Edisi 066
PENYELESAIAN ISLAMI KASUS SOEHARTO Ketua Umum PBNU, Gus Dur, dalam kesempatan silaturahim dengan Presiden BJ Habibie bersama sejumlah petinggi Parpol, Selasa 3 Agustus lalu di Istana Negara, mengusulkan penyelesaian kasus mantan presiden itu secara politik dengan menggunakan hukum syariah (fikih) Islam.Apa yang dimaksud dengan hukum syariah oleh Gus Dur? "Ketentuan hukum Islam dalam hal ini adalah pemberian ampun kepadanya, dalam arti ia menyerahkan jumlah uang tertentu kepada sebuah komisi lima orang yang akan menetapkan jumlah yang harus dibayarkan oleh mantan presiden Soeharto kepada rakyat untuk mengatasi krisis pangan dan investasi kembali dalam kegiatan ekonomi bangsa kita," demikian penjelasan Gus Dur tentang usulannya itu kepada sejumlah wartawan (Kompas, 4/8/1999).
Usulan itu mengundang reaksi sejumlah kalangan. Umumnya mereka tidak menyetujui usulan tokoh kandidat presiden dari Poros Tengah ini. Dalam pandangan mereka usulan Gus Dur lebih merupakan pendekatan politik, dan itu berarti pengabaian terhadap penyelesaian hukum (supremasi hukum) dan kesamaan semua orang di depan hukum (equality beyond the law). Bahkan Pak Harto melalui pengacaranya, Juan Felix Tampubolon, juga keberatan dengan penyelesaian cara itu. Katanya, Pak Harto maunya mengacu pada hukum.
Tanggapan lebih tandas lagi dikemukakan oleh Dekan FH Unhas Ujung Pandang, Prof. Dr. Achmad Ali (Kompas, 5/8/1999). Baginya, usulan Gus Dur itu rancu dengan sistem hukum yang berlaku. Dia mengingatkan bahwa hukum Islam yang berlaku sebagai hukum positif di Indonesia hanya hukum perkawinan dan hukum waris (yang merupakan kompetensi peradilan agama). Oleh karena itu, menurutnya, usul Gus Dur itu mustahil dilaksanakan. Pendapat senada dikemukakan dosen FH Unair, Himawan Estu Bagio MH, yang mengatakan bila usulan Gus Dur diterapkan akan melanggar asas legalitas. Fiqh Islam belum sah menjadi aturan perundang-undangan negara. Lagi pula bila dipaksakan, prosedurnya bagaimana, lantas siapa yang menyelesaikan dan apa sanksinya? Bagaimana pula pembuktiannya?
Pendek kata, usulan Gus Dur yang cenderung mengampuni Soeharto dengan kompensasi sejumlah uang tertentu itu ditolak berbagai pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan akademisi, praktisi hukum, birokrat dan para politisi, termasuk pula para pengacara Pak Harto. Memang pendekatan Gus Dur itu terkesan sangat simpel, tidak mengindahkan hukum dan tentu saja sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat yang menginginkan mantan presiden Soeharto mempertanggungjawabkan semua tindakannya semasa berkuasa. Tapi benarkah penyelesaian cara Islam dalam kasus Soeharto adalah seperti yang dikemukakan oleh Gus Dur? Demikian simpelkah?
Tidak Sesimpel Itu
Berbagi komentar bernada keberatan atas usulan Gus Dur dalam penyelesaian kasus Soeharto itu sangatlah wajar. Bahkan memang harus demikian. Sebab, bila usulan Gus Dur itu diikuti, tentu saja penyelesaian kasus Soeharto menjadi sangat simpel, dan terkesan menyederhanakan masalah, serta yang utama adalah usulan itu akan sangat menyinggung rasa keadilan masyarakat mengingat kesalahan (atau tepatnya kejahatan) yang dilakukan oleh mantan presiden Soeharto selama ia berkuasa sangatlah banyak. Pernyataan bahwa Soeharto tidak bisa disalahkan oleh karena semua tindakannya selama ia berkuasa telah dipertanggungjawabkan tiap lima tahun di hadapan Sidang Umum MPR, dan selalu diterima, tidaklah bisa diterima. Keabsahan forum SU MPR selama rezim orde baru harus dipertanyakan lebih dulu. Kita semua tahu bahwa hampir semua anggota MPR adalah pilihan Pak Harto. Bukan pilihan rakyat. Lagi pula, dengan kebijakan represif yang dilakukan oleh rezim orde baru, siapa ketika itu yang berani mengatakan "tidak" kepada jenderal besar berbintang lima ini?
Tentang kesalahan Pak Harto, bila ditilik secara jeli, selama berkuasa Pak Harto paling sedikit telah melakukan tiga kejahatan besar. Yakni kejahatan politik, ekonomi dan kriminal. Kejahatan politik intinya berupa berbagai upaya, kebijakan dan rekayasa untuk membungkam lawan-lawan politiknya baik itu seorang tokoh ataupun kelompok (partai). Melalui kebijakan represifnya, tak terhitung orang yang ditangkap tanpa alasan atau masuk penjara tanpa proses peradilan. Dan kalaupun diadili, proses peradilan itu telah direkayasa sedemikian rupa untuk menjebloskan yang bersangkutan ke dalam penjara. Sementara, di dalam penjara mereka acap mendapatkan perlakuan yang kasar, disiksa hingga cacat dan mungkin meninggal. Selama berkuasa, Pak Harto juga tidak mentolelir iklim perbedaan. Kritik ditanggapi sebagai pembangkangan dan makar. Pers dibungkam. Yang membandel dibredel. Melalui mekanisme licik, PPP dan PDI dibonsai. Boleh tumbuh tapi tidak boleh besar. Setiap muktamar atau kongres partai, pemerintah selalu turut campur agar yang terpilih adalah tokoh partai yang nurut atau mudah diatur pemerintah. Dan yang paling jahat dari rezim Soeharto adalah merekayasa pemilu agar selalu menguntungkan dan memenangkan the ruler party selama sekian kali pemilu.
Mungkin saja kejahatan-kejahatan itu bukan perintah langsung dari Pak Harto, tapi sangat boleh jadi ia merestui, atau paling tidak membiarkan. Tapi apapun, sebagai presiden ia memang wajib bertanggung jawab. Nah, terhadap kejahatan semacam ini, cukupkah kita sekadar memaafkannya? Andai saja Pak Harto mau meminta maaf, pemaafan tentu bisa saja diberikan. Tapi apakah hingga sekarang Pak Harto secara terbuka mau meminta maaf?
Sementara, kejahatan ekonomi dilakukan Pak Harto dengan penetapan kebijakan, pembuatan aturan dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi yang sarat dengan aroma KKN demi keuntungan diri sendiri, keluarga (anak dan cucunya) serta kroni-kroninya.
Di bidang pekerjaan umum, dia tetapkan Tutut sebagai pengelola jalan tol dalam kota Jakarta, dengan porsi pembagian pendapatan lebih besar dari Jasa Marga, BUMN PU yang notabene adalah milik pemerintah (75:25). Di bidang pertambangan dan energi, bidang perhubungan, telekomunikasi dan sebagainya banyak sekali kontrak-kontrak yang merugikan negara.
Hal inilah yang menyebabkan sejumlah BUMN seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan sebagainya mengalami kerugian besar. Menurut akuntan independen dari luar negeri, pada tahun 1998-1999 Pertamina mengalami in-efisiensi hingga 43 triliiun rupiah. Sementara akibat menanggung beban kewajiban membeli listrik swasta yang kebanyakan milik keluarga Cendana dan kroninya, PLN menderita kerugian hingga mencapai 73 triliun. Di bidang kehutanan, Soeharto melalui Menteri Kehutanan memberikan HPH kepada keluarga dan para kroninya. Ini menyebabkan kerugian negara, kerusakan hutan dan ekosistemnya. Di bidang pertambangan, Freeport Indonesia bisa meraup habis emas di Irian dan masih mengantongi kontrak hingga tahun 2050. Dan masih banyak lagi kebijakan Soeharto di bidang ekonomi, seperti penarikan dana melalui sejumlah yayasan-yayasan yang dipimpinnya, kebijakan mobnas dan sebagainya, yang jelas-jelas merugikan negara. Bila kita berbicara tentang kredit macet, yang paling besar ternyata adalah milik keluarga Cendana (hingga mencapai 15 triliun rupiah).
Mungkin saja semua itu bukan keputusan langsung Pak Harto, tapi sangat boleh jadi pak Harto mengijinkan atau paling tidak membiarkan. Nah, terhadap kejahatan-kejahatan seperti itu apakah kita akan memaafkannya begitu saja sementara yang bersangkutan tidak pernah merasa bersalah apalagi meminta maaf? Lagi pula, bila ia harus menyerahkan sejumlah uang, berapa persisnya? Apakah bukan semua harta kekayaan milik dia pribadi dan keluarga itu disita oleh negara, mengingat harta itu jelas-jelas diperoleh dengan cara memanfaatkan kedudukannya sebagai presiden?
Dari tiga kejahatan itu, yang paling berat tentu saja adalah kejahatan kriminal. Selama rezim orde Baru berkuasa, berbagai peristiwa berdarah terjadi. Diawali dengan peristiwa PKI, Malari, Komando Jihad, teror Warman, pembajakan Woyla, kasus Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Kasus Trisakti, Penculikan aktivis dan sebagainya yang memakan korban jiwa. Termasuk berbagai kezhaliman langsung terhadap rakyat banyak, di antaranya penggusuran tanah penduduk (seperti kasus Kedung Ombo yang hingga kini belum selesai), penggarukan pedagang kaki lima dan sebagainya yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat kecil. Tidak sedikit dari mereka yang harus kehilangan harta benda, mata pencaharian, bahkan kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Siapa yang harus beranggung jawab atas semua kebiadaban itu?
Mungkin saja semua kejahatan itu bukan atas perintah langsung Pak Harto. Tapi sangat boleh jadi Pak Harto mengijinkan, atau paling tidak membiarkan. Nah, terhadap kejahatan kriminal dan kebiadaban seperti itu, cukupkah kita sekadar memaafkannya sementara yang bersangkutan justru tidak pernah merasa bersalah apalagi meminta maaf?
Hukuman Islam
Islam adalah agama yang diturunkan untuk mengatur hidup manusia. Allah yang menciptakan manusia, maka Allah pulalah yang paling tahu bagaimana mengatur hidup manusia dengan sebaik-baiknya. Bila manusia mengikuti aturan Islam, Insya Allah, kebaikan akan dirasakan. Tapi bila tidak, maka keburukanlah yang akan diderita.
Manusia selamanya tetap manusia. Bisa salah dan lupa. Manusia yang lupa bisa dimaklumi, tapi yang melakukan kesalahan harus dihukum agar ia kembali ke jalan yang benar, dan agar yang lain tidak terdorong untuk berbuat serupa. Sebagai agama, Islam juga telah memiliki seperangkat aturan mengenai hukuman buat para pelanggaran aturan. Intinya ada empat, yakni had, jinayat, tazir dan mukhalafat.
Had atau hudud adalah bentuk hukuman bagi pelanggar hak Allah yang bentuknya telah ditetapkan oleh al-Quran dan al-Hadits, seperti pezina yang belum pernah menikah dijilid 100 kali, pencuri dipotong tangan dan sebagainya. Jinayat adalah hukuman untuk pelanggaran atas badan orang lain, seperti pembunuh balas dibunuh atau membayar diyat sebesar 1000 dinar. Atau bisa juga dimaafkan oleh ahli waris korban. Sementara tazir adalah hukuman untuk pelanggaran hukum Allah yang bentuk sanksinya ditetapkan oleh hakim seperti korupsi berupa kurungan badan yang lamanya disesuaikan dengan jumlah yang dikorup serta hartanya yang diduga hasil korupsi disita untuk negara, dan mukhalafah adalah hukuman atas pelanggaran aturan yang ditetapkan khalifah.
Bila tiga bentuk kejahatan seperti tersebut di atas benar terbukti dilakukan oleh Soeharto, maka ia harus bersiap menghadapi tuntutan qishash (hukuman mati) dari ahli waris korban pembunuhan selama rezim orde baru seperti peristiwa Tanjung Priok dan sebagainya). Atau ia harus membayar diyat (uang tebusan) sebesar 1000 dinar (sekitar 300 juta rupiah) perorang. Sementara harta yang dirampas harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan Pak Harto tentu saja harus meminta maaf. Termasuk meminta maaf kepada mereka yang pernah dizalimi, disiksa, dipenjara tanpa alasan dan sebagainya.
Sementara itu, disamping harus meminta maaf kepada seluruh rakyat, sebagian besar harta yang dimiliki harus disita. Sebab, dari mana ia memperoleh kekayaan sebesar itu bila gaji tiap bulannya cuma Rp 14 juta?
Kepentingan Bersama
Jadi, penyelesaian kasus Soeharto dengan cara Islam tidaklah sesederhana seperti yang digambarkan oleh Gus Dur. Tapi semangat Gus Dur untuk menggunakan cara Islam dalam menyelesaikan kasus Soeharto patut didukung. Bukan ditolak dengan berbagai dalih, termasuk pertimbangan bahwa hukum Islam belum menjadi hukum positif di Indonesia. Bila belum menjadi hukum positif, kewajiban kita bersamalah, terutama para ahli hukum, untuk menjadikan hukum yang diturunkan oleh Allah yang pasti baik untuk semua, sebagai hukum positif di Indonesia. Aneh sekali bila negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini justru alergi terhadap hukum Islam, atau lebih suka terhadap hukum bikinan Belanda. Penjajah itu dulu kita usir-usir, tapi hukumnya masih saja kita pakai hingga sekarang.
Bila hukum Islam diterapkan, Insya Allah, rasa keadilan kita, termasuk mereka yang menderita semasa rezim Orde Baru berkuasa, akan terpuaskan. Disamping itu, secara ekonomi uang yang dirampas dari Soeharto dan keluarganya juga tetap bisa digunakan demi kepentingan bersama. Dan bagi Soeharto, hukuman Islam yang dikenakan atas dirinya, betapapun berat dan menyakitkan, merupakan kafarat (tebusan) buat siksa di akhirat kelak yang jauh lebih berat dari siksa di dunia. Dengan begitu, seharusnya Pak Harto lah yang meminta dihukum secara Islam, bukan malah menghindar dengan berbagai cara.
Khatimah
Penyelesaian kasus Soeharto dengan cara Islam adalah pilihan yang terbaik. Tapi cara Islam yang benar-benar Islami yang ditetapkan dengan landasan al-Quran dan al-hadits yang jelas, bukan cara-cara rekaan seperti yang diusulkan Gus Dur.
Memang dalam sistem pidana Islam ada kata maaf buat sebuah kejahatan. Tapi itu jika korban kejahatan tidak mengajukan ke mahkamah.
Dan jika jenis kejahatan itu berupa jinayat, korban atau keluarga korban bisa memaafkan. Disamping bisa menuntut. Namun pemaafan itu tak bisa dilakukan kepala negara, atau ketua ormas Islam,. Pemaafan adalah hak korban atau keluarganya yang harus dihormati dan dilindungi. Tak boleh dimanipulasi.
Kesalahan yang tergolong dalam ta'zir atau mukholafat memang bisa dimaafkan pemerintah, tapi kesalahan mantan presiden itu memang perlu di kategorikan kepada empat jenis kejahatan dalam sistem pidana Islam. Lalu satu persatu ditinjau, mana yang bisa dimaafkan dan mana yang harus dituntut penerapan sanksinya.
Dan sebagai muslim, kita tak boleh membiarkan kejahatan penguasa merajalela. Nabi saw. bersabda:
"Siapa saja yang melihat penguasa yang jahat, yang mengkhianati janji Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, bertindak terhadap rakyatnya dengan cara-cara yang diselimuti dosa dan permusuhan lalu dia tidak mengubahnya dengan ucapan ataupun perbuatan, maka Allah akan memasukkan orang itu ke tempat masuk penguasa jahat di akhirat kelak".
Allahumma ballaghna!