Edisi 062

MEMERANGI PORNOGRAFI

Pose seronok Sophia Latjuba yang dipajang sebagai cover depan majalah Popular, dan pemanggilan artis itu oleh Polda Metrojaya seakan menyentak kesadaran kita bahwa kebebasan pers yang telah dibuka pemerintah telah membawa dampak kebebasan yang lain, yakni kebebasan perilaku yang tidak lagi memperhatikan rasa malu. Panggilan Polda itu tak membuat kapok sang artis untuk pamer tubuhnya. Bahkan ia merasa tidak bersalah dan menolak bila potret dirinya dianggapi porno. Batasan dan kriteria pornografi itu kan belum jelas, begitu kilahnya! Benarkah belum jelas? Ponografi (dari kata pornos = cabul, kotor, jorok; dan graphien = tulisan atau gambar) sebenarnya sudah lama dilarang di Indonesia. Surat Edaran Jaksa Agung 22 Pebruari 1952, menepis anggapan itu. Disebutkan di sana bahwa penerbitan barang cetakan atau media elektronik dianggap telah melakukan tindakan pornografi apabila mengekspos:

a). Ketelanjangan. Menampakkan dengan jelas bagian alat kelamin wanita atau pria, terutama bagian kemaluan (pubis), bokong (buttock) dan bagian payudara pada wanita.

b). Kegiatan seks. Yakni mengekspos kegiatan masturbasi, homoseksual, persetubuhan, sodomi, atau gambar lain yang menggambarkan pergaulan bebas.

c. Rangsangan seks. Keadaan dimana alat kelamin wanita dan pria dalam keadaan tegang (terangsang) dan hal lain yang bisa menimbulkan birahi.

d). Sadisme. Termasuk terlarang diterbitkan mesichisme dan horor.

e). Lain-lain. Misalnya gambar atau tulisan yang menarik perhatian orang, yang dapat menimbulkan rasa malu, muak, melanggar susila, serta tak menimbulkan manfaat bagi masyarakat.

Memang, dengan derasnya arus sekularisasi dan serbuan gaya hidup Barat di era globalisasi ini, peraturan Jaksa Agung tersebut seolah terlupakan atau menjadi tak berdaya. Pandangan masyarakat yang di dalamnya proses sekulerisasi demikian kuat, batasan tentang pornografi akan semakin tidak jelas. Kriterianya pun —apakah melanggar batas kesopanan, merangsang, atau pun melanggar budaya orang Timur— tampak kabur dan bisa berubah-ubah. Semuanya mengandung interpretasi yang sangat mudah diperdebatkan. Bagi masyarakat yang menganggap bikini itu sopan dipakai meski di tempat umum, maka pose artis Indo kelahiran Jerman itu "masih sopan dan wajar". Kriteria merangsang juga bisa mengundang kontroversi. Sebab, konon bagi para photografer yang akrab dengan artis-artis gampangan, tontonan seperti itu katanya bukan suatu yang merangsang lagi. Demikianlah bila pornografi itu diserahkan batasan dan kriterianya kepada manusia. Kalangan pendidik, politisi, pewarta, budayawan dan seniman semuanya akan memberikan rumusan yang berbeda-beda bahkan bertolak belakang. Oleh karena itu batasan dan kriterianya harus dikembalikan kepada peraturan Al-Khaliq, Allah SWT.

Tulisan ini akan mencoba menganalisa pornografi dari segi jenisnya dan kriterianya menurut perspektif Islam. Juga mencermati latar belakang merebaknya pornografi yang sebenarnya sudah cukup lama muncul di tengah masyarakat muslim. Dan bagaimana menangani kasus pornografi itu dalam sistem hukum Islam.

Mengapa Pornografi Dipersoalkan?

Pornografi tidak akan menjadi masalah bila ia tidak membawa dampak negatif bagi masyarakat. Terlebih bagi masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan dan moral agama. Pornografi betapa berpengaruh nyata terhadap rusaknya moral masyarakat khususnya generasi muda, dan termasuk salah satu pemicu berkembangnya perilaku menyimpang.

Kita mungkin masih ingat kasus perkosaan dan pembunuhan mahasiswi IPB Bogor oleh seorang pemuda yang baru pulang dari nonton film Gigolo in Murder. Kasus-kasus sejenis itu cukup sering kita temui di tengah masyarakat dan menelan korban yang tidak bisa dipandang sepele. Itulah sebabnya kita harus lebih bersungguh-sungguh dalam menuntaskan masalah pornografi.

Masalah pornografi terkait erat dengan tindakan-tindakan yang cenderung mengarah pada sensualitas atau peragaan seksual. Pintu utamanya adalah menampakkan aurat atau ekspresi —ucapan atau gerakan erotis— yang membangkitkan birahi. Semua aktivitas itu berjalan sesuai dengan naluri seksual manusia (gharizah al-nau'). Naluri itu ada pada setiap manusia normal. Naluri itu membutuhkan pemuasan, sekalipun jika tidak terpenuhi tidak membawa kematian, namun menimbulkan kegelisahan. Islam memberikan arahan untuk memecahkan masalah-masalah manusia, termasuk masalah seksual ini.

Kehidupan Khusus dan Kehidupan Umum

Islam mensyari'atkan adanya kehidupan khusus (kehidupan keluarga) dan kehidupan umum (kehidupan sosial).

Di dalam kehidupan khusus Islam membolehkan bagi wanita menampakkan bagian anggota tubuhnya dihadapan anggota keluarga (mahram). Seorang wanita muslimah diboleh membuka jilbab dan kerudungnya di hadapan para mahramnya dan orang-orang lain yang diberi hak oleh syariat untuk melihat bagian aurat yang biasa terlihat manakala wanita itu ada di dalam rumah. Allah SWT berfirman:

"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (QS. An Nuur 31).

Selain sekelompok orang di atas, dalam kondisi tertentu, jika diperlukan, seorang wanita diperbolehkan memperlihatkan sebagian auratnya kepada dokter, perawat, dan penyelidik. Melalui mahramnya, gambaran tentang sebagian aurat wanita, seperti rambutnya, tangannya, atau kakinya, bisa diinformasikan kepada seorang pria yang melamarnya untuk dijadikan istrinya.

Adapun hal yang berkait dengan seksualitas, Islam membolehkannya hanya melalui pintu pernikahan. Artinya hanya kepada mereka yang terikat dengan pernikahan yang sah saja, diperkenankan melakukan aktivitas seksual.

Islam melarang kehidupan seksual di luar nikah dan berbagai bentuk seks bebas (free sex) untuk menjaga kejelasan jalur keturunan manusia dan mencegah terjadinya konflik serta tindak anarki akibat hubungan lawan jenis yang tidak teratur. Hubungan seks di luar nikah dalam pandangan Islam disebut zina dan merupakan tindak kriminal (jarimah). Secara tegas Islam menghukum pelakunya, bila masih gadis atau bujang, dengan 100 kali pukulan atau cambukan (QS. An Nuur 2). Dan bagi yang sudah menikah, hukumannya adalah dilempar batu (rajam) sampai mati (Al-Hadits).

Bahkan Islam melarang aktivitas menuju hubungan yang tidak sah itu. Allah SWT berfirman:

"Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra:32).

Sebaliknya Islam memberikan petunjuk bahwa aktivitas seksual di dalam hubungan suami istri yang sah, sejak dari pembukaan sampai klimaks adalah aktivitas yang mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Akan halnya dalam kehidupan umum, seseorang tidak dibenarkan menampakkan auratnya. Bagi wanita, bagian tubuh yang terbilang aurat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa ketika Asma binti Abu Bakar datang ke rumah Rasulullah dengan mengenakan baju tipis, Rasul berpaling, lalu bersabda:

"Wahai Asma, seorang wanita yang telah haidl (menstruasi) tidak boleh kelihatan tubuhnya kecuali ini dan ini" Beliau saw menunjuk muka dan telapak tangan" (HR.Bukhari)

Oleh karena itu, menurut pandangan Islam, seorang wanita yang sudah baligh, manakala keluar rumah (masuk ke wilayah kehidupan umum), ia wajib mengenakan jilbab, yakni pakaian luar yang menutup tubuhnya hingga sejengkal di bawah mata kaki (QS. Al Ahzab 59, dan hadits) dan mengenakan kerudung yang menutupi kepala, leher dan dadanya (QS. An Nuur 31). Seorang wanita muslimah yang keluar rumah tanpa memakai jilbab dan kerudung, dianggap melanggar hukum dan layak mendapat hukuman ta'zir.

Dengan batasan yang jelas ini, maka seorang wanita muslimah secara jelas mengetahui bahwa mengumbar aurat tubuhnya di hadapan orang yang tidak berhak dan di tempat yang tidak tepat adalah dosa yang harus dijauhi. Sehingga dengan demikian pornografi tergolong tindakan kriminal yang pelakunya patut dijatuhi hukuman.

Bisnis Pornografi

Dalam suatu masyarakat yang tidak mengetahui dengan jelas batasan pornografi, kebanyakan wanitanya telah kehilangan perasaan malu. Pola hidup materialistik telah menjadi dambaan. Bisnis pornografi dipandang sebagai kegiatan ekonomi yang sangat menguntungkan, maka tak mengherankan jika cerita porno, gambar porno, foto porno, film porno, humor porno, bahkan kartun porno pun akan merajalela sebagai komoditas ekonomi. Media massa, cetak atau elektronik, tidak ketinggalan dalam bisnis ini. Apabila ini yang kemudian berkembang maka kerusakan nilai-nilai sosial niscaya terjadi!

Latar belakang apakah yang ada di balik merebaknya pornografi? Paling tidak ada dua hal. Pertama, motivasi bisnis, mencari keuntungan materi sebagaimana disinggung di atas. Semua orang hidup memang perlu keuntungan materi. Tapi mencari keuntungan materi tanpa mengindahkan norma-norma akhlak dan peraturan agama adalah menifestasi kebebasan pemilikan (hurriyah tamalluk). Kedua, merusak akhlak kaum muslimin dengan menebarkan gaya hidup hedonis atas nama globalisasi yang lebih khusus diarahkan kepada generasi muda Islam. Dengan propaganda gaya hidup hedonesime produk sekularisme, bangsa kafir Barat berusaha melepaskan kaum muslimin dari keterikatannya terhadap hukum syara, lalu menggiring hawa nafsu mereka kepada janji-janji kosong yang pada hakikatnya adalah tipuan syaithan. Dengan cara demikian, kafir barat berkehendak untuk melanggengkan dominasinya atas kaum muslimin.

Memerangi Pornografi

Memerangi pornografi adalah kewajiban bagi kaum muslimin dan pemerintah yang masih memiliki keimanan kepada Allah SWT. Pemerintah harus menutup rapat segala pintu pornografi. Para pelakunya, seperti artis, fotografer, penerbit maupun para pengedar yang terlibat dalam tindakan pornografi harus dikenakan hukuman ta'zir, baik berupa hukuman penjara atau hukuman pukulan.

Jika pemerintah bersikap diam, rakyat, khususnya para ulama dan partai-partai Islam tak boleh tinggal diam. Mereka harus melakukan amar ma'ruf nahi mungkar, baik kepada pemerintah yang berwenang menindak mereka, maupun mencegah kemungkaran para pelaku pornografi yang bersangkutan.

Dan masing-masing pribadi muslim harus menjauhkan diri dari berbagai produk porno yang bisa merusak akhlak diri dan keluarga mereka. Mereka harus berpaling dari segala perkara yang bisa mengarahkan kepada terjadinya perzinaan. Secara dini, Islam mencegah peluang terjatuhnya kaum muslimin kedala kerusakan akhlak itu. Allah SWT berfirman:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. An Nuur 30).

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka…(QS. An Nuur 31).

Khatimah

Jika kaum muslimin tetap berpegang teguh kepada hukum-hukum Allah SWT, dan mau meninggalkan hukum-hukum jahiliyyah, termasuk dalam masalah pornografi dan penanganannya ini, insyaallah mereka terhindar dari kesengsaraan hidup, di dunia maupun di akhirat.

Kapankah umat mau menyadari bahwa langkahnya mengikuti cara-cara hidup kaum kafir akan membuat mereka terhina. Bagi yang ingat dan waspada, marilah kita renungi sabda Nabi saw.:

"Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara hidup umat sebelum kalian, sedepa-demi sedepa, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengka, sampai mereka masuk lubang biawak pun, niscaya kalian akan memasukinya bersama mereka". Para sahabat bertanya, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani, wahai Rasul. Beliau menjawab: Siapa lagi" (HR Ibnu Majah, Hadits No. 3984, juga Sahih Bukhari, Hadits No. 6775).

"Kelak benar-benar akan menimpa umatku apa yang pernah menimpa Bani Israel langkah demi langkah, hingga seandainya ada seseorang di antara Bani Israel menggauli ibunya secara terang-terangan, maka niscaya di antara umatku akan ada orang yang melakukan hal tersebut" (HR. Sunan At-Tirmizi, Hadits No. 2565).

Na'udzubillahi min dzalik!