Edisi 068

ANTARA DAGESTAN DAN TIMOR TIMUR;

MENGUAK HIPOKRITISME BARAT

Satu lagi negeri muslim Dagestan memproklamirkan kemerdekaannya. Sebuah negeri yang boleh jadi belum dikenali oleh kebanyakan kaum muslim, termasuk muslim Indonesia. Dagestan yang sebelum ini menjadi salah satu propinsi Rusia, mengumandangkan kepada dunia akan kemerdekaannya itu pada 10 Agustus 1999 lalu. "Atas nama Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang Berbelas Kasihan. Kami, kaum muslimin Dagestan, secara resmi menyatakan pemulihan kemerdekaan negara Islam Dagestan .." Demikian antara lain bunyi deklarasi kemerdekaan mereka yang ditutup dengan kalimat "Semoga Tuhan membantu kita! Allahu Akbar!"

Pernyataan kemerdekaan ini adalah yang kedua dari bagian negara Rusia setelah pada tahun 1994 Chechnya telah lebih dulu menyatakan bebas dari cengkeraman Rusia. Dan ini sekaligus mempertegas kenyataan bahwa negeri-negeri di bekas Uni Sovyet terus menggeliat dan bergolak. Termasuk, yang merupakan kantong-kantong umat muslim seperti Azarbeijan dan Khazakhstan yang juga telah merdeka. Deklarasi kemerdekaan Dagestan dilakukan oleh badan yang mereka sebut "Islamic Shura of Dagestan (Dewan Syura Islam Dagestan).

Dewan yang menguasai wilayah Dagestan dekat perbatasan dengan Republik Chechnya ini, juga mengeluarkan pernyataan bahwa negara dalam keadaan darurat perang. Ia menyerukan seluruh rakyat Chechnya memberikan bantuan bagi perjuangan mereka. Para pejuang kemerdekaan Dagestan menyatakan siap berperang secara total melawan militer Rusia. Mereka mendapat dukungan dan bantuan dari rakyat Chechnya dalam berperang melawan tentara Rusia (Kompas, 12 Agustus 1999).

Sekilas tentang Dagestan

Politik isolasi pemerintahan sosialis yang memimpin wilayah Kaukasus dengan tangan besi selama ini betapa telah menutup informasi tentang kehidupan umat muslim di sana. Maka, sama seperti pernyataan kemerdekaan Chechnya, proklamasi kemerdekaan Dagestan disulut oleh spirit islam untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa atheis yang selama lebih dari setengah abad menindas kaum muslim di kedua wilayah itu. Deklarasi itu karenanya dapat membuka pintu harapan bagi wilayah-wilayah lain untuh menempuh hal yang serupa. Patut dicatat bahwa seluruh kawasan Rusia, sedikitnya terdapat 50 juta penduduk yang beragama islam, termasuk Chechnya dan Dageatan.

Dagestan adalah sebuah provinsi di Rusia bagian Selatan yang terdiri tidak kurang 30 kelompok etnik kecil, berpenduduk mayoritas muslim. Wilayah Dagestan terletak di pegunungan Kaukasus dan membentang di tepi Laut Kaspia. Pegunungan Kaukasus menempati tanah genting antara laut Hitam di Barat dan Laut Kaspia di Timur. Terletak di titik pertemuan Timur dan Barat, masyarakat Dagestan menganggap dirinya sebagai milik kedua peradaban. Wilayah ini tepatnya terletak di timur laut pengunungan Kaukasus, berbatasan dengan Republik Chechnya dan wilayah Stavropol di Barat, Republik Kalmukya di Utara, Azarbeijan dan Georgia di Selatan.

Meski terhampar di antar pegunungan Kaukasus yang kaya akan mineral dan sumberdaya alam, tetapi akibat kebijakan politik pemerintahan Rusia, Dagestan menjadi negeri miskin. Mereka mengalami goncangan ekonomi sebagaimana yang dihadapi oleh Rusia, dan negara-negara bekas Uni Soviet lainnya. Dengan wilayah relatif kecil, sekitar 50.300 Km persegi, Dagestan dihuni oleh sekitar 2 juta orang. Selama pemerintahan sosialis Uni Soviet, umat Islam di sana terus bertahan meskipun mengalami penindasan yang sangat luar biasa. Meskipun begitu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, Islam ternyata tetap eksis dan cukup tersosialisasi.

Selama menguasai Dagestan, Moskow menyebar perlawanan terhadap apa yang sering mereka sebut "ideologi agama reaksioner". Pemerintahan pusat selalu mendukung gerakan atheisme dan tidak menyukai kegiatan agama (Islam) berkembang di wilayah itu. Ulama dan guru bahasa arab mendapat tekanan yang sangat berat. Maka, banyak sekali sekolah agama, literatur agama, termasuk al-Quran, lalu masjid-masjid dihancurkan. Akibatnya, jumlah masjid berkurang drastis, yang pada tahun 1917 (awal kemenangan revolusi Bolsyevik) ada lebih dari 1.700 buah, tersisa sekitar 27 pada tahun 1988 (menjelang keruntuhan Uni Soviet).

Sebenarnya, Islam telah masuk ke wilayah ini sejak awal perkembangan Islam. Mulanya, pada abad 5 SM, Dagestan adalah bagian dari Albania Kaukasus. Pada abad 7 Masehi wilayah ini beralih ke tangan penguasa muslim, seiring dengan masuknya Islam ke wilayah ini. Tiga abad kemudian tampuk kekuasaan berganti ke tangan Turki Seljuk. Penguasa dari luar silih berganti berkuasa antara lain Mongolia, lalu kekhilafahan Turki Utsmani pada abad ke-16, dan Persia abad ke-18. Dan sejak kemenangan revolusi kaum Leninis di Rusia, Dagestan praktis dikuasai pemerintahan atheis. Terakhir, seiring dengan pudarnya pemerintahan Uni Soviet di penghujung tahun 80-an, gerakan bagi kemerdekaan Dagestan merebak. Dan proklamasi kemerdekaan 10 Agustus itu menjadi kulminasi perjuangan mereka.

Rusia dan AS Menolak

Rusia dan Amerika Serikat dengan sinis menolak ikrar kemerdekaan Dagestan. Kedua negara tersebut menegaskan bahwa pernyataan kemerdekaan itu sebagai deklarasi yang tidak sah. AS melalui juru bicara Kementrian Luar Negeri, James Rubin, tidak mengakui kemerdekaan Dagestan (Republika, 12 Agustus 1999).

Rusia pasti saja menolak karena Moskow yang selama ini berkuasa, tentu tidak ingin kehilangan wilayah yang kaya akan barang tambang, yang di sana jalur-jalur vital pipa minyak dan gas bumi melintas, serta memilki akses langsung ke Laut Kaspia . Akan halnya penolakan AS dan mungkin negara-negara Barat umumnya, yang selama ini mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi dan pembela hak-hak asasi manusia, sebenarnya lebih menampakkan sosok mereka yang sangat tengil dan hipokrit. Bukankah proklamasi kemerdekaan merupakan salah satu bentuk dari hak asasi setiap bangsa? Juga, bukankah salah satu prinsip demokrasi yang sering mereka gembar gemborkan adalah penghormatan terhadap aspirasi rakyat banyak. Lalu mengapa bila rakyat suatu negeri, dalam hal ini rakyat Dagestan, juga Chechnya - yang hingga kini AS belum mau mengakui kemerdekaan Chechnya - ingin merdeka, mengapa ditolak? Bukankah itu konon telah sesuai dengan piagam PBB dan prinsip-prinsip demokrasi?

Bila AS menolak kemerdekaan Dagestan, mengapa di sisi lain mengakui kemerdekaan negara-negara eks Uni Soviet? Bahkan, di kawasan Timur Tengah, AS bukan hanya mengakui tapi malah turut membentuk negara Israel? Padalah semua orang tahu, negara itu dibentuk di tengah penderitaan rakyat Palestina. Artinya, negara Israel dibentuk di wilayah yang dikuasai secara tidak sah dari penduduk asli di situ, yakni warga Palestina. Sejatinya kunci jawab dari semua itu hanya satu yaitu Islam. AS dan Barat imperialis tak akan pernah rela negeri-negeri muslim yang menjadi jajahannya melepaskan diri, lebih-lebih menjadi negara islam yang berdaulat.

"… mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. (Qs. Ali Imran 118)

Paradoks Timor Timur

Sebuah paradoks yang menganga, AS melalui PBB kini tengah menyiasati kegiatan jajak pendapat di Timor Timur. Wilayah yang telah berintegrasi selama lebih dari 23 tahun dengan Indonesia itu, kini akan menentukan pilihan apakah hendak merdeka memisahkan diri dari RI atau mendapatkan otonomi khusus. Padahal, proses integrasi wilayah bekas jajahan Portugal kedalam wilayah RI terjadi atas dukungan AS juga. Ketika itu AS berkepentingan untuk menjadikan Indonesia sebagai benteng bagi gerak laju komunis di Asia Tenggara. Kini, pasca runtuhnya komunis, AS justru berbalik menjadikan Indonesia, yang gelora islamnya semakin tampak, sebagai ancaman. Itulah makna, mengapa AS sangat bersemangat mensponsori jajak pendapat itu. AS tentu sangat berkepentingan agar Timor Timur itu merdeka. Kecurangan dan sikap tidak netral Unamet cukup jelas mengindikasikan hal itu. Diberitakan, Golkar protes keras kepada Unamet karena menemukan bukti bahwa Unamet bertindak tidak netral. Mereka banyak menyokong kelompok pro-kemerdekaan.

Inilah hipokritisme Barat yang disponsori AS. Mereka akan mendukung setiap perkembangan politik di suatu wilayah selama itu menguntungkan atau setidaknya tidak membahayakan kepentingannya. Dan sebaliknya akan menolak mentah-mentah bila merugikan. Maka, AS mendukung pembentukan negara Israel, mendukung kemerdekaan negara-negara eks Uni Soviet, menyambut baik hasil pemilu di Indonesia setelah terlihat partai-partai nasionalis mendapatkan suara terbanyak yang demi kepentingan itu mereka pun telah mensuplai dana yang amat besar. AS bukan saja mendukung jajak pendapat di Timor Timur bahkan berkasak-kusuk untuk melicinkan jalan kearah kemerdekaannya. Sementara di sisi lain, menolak kemerdekaan Dagestan mengingat wilayah ini mayoritas muslim. AS juga menolak kemenangan FIS yang partai Islam itu dalam pemilu di Aljazair, lantas di Turki AS turut andil menggulingkan pemerintahan Erbakan karena dinilai terlalu dekat kepada Islam.

Meneropong kepentingan AS di Timor Timur

Mengapa antusiasme AS bagi kemerdekaan Timor Timur tampak begitu besar? Ada sejumlah argumentasi yang bisa dikemukakan. Pertama, AS memerlukan pangkalan militer strategis untuk kawasan Asia Pasifik pengganti pangkalan Subic dan Clark di Philipina yang beberapa tahun lalu telah ditutup. Timor Timur dalam hal ini menjadi alternatif terbaik. Wilayah ini memiliki akses langsung ke Samudera Hindia dan Lautan Pasifik. Sebagai landasan pesawat tempur, pangkalan udara di Baucau sangat memenuhi syarat. Pangkalan yang bertengger di batu karang itu, tak lagi diragukan kekuatannya. Dari posisinya yang berada di tepi pantai, pangkalan ini juga memberikan akses langsung ke laut lepas tanpa hambatan sedikitpun. Jika Timor Timur merdeka, maka AS bisa menekan pemerintahan yang baru nanti, yang berkuasa atas dukungannya, untuk menyediakan tempat bagi pangkalan militernya. Dengan pangkalan itu, maka dominasi militer AS di kawasan Asia pasifik dapat terus dipertahankan.

Kedua, Timor Timur dari segi ekonomi termasuk kawasan yang cukup kaya. Celah Timor yang terletak di perairan antara Indonesia dan Australia, telah diketahui banyak mengandung cadangan minyak mentah, yang karena cukup besarnya deposit, menjadi rebutan antara pemerintah RI dan Australia. Disamping itu, Timor Timur dari segi geologi dikenal sebagai daerah yang sangat tua. Banyak jenis bebatuan yang berumur pra-tersier menyembul di berbagai tempat. Dengan kondisi geologis seperti itu, diduga keras di bumi Timor Timur dikandung cadangan mineral-mineral penting diantaranya uranium. Bila kawasan kaya ini berhasil dikuasai AS melalui penguasa bonekanya yang mudah disetir, AS akan turut mendulang kekayaan itu secara mudah sebagaimana yang telah mereka rasakan untuk emas Freeport di Irian Jaya.

Ketiga, dengan lepasnya Timor Timur dari pangkuan RI akan menjadi eksperimen awal untuk mengupayakan lagi pelepasan wilayah-wilayah potensial lain, semisal Aceh dan Irian Jaya. Dengan lepasnya wilayah-wilayah itu satu persatu, maka skenario AS untuk memecah belah Indonesia, dan itu berarti memecah belah negeri muslim terbesar, akan lebih mungkin berhasil. Secara demikian, munculnya ancaman dari negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini, bisa direduksi.

Jadi, jelaslah bahwa AS memang mempunyai kepentingan besar terhadap merdekanya Timor Timur. Sementara untuk kemerdekaan Dagestan, AS dan Barat tidak punya kepentingan untuk mengakuinya, bahkan merasa akan mendapat banyak kerugian, baik secara politik, ekonomi, maupun militer.

Dari segi politik, kemerdekaan Dagestan akan memperkuat posisi Chechnya yang kendati secara de facto telah merdeka, tapi secara de yure kemerdekaan itu belumlah diakui oleh dunia internasional. Menguatnya Chechnya dan Dagestan berarti melemahnya posisi politik Rusia dan negara-negara Barat di kawasan Kaukasus. Membiarkan kemerdekaan Dagestan, juga berarti sama halnya dengan membiarkan macan bangun dari tidur. Bagi AS dan Barat itu sangat berbahaya. Kemerdekaan Dagestan, menyusul tetangganya Chechnya pada runtutannya akan memperkuat posisi politik umat muslim di kawasan Kaukasus, karena di sebelah selatannya ada Azarbeijan yang kini juga tengah dirambah oleh gerakan Islam. Dan AS pasti tahu itu. Maka mereka tidak membiarkan kemerdekaan Dagestan.

Secara ekonomi, Rusia dan negara Barat jelas khawatir, kawasan yang kaya barang tambang ini akan dikuasai umat muslim. Apalagi di wilayah ini melintas pipa-pipa vital yang mengalirkan minyak dan gas dari daratan Rusia ke Laut Kaspia. Membiarkan Dagestan merdeka berarti melepaskan begitu saja daerah yang sangat strategis secara ekonomi.

Sedangkan dari sudut militer, melepaskan penguasaan wilayah Dagestan berarti memberikan peluang menyatunya tiga kekuatan militer, yakni Chechnya, Dagestan dan Azarbeijan. Dan itu jelas merupakan ancaman yang sangat potensial bagi keberlangsungan negara Rusia di masa mendatang. Dan lagi, membiarkan Dagestan merdeka berarti juga melepaskan akses langsung ke Laut Kaspia yang selama ini menjadi daerah yang sangat strategis secara militer bagi pertahanan Rusia.

Khatimah

Antara Dagestan dan Timor Timur sebenarnya hanya menambah deret panjang bukti kesemena-menaan bangsa-bangsa imperialis. Sikap-sikap politik Barat, Amerika Serikat khususnya, berkenaan dengan berbagai kejadian, gejolak dan perkembangan politik sangatlah bersifat hipokrit, penuh dengan sifat kemunafikan. Semua tergantung kepada kepentingan mereka. Mereka akan mendukung bila menguntungkan, dan menolak bila sebaliknya. Mengharapkan konsistensi sikap mereka adalah sebuah kebodohan yang tercela.

Amat disayangkan bahwa para penguasa di dunia Islam memang telah bertindak bodoh. Mereka masih juga percaya dan mengharapkan belas kasihan Barat. Atau mengharap mereka mau mendukung perjuangan politik umat muslim di berbagai belahan dunia. Umat muslim haruslah terus berjuang dengan kekuatan sendiri. Dan selalu waspada terhadap langkah-langkah politik Barat yang penuh siasat licik.

Umat muslim juga harus menyadari bahwa penjajahan belumlah berakhir. Benar, bahwa di wilayah-wilayah Islam telah berdiri negara-negara berdaulat. Tapi bila ditilik secara cermat, negara-negara itu belumlah merdeka secara penuh. Barat terus mencoba untuk mencengkeramkan pengaruhnya di wilayah-wilayah itu baik secara langsung maupun tidak. Baik di lapangan politik, miliiter, ekonomi, pendidikan maupun budaya. Jadi, perjuangan untuk menuju kemerdekaan yang sesungguhnya masih harus terus dilakukan sampai terwujud cita-cita kesatuan dunia Islam yang berdaulat. Insya Allah.

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman". (Qs. Ali Imran 139)