Edisi 067
MUSLIM AMBON TERTINDAS,JIHAD MEMANGGIL
Ambon membara lagi. Gema takbir membahana mengiringi letusan tembakan dan ledakan bom yang terdengar di mana-mana. Sejumlah pemuda muslim bersiaga membawa parang, tombak, dan sejumlah senjata tradisional lainnya. Memakai ikat kepala putih, mereka mengangkat senjata menyongsong pasukan merah (Nashrani) yang terus berusaha menyerang umat muslim di sana. Para pengungsi yang memadati Masjid al-Fatah berdzikir melepas para mujahidin.Begitulah majalah Sabili edisi 25 Agustus 1999 mengawali reportasenya tentang perkembangan terakhir penindasan atas kaum muslimin di Ambon. Sangat wajar bila kesabaran kaum muslimin Ambon mencapai titik kulminasinya. Sejak tragedi Tual yang meletus Maret silam, kaum Nashrani memang telah melakukan kebiadaban yang luar biasa. Selain membantai, mereka juga melecehkan Islam dengan memajang tanda salib dari kayu atau menggambarnya di beberapa masjid dan mushola yang telah mereka hancurkan. Selain memburu penduduk muslim, sasaran mereka adalah menghancurkan sarana pendidikan Islam, antara lain Pesantren al-Ikhlas milik Yayasan al-Hilal Tual, Sekolah Dasar dan Puskesmas di desa berpenduduk muslim .
Kekejian kaum Nashrani atas umat Islam di sana tergambar dalam peristiwa pembunuhan imam masjid ar-Rahman, H. Abdul Azis Rahanyatel. Ia dicekik lalu dibunuh saat melaksanakan shalat dhuhur,kemudian mayatnya dipotong-potong, dibungkus sajadah dan permadani, lalu dibakar serta dengan mimbar masjid desa Larat Kecamatan Kei Besar itu.
Berdasar data yang dihimpun Kontras, sejak 15 Juli hingga 5 Agustus 1999 tercatat 82 muslim meninggal, 141 orang luka, dan 4 orang dikabarkan hilang. Kini pertikaian NashraniMuslim kian meluas. Berbeda dengan konflik pertama bulan Syawal lalu yang ketika itu pertempuran masih berlangsung seimbang. Kini, kaum muslimin yang hanya bersenjatakan parang, tombak, batu dan golok harus berhadapan dengan musuh Nashrani yang memiliki senjata organik dan bom.
Diduga keras mereka mendapatkan pasokan senjata yang seharusnya hanya dimiliki oleh aparat keamanan itu dari luar Ambon. Pasalnya, beberapa waktu lalu ditemukan 12 peti kemas berisi senjata api dan amunisi yang dikirim melalui kapal barang dari Jakarta. Kini senjata itu masih tersimpan di pulau Seram dan Desa Hutumury. Menurut release Bakin, kedua belas peti kemas itu memang berisi senjata dan amunisi yang berasal dari Belgia, Belanda dan Israel. Senjata laras panjang jenis PNC-1 yang penuh amunisi ini jumlahnya mencapai ribuan pucuk.
Lebih celaka lagi, dalam konflik itu, pihak keamanan dalam hal ini Brimob, dinilai telah memihak kelompok Nashrani. Banyak saksi mata mengatakan bahwa dalam penyerangan yang dilakukan kelompok Nashrani terlihat dibantu oleh sejumlah oknum pasukan Brimob, baik yang berseragam maupun yang berpakaian preman. Banyak pihak muslim yang mereka tembaki, termasuk tiga orang aparat anggota Kostrad yang ketika itu mencoba berusaha melerai pertikaian. Keberpihakan oknum-oknum keparat terhadap kelompok Nashrani memang sangat dirasakan. Sulaiman Rahman, Sekretaris MUI Ambon mencontohkan, pihak keamanan rajin melakukan razia KTP dan senjata tajam terhadap warga muslim, tapi tidak kepada warga Nashrani.
Pembersihan Muslim
Apa sebenarnya yang tengah terjadi di Ambon khususnya, dan di Maluku pada umumnya? Skenario apa yang tengah dimainkan di sana? Dalam pertikaian pertama bulan Syawal lalu dihembuskan bahwa pangkal pertikaian adalah kesenjangan sosial ekonomi antara kaum pendatang yang kebanyakan datang dari suku Bugis, Buton dan Makassar (BBM) dengan penduduk asli. Kaum pendatang yang umumnya memang lebih rajin dan ulet dalam berusaha, pada akhirnya banyak menguasai sektor ekonomi non-formal. Kehidupan ekonomi mereka menjadi relatif lebih baik daripada penduduk asli. Faktor kecemburuan inilah yang memicu konflik yang terjadi pada bulan Syawal lalu. Sementara dalam pertikaian sekarang dihembuskan adanya proses marginalisasi dan aksi separatisme. Tentang tudingan bahwa konflik itu dipicu oleh aksi separatisme terungkap dalam surat Tim Pengacara Gereja Ambon kepada pemerintah AS dan PBB untuk mengirimkan tim investigasinya ke Ambon. Dalam surat tertanggal 5 Agustus lalu itu, mereka menyatakan adanya kelompok separatis yang ingin mengganti idiologi Pancasila dengan Islam.
Demikianlah tudingan-tudingan dilontarkan oleh berbagai lembaga yang berafiliasi kepada kelompok Merah yang tujuannya tidak lain untuk memojokkan kelompok Muslim dan melegalkan tindakan makar mereka. Senyatanya tidaklah demikian. Yang terjadi justru sebaliknya.
Tentang kesenjangan sosial ekonomi antara kaum pendatang dan penduduk asli yang dikatakan memicu konflik, itu tidaklah benar. Sebab, bila benar demikian, mengapa serangan yang mereka lakukan hanya ditujukan kepada pendatang BBM yang muslim,dan tidak kepada etnis Cina yang secara ekonomi sebenarnya lebih mapan dan makmur dari mereka? Juga, mengapa serangan bukan saja kepada pendatang BBM, tapi malah kepada penduduk asli yang beragama Islam pula? Bila benar konflik yang pertama adalah untuk mengusir pendatang, logikanya etnis Cina juga diusir, sedangkan penduduk asli yang muslim tidak. Tetapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya?
Isu marginalisasi muslim atas kaum Nashrani serta aksi separatisme, juga hanya bualan belaka. Karena kenyataannya, sebaliknya. Umat Islam di Maluku lah yang telah sejak lama mengalami proses marginalisasi. Cermatilah, siapa yang memenuhi jabatan-jabatan di Pemda Dati I Maluku, Bank Pembangunan Daerah Maluku, juga Universitas Pattimura? Tentu orang-orang Kristen. Bahkan sejak lama pula Maluku, disamping NTT, Irja, Timor Timur lantas Sulawesi Utara diklaim sebagai propinsi Kristen. Mau mereka Gubernurnya juga harus orang Kristen.
Lalu, bukan rahasia lagi bahwa kristenisasi juga terjadi di Unpati. Di universitas yang mengambil nama pahlawan Islam (menurut Mansur Suryanegara MA, sejarawan UNPAD Bandung dalam buku Menemukan Sejarah, Pattimura itu muslim bukan Kristen seperti sering disebutkan selama ini), beasiswa lebih banyak diberikan kepada mahasiswa Kristen ketimbang muslim. Begitu juga kesempatan menjadi dosen, apalagi professor. Beberapa waktu lalu di Unpati terjadi gejolak hanya lantaran kandidat terkuat untuk jabatan rektor ternyata beragama Islam. Dalam pertikaian yang berlangsung kini, banyak bukti menunjukkan bahwa Unpati telah menjadi sarang kelompok Merah, dan menjadi ladang pembantaian mahasiswa Putih. Diberitakan 9000 mahasiswa muslim terancam putus kuliah. Sementara, sejumlah dosen ditemukan tewas dibunuh. Sebagian lagi terusir dari kampus (Tekad, 15 Agustus 1999) Betapa ponggahnya kaum salib itu.
Tidak cukup sebatas itu. Mereka berpolah juga di RSU Ambon. Dokter dan perawatnya kebanyakan kristen. Maka, menurut sumber redaksi yang terpercaya, ketika banyak orang Islam terluka dalam pertikaian baru lalu, tidak dibawa ke rumah sakit itu. Karena, pernah terjadi, muslim yang luka bukannya dirawat oleh mereka, tapi malah dihabisi!
Demikianlah sikap orang Kristen di sejumlah tempat apabila mereka merasa menjadi mayoritas. Sebenarnya keadaan di sejumlah propinsi yang dianggap mayoritas itu, tidaklah persis begitu. Karena menujuk pada statistik, jumlah muslim di Sulut dan Maluku misalnya, masih lebih banyak daripada non Muslim. Jadi, jangankan bila menjadi mayoritas, ketika merasa jumlahnya cukup banyak, mereka akan berani melakukan penindasan atas muslim di tempat itu. Jadi, siapa sebenarnya yang telah melakukan proses marginalisasi?
Jelaslah bahwa segala tuduhan itu sekadar pemutarbalikan fakta untuk mengalihkan perhatian dari pokok persoalan yang sebenarnya: penindasan, pembantaian bahkan pembersihan muslim Ambon! Hal ini pernah diungkapkan oleh seorang perwira tinggi di Kodam Wirabuana yang sangat tahu peta konflik di Ambon. Bahwa yang terjadi di Ambon bukan sekadar penyeimbangan jumlah muslim dan non muslim (dengan cara pembakaran rumah, tempat usaha dan pengusiran), tapi lebih dari itu adalah pembersihan muslim. Bahkan ia tanpa ragu menyebut bahwa di Ambon tengah terjadi balkanisasi!
Jihad Memanggil
Bila demikian keadaannya, lantas apa yang harus dilakukan, khususnya oleh kaum muslimin di Ambon? JIHAD, jawabannya! Tidak ada jalan lain. Allah memerintahkan untuk melawan dan membalas setiap bentuk penindasan yang dilakukan kepada kita.
"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (al-Baqarah 190)
"Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan seragannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa" (al-Baqarah 194)
Maka ketika umat Islam di sana melawan serangan orang-orang Kristen, di sisi Allah dinilai sebagai jihad. Persisnya jihad defensif atau jihad untuk mempertahankan hak. Oleh karena jihad di Ambon ditegakkan demi membela jiwa, harta, kehormatan dan agama Islam dari serangan orang-orang kafir. Dan dalam keadaan diserang, wajib atas setiap muslim di sana untuk menegakkan jihad, hingga musuh terusir atau berhasil dikalahkan.
Berjihad melawan penindasan untuk mempertahankan jiwa, harta, kehormatan dan agama resikonya memang kematian. Tapi tak perlu dirisaukan, karena mereka yang meninggal dalam jihad seperti itu, mendapat predikat sebagai syahid.
Siapa saja meninggal karena membela agama-Nya matinya adalah syahid" (HR. Asy-Syihaab)
"Orang yang meninggal karena menjaga hartanya mati syahid dan yang membela (kehormatan) keluarganya mati syahid dan membela dirinya (kehormatan dan jiwanya) juga mati syahid" (HR. Ahmad)
Sekalipun di mata manusia di dunia, muslim yang mati dalam jihad seperti di Ambon tampak mengenaskan, tapi sebenarnya di sisi Allah sangat mulia dan yang bersangkutan mendapatkan pahala yang agung. Perhatikan sabda Rasul tentang hal ini.
"Orang yang mati syahid diberi enam perkara pada saat tetesan darah pertama mengalir dari tubuhnya: semua dosanya diampuni, diperlihatkan tempatnya di sorga, dikawinkan dengan bidadari, diamankan dari kesusahan kedahsyatan yang besar (pada hari kiamat), diselamatkan dari siksa kubur dan dihiasi dengan pakaian keimanan" (HR. Bukhari)
Juga, secara dhahir mungkin ia tewas bersimbah darah, isi perut memburai dan sebagainya. Namun sejatinya ia tidak merasakan penderitaan apa-apa. Sakitnya kematian syahid dirasakan oleh yang bersangkutan tak ubahnya seperti gigitan serangga.
"Apa yang dirasakan seorang syahid saat terbunuh adalah seperti yang dirasakan seorang dari cubitan (gigitan serangga)" (HR. Attirmidzi)
Maka Allah menitahkan setiap muslim untuk menjadi orang yang berani menghadapi tantangan dan ancaman. Berdiri tegak berjihad membela kehormatan, jiwa, harta dan agama dengan segenap kemampuan, baik dengan tenaga, harta, jiwa dan pikiran maupun lisan
"Berjihadlah melawan kaum musyrikin dengan harta, jiwa dan lidahmu" (HR. Annasai)
Ketinggian jihad juga tergambar dari pahala yang diperoleh ketika sedang berjihad, kendatipun ia mungkin tidak sampai syahid karenanya. Tentang ini Rasul berkata,
"Berjaga-jaga satu malam dalam perang fi sabilillah lebih afdhal dari seribu malam yang dishalati malam harinya dan dipuasai siang harinya (HR. al-Hakim)
"Barangsiapa memberi perlengkapan perang kepada orang yang hendak berjihad di jalan Allah, maka dia terhitung ikut berjihad dan barangsiapa menyantuni dengan baik keluarga yang ditinggal berjihad, maka ia terhitung ikut berjihad" (HR. al-Bukhari)
Khatimah
Gejolak yang tengah terjadi di Ambon membuktikan dari jarak yang sangat dekat kepada kita, bahwa orang-orang kafir, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran, memang benar-benar tidak akan ridha hingga kita mengikuti millah mereka. Untuk itu mereka tega menempuh cara apa saja untuk mencapai tujuannya, sebagaimana terlihat di Ambon. Mereka membakar, merampas, melukai, membunuh dan mengusir muslim dari tanah yang telah ditempatinya bertahun-tahun lamanya.
Inilah pemandangan tragis, peristiwa yang sangat menyayat hati dan mengiris nurani itu, terjadi di Indonesia, negeri yang mayoritas muslim. Akankah penindasan itu akan terus berlangsung tanpa kita dapat mencegahnya?
Dulu, ketika ada makar orang kafir atas muslim di Bosnia, lantas di Kosovo, Kashmir dan berbagai tempat lain di dunia, kita selalu mengatakan itu tidak mungkin terjadi di Indonesia. Tapi, kini apalagi yang akan kita katakan saat makar itu terjadi juga di depan mata kita Ambon?
Rendahnya reaksi negeri-negeri Barat, termasuk mereka yang menamakan pejuang HAM di dalam negeri, atas pembataian muslim Ambon, juga menunjukkan bahwa Barat dan aktivis HAM ketika berbicara HAM memang bersikap sangat diskriminatif. Mereka baru berteriak bila merasa kepentingannya terusik, tapi diam bila sebaliknya, sekalipun sebenarnya di situ tengah terjadi penindasan HAM yang sangat telanjang. Akankah kita masih tetap percaya kepada orang-orang semodel itu?
Terakhir, melalui risalah ini diserukan kepada umat Islam Indonesia untuk bahu membahu dengan segenap tenaga (harta, pikiran, jiwa dan sebagainya) untuk memenangkan jihad di Ambon. Dan kepada muslimin di Ambon Maluku diserukan untuk tetap teguh berjihad. Yakinlah bahwa Allah bersama kita semua. Allaaaahu Akbar!