Edisi 069

BALIGATE DAN LIPPOGATE;

Cermin Paradoks Demokrasi

Dunia perpolitikan Indonesia tengah bergoncang. Tidak tanggung-tanggung, kali ini goncangan itu menerpa langsung dua partai besar, yakni Partai Golkar dan PDI-P, serta menyentuh bagian yang paling sensitif dari pusat kekuasaan di Indonesia, yakni Presiden Habibie. Golkar dan Presiden Habibie tergoncang oleh skandal Bank Bali, sementara PDI-Perjuangan tersangkut isu skandal Bank Lippo dan money politics.

Seperti sudah sering diberitakan, skandal Bank Bali berawal dari perjanjian cessie (anjak piutang) antara Satya Novanto sebagai direktut PT Era Giat Prima (EGP) dengan direksi Bank Bali atas sejumlah piutang Bank Bali di sejumlah bank, yakni Bank Tiara Asia, BDNI dan BUN. Karena bank-bank itu telah terlikuidasi, maka semua kewajiban antar bank menjadi urusan BPPN. Maka, Satya Novanto melalui PT EGP bertugas mencairkan piutang Bank Bali senilai sekitar Rp 904 milyar itu di BPPN.

Sampai di sini sebenarnya keanehan sudah mulai tampak. Pertama, mengapa penagihan piutang itu mesti melalui pihak ketiga mengingat secara prosedural Bank Bali jelas bisa menarik piutangnya sendiri dan konon sebenarnya BPPN tidak pernah mempersulit, bahkan piutang itu sudah mau dicairkan. Kedua, mengapa pula pihak ketiga itu adalah Satya Novanto, yang sekalipun bertindak sebagai direktur PT EGP, ia tetaplah wakil bendahara partai Golkar. Apalagi Satya juga dikenal dekat dengan Ketua DPA Baramuli, yang siapapun tahu bahwa dia sangat dekat dengan Presiden BJ. Habibie. Ketiga, ini yang semakin membuat orang geleng-geleng kepala adalah bahwa PT EGP dari kerjanya itu ternyata mendapatkan komisi yang luar biasa besar: Rp 546 milyar! (60%).

Orang kemudian membuat analisis. Bahwa Bank Bali tampak memang sengaja dipersulit untuk mencairkan piutangnya di BPPN. Di tengah kebuntuan dan keperluan uang yang sangat mendesak, datanglah Satya Novanto menawarkan diri. Satya yang memang dekat dengan pusat kekuasaan tentu tidak sulit mencairkan dana itu. Dan atas dukungan sejumlah pihak terkait, memang ia terbukti berhasil. Tapi, komisi yang diterimanya tentu tidak dinikmatinya sendiri. Seperti yang kemudian diungkap di media massa, komisi Rp 546 milyar itu memang dibagi-bagi ke sejumlah pihak. Dari sejumlah itu, bagian komisi Rp 200 milyar yang dibekukan dalam rekening istri bos Grup Mulia, Joko S. Tjandra, inilah yang dikatakan orang sebagai dana yang akan masuk ke kas tim sukses Habibie.

Kesimpulannya, skandal Bank Bali adalah akal-akalan dari apa yang sering disebut orang sebagai "tim sukses Habibie" (Baramuli dkk.), untuk mendapatkan dana dalam jumlah besar guna memuluskan pencalonan Habibie sebagai presiden lagi.

Tapi, skandal yang menghebohkan ini kemudian lebih berkembang menjadi isu politik ketimbang sebagai persoalan hukum perbankan semata. Mengapa? Bagi PDI Perjuangan dan simpatisannya, juga berbagai kelompok yang bertentangan dengan Partai Golkar, khususnya BJ. Habibie, skandal ini merupakan momentum empuk untuk menghancurkan kredibilitas Partai Golkar dan calon presidennya. Harapannya, akibat kasus ini BJ. Habibie terjungkal sebelum bertanding di SU MPR nanti. Dengan begitu, pencalonan Megawati sebagai presiden Indonesia kelima akan mulus adanya, karena memang rival terberat Mega adalah BJ. Habibie yang dicalonkan Partai Golkar, di MPR masih berpeluang merebut kursi lebih banyak lewat Utusan Daerah dan Utusan Golongan.

Bila PDI Perjuangan sangat getol membongkar kasus Bank Bali, apakah berarti partai yang berlambang kepala banteng dalam lingkaran ini bersih dari skandal serupa? Ternyata tidak. Tabloid Tekad edisi 30 Agustus 1999 lalu mengungkap kemungkinan adanya skandal di Bank Lippo dan praktek money politics yang melibatkan partai ini. Disitu ditulis bahwa PDI Perjuangan menerima dana yang sangat besar dari sejumlah konglomerat. Di antaranya dari Grup Lippo Rp 500 milyar, grup Salim Rp 100 milyar, Mercu Buana Rp 50 miilyar, Grup Barito 50 milyar, Gudang Garam Rp 50 milyar dan Jarum Kudus Rp 50 milyar. Tidak hanya itu, PDI Perjuangan juga mendapat sumbangan dari sejumlah person. Di antaranya dari Sudono Salim sebesar Rp 100 milyar, Mochtar Riady Rp 100 milyar, Anthony Salim Rp 60 milyar, Prayogo Pangestu Rp 80 milyar, James T. Riady Rp 50 milyar. Sejumlah mantan pejabat orde baru juga dikabarkan memberikan sumbangan. Di antaranya LB. Moerdani Rp 37,5 milyar, Radius Prawiro Rp 30 milyar, Try Sutrisno Rp 20 milyar. Yang menarik, dua anak mantan Presiden Soeharto, yaitu Tutut dan Sigit, juga turut menyumbang masing-masing sebesar Rp 10 milyar.

Bila berita ini benar, pemberian sumbangan semacam ini jelas merupakan pelanggaran, oleh karena menurut ketentuan undang-undang sumbangan kepada partai dari perorangan paling banyak Rp 15 juta, sedang dari kelompok paling banyak Rp 150 juta. Bila terbukti, risikonya PDI Perjuangan bisa didiskualifikasi, dan tentu saja hasil pemilu yang baru lalu harus dianulir.

Tapi lepas dari itu, mengapa baik kelompok usaha dan perorangan yang disebut di atas mau mengeluarkan uangnya sebanyak itu untuk kepentingan PDI-P? Apakah itu sekadar didorong oleh rasa kebaikan semata atau ada motif khusus di belakangnya? Bila motivasi pemberian sumbangan adalah untuk mendapatkan perlindungan politik dari partai pemenang pemilu yang kelak akan memerintah bagi segala aktivitas bisnisnya atau perlindungan bagi para mantan pejabat dari berbagai upaya untuk membongkar kejahatan di masa lalu, maka bagaimana kita bisa percaya bahwa partai itu akan memperjuangkan kepentingan rakyat? Apa bukan kepentingan para konglomerat dan mantan pejabat yang telah menyumbangnya itu yang lebih diutamakan? Bila demikian, lantas dimana makna kedaulatan rakyat itu? Tapi, apakah memang benar-benar ada apa yang sering disebut sebagai kedaulatan rakyat itu? Bila ternyata partai lebih tunduk kepada kepentingan konglomerat, apakah yang ada bukan kedaulatan konglomerat?

Paradoks Demokrasi

Kenyataan di atas menunjukkan kepada kita, bahwa paham demokrasi yang oleh sementara orang dianggap sebagai jalan yang terbaik dalam menata kehidupan politik, ternyata mengandung sejumlah paradoks yang sangat mengerikan. Pertama, bahwa demokrasi mengangankan kedaulatan di tangan rakyat, tapi kenyataannya kedaulatan itu ada di tangan para pemilik modal (ra’sumaliyyun), bukan di tangan rakyat. Bila PDI Perjuangan memerintah, beranikah ia misalnya menghukum konglomerat-konglomerat yang telah merampok uang rakyat lewat kejahatan perbankan itu, atau mengadili para mantan pejabat militer yang telah menindas rakyat pada masa lampau, misalnya di Tanjung Priok, Lampung, Aceh dan tempat-tempat yang lain? Atau mereka membuat aturan yang ternyata demi kepentingan rakyat banyak terpaksa harus merugikan kepentingan bisnis para konglomerat? Jawabannya bisa diduga: tidak. Jangankan nanti, sekarang saja orang-orang itu masih bebas berkeliaran. Di masa orde baru, bukan rahasia lagi bahwa banyak aturan atau regulasi (misalnya soal tata niaga, larangan impor, pembebasan pajak dan sebagainya) yang dibuat demi kepentingan dan atas pesanan para konglomerat. Bila demikian halnya, dimana letak upaya pembelaan terhadap rakyat dan penegakan kedaulatan rakyat?

Ketergantungan parpol pada jalur ekonomi sebenarnya merupakan suatu hal klasik dan wajar. Sebab, partai-partai memerlukan dana untuk berbagai macam kegiatannya. Sementara, para konglomerat memerlukan perlindungan politik dan kemudahan serta berbagai fasilitas dalam menjalankan usahanya. Itulah yang selama ini terjadi, dan agaknya bila menilik jumlah konglomerat yang dulu mendukung orde baru kini berbalik membantu PDI Perjuangan, praktek semacam itu akan terjadi lagi.

Dan memang dalam demokrasi, kerjasama antara parpol dan politikus dengan para pengusaha dan pejabat bagai rantai tak berputus. Pada saat akan terjadi pemilihan umum, para konglomerat berupaya memasang perlindungan bagi bisnisnya agar tidak rontok di tengah jalan dengan mengucurkan dana kepada partai-partai yang diprediksi akan meraih suara cukup banyak. Sementara, dengan dana dari para konglomerat itulah partai-partai tersebut menguasai rakyat. Di antaranya melalui media massa. Opini masyarakat pun dibentuk sedemikian rupa sehingga terjadilah pencitraan ‘baik’ pada partai-partai tadi.

Selain itu, dengan uang itu pulalah muncul jual beli suara baik dalam tahapan pencoblosan maupun pemilihan kepala negara oleh para wakil rakyat (seperti yang diduga akan terjadi dalam SU MPR mendatang). Semaraklah di sana-sini politik uang (money politics). Akhirnya, disadari atau tidak, para anggota legislatif dan elite penguasa dicukongi oleh pengusaha. Konsekuensi logisnya, produk perundang-undangan yang dibuat tidak begitu saja dapat terlepas dari kepentingan-kepentingan para konglomerat. Ketika berkuasa, para penguasa dalam menelurkan produk perundang-undangan selalu berupaya melihat ‘kehendak rakyat’ agar memang terkesan demokratis. Namun, parameter ‘kehendak rakyat’ tadi adalah media massa. Padahal, media massa tidak mungkin dikuasai kecuali oleh para kapitalis yang memang memiliki modal. Dengan demikian, opini dan tekanan media massa pun tidak dapat begitu saja dilepaskan dari kepentingan politik dan ekonomi para konglomerat pemiliknya. Akhirnya, dengan alasan mengikuti ‘kehendak rakyat’ tadi para anggota legislatif bukannya membela kepentingan rakyat, melainkan membela kepentingan para konglomerat. Elite penguasa pun – yang sebagian juga merupakan pengusaha – berupaya untuk membesarkan, melindungi, bahkan membela kepentingan-kepentingan pengusaha tersebut. Semaraklah dimana-mana KKN. Dengan demikian, dalam realitas sistem demokrasi termasuk di Amerika sebagai negara dedengkot demokrasi, telah terjadi penyulapan kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan para pengusaha dan konglomerat (ra’sumaliyyun). Tidak ada itu kedaulatan benar-benar di tangan rakyat.

Kedua, pemenang pemilu dalam demokrasi ternyata tidaklah selalu yang terbaik atau yang paling benar. Dalam demokrasi, pemenang ditentukan oleh suara terbanyak. Namun, dalam kenyataannya para pemilih itu tidak banyak mengetahui secara persis realita yang terjadi. Opini yang dibentuk media massalah yang banyak menentukan sikap masyarakat. Dengan demikian tolok ukur pemilihan wakil rakyat bukannya didasarkan pada tolok ukur rasional melainkan masih banyak yang didasarkan pada pilihan emosional (dalam pemilu 7 Juni yang lalu, konon pemilih rasional hanya sekitar 3 % saja). Terlebih-lebih yang dipilih itu bukannya orang yang secara transparan diketahui seluk-beluknya, melainkan hanya sekedar tanda gambar. Sedangkan, siapa yang akan terpilih terserah kepada partai masing-masing. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila di antara anggota legislatif terpilih banyak non muslim, germo menjadi anggota legislatif tidak apa-apa, cukong dan petualang politik terpilih menjadi wakil rakyat juga tidak jadi soal, bahkan ada anggota dewan yang terlibat obat-obatan terlarang pun suatu hal yang dirasakan biasa. Bila sudah terjadi begini, harapan apa yang masih dapat digantungkan?

Ketiga, terjadilah manipulasi suara mayoritas oleh kelompok minoritas para "wakil rakyat". Memang benar, realitasnya masyarakat tidak mungkin semuanya duduk di pemerintahan. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar muncul konsep perwakilan rakyat. Tapi ada suatu hal yang patut dicermati adalah klaim sistem demokrasi terhadap suara mayoritas wakil rakyat di parlemen sebagai suara mayoritas rakyat.

Dalam kenyataannya, telah terjadi pengalihan dari mayoritas rakyat ke minoritas rakyat. Bagaimana tidak, untuk menjadi anggota legislatif seseorang perlu mengantongi suara dengan kuota tertentu. Konsekuensinya, seorang wakil rakyat setara dengan jumlah rakyat dengan kuota tersebut. Setiap pikiran, saran, sikap, dan keputusan dari setiap anggota legislatif dianggap selalu setara dan senantiasa mewakili sejumlah orang tersebut. Padahal, realitasnya ‘wakil rakyat’ tersebut tidak pernah meminta pendapat rakyat yang diwakilinya, rakyat tidak dapat mengoreksi apalagi memecatnya. Kalaupun ada anggota legislatif di-recall, bukan oleh rakyat melainkan oleh pimpinan partainya.

Dengan demikian, sebenarnya keputusan-keputusan yang diambil oleh para anggota legislatif sekalipun dilakukan sebagai suara rakyat, hakikatnya telah beralih kepada suara anggota legislatif itu secara individual. Jelaslah, yang menetapkan berbagai keputusan itu dengan sendirinya menjadi para anggota legislatif itu sendiri yang, tentu saja, merupakan minoritas rakyat. Dengan demikian, klaim demokrasi bahwa pengambilan keputusan berdasarkan suara mayoritas anggota legislatif merupakan juga suara mayoritas rakyat tidak sesuai dan tidak akan pernah sesuai dengan realitasnya.

Satu hal lagi, apakah suara mayoritas itu pasti benar? Bila jawabannya didasarkan pada logika manusia maka boleh jadi jawabannya : Ya. Namun, ternyata Allah SWT Dzat Yang Maha Tahu menyatakan sebaliknya. Kebenaran bukan ditentukan oleh mayoritas atau minoritas suara melainkan ditetapkan berdasarkan dalil syar’I, sebagaimana firman-Nya:

"Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasul, maka ambillah! Dan apa-apa yang dilarang oleh Rasul maka tinggalkanlah!" (QS. Al Hasyr 7).

Bahkan Allah SWT menegaskan dalam banyak ayat Al Quran bahwa sesungguhnya kebanyakan manusia itu tidak beriman (Al Baqarah: 100), membenci kebenaran (Az Zukhruf: 78), fasik (Ali Imran: 110), tidak menggunakan akal (Al Maidah: 103), tidak mengetahui (Al An’am : 37), bodoh (Al An’am: 111), tidak bersyukur (Al A’raf : 10), mengikuti dugaan (Yunus : 36), musyrik (Yusuf: 106), berpaling dari ajaran Allah SWT (Al Anbiya: 24), pendusta (Asy Syu’ara: 223), tidak mendengar kebenaran (Fushilat : 4), dan masih banyak ayat-ayat lain termasuk yang paling telak adalah larangan Allah mengikuti mayoritas manusia (QS. Al An'am 116). Berkaitan dengan ini tepat sekali ungkapan Syeikh Ali Belhaj (‘Aqidah Dimukrothiyah, hal. 14) bahwa konsep suara mayoritas gaya demokrasi merupakan khurafat alias takhayyul!

Khatimah

Demikianlah beberapa paradoks yang nyata-nyata terjadi dalam sistem demokrasi. Mengharapkan kebaikan dari sebuah sistem yang paradoksal seperti itu tentu saja akan sia-sia. Bagi umat muslim tidak ada alternatif lain kecuali sistem Islam, dimana prinsip utamanya kedaulatan di tangan syara’ sekalipun kekuasaan di tangan umat.

Dalam sistem Islam, pengusaha atau siapapun bisa saja membantu partai dengan dana yang dimilikinya. Tapi jangan berharap akan dapat membeli kedaulatan dari partai yang telah dibantunya. Sebab syara’ telah menetapkan bahwa undang-undang yang akan diberlakukan adalah syariat Islam yang ditetapkan melalui proses ijtihad para mujtahid, bukan melalui para wakil rakyat di parlemen. Juga partai dalam perspektif Islam bukan pemegang kekuasaan, baik legislatif maupun eksekutif. Dan tugas partai justru amar ma'ruf nahi mungkar, termasuk mengoreksi penguasa (QS. Ali Imran 104). Dengan konsep ini, partai justru akan membekali umat dengan ide-ide dan hukum-hukum Islam sehingga tidak mudah ditipu penguasa atau konspirasi penguasa dengan kroni-kroninya baik dari dalam maupun luar negeri. Bukan malah menipu umat!

Jika kita telah memahami tipu daya dan paradoksial sistem demokrasi yang tergolong sistem jahiliyyah, kenapa kita harus tertipu? Marilah kita renungkan firman Allah:

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. Al Maidah 50).

Wallahu a'lam bi al shawab.