Edisi 063
KIDUNG DUKA DARI SERAMBI MAKKAH
Aceh terus berduka. Dari hari ke hari situasinya bertambah parah. Siapa pun yang masih menyimpan rasa kemanusiaan di dalam dirinya, tentu akan merasa tersayat hatinya menyaksikan tragedi berdarah di tanah 'Serambi Makkah' itu. Terlebih lagi orang-orang yang beriman, mereka akan sangat berduka melihat darah-darah tertumpah, mayat-mayat tergolek, dan jiwa-jiwa tak berdosa para pengungsi yang terlunta.
Pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) sama sekali tak membuat intensitas operasi di sana mereda. Itu lantaran kehadiran Pasukan Pengendali Rusuh Massa (PPRM) yang konon dimaksudkan untuk memberi rasa aman kepada rakyat, justru sebaliknya. PPRM yang bersenjata M-16 atau SS-1 seperti dikabarkan oleh koordinator kontras Munir kepada Kompas (15/7/99), telah menyulut perlawanan kelompok bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tak mengherankan bila kemudian jatuh banyak korban. Sepanjang April-Juli 1999 saja tercatat 379 orang menjadi korban penembakan, 136 di antaranya tewas. Seiring dengan itu terdapat pula korban penangkapan (diinterogasi) 83 orang, penculikan 33 orang (Media Indonesia, 17/7).
Terjadinya kontak senjata di antara pihak-pihak yang bertikai telah menimbulkan ekses sosial, yaitu eksodus masyarakat yang mengungsi ke daerah lain. Masyarakat umumnya merasa khawatir dan takut atas bentrok senjata antara PPRM dengan laskar militer GAM. Mereka pun trauma dengan pengalaman-pengalaman mengenaskan semasa digelar operasi jaring merah. Itulah alasan di balik derasnya arus pengungsian warga. Hanya saja, eksodus pengungsian itu, oleh Pangdam I Bukit Barisan Mayjen Rachman Gaffar dianggap bersifat politis. "Tujuannya mencari opini nasional dan internasional agar badan dunia turun", katanya (Kompas, 14/7). Sebuah penilaian yang terkesan arogan dan jauh dari rasa belas kasih terhadap rakyat.
Berdasarkan catatan Dinas Sosial Aceh yang dilansir Republika (16/7), jumlah warga yang mengungsi di berbagai lokasi di DI Aceh sudah mencapai 80.020 jiwa. Kondisi mereka sangat tertekan, banyak yang jatuh sakit, bahkan ada yang meninggal di lokasi penampungan. Dibandingkan ketika Operasi Jaring Merah (DOM) dilangsungkan, situasi Aceh saat ini jauh lebih buruk. Setidaknya itu penilaian Erwanto dan Tarmizi, aktivis Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) yang dikutip Kompas (15/7). Maka kidung duka pun panjang menggema dari tanah Serambi Makkah.
Sebagian besar reaksi dan tanggapan yang terekam di berbagai media, baik yang datang dari tokoh-tokoh asal Aceh maupun dari berbagai lembaga lain, bermuara pada harapan dan tuntutan untuk segera diakhirinya kekerasan, dan secepatnya PPRM ditarik dari wilayah Aceh. Juga agar ditinggalkan cara pendekatan kekerasan (militer) dalam menangani kasus Aceh. Akan tetapi sejauh ini pemerintah pusat belum memulai langkah konkrit bagi penyelesaian masalah Aceh yang sebaiknya-baiknya. Kalaupun ada baru sebatas akan membentuk tim independen Aceh, memenuhi usulan komnas HAM beberapa waktu lalu.
Apa sebenarnya masalah utama yang menjadi pangkal konflik antara rakyat Aceh —termasuk di dalamnya GAM— dengan pemerintah RI? Bagaimana pemerintah pusat selayaknya menentukan kebijakan bagi Aceh? dan apa yang seharusnya dilakukan kaum muslimin saat ini terhadap saudaranya di "Serambi Makkah" itu?
Memahami Peta Masalah
Masyarakat Aceh memiliki ciri dan karakter yang berbeda dibandingkan dengan sebagian besar, jika tidak seluruhnya, masyarakat Indonesia dari suku-suku lainnya. Ciri dan karakter itu terletak pada kultur yang kental dengan muatan agama, yaitu Islam. Nilai-nilai Islam telah lekat dan terpola dalam kehidupan masyarakat Aceh selama kurun yang panjang, mendahului proses-proses sejenis itu yang terjadi pada suku-suku lain yang memeluk Islam di wilayah Nusantara lainnya. Maklum, Islam telah berpijak di bumi Aceh sejak pertengahan Abad ke-12 (lihat T.W. Arnold, sejarah Dakwah Islam, terj. hal. 320). Ini suatu hal yang harus disadari ketika kita melihat Aceh, bahwa Islam telah menjadi nafas yang memberi keniscayaan hidup, kemandirian, sekaligus harkat diri bangsa Aceh.
Sewaktu Belanda hendak menjajah bumi yang kaya sumber daya alam dan energi itu, ia menghadapi sebuah masyarakat yang kukuh dan sulit dilumpuhkan. Berbeda dengan apa yang sering dihadapinya di wilayah lain yang relatif lebih mudah. Belanda harus kehilangan Jenderal Kohler dalam suatu pertempuran. Meskipun sesudah itu, dengan muslihat "Haji Abdul Ghaffar" alias Snouck Horgronje Belanda bisa menduduki Aceh di awal 1900-an. Tetapi kesultanan Aceh tak pernah menyatakan tunduk menyerah kepada Belanda.
Bilamana kemudian berdiri sebuah negara Republik Indonesia dan Aceh berada di dalamnya, kehendak untuk mewujudkan kemandirian yang dilandasi pandangan agama tetap eksis. Artinya, rakyat Aceh tetap konsisten berpegang pada prinsip ideologinya seiring keberadaan mereka dalam kesatuan wilayah RI. Potensi ideologis rakyat Aceh itu tidak akan pernah mengarah kepada kekuatan separatis, bila saja pemerintah pusat memiliki pandangan yang arif dan langkah kebijakan yang proporsioanal terhadap Aceh. Tetapi sayang, cara pandang keliru dan sikap arogan yang justru ditunjukkan elit penguasa sejak masa Orde Lama, Orde Baru hingga kini. Itulah yang pada gilirannya memunculkan reaksi-reaksi bernuansa separatis.
Timbulnya DI/TII Aceh, Republik Islam Aceh (RIA) dan belakangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) —terlepas adanya perbedaan kepentingan dan perselisihan di antara pucuk-pucuk pimpinannya— sebenarnya merupakan bentuk-bentuk ungkapan perlawanan terhadap pusat kekuasaan yang telah memperlakukan Aceh secara tidak proporsional. Penguasa berkehendak mematikan identitas ideologis yang menjadi sentimen Aceh karena dihantui bayangan bahwa itu akan mengancam kedaulatan negara. Inilah awal kesalahan pemerintah yang berlanjut dengan lahirnya kebijakan-kebijakan yang sangat tidak adil bagi Aceh. Padahal, masyarakat Aceh telah berkemauan dan berkali-kali membuktikan diri untuk berbuat baik, tetapi pemerintah selalu menutup mata. Ketika mereka mencoba tulus menjadi bagian dari kesatuan Republik ini, dibalas dengan aniaya.
Seyogyanya pemerintah 'rumangsa' bahwa hampir-hampir ia tidak memberikan andil yang berarti bagi pemberdayaan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat Aceh. Sementara berbagai ragam sumber daya alam dan energi yang terdapat di sana disedot sedemikian kuat. Sedangkan hasil yang diperoleh dari itu hanya dinikmati oleh kalangan penguasa, pejabat dan kroni-kroninya. Ini pula yang menjadi salah satu faktor timbulnya kecemburuan warga Aceh.
Tragedi Aceh yang kini kita saksikan adalah penjelmaan dari akumulasi persoalan yang bertumpuk-tumpuk. Di dalamnya terdapat ketidakadilan ekonomi, kesewenang-wenangan politik, pelecehan agama, dan pelanggaran harkat manusia. Masing-masing berpengaruh secara dominan. Persoalan akan menjadi bertambah runyam, apabila ternyata ada pihak-pihak asing yang turut bermain, seperti yang acap kali terjadi di berbagai belahan negeri. Dan, selama paradigma yang digunakan penguasa tidak berubah ke arah yang benar, maka tragedi itu akan terus berkobar. Walau seandainya seluruh kesatuan TNI dikerahkan, tidak otomatis bisa memadamkan gelora Aceh.
Kebijakan Pemerintah?
Banyaknya korban yang jatuh dan eksodus pengungsian warga yang rawan bencana, semestinya cukup untuk menyadarkan pemerintah. Bahwa, kebijakan yang selama ini ditempuh dalam menangani Aceh tidaklah benar. Belum ada bukti empirik bila cara penyelesaian urusan rakyat dengan pendekatan kekerasan (militer) melalui tindakan-tindakan represif, akan dapat mengatasi masalah. Justru sebaliknya, cenderung berakibat munculnya derivasi permasalahan yang tambah meruyak.
Islam melarang gaya pendekatan seperti itu, Islam memberi tuntunan agar para penguasa bertindak adil dalam mengatur dan melayani urusan rakyatnya. Seluruh tindakan yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya, ada pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak di hari akhir. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu agar menunaikan amanat kepada mereka yang berhak. Dan, memerintahkan padamu apabila menetapkan hukum di antara manusia, putuskanlah olehmu secara adil. Sungguh Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. An Nisaa 58).
Rasulullah SAW bersabda:
ÉNΧi ŧ ¾Ë×n¿ ÌÇ Ë ªAi ÂB¿âA
"Pemimpin adalah pemelihara bagi rakyatnya, dan dialah seorang yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya"
(HR. Imam Ahmad dan Bukhari).Maksud hadits itu adalah bahwa kepala negara (pemerintah) berkewajiban memikul beban urusan rakyat yang dipimpinnya dengan memenuhi semua hak mereka.
Dalam mengatur dan melayani urusan rakyatnya, Islam melarang (haram) para penguasa bertindak aniaya dan menyakiti rakyat. Rasulullah SAW memperingatkan:
pBÄ»A BÈI ÆÌIjzÍ j´J»A LBÃgD· ¢BÎm ÁȨ¿ Â̳ ^BÀÇiC Á» iBÄ»A ½ÇC Å¿ ÆB°Äu
"Dua kelompok penghuni neraka yang tidak aku lihat, yaitu, suatu kaum yang membawa cambuk mirip ekor lembu yang mencambuki orang-orang..."
(HR. Muslim dari Abu Hurairah).BÎÃf»A Ó¯ pBÄ»A ÆÌIh¨Í ÅÍh»A Lh¨Í ɼ»A ÆG
"Sungguh Allah akan menyiksa orang-orang yang ketika di dunia menyiksa orang lain".
(HR. Muslim dari Hisyam bin Hakim).Islam juga mengharamkan tindakan yang bisa melanggar harkat diri, kemuliaan dan harta kaum muslimin.
Éyj§ Ë É»B¿ Ë É¿e ^ÂAjY Á¼nA Ó¼§ Á¼nA ½·
"Setiap muslim haram atas muslim yang lain, bertalian dengan darah, kekayaan, dan hargadirinya".
(HR. Muslim dari Abu Hurairah)Begitu pula Islam melarang keras spionase yang dilakukan terhadap kaum muslimin, sebagaimana haram bagi seorang muslim mematai-matai saudaranya sesama muslim.
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah kalian melakukan mata-mata.." (QS. Al-Hujurat 12).
Berdasarkan pandangan Islam tersebut, kebijakan praktis yang harus diambil pemerintah dalam menangani kasus Aceh adalah menghentikan segala bentuk kekerasan dan ancaman seraya menarik seluruh personel PPRM. Sejalan dengan itu pemerintah segera memulihkan keadaan masyarakat Aceh dengan menata berbagai urusan dan memberi pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai dengan ketentuan Islam. Apabila pemerintah, dan juga TNI dan polisi tidak mengindahkan yang demikian itu, janganlah sesali Allah dan Rasul-Nya serta kaum muslimin akan melaknati mereka di dunia dan akhirat.
Seruan kepada GAM dan Kaum Muslimin
Sadar akan kewajiban untuk beramar ma’ruf nahi munkar dan menasehati sesama muslim, kami menyeru kepada GAM. Tahanlah senjata kalian dan akhiri segala bentuk pertikaian. Percayalah, kami sangat bersimpati, berempati, dan memahami semua tindakan dan cita-cita luhur kalian. Tetapi semua itu belum perlu harus menumpahkan darah, mengorbankan jiwa, dan cucuran air mata. Sebab, sebagian besar dari yang kalian hadapi adalah saudara-saudara kita sesama muslim juga. Pada saatnya, insya Allah kaum muslimin akan bersama menghadapi medan jihad yang sesungguhnya. Bangsa-bangsa Barat imperialis dan kaum kufar, merekalah musuh-musuh kita yang sebenarnya. Dengan panji Islam, di bawah naungan Al Khilafah Al Islamiyyah kita maju ke padang jihad.
Kepada seluruh kaum muslimin kami menyeru. Berilah pertolongan dan bantuan kepada saudara-saudara kita di serambi Makkah sana. Lebih khusus kepada para korban dan warga pengungsi. Ringankanlah beban derita mereka dengan uluran kasih dan doa kalian. Tidak ada suatu yang percuma dari segala yang kalian korbankan untuk mereka.
Khatimah
Masihkah kita menaruh percaya terhadap para pemimpin yang gemar berdusta, hidup bergelimang harta dan kemewahan di atas derita rakyatnya. Para pemimpin yang begitu manut mengikuti kehendak imperialis Barat tetapi sangat durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tidak mungkin dapat mengantarkan kita pada kesejahteraan dan kemuliaan hidup di dunia maupun akhirat. Mereka juga tak akan sanggup membawa kita menjadi sebaik-baik umat yang memimpin seluruh bangsa di dunia dengan Islam.
Masihkah kita belum percaya, bahwa hanya pemimpin-pemimpin yang bertaqwa, yang sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min, merekalah yang akan menegakkan keadilan di muka bumi. Maka akan tegaklah seluruh hukum-hukum Allah. Di sanalah kita akan hidup sejahtera dan mulia. Kita akan memimpin dunia dengan keadilan Islam serta menebarkan rahmat bagi sesama. Semua itu akan terwujud melalui wadah Khilafah Islamiyah. Tidakkah umat bersegera menegakkannya?
AGENDA UMAT PASCA PEMILU???
JAWABANNYA ADALAH PEMBINAAN
Umat Harus Mendapatkan Pendidikan Dan Pembinaan Islam Yang Komprehensif Agar Dapat Menyadari Jati Diri Mereka Dan Dapat Memperoleh Kembali Kemuliaan Mereka Dengan Islam. Namun Umat Yang Mayoritas Lemah Dalam Berbagai Segi Ini Harus Mendapatkan Sentuhan Kasih Sayang Saudara-Saudara Mereka Yang Lebih Kuat; Kuat Ilmu, Kuat Pemikiran, Kuat Tenaga, Kuat Informasi, Dan Kuat Harta
.Kami yang tergabung dalam Yayasan KEMUDI (Kelompok Muda Untuk Dakwah Islam), mengundang partisipasi Anda sekalian dalam mempedulikan Pendidikan dan Pembinaan Keislaman Umat dengan memberikan pendidikan dan pembinaan keislaman semurah-murahnya, bahkan juga gratis! Kami sedang membangun gedung serbaguna sebagai pusat pembinaan umat. Diperkirakan gedung dengan LB/LT : 160/400 m2 dengan sarana lengkap memerlukan biaya Rp. 103.000.000,-
Salurkan partisipasi Anda kepada: Panitia Pembangunan Gedung Serbaguna TKA Al Istiqomah - Yayasan KEMUDI, Jl. Raya Baru RT 03/01 No. 9 Kayumanis, Bogor (0251) 503676. Rek. BCA No. 0950203064 (a.n. Achmad Chaerudin Shaleh).