Edisi 059

SEKULARISME DAN DEMOKRASI;

SALAH FAHAM KEPADA ISLAM

Ketua KISDI Ahmad Sumargono menulis di Kompas (15/6/99) dengan judul "Isu agama dan Sekulerisme Politik" sebagai tanggapan atas tulisan Denny JA di harian yang sama (14/6/99) dengan judul "Status Quo atau Politik Sekuler?" Sumargono memaparkan bukti-bukti bahwa negara sekuler seperti Turki dan Indonesia justru menindas Islam. Oleh karena itu, pernyataan Denny JA bahwa tidak satu pun negara demokrasi sekuler di dunia ini yang anti agama atau pun anti Islam, adalah pernyataan yang tidak benar. Sumargono menambahkan, menghilangkan sentimen agama dalam politik tidak mungkin dilakukan, bahkan di negara-negara Barat sekalipun. Dan trik politik sekuler di dunia Islam berujung pada pemurtadan kaum muslimin dari agama mereka (QS. Al Baqarah 217).

Tulisan itu mendapat tanggapan balik dari Denny JA yang dimuat Kompas (22/6/99) dengan judul "Agama dalam Orde Demokrasi". Denny yang sedang studi S3 di Ohio State University AS ini menilai tanggapan Sumargono lebih disebabkan oleh kesalahpahamannya atas konsep dan praktiknya. Denny menegaskan, dalam prinsip negara demokrasi sekuler, dilarang menggunakan negara untuk menjadi instrumen atau aparatus agama tertentu. Negara harus bersikap netral atas pluralitas agama. Terhadap bukti-bukti Sumargono, Denny mengatakan, Turki maupun Indonesia era Orla dan Orba bukanlah negara demokrasi, sekalipun negara sekuler. Kedua negara itu tergolong otoriter atau semidemokrasi. Dia mengatakan, semua negara demokrasi adalah negara sekuler, namun tidak semua negara sekuler adalah negara demokrasi. Denny menyebut bahwa di dalam negara demokrasi sekuler semua agama dijamin.

Mencermati diskusi yang dilakukan kedua nya yang mewakili dua arus di Indonesia, yakni "Nasionalis Islami" dan "Nasionalis Sekuler", kiranya perlu dijernihkan apa yang dimaksud dengan sekularisme dan demokrasi sesuai dengan realitas konsepnya? Apa persepsi negara demokrasi sekuler terhadap agama yang ada di dunia? Dan sejauhmana jaminan negara demokrasi sekuler terhadap apresiasi warga negaranya terhadap agama yang mereka peluk. Tidak lupa, apa penilaian Islam terhadap paham sekularisme, demokrasi, dan persepsi negara demokrasi sekuler? Tulisan ini berusaha menguraikannya.

 

Hakikat Sekularisme

Menurut Syaikh Taqiyyudin An-Nabhani (Nizhamul Islam, 1953), "sekularisme" adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan (fashluddin 'anil hayah), yang berarti memisahkan agama dari negara.

Pemikiran sekularisme berasal dari sejarah gelap Eropa Barat di abad pertengahan. Saat itu, kekuasaan para gerejawan (rijaluddin) demikian mendominasi semua lapangan kehidupan, bahkan termasuk di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun dogmatisme gereja memasung kreativitas yang tumbuh dikalangan bangsa Eropa yang sedang mengalami masa pencerahan (renaissance). Termasuk memberangus hasil-hasil temuan para ilmuwan yang dianggap bertabrakan dengan pendapat gereja dalam ilmu pengetahuan.

Konflik pun berjalan sangat panjang. Seiring dengan dominasi kekuasaan gereja dalam negara yang justru secara riil menyengsarakan masyarakat, para intelektual Eropa berkesimpulan, masyarakat harus dibebaskan dari gereja. Kompromi yang mereka lakukan sampai pada pemisahan agama dari gereja. Inilah cikal bakal sekularisme. Sebagai legitimasi, mereka menukil bunyi kitab suci mereka: "Berikanlah hak Kaisar kepada Kaisar dan hak Tuhan kepada Tuhan" (Matius 22:21).

Dengan pandangan itu Bangsa Eropa melahirkan satu tatanan kehidupan yang bebas dari pengaruh agama Nasrani, yakni ideologi yang kemudian dikenal dengan ideologi Kapitalisme. Dasar ideologi Kapitalisme ini adalah Sekularisme itu sendiri, yakni memisahkan agama dari kehidupan dan negara. Dan kalau mereka melarang agama mengatur negara, bukanlah untuk menjaga netralitas negara terhadap pluralitas agama —toh agama bangsa Eropa itu satu, Nasrani. Tetapi mereka memang ingin menyingkirkan agama gereja itu dari kehidupan.

Ideologi Kaptalisme telah menimbulkan persaingan ketat dalam kehidupan ekonomi di kalangan bangsa-bangsa Eropa. Lalu, mereka melakukan penjajahan ke luar Eropa, yakni Afrika dan Asia. Mereka yang semula hanya berdagang, di kemudian hari memerangi, mendominasi, memonopoli, dan mengeksploitasi. Pada saat mereka menjajah negeri-negeri Islam, mereka memandang agama Islam seperti agama Nasrani Eropa. Di sinilah letak kesalahan bangsa-bangsa Kapitalis Barat, yakni melakukan generalisasi agama gereja mereka terhadap semua agama, termasuk Islam.

Oleh karena itu, mereka mencabut berlakunya hukum Islam dan memaksakan penerapan hukum-hukum sekularis kapitalis itu kepada kaum muslimin. Setelah itu, mereka menerapkan program-program dan kurikulum pendidikan sekular untuk mencuci otak kaum muslimin sehingga tidak lagi mampu berfikir secara Islami. Justru para pelajar kaum muslimin itu berfikir secara sekularis. Merekalah yang dipersiapkan para penjajah itu untuk menggantikan mereka di kemudian hari memimpin daerah bekas jajahan kaum sekularis kapitalis.

Islam jelas tidak mengenal pemisahan antara urusan ritual dengan urusan politik. Shalat adalah ibadah yang merupakan bagian dari syariat dimana seluruh umat Islam harus terikat sebagaimana mereka juga terikat kepada syariat di bidang ekonomi, sosial-politik, hankam dsb. Seluruh gerak laku seorang muslim adalah ibadah, karena Islam adalah sebuah totalitas. Dan justru merupakan tindak kekufuran yang sebenar-benarnya apabila beriman kepada sebagian ajaran Islam dan menolak sebagian yang lain. Allah SWT berfirman:

{} ÅÎJ¿ Ëf§ Á¸» ÉÃG ÆBñÎr»A PAÌña ĄJNM ÜË Ò¯B· Á¼n»A Ÿ A̼aeA AÌÄ¿E ÅÍh»A BÈÍC BÍ

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (QS. Al-Baqarah 208).

 

|¨JI j°¸ÃË |¨JI Å¿Ûà Æ̴̻ÍË É¼miË É¼»A ÅÎI A̳j°Í ÆC ÆËfÍjÍË É¼miË É¼»BI ÆËj°¸Í ÅÍh»A ÆG

{} BÄÎÈ¿ BIAh§ ÅÍj¯B¸¼» BÃfN§CË B´Y ÆËj¯B¸»A ÁÇ ¹×»ËC {} ÝÎJm ¹»g ÅÎI AËhbNÍ ÆC ÆËfÍjÍË

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan: 'Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebagian yang lain', serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan tengah (moderat) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar- benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan" (QS. An-Nisaa 150-151).

Maka, sekularisme adalah paham yang batil. Dan merupakan suatu kebodohan luar biasa bila umat dan intelektual Islam mengikuti sekularisme atau kelompok sekuler, apalagi turut menyebarkan dan memperjuangkannya!

 

Hakikat Negara Demokrasi Sekuler

Sekularisme telah merobohkan kekuasaan gereja atas negara. Para filosof sekuler antara lain John Locke, Montesque, dan Voltaire berusaha membangun paradigma baru pemerintahan —setelah menggali filsafat Yunani dan Romawi— yang bakal menjaga kepentingan rakyat. Sebuah pemerintahan "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Mereka menamakan pemerintahan baru itu dengan nama demokrasi (berasal dari kata demos= rakyat dan kratos= pemerintahan).

Sejak itulah bangsa Eropa mengenal sistem pemerintahan itu hanya dua, yaitu otokrasi dan demokrasi. Otokrasi manakala kekuasaan pemerintahan dipegang oleh satu orang. Pemerintahan demikian disebut otoriter. Sedangkan pemerintahan yang kekuasaannnya di tangan orang banyak disebut demokrasi. Dan negara demokrasi sekuler dibangun dengan paradigma pemerintahan yang disusun para filosof sekuler di atas.

Dalam pandangan negara demokrasi sekuler, agama adalah seperti agama gereja Nasrani Eropa yang tak boleh ikut campur dalam urusan pemerintahan. Oleh karena itu, negara hanya mentolerir apresiasi pemeluk suatu agama hanya terbatas pada ajaran ritual suatu agama dan sedikit etika agama itu. Negara akan melakukan tindakan represif —bukan seperti yang didongengkan oleh Denny JA — terhadap warganya manakala melakukan apresiasi agama melintasi batas tersebut. Contoh kasus adalah depolitisasi umat Islam yang terjadi pada massa Orde Baru.

Terhadap agama Nasrani Eropa, tindakan negara demokrasi sekuler itu wajar. Sebab, agama Nasrani tidak memiliki sistem hukum dalam kehidupan ekonomi dan politik serta ketatanegaraan. Keterbatasan ajaran agama Nasrani sendiri yang mengakibatkan bencana di masyarakat.

Namun, Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. dengan kelengkapan syari'at yang meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dan syari'at Islam memiliki karakter yang khas, yakni sebagai pemecah problematika kehidupan (mu'alajat limasyakalin insan). Maka, menempatkan agama Islam sama sejajar dengan agama Nasrani Eropa adalah tindakan gegabah dan kesalahan fatal.

Jika kita mau berfikir jernih dan mau mendalami ajaran Islam, maka kita akan menempatkan Islam sebagai sebuah mabda (aqidah yang menghasilkan peraturan pemecahan problematikan kehidupan). Dalam posisi inilah Islam bisa diperbandingkan dengan sistem ideologi kapitalisme (atau sosialisme komunisme yang sudah bangkrut). Kalau kapitalisme memiliki sistem ekonomi, maka Islam pun juga memiliki sistem ekonomi. Kalau Kapitalisme memiliki sistem politik dan pemerintahan, maka Islam pun memiliki sustem politik dan pemerintahan. Kalau Kapitalisme memiliki sistem negara demokrasi, maka Islam memiliki sistem negara Khilafah (bukan negara demokrasi Islam seperti yang diilusikan sebagian orang). Bahkan sistem negara Khilafah itu telah berlanjut dari masa Khulafaur Rasyidin, Umawiyyin, Abbasiyyin, dan Utsmaniyyin hingga tahun 1924 (Saat diruntuhkan oleh konspirasi negara-negara kapitalis imperialis Inggris yang bekerjasama dengan seorang Yahudi Dunama bernama Kamal At Taturk)

Oleh karena itu, di masa tidak adanya khilafah seperti sekarang, dan dimana kaum muslimin hidup dalam negara-negara nasionalis (nation state) kecil dan lemah yang terkungkung dalam dominasi negara demokrasi sekuler Barat semacam AS, Islam disalahfahami, disalahtafsirkan, dan disalahsangkakan. Islam tidak lagi dipandang sebagai sistem kehidupan yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan serta keadilan dunia. Tapi Islam diposisikan sebagai agama yang sama dengan agama-agama lain yang hanya menyalurkan perasaan ruhani manusia.

Di masa Orde Baru, jargon "semua agama sama" yang dipropagandakan secara paksa kepada rakyat pada hakikatnya adalah politik menghilangkan peranan Islam sebagai agama yang mampu menyelesaikan problem-problem ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan. Islam dikubur bersama dengan marginalisasi kekuatan politik kaum muslimin. Juga jargon, "Negara Indonesia bukanlah Negara Agama (baca= Islam) dan Bukan Negara Sekuler" juga merupakan politik untuk mengubur aspirasi dan kesadaran politik kaum muslimin. Wajarlah pernyataan Ketua PP Muhammadiyyah Prof Dr. Ahmad Syafii Ma'arif dalam sebuah seminar bahwa dalam nation state, aspirasi Islam tak bisa terwujud. Sebab, setiap ada ide yang berasal dari Islam, langsung dipotong dengan negara kita bukan negara Islam. Atau dalam negara demokrasi sekuler —seperti tutur Denny JA dan orang-orang yang seperti dia— agama tertentu (baca: Islam) tidak boleh mengatur negara.

Oleh karena itu, pengakuan negara terhadap agama adalah sekedar kepercayaan pribadi yang tak ada hubungannya dengan negara. Agama apapun yang tercantum dalam KTP seorang warga negara, dalam persepsi negara demokrasi sekuler pada hakikatnya adalah sama, yakni hak pribadi yang dijamin negara selama tidak ikut campur dalam penentuan peraturan dan perundangan negara. Denny JA mencontohkan hak minoritas Katolik di AS untuk menjadi presiden seperti yang terjadi pada Kennedy —entah kenapa Kennedy ditembak di tengah masa jabatannya.

Dengan jalan pikiran yang terkungkung oleh konsep negara demokrasi sekuler, cendekiawan muda itu merasa tak perlu membahas sejauh mana pengaruh konsep agama Katolik —kalau ada— dalam peraturan negara AS yang mayoritas penduduknya Protestan. Dengan cara berfikir seperti itu pula, ketika mendengar bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jabatan presiden (kepala negara) wanita, dia mengatakan negara tak campur tangan dalam urusan intern agama. Denny tidak mau mendalami masalah itu —yang seharusnya seorang kandidat doktor melakukannya. Padahal yang sebenarnya, di antara ulama itu ada yang tak bisa ditutup mata hatinya dan tanggung jawab ilmiyahnya, bahwa larangan terhadap kaum muslimin menyerahkan jabatan kepala negara (khalifah) kepada seorang wanita adalah ijmak ulama dari masa ke masa (lihat Ensiklopedi Ijmak, Said Sa'bi, Terj. KH.A. Musthofa Bisri dan KH. A. Sahal Mahfudz, hal 315, Kata Pengantar, KH. Abdurrahman Wahid).

Satu hal yang tak pernah disadari oleh orang seperti Denny JA adalah keluasan dan kesempurnaan sistem kehidupan Islam. Dan tentang syarat kepala negara laki-laki itu, dalam sistem Islam adalah hanya sebagian kecil dari seluruh sistem peraturan kehidupan Islam yang harus dilaksanakan secara sempurna.

 

Khatimah

Jelaslah bahwa konsep negara demokrasi sekuler (termasuk negara otoriter/semidemokrasi sekuler) memiliki persepsi yang salah terhadap agama Islam. Para pengemban konsep tersebut tidak mau mengakui dan memahami bahwa Islam adalah sistem kehidupan yang peraturannya mencakup seluruh aspek kehidupan. Mereka memandang —dan memaksakan pandangan itu atas masyarakat kaum muslimin— Islam sama seperti agama yang lain, yakni sebatas agama ritual dan mengatur urusan akhirat.

Kaum muslimin tidak layak berfikir demikian. Karena, itu tidak sesuai dengan fakta hukum Islam itu sendiri. Bahkan untuk mengatasi seluruh persoalan hidup mereka, kaum muslimin diminta bertahkim kepada Islam. Mereka diharamkan bertahkim kepada yang lain. Allah SWT berfirman:

AÌÀ·BZNÍ ÆC ÆËfÍjÍ ¹¼J³ Å¿ ¾lÃC B¿ Ë ¹Î»G ¾lÃC B– AÌÄ¿E ÁÈÃC ÆÌÀ§lÍ ÅÍh»A Ó»G jM Á»C

{} AfΨI ÜÝy ÁȼzÍ ÆC ÆBñÎr»A fÍjÍË ÉI AËj°¸Í ÆC AËj¿C f³Ë PÌ«Bñ»A Ó»G

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An Nisaa 60).

SEMINAR

"IMPLEMENTASI SISTEM POLITIK DALAM KETATANEGARAAN INDONESIA

Sebuah Tinjauan Akademis, Realita, dan Kelayakannya"

Pembicara : Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH

Dr. M. Hidayat Nurwahid, MA

Ir. Ismail Yusanto

Moderator : Drs. Syamsurizal, MA (Dosen IIP)

Pelaksanaan : Hari Sabtu, 26 Juni 1999

Pukul 08.00 - 12.00 WIB

Di Aula Zamhier Islamy Institut Ilmu Pemerintahan,

Jl. Ampera Raya Cilandak Timur, Ps. Minggu, Jakarta Selatan

Penyelenggara : Bidang Bina Islam Senat Mahasiswa IIP

DIALOG TERBUKA

AGENDA UMAT ISLAM PASCA PEMILU

Pembicara : H. Hartono Mardjono, SH (DPP PBB)

KH. Ir. Muhammad Al-Khaththath (PSKII)

Pelaksanaan : Hari Ahad, 27 Juni 1999

Pukul 09.00 - 12.00 WIB

Di Masjid Alumni Kampus IPB Baranangsiang, Bogor,

Jl. Raya Pajajaran, Bogor

Penyelenggara : LPPD Bina Islami - BDMA