Edisi 065

NADA ISLAMOPHOBIA

DALAM PIDATO MEGAWATI

Menyusul pidato politik Megawati tanggal 29 Juli lalu, banyak komentar bermunculan baik yang pro maupun yang kontra. Lepas dari itu, sesungguhnya ada sejumlah hal yang memang harus dinilai secara kritis. Yang utama adalah kenyataan masih pekatnya kesan atau nada Islamophobia pada pidato Megawati tersebut. Hal ini tercermin dari ungkapannya menanggapi ide perlunya amandemen UUD 45. Lengkapnya sebagai berikut: "Hal ini tentunya sehubungan dengan upaya PDI Perjuangan yang secara konsisten berupaya mengamankan kehidupan berbangsa dan bernegara dari upaya merubah falsafah dan dasar negara kita ke dalam bentuk yang hanya memaksakan tuntutan ideologi kelompok tertentu untuk diadopsi secara bertahap dan yang selanjutnya mengganti seluruhnya dengan ideologi baru yang tak sesuai dengan cita-cita merdeka bangsa Indonesia"

Nada Islamophobia

Kelompok tertentu mana yang Megawati maksud? Tentu hanya dia sajalah yang tahu. Walau samar, kiranya yang dimaksud dengan 'ideologi kelompok tertentu' itu tidak lain adalah Islam. Kosa kata itu menjadi ciri khas dan merupakan stereotipe pandangan kelompok Islamophobia. Tidak terlampau sulit untuk mengenali siapa-siapa mereka itu yang berada di sekitar Mbak Mega.

Ketakutan (baca: tuduhan) Megawati itu tentu saja mengundang tanda tanya besar. Bila benar ia berupaya konsisten mengamankan kehidupan berbangsa dan bernegara, mengapa ia justru masih terkesan memusuhi Islam. Padahal semua orang tahu penduduk mayoritas negeri ini adalah muslim. Bila demikian, untuk siapa sebenarnya Mbak Mega berjuang bila ia malah justru memusuhi umat muslim yang mayoritas itu?

Juga ideologi baru mana yang ia maksud dalam pidato itu? Kapitalisme, sosialisme ataukah Islam. Di antara tiga ideologi itu, yang dimaksud oleh Mbak Mega pasti bukan kapitalisme karena memang ideologi itulah yang kini tengah dipraktekkan. Juga pasti bukan sosialisme yang memang sudah bangkrut. Maka tak pelak lagi yang dimaksud oleh Mbak Mega adalah ideologi Islam. Di sinilah ketidaktepatan pandangan ideologis Mbak Mega.

Di tengah-tengah kegalauan situasi dunia dan ketidakpastian masa depan Indonesia, bersikap apriori apalagi memusuhi Islam adalah potret dari manusia yang kerdil dan tidak realistis. Fakta kegagalan sosialisme dan bayangan kehancuran kapitalisme yang kasat mata, menempatkan keniscayaan Islam sebagai ideologi alternatif satu-satunya.

Seharusnya Megawati menggunakan 'kontemplasi diamnya' untuk meneropong Islam secara lebih cerdas. Ia seyogyanya arif mengambil pelajaran dari kegagalan orde lama dan orde baru. Orde lama yang bercorak sosialis telah gagal, sedang orde baru yang berhaluan kapitalis telah pula hancur. Logika sederhananya adalah 'kegagalan plus kehancuran sama dengan gagal total'. Jadi sebenarnya, persoalan sangat mendasar yang menyebabkan Indonesia carut marut seperti sekarang ini adalah buruknya ideologi lokal yang melahirkan konstitusi dan peraturan-peraturan yang amburadul.

Lagi pula, sebagai seorang muslimah tentu sangat tidak patut bila ia justru memusuhi ideologi Islam. Bila demikian, lantas di mana kemuslimahan Mbak Mega? Sesuai tuntunan, sebagai seorang muslim semestinya siapapun berusaha mewujudkan kemuslimannya itu dalam pikiran dan perilaku hidupnya sehari-hari. Setiap muslim wajib mengimani semua ajaran Islam. Mempelajari dan kemudian mengamalkannya. Lebih utama lagi bila ia juga terdorong untuk memperjuangkannya.

Sikap memusuhi Islam hanya pantas ditunjukkan oleh orang kafir yang memang tidak pernah suka pada Islam atau orang yang tidak paham Islam. Bila Mbak Mega takut dan memusuhi Islam, muslimah seperti apakah Mbak Mega?

Kalau Mbak Mega beralasan bahwa ideologi Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita proklamasi, bagaimana ia bisa berpendapat begitu. Bukankah kemerdekaan Indonesia, sebagaimana disebut dalam pembukaan UUD 45, diakui sebagai rahmat Allah. Allah, tuhan yang mana yang dimaksud di dalam kalimat itu bila bukan Allah SWT. Jadi Allah-lah yang memberikan kemerdekaan itu. Bila Allah yang memberikan kemerdekaan, kenapa kini kita mengingkari rahmat-Nya. Dan ketika ada orang yang mengajak kepada Islam dikatakan tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan.

Indonesia sekarang tumbuh menjadi negara sekuler, kapitalistik, apakah ini sesuai dengan cita-cita kemerdekaan. Kemiskinan akibat kapitalisme menyergap lebih dari 100 juta penduduk negeri ini, perjudian, pelacuran, kriminalitas, pornografi berserakan, apakah seperti ini yang disebut sesuai dengan cita-cita kemerdekaan? Ini semua adalah hasil dari ideologi sekuler. Bila Mbak Mega ingin mempertahankan ideologi sekuler, berarti PDI-P secara langsung menginginkan keburukan-keburukan tadi tetap terus berlanjut --- mengingat bahwa untuk keluar dari kemelut harus tampil ideologi alternatif. Dan itu tidak lain pastilah Islam setelah, sosialisme dan kapitalisme bangkrut.

Naif

Pidato Megawati memang mengandung banyak kontradiksi dan sekaligus kenaifan. Misalnya, satu sisi ia mencurigai Islam ideologis, tapi sisi lain mengatakan telah mendapatkan mandat dari rakyat untuk memimpin negeri ini. Persisnya ia mengatakan, "Lewat realita hasil pemilu kali ini, saya serukan kepada pemerintah yang ada sekarang untuk tidak melakukan maupun melahirkan kebijakan-kebijakan diluar batas kewenangannya… Hal ini perlu saya sampaikan karena sebagai pemimpin partai pemenang pemilu, saya telah mendapat mandat dan amanat dari rakyat pemilih untuk membentuk pemerintahan baru yang sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat".

Benar, PDI-P berhasil meraup sekitar 34 % suara, tapi bukankah masih ada 66% sisanya yang tidak memilihnya? Lagi pula bagaimana bisa ia menyatakan telah mendapatkan mandat bila kenyataannya ia justru mencurigai Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat ini?

Letupan kata-kata yang sangat agitatif ini dinilai banyak kalangan sebagai klaim kepresidenan Megawati. Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung sebagaimana dikutip banyak media, menukas: "Megawati terkesan telah memposisikan dirinya sebagai presiden yang akan datang."

Dalam suatu perseteruan politik, klaim-klaim seperti itu sebenarnya hal yang lumrah. Apalagi bagi yang merasa posisinya di atas angin. Megawati tidak mungkin akan meluncurkan pernyataan-pernyataan seperti itu, apabila ia kalah dalam pemilu. Sebaliknya sangat mungkin jika PAN, PKB ataupun Golkar sebagai peraih suara terbanyak, kalimat senada itu meski dengan gaya bahasa berbeda, akan muncul pula.

PDI-P dengan kemenangan relatifnya yang tidak bisa dikatakan memperoleh dukungan mayoritas (mayoritas dalam wacana demokrasi adalah minimal 50% + 1) merasa lebih berhak menduduki tampuk kekuasaan (presiden). Sementara parta-partai lainnya yang perolehannya relatif lebih kecil, dengan suatu mekanisme yang telah disepakati dan diakui, merasa juga punya hak dan peluang yang relatif sama. Kedua bentuk penalaran tersebut dianggap sama-sama berlaku dan absah dalam wacana demokrasi. Itulah realita kejumudan orang-orang yang 'menyembah' demokrasi.

Kenaifan Mbak Mega atas klaim mandat dari rakyat juga tampak dari keengganan Mbak Mega untuk memperhatikan protes dari masyarakat menyangkut banyaknya caleg non-muslim. Memang, Megawati tampak tengah berusaha menghilangkan kegusaran yang menghinggapi sebagian umat berkenaan dengan isu caleg muslim dan non muslim. Ia menyatakan, "… dengan ini saya nyatakan, bahwa siapa saja orangnya selama ia bersedia menjadi wakil rakyat dari fraksi PDI Perjuangan, wajib hukumnya menghormati kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas kehidupan kaum muslimin dan muslimat merupakan bagian penting yang diwajibkan oleh saya kepada wakil rakyat dari PDI Perjuangan untuk dicamkan dan dilaksanakan sebagai agenda perjuangan Partai."

Selanjutnya Mbak Mega mengajukan contoh agenda perjuangan untuk memperhatikan aspirasi umat Islam dengan prosedur pelaksanaan ibadah haji. Katanya, pemerintah sekarang juga banyak menelantarkan jemaah haji yang berakibat pada banyaknya jamaah yang batal menunaikan ibadah haji.

Hampir semua politisi muslim menyangsikan komitmen Mbak Mega dan partainya dalam menyuarakan aspirasi umat Islam. Setidaknya ada dua alasan utama yang mendasari keraguan mereka. Pertama, banyaknya caleg non muslim dalam tubuh fraksi PDI Perjuangan. Bagi politisi muslim, dan mungkin juga semua umat muslim, menganggap bahwa caleg-caleg non muslim tak mungkin turut memperjuangkan aspirasi Islam. Sebaliknya mereka tentu akan memperjuangkan aspirasi kelompoknya. Kedua, sindroma fraksi PDI di masa lalu yang hampir selalu menjadi penentang kelompok Islam di parlemen.

Pembahasan RUU Peradilan Agama dan RUU sistem Pendidikan Nasional ketika itu, merupakan contoh kasus yang sangat lekat dalam ingatan kaum muslimin di negeri ini.

Sebagian politisi muslim dan pengamat politik juga menilai Mbak Mega kurang proporsional menempatkan masalah haji sebagai gambaran aspirasi politik umat Islam. Aspirasi yang sebenarnya menurut mereka adalah marginalisasi peran politik dan ekonomi umat.

Alasan kalangan muslim tersebut sangat logis dan benar, meski tidak seutuhnya. Sebab, logika seperti itu pulalah yang dipakai kalangan non muslim dalam menilai Islam dan perjuangan umatnya. Kalangan Islam dicurigai dan dituduh hanya karena memperjuangkan kepentingan umatnya dan mengabaikan hak-hak mereka yang minoritas. Pada gilirannya dengan perspektif itu mereka akan menolak keras penerapan syariat Islam yang dikesankan hanya menguntungkan umat Islam. Padahal penerapan syariat Islam sejatinya akan mendatangkan rahmat bagi semua.

Pada bagian lain, kita bisa meminjam optimisme Yusril Ihza Mahendra, bahwa kepentingan Islam tidak hanya dibawa oleh Parpol Islam, tetapi juga Golkar, ABRI (TNI) dan bahkan PDI-P (Republika, 5/7). Dengan tinjauan ini, kita tidak boleh berharap, bahwa pernyataan Mbak Mega yang telah mewajibkan kepada anggota fraksinya itu, sebagai isyarat legal dan menjadi faktor pendorong para anggota fraksi PDI-P yang muslim untuk memperjuangkan aspirasi Islam.

Hanya saja persoalannya kemudian adalah konsistensi Mbak Mega terhadap sikap dan kebijakannya tersebut. Apakah Mbak Mega punya kapabilitas untuk mengendalikan orang-orang di sekelilingnya, atau malah sebaliknya.

Memaknai Tangis Mega bagi Aceh

Tangis seseorang memang dapat menyiratkan banyak makna. Begitu pula isak tangis Mbak Mega dalam pidatonya ketika ia menyinggung tentang Aceh. Suaranya tersekat menahan tangis, terbata-bata ia berucap : "Khusus kepada saudara-saudaraku di Aceh, bersabarlah. Bila kelak Cut Nyak memimpin negeri ini, tak akan saya biarkan setetes pun darah rakyat menyentuh tanah rencong yang begitu besar jasanya dalam menjadikan Indonesia merdeka…" (Kutipan Pidato Megawati, Kompas, 30/7)

Tentu saja tangis Mbak Mega bagi Aceh ditafsirkan orang-orang dengan makna yang tidak sama, sekalipun oleh masyarakat Aceh sendiri. Bagi Ghazali Abbas Adnan, anggota Komisi I DPR/MPR-RI asal Aceh, bahwa : "Tangis bagi Aceh momentumnya sudah sangat lama lewat. Jadi pernyataan Megawati tidak signifikan lagi sekarang" ujarnya seperti dikutip Republika (30/7/99). Sementara Vijaya Fitrayasa seorang aktifis ITB memberi makna berbeda. "Mega berusaha tampil mengambil hati dari masyarakat Aceh. Pada hal orang melihat dia tidak pernah melakukan hal apapun terhadap penyelesaian kasus Aceh. Ini hanya akan menjadi retorika politik saja" (Tekad, 2-8 Agustus).

Sangat dimaklumi, apabila pidato Megawati yang disertai tangis itu menimbulkan trauma bagi sebagian masyarakat Aceh. Hal ini karena Bung Karno, Ayahanda Megawati dahulu pernah pula berpidato bercucuran air mata di hadapan masyarakat Aceh. Soekarno pun tak lupa menyanjung puji terhadap rakyat Aceh. Hampir-hampir tak ada seorangpun warga Aceh yang tidak tersentuh kalbunya atas pidato itu. Tetapi kebijakan yang ditempuh Soekarno sebagai Presiden terhadap Aceh setelah itu, membuat mereka sangat kecewa dan merasa terpedaya.

Meskipun demikian tidak bijaksana bila kita bersikap apriori dan menghakimi Mbak Mega dengan perbuatan Bapaknya. Bila ada seorang bapak menjadi bandit umpamanya, tidaklah otomatis sang anak menjadi bandit pula. Jika seorang bapak ditakdirkan menjadi presiden, belum tentu demikian bagi anaknya.

Oleh karena itu, ada baiknya, kita percaya bahwa ungkapan Mbak Mega tentang Aceh itu sebuah pernyataan tulus seorang putri muslimah yang berduka melihat sesama saudaranya yang tengah dinista, diperdaya, kehausan, kelaparan dan sakit di buminya sendiri yang kaya raya, indah penuh barakah. Maka biarlah genangan air mata Mbak Mega dapat menjadi sedikit penawar segala kepahitan dan penyejuk kegersangan masyarakat Aceh.

Pernyataan dan sikap yang ditunjukkan oleh Megawati terhadap Aceh, walaupun sebagiannya berupa janji, boleh jadi masih lebih baik dari pada tokoh-tokoh yang nota bene sebagai tokoh Islam, tetapi tidak pernah menunjukkan simpati, empati dan pembelaan apapun terhadap nasib yang menimpa umat.

Kita sebelum ini, memang tak pernah mendengar ratap tangis dan 'doa' apapun dari Mbak Mega, berkait dengan saudara kita yang dibantai di Tanjung Priok, Banyuwangi, Ketapang dan Ambon. Apatah lagi yang lebih jauh di Palestina dan Kosovo. Seandainya peristiwa-peristiwa itu berulang kembali di masa datang, kita akan saksikan apa yang bakal diperbuat Mbak Mega. Mungkinkah isak tangisnya akan kita dengar ?

Khatimah

Arah reformasi negeri ini yang tetap berpegang pada ideologi semacam itu dan tokoh-tokoh reformis yang amat egois, nyata-nyata menampakkan kekisruhan dan kegagalan yang terlihat dari jarak yang jauh sekalipun. Sungguh para pahlawan dan pejuang di masa yang lalu yang mencita-citakan negeri ini sebagai baldatun thayyibatun warabbun ghafur yang itu hanya bisa diwujudkan dengan ideologi Islam.

Dan segala phobia kepada Islam apapun bentuk dan langkahnya, sesungguhnya akan merugikan manusia itu sendiri dan akan membuat suatu negeri kehilangan barakah Allah SWT. Sebab, phobia itu akan berujung kepada penolakan kepada Islam yang sesungguhnya rahmatan lil 'alamin. Allah SWT berfirman:

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya". (Qs. Al A'raaf 96)