Edisi 061

KEKUATAN POLITIK ISLAM PASCA PEMILU

Kekuatan Islam belum berakhir! Itulah ungkapan Ketua Umum PPP, Hamzah Haz di hadapan ribuan jamaah Tabligh Akbar di Masjid Agung Al-Azhar bertema Peta Politik Umat Islam Pasca Pemilu, Ahad, 4 Juli lalu. Menurut Hamzah, kekuatan Islam masih sangat menentukan pada pemerintahan mendatang jika parpol berasas Islam (PPP, PBB, PK, PNU, Masyumi, PSII) dan parpol berbasis massa Islam (PKB dan PAN) bergabung dalam satu fraksi: Fraksi Islam, di Sidang Umum MPR mendatang. Menurut perkiraannya, partai-partai tersebut akan mendapatkan 169 kursi di DPR, yakni dari PPP (58 kursi), PKB (48), PAN (33), PBB (15), PK (8), PNU (5), Masyumi (1), dan PSII (1). Jumlah ini kata Hamzah lebih banyak dibanding perkiraan perolehan kursi PDI-P (151) dan Golkar (125). Sedangkan Ketua PBB Yusril Ihza optimis. Sebab, katanya, kepentingan Islam tidak hanya dibawa parpol Islam, tapi juga ada di Golkar, ABRI, bahkan PDI-P (Republika, 5/99).

Di satu sisi, kita merasa gembira melihat pemimpin parpol Islam masih punya semangat memperjuangkan aspirasi Islam. Di sisi lain, kita bertanya, apakah itu bukan sekedar menghibur diri? Sebab, acara itu kelihatannya dibuat untuk mengobati kekecewaan para pemuka umat terhadap hasil pemilu 7 Juni 1999 kemarin.

Hasil pemilu itu memang tidak seperti yang diharapkan. Partai-partai yang berasas Islam maupun berbasis massa Islam harus menerima kenyataan pahit: jumlah perolehan suara mereka tertinggal dari PDI-P. Bahkan di antara 12 parpol berasas Islam, hanya PPP yang masuk lima besar. Lainnya, untuk mendapatkan suara minimal 2% (10 kursi) agar bisa ikut lagi pada pemilu mendatang saja sudah sangat sulit. Sementara itu, PDI-P makin kukuh di tangga pertama dengan meraup lebih dari 30% suara. Berikutnya berturut-turut adalah Golkar, PKB, PPP. Dan di luar dugaan banyak orang, PAN (dengan basis kalangan Muhammadiyyah) yang dinilai partai paling reformis justru terpuruk di posisi lima.

Faktor-faktor apakah yang menyebabkan partai-partai Islam kelihatan kurang mendapat dukungan dari umat Islam? Lalu apa yang mesti diperbuat oleh partai-partai Islam dan kaum muslimin secara keseluruhan? Tulisan ini mencoba menganalisisnya.

Mengapa Kalah?

Paling tidak ada tiga faktor penyebab kekalahan parpol Islam dalam pemilu kali ini. Pertama, faktor adanya banyak parpol Islam dan berbasis massa Islam. Dengan 12 parpol berasas Islam dan dua parpol berbasis massa umat Islam (PKB berbasis NU; PAN berbasis Muhammadiyyah), belum lagi Partai Golkar yang sekarang banyak diisi para alumni HMI juga berusaha tampil "Islami", suara umat Islam menjadi terpecah-pecah. Hasilnya, PDI-P yang kendati dipenuhi lebih dari 50% caleg non-muslim dan dipimpin oleh Megawati yang banyak dipersoalkan, ternyata unggul.

Seandainya parpol Islam tidak terpecah seperti sekarang, hasilnya tentu akan lain.

Kedua, faktor keadaan umat Islam. Harus diakui, kemenangan PDI-P dan kekalahan parpol Islam adalah cermin buram umat Islam Indonesia: begitulah kualitas kita! Sekalipun sudah ditunjukkan bahwa PDI-P adalah partai yang sangat sekuler dengan track record menentang Islam sejak masa awal orde baru, lantas kini mencalonkan 50% lebih calegnya yang non muslim, tetap saja dukungan umat mengalir kepada partai metal ini. Mengapa umat bersikap seperti itu? Paling tidak ada dua faktor penyebab, lemahnya dakwah Islam dan gencarnya propaganda sekularisme yang diterima umat Islam selama hidup di masa orde baru maupun orde lama, bahkan sejak penjajahan Belanda. Memang, Sekularisme adalah warisan penjajah kafir Belanda.

Harus diakui bahwa dakwah Islam yang dilancarkan selama ini belum berhasil membentuk kesadaran politik Islami pada diri umat. Islam baru ditangkap sebatas persoalan ibadah ritual dan semangat moral. Jadi, tidak mengherankan bila pilihan politik umat malah dijatuhkan pada partai yang nyata-nyata sering berseberangan dengan aspirasi Islam.

Ketiga, faktor internal partai. Parpol-parpol Islam yang berlaga dalam pemilu baru lalu, rata-rata belum genap berumur setahun. Terlalu singkat untuk melakukan konsolidasi.

Tapi lepas dari kendala waktu, secara obyektif parpol Islam yang mengikuti pemilu itu memang memiliki setidaknya empat kelemahan mendasar. Yakni kelemahan pada ide (fikrah), kelemahan metode (thariqah), kelemahan personel (asykhas) dan kelemahan ikatan (rabithah) antar personel.

Secara ide, parpol Islam belum menunjukkan perspektif Islamnya secara menarik. Ide yang dibawa masih bersifat umum tanpa batasan yang jelas. Kalaupun detil, tidak tampak landasan Islamnya. Misalnya, belum jelas benar bagaimana ide parpol Islam tentang tatanan ekonomi, termasuk tentang bagaimana mengeluarkan bangsa ini dari krisis ekonomi dan agar tidak terulang kembali di masa mendatang. Karena politik adalah mengurus umat, parpol Islam seharusnya membuat konsep Islami yang matang untuk mengurus umat dalam berbagai aspeknya, dan memecahkan persoalan umat secara mendasar.

Pertanyaan-pertanyaan seperti apa bangunan masyarakat Islam itu, bentuk pemerintahannya, bagaimana pengaturan Islam di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan hukum; haruslah dijawab dengan gamblang dan dipersiapkan dengan serius. Sehingga parpol Islam memang kelihatan datang untuk menyelesaikan persoalan-persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan cara Islam. Bukan sekadar mendudukkan orang-orang Islam di kekuasaan.

Di samping kelemahan ide, banyak parpol Islam tidak memiliki metode (thariqah) untuk menerapkan ide-ide Islam yang dimaksud. Bagaimana sebenarnya jalan yang harus ditempuh agar seluruh tatanan hidup masyarakat diatur dengan Islam. Dengan demikian parpol Islam memiliki agenda dan langkah yang jelas, bukan sekadar mengekor partai lain, atau terjebak kepada jargon-jargon seperti reformasi, demokrasi, amandemen UUD, dwifungsi dan sebagainya. Kalau hanya seperti itu, wajar saja bila umat menilai adanya parpol Islam tidak mempunyai arti buat mereka dan merupakan upaya sia-sia. Umat belum bisa melihat perbedaan yang nyata antara parpol Islam dengan parpol sekuler.

Kelemahan ketiga, parpol Islam bertumpu pada orang-orang yang belum sepenuhnya memiliki kesadaran yang benar dan niat yang lurus. Sebagian besar hanya mengandalkan semangat, atau terlibat karena dorongan kepentingan pribadi (kedudukan, jabatan, keuntungan materi dan sebagainya). Mungkin saja sebuah partai Islam memiliki ide (platform) yang bagus, tapi sudahkah hal ini dipahami secara mendalam oleh para anggotanya?

Kelemahan keempat, di antara anggota bahkan pengurus parpol Islam belum terdapat ikatan yang benar. Sementara ini mereka hanya diikat oleh aturan keorganisasian, simbol-simbol atau slogan-slogan organisasi. Atau oleh figuritas tokohnya. Mestinya parpol Islam mengadopsi Tsaqafah Islamiyyah (aqidah Islam dan seperangkat pemikiran, hukum, maupun pendapat yang terpancar darinya) lalu dikulturkan kepada para kader dan simpatisannya agar menjadi pengikat yang benar (rabithah shahihah). Tidak jarang ikatan yang tidak benar di atas memicu konflik internal seperti yang selama ini sering terjadi.

Membangun Kekuatan Politik

Keterpurukan parpol Islam dalam pemilu ini tentu saja bukan akhir segalanya. Parpol Islam justru harus bangkit untuk menata ulang perjuangannya. Sebagai sebuah partai politik, parpol Islam harus menegaskan dua hal penting, yakni arah atau tujuan perjuangannya dan cara mencapai tujuan itu. Arah perjuangan ditentukan oleh persepsi parpol itu terhadap persoalan yang dihadapi umat atau masyarakat: apakah sebagai persoalan kerusakan sistem kehidupan, ataukah sekadar kerusakan parsial (seperti soal korupsi, kemiskinan, kesenjangan pusat daerah dan sebagainya).

Realitas kehidupan masyarakat kaum muslimin di negeri ini —dalam tinjauan Islam— menunjukkan bahwa persoalan yang tengah dihadapi oleh masyarakat saat ini tidak lain adalah kerusakan sistem kehidupan akibat dominasi paham sekularisme. Dengan kata lain, persoalan utama umat saat ini adalah tidak diterapkannya Islam secara total dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Inilah pangkal hancurnya kehidupan umat dan pangkal timbulnya berbagai krisis.

Dengan demikian, semestinya arah dan tujuan partai politik Islam tidak lain adalah melanjutkan kehidupan Islam (isti’nafu al-hayati al-Islamiyyah). Yakni mengembalikan kaum muslimin dan masyarakat secara keseluruhan pada pengamalan seluruh hukum-hukum Islam baik menyangkut aqidah, ibadah, makanan, minuman, akhlaq, dan muamalah (ekonomi, politik, sosial, budaya pendidikan dan sebagainya). Bukan sekadar mewarnai perundang-undangan yang dihasilkan DPR atau kebijakan-kebijakan pemerintah dengan nilai-nilai Islam. Pengalaman menunjukkan, tujuan yang sangat parsial turut memberikan andil bagi keterpurukan Islam di negeri yang mayoritas muslim ini. Oleh karena itu, tujuan "mewarnai" harus segera digantikan dengan tujuan "menegakkan Islam".

Adapun thariqah (metode) yang ditempuh untuk penerapan Islam secara utuh adalah melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah, sebuah sistem amanat Rasulullah saw.

Untuk mengemban perjuangan seperti itu, parpol Islam harus memiliki kekuatan yang bertumpu pada dukungan masyarakat atau memiliki basis massa (qo’idah sya’biyah) yang kuat. Untuk itu, sejumlah langkah strategis harus ditempuh. Pertama, membina umat dengan pembinaan yang mendasar. Menanamkan kepada mereka pemahaman aqidah Islam baik sebagai aqidah ruhiyah (perihal keakhiratan) maupun aqidah siyasiyah (mengatur perihal kehidupan dunia) secara terus-menerus. Lalu membangun kesadaran politik Islam umat, yakni menjadikan hukum-hukum Islam sebagai pemikiran politik untuk menilai peristiwa yang sedang berkembang dan menyelesaikan problematikanya. Perlu disadarkan, tidak akan syari'at bisa dilaksanakan dengan baik kecuali dengan tegaknya Khilafah Islamiyah. Dan tidak akan tegak daulah Khilafah Islamiyah kecuali dengan perjuangan yang bersifat politik. Harus disebarkan pula opini ke tengah umat bahwa Islam adalah satu-satunya solusi. Islam akan membawa kedamaian, keadilan, kesejahteraan. Syari'at Islam adalah rahmat bagi seluruh masyarakat, termasuk penduduk non-muslim.

Kedua, secara internal parpol Islam harus melakukan pembinaan intensif terhadap para anggotanya. Jangan sampai terjadi, kader partai Islam justru tidak tahu apa yang sedang diperjuangkan partainya, sehingga ia tidak tahu pula apa yang harus dilakukan untuk masyarakat. Atau lebih parah, terjadi konflik antaranggota partai oleh karena perbedaan ide.

Tujuan pembinaan dan pengkaderan ini adalah untuk membentuk kader-kader inti parpol yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah Islamiyyah). Yakni terbentuknya pada diri kader kemampuan berfikir dan bertindak secara Islami. Kader partai ini harus dibina dengan tsaqofah hizbiyyah (pemikiran-pemikiran kepartaian) yang sama, yakni hanya pemikiran Islami. Sebab, kesamaan pemikiran inilah yang akan mengikat mereka secara langgeng. Kesamaan pemikiran pula yang akan mempercepat tercapainya tujuan perjuangan partai. Oleh karena itu, parpol Islam mutlak harus memiliki seperangkat ide (ara’), pemikiran (afkar), hukum-hukum (ahkam) tentang berbagai hal, terutama berkenaan dengan pengaturan kehidupan masyarakat untuk dikaji oleh para anggotanya dan disebarkan ke tengah masyarakat untuk diikuti dan selanjutnya diperjuangkan.

Ketiga, kader-kader partai yang telah dibina ini akan bergerak membina kader partai berikutnya. Dan yang paling penting, kader partai ini membangun interaksi di tengah masyarakat untuk melakukan pergolakan pemikiran (shiraa ul fikri). Tujuannya untuk mengubah opini masyarakat serta meraih kekuasaan dengan dukungan masyarakat.

Bila selama ini "diyakini" bahwa cara meraih kekuasaan adalah melalui kekuatan intra parlemen, parpol Islam kini harus melihat secara cermat, baik berdasarkan pada realitas sejarah maupun dalam wacana tentang perubahan sosial serta tuntunan normatif, bahwa kekuatan ekstra parlemen, yakni kekuatan yang bertumpu pada dukungan masyarakat, adalah kekuatan yang sangat efektif. Revolusi Perancis yang mengakhiri kekuasaan despot Raja Louis, revolusi Bolsevijk yang meruntuhkan kekaisaran Rusia, termasuk jatuhnya Marcos dan Soeharto, semuanya terjadi melalui kekuatan ekstra parlemen. Dan yang pasti, tegaknya masyarakat Islam di Madinah juga melalui dakwah yang sepenuhnya bertumpu pada dukungan umat dan para pemuka masyarakat Madinah.

Pada fase pergolakan pemikiran ini, yang harus dilakukan oleh parpol Islam adalah mengubah pemahaman masyarakat sehingga searah dengan pandangan-pandangan Islami yang dimiliki parpol Islam. Masyarakat harus disadarkan tentang kewajiban dan tanggung jawab mereka terhadap Islam, termasuk kewajiban untuk menerapkan seluruh aturan Islam dan memperjuangkannya agar tegak di tengah masyarakat. Dorongan iman dan ketaqwaan harus dibangkitkan agar masyarakat dengan sepenuh kesadaran dan kerelaan menuntut penerapan syari'at Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Secara bersamaan juga harus dibentuk kesadaran Islami umat untuk menolak setiap pemikiran yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti komunisme, sosialisme, sekularisme, penetapan hukum di tangan rakyat atau ide kedaulatan rakyat —oleh karena penetapan hukum semata adalah hak Allah— dan sebagainya. Termasuk menolak setiap penyelesaian persoalan dengan cara bukan Islam karena itu akan sia-sia dan hanya akan menambah dosa. Umat hanya menginginkan bahkan merindukan sistem Islam saja.

Khatimah

Perubahan pemikiran masyarakat dan penolakannya terhadap setiap sistem selain Islam adalah kunci utama penerimaan mereka terhadap ide-ide dan tujuan perjuangan parpol-parpol Islam. Dengan begitu, masyarakat akan mendukung penuh parpol yang benar-benar memperjuangkan Islam. Bahkan mereka, dengan kesadaran sendiri, akan bergerak menuntut penguasa yang ada untuk menerapkan aturan Islam dalam segenap aspek kehidupan masyarakat. Inilah awal dari kemenangan perjuangan parpol Islam, yang tidak lain adalah juga kemenangan seluruh kaum muslimin. Insya Allah!

Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariiq!

Kupas Buku Islam (KUBIS)

BOLEHKAH WANITA MENJADI IMAM NEGARA

(Terbitan Gema Insani Press)

Pembedah:

DR. Uswatun Hasanah (Dosen Agama UI)

Ir. Muhammad Al Khaththath (PSKII Bogor)

DR. Nazarudin Umar (PARAMADINA)

DR. Chusnul Mar'iyah (Dosen Fisip UI)

Abdul Hakim, SH (GIP)

Masjid Ukhuwah Islamiyah

Universitas Indonesia - Depok

Jum'at, 16 Juli 1999 Pukul 13.30

Kerja sama:

FIKI UI dengan LkiS Al Mustanir Depok