakan pembalasan terhadap kalian?" (lihat Muhammad Al Ghazali, Fiqhus Sirah, Terj. hal. 525). Demikian juga Sayyidina Ali r.a. menolak duduk sejajar bersama seorang Yahudi yang berperkara dengannya di hadapan Qadli Syuraih. Beliau mengatakan: "Andaikan aku tidak berperkara dengan seorang Yahudi tentu aku duduk sejajar dengannya. Sebab Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: "Hinakanlah mereka itu sebagaimana Allah telah menghinakan mereka" (lihat As Suyuthi, Tarikhul Khulafa, hal. 172).
Khatimah
Jelaslah kini bahwa cukup banyak alasan untuk menolak hubungan diplomatik dengan Israel.
Siapa pun di antara kaum muslimin yang bernafsu untuk menjalin persaudaraan dengan Israel pastilah ada penyakit dalam hatinya. Allah SWT memperingatkan mereka dalam firman-Nya:
ÓrŽ ÆÌ»Ì´Í ÁÈί Æ̧iBnÍ ~j¿ ÁÈI̼³ Ÿ ÅÍh»A ÔjN¯
Êfħ Å¿ j¿C ËC \N°»BI ÏMDÍ ÆC ɼ»A Ón¨¯ ÑjÖAe BÄJÎvM ÆC
Å@οeBà ÁÈn°ÃC Ÿ AËjmC B¿ Ó¼§ AÌZJvί
"Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: "Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka"
(QS. Al Maidah 52).