Edisi 070
AKHIR TRAGIS TIMTIM
Tragis! Itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Timtim saat ini. Setelah 23 tahun mendapatkan perlakuan sangat istimewa dari pemerintah Indonesia, akhirnya melalui mekanisme jajak pendapat yang diselenggarakan di bawah kontrol Unamet pekan lalu, ternyata lebih dari 78% rakyat Timtim memilih merdeka ketimbang terus berada di bawah kekuasaan pemerintahan Jakarta.
Hasil yang sangat tak terduga ini sangat menggembirakan kalangan pro-kemerdekaan, tapi sebaliknya menyedihkan buat mereka yang menginginkan tetap berintegrasi dengan Indonesia. Unamet dan negara-negara Barat umumnya menyambut baik hasil jajak pendapat ini. Sementara bagi pemerintah Indonesia, pilihan rakyat Timtim untuk merdeka seakan menghapus jerih payah yang telah dilakukannya selama 23 tahun, sejak tahun 1976 saat deklarasi integrasi dikumandangkan. Tidak salah bila pemerintah Indonesia merasakan bahwa rakyat Timtim sebagai anak yang tidak tahu terima kasih. Setelah puluhan tahun dimanjakan sebagai anak emas, dibela di dunia internasional, diberikan perhatian dan dana pembangunan yang besar --yang tak jarang menimbulkan iri hati propinsi lain, daerah yang sebenarnya lebih layak menjadi sebuah kabupaten atau bahkan kecamatan karena berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa ini, kini memilih lepas dari ibu yang telah membesarkannya.
Mengapa Terjadi?
Tapi mengapa akhir tragis Timtim ini bisa terjadi? Paling tidak ada empat faktor yang menyebabkannya. Pertama, dan yang utama, 78,5% rakyat --sesuai jajak pendapat-- di sana lebih memilih merdeka daripada tetap menjadi bagian dari negara Indonesia sekalipun dengan status daerah otonomi yang diperluas. Meskipun sangat mengejutkan, pilihan ini sebenarnya sangat bisa dimengerti. Secara fitri, manusia memang memiliki apa yang disebut sebagai gharizah al-baqa. Yakni naluri untuk mempertahankan diri, dimana salah satu perwujudannya adalah keinginan untuk merdeka dari penguasaan orang lain. Rupanya, sekalipun selama 23 tahun Timtim telah dianggap sebagai propinsi RI ke-27, dan segala perlakuan sebagaimana layaknya sebuah propinsi telah diberikan oleh pemerintah pusat, bahkan dalam banyak hal propinsi termuda ini mendapatkan perlakuan yang sangat istimewa, tapi rupanya rakyat di sana masih menganggap hal itu sebagai penjajahan. Maka, ketika dua opsi itu diberikan oleh Presiden BJ. Habibie, mereka memilih opsi merdeka.
Kedua, opsi yang diberikan Presiden Habibie. Pilihan rakyat Timtim untuk merdeka dimungkinkan oleh karena memang opsi itu diberikan oleh BJ. Habibie. Persoalannya, mengapa Presiden BJ. Habibie berani memberikan opsi yang sangat riskan itu? Wallahualam. Mungkin sekali Presiden BJ. Habibie optimis mengingat Timtim sudah demikian lama berintegrasi, maka opsi otonomi itulah yang akan banyak dipilih. Disamping itu, BJ. Habibie memang sangat ingin dianggap sebagai seorang pemimpin yang demokratis. Upayanya, salah satunya adalah dengan memberikan opsi itu. Harapannya, dunia internasional akan memberikan respek kepadanya. Syukur-syukur, ini menurut sumber yang sangat dekat dengan presiden sebagaimana ditulis oleh tabloid Monitor (2 September 1999), dengan langkah ini ia bisa mendapatkan hadiah Nobel perdamaian.
Ketiga, adanya intervensi negara asing. Kekuatan negara-negara kafir Barat memang terus bekerja di sana. Amat terasa pengaruhnya baik selama integrasi, di masa sebelum jajak pendapat, maupun pada saat jajak pendapat dilakukan. Intervensi mereka selama masa integrasi terlihat dari bagaimana bumi Timtim senantiasa bergolak. Aksi-aksi demonstrasi, permintaan suaka pemuda Timtim, insiden-insiden yang disengaja maupun tidak. Termasuk gerakan tokoh-tokoh anti integrasi seperti Ramos Horta di luar negeri. Semua gejolak itu selalu mendapatkan liputan luas dari pers asing Barat. Ingat, bagaimana insiden Santa Cruz (1992) dengan korban 52 orang tewas digambarkan sebagai pembantaian besar-besaran. Setelah itu, dunia internasional bereaksi menekan Indonesia. Bandingkan dengan liputan pers Barat untuk kasus Aceh, Lampung atau Ambon saat ini. Kecil saja. Mana ada reaksi dari negara-negara yang katanya pembela HAM itu? Padahal yang terjadi di Aceh khususnya, jauh lebih dahsyat daripada apa yang pernah terjadi di Timtim. Ribuan orang meninggal tak tentu rimbanya, sekian wanita diperkosa, dan ironinya kejadian itu masih berlangsung hingga kini.
Intervensi negara asing Barat sebelum jajak pendapat tampak dari bagaimana mereka secara intens, melalui kekuatan-kekuatan kaum kuffar pro-kemerdekaan, mempengaruhi opini rakyat di sana. Sebenarnya di bulan-bulan awal ketika opsi diberikan, sebagian rakyat Timtim masih memilih integrasi. Tapi opsi itu berubah drastis semenjak sebulan sebelum jajak pendapat dilaksanakan. Dan pada saat jajak pendapatpun, sebagaimana banyak diungkap, banyak ditemukan petugas-petugas lokal Unamet (badan bentukan PBB yang menyelenggarakan jajak pendapat di Timtim) yang mempengaruhi bahkan memaksa penduduk untuk mencoblos opsi merdeka.
Keempat, gagalnya proses integrasi. Bahwa penduduk Timtim lebih banyak memilih merdeka setelah sekian lama menjadi bagian dari Indonesia, jelas menunjukkan gagalnya proses integrasi yang selama ini dilakukan. Bila integrasi rakyat Timtim dengan Indonesia berlangsung mantap, tentu mereka tidak akan memilih lepas dari Indonesia sekalipun opsi merdeka diberikan dan intervensi negara asing berlangsung intensif. Betul, selama ini proses integrasi telah dilakukan melalui berbagai aspek, baik aspek pendidikan dan pengajaran, aspek budaya, ekonomi, politik bahkan juga ideologi. Tapi ternyata itu semua tidak membuyarkan tekad rakyat Timtim untuk merdeka. Berarti proses integrasi yang dilakukan selama ini hanya menyentuh permukaan saja. Belum menyentuh lubuk hati mereka yang paling dalam. Sehingga mereka masih merasa menjadi orang lain dari rakyat Indonesia. Mengapa?
Dari sekian aspek yang telah diintegrasikan, masih ada satu lagi yang tertinggal, yakni agama. Padahal dari semua pendorong integrasi, aspek inilah sebenarnya yang paling menentukan. Bila 92,5% penduduk Timtim beragama Katolik, bagaimana mereka bisa merasa bersatu dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim? Ditambah lagi orang-orang Katolik yang ada di negeri ini tampaknya tidak berusaha menyatukan orang Timtim dengan Indonesia. Malah sebaliknya, mereka dan dunia internasional yang didominasi oleh kaum kuffar, justru bahu membahu mengupayakan agar orang-orang Katolik Timtim itu memisahkan diri dari Indonesia yang muslim. Allah SWT berfirman:
"Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar".
(QS. Al Anfal 73).
Pelajaran Berharga
Akhir yang tragis dari wilayah Timtim memberikan pelajaran berharga kepada kita semua. Bahwa segala sesuatu, apalagi yang menyangkut kehidupan bermasyarakat dan bernegara, memang harus diatur dengan cara yang tepat. Dan aturan manalagi yang benar-benar tepat selain yang datang dari Allah SWT, Dzat Yang Maha Tahu? Andai saja negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini merujuk kepada ajaran Islam dalam menata segenap aspek kehidupan penduduknya, termasuk dalam memperlakukan Timtim, niscaya kejadian tragis itu tidak akan terjadi.
Bila merujuk kepada Islam, apa saja yang harus dilakukan untuk Timtim? Pertama, proses integrasi harus dimantapkan. Sesuai prinsip Islam, Timtim harus dianggap sebagai bagian dari negeri muslim. Dengan penerapan aturan-aturan Islam yang rahmatan lil 'alamin, penduduk negeri itu diperlakukan secara adil. Kesejahteraan ditingkatkan, lapangan kerja dibuka luas, pendidikan ilmu dan ketrampilan digalakkan dan diberikan kepada masyarakat secara gratis, kesehatan dijamin dan orang berobat ke rumah sakit umum dengan cuma-cuma, keamanan dijaga dan kezaliman dihilangkan. Lebih dari itu, kepada penduduk wilayah itu diserukan untuk masuk Islam. Bila di awal integrasi lebih dari 70% penduduk Timtim memeluk animisme dan dinamisme, mengapa mereka tidak diajak saja masuk Islam tapi malah dibiarkan memeluk Katolik seperti yang sekarang terjadi. Hasilnya, menurut Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi "Konferensi Para Uskup se-Asia, pertumbuhan umat Katolik di Timtim adalah tercepat di dunia karena setelah 23 tahun integrasi umat Katolik disana yang semula kurang dari 30% menjadi 92,3%. Andai mereka lebih banyak masuk Islam, maka akan tercipta kesamaan aqidah, pemikiran dan perasaan dengan kebanyakan penduduk Indonesia di wilayah lain. Kesamaan aqidah ini akan menjadi tali pengikat integrasi yang kuat. Sebab tali aqidahlah yang paling kokoh dan mengikat sesama muslim sebagai saudara sejati, luar dalam. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat".
(QS. Al Hujurat 10).Kedua, jangan memberikan opsi dan jangan pula memberikan kesempatan kepada gerakan separatis untuk bergerak bebas. Pemberian opsi oleh Presiden BJ. Habibie kepada penduduk Timtim untuk memilih merdeka atau mendapatkan otonomi diperluas jelas merupakan kesalahan besar. Seharusnya, wilayah yang telah menjadi bagian dari negeri muslim itu dipertahankan dengan sekuat tenaga. (QS. Ali Imran 200). Bukan dibiarkan memilih seperti sekarang ini. Lebih naif lagi bila benar tindakan itu sekadar didorong oleh motif pribadi agar dinilai sebagai demokrat sejati dan keinginan untuk mendapatkan penghargaan Nobel. Sebagai muslim seharusnya BJ. Habibie tidak bertindak demikian.
Menarik untuk dilihat selanjutnya apakah setelah jajak pendapat ini BJ Habibie benar-benar mendapatkan respek dari dunia internasional dan penghargaan Nobel? Yang sudah jelas, saat sekarang presiden yang ahli aeronotika ini tengah menuai kecaman akibat keputusannya memberikan opsi untuk Timtim. Belum lagi habis diterpa kasus Bank Bali, kini direcoki lagi dengan kasus Timtim. Bila demikian keadaannya, bagaimana ia bisa terpilih lagi menjadi presiden dalam SU MPR nanti?
Disamping itu, harus tidak diperbolehkan adanya gerakan-gerakan separatis di dalam negeri muslim yang bertujuan ingin memisahkan diri. Dalam Islam tindakan seperti itu disebut bughat. Gerakan seperti ini harus segera dicegah dan ditumpas habis sebelum jauh berkembang dan menjadi kuat. Kesalahan pemerintah Indonesia di Timtim adalah tetap membiarkan gerakan perlawanan seperti Fretilin bergerak bebas. Bahkan gembong pemberontak yang dulu dengan susah payah ditangkap oleh TNI, si kafir Xanana Gusmao, bukannya dihukum mati malah ditempatkan di penjara khusus dengan segala fasilitasnya, malah yang terakhir dibebaskan (Republika, 8/9/1999). Apa yang sekarang diperoleh pemerintah dengan memperlakukan Xanana seperti itu? Bukan keuntungan, tapi justru kerugian besar karena si kafir Xanana dengan fasilitas yang diberikan pemerintah Indonesia (di antaranya alat-alat komunikasi) itu justru mampu mengorganisasi CNRT. Termasuk ia bisa berpidato lewat radio untuk pasukannya yang tengah mengadakan apel di sebuah daerah di Timtim. Kebijakan macam apa, memfasilitasi musuh dan membiarkannya bergerak bebas? Maka, semestinya pemerintah Indonesia tidak boleh menyesal ketika dalam jajak pendapat kemarin kubu kaum kuffar pro-kemerdekaan memenangkan jajak pendapat, karena pemerintah sendirilah yang menfasilitasi mereka.
Ketiga, jangan membiarkan intervensi negara asing, termasuk PBB. Negara asing selamanya bekerja untuk kepentingannya sendiri. Membiarkan ia mengintervensi berarti merelakan sebagian kepentingan kita diganggu. Harus ada keyakinan bahwa negara-negara asing, negara Barat khususnya, sebagaimana ditunjukkan dari sejumlah fakta, tidaklah pernah konsisten dalam memegang prinsip. Bila AS dan PBB mendorong jajak pendapat di Timtim, pasti ia memiliki kepentingan dibalik itu. Sebab tidak mungkin ia begitu bersemangat menyambut mekanisme itu bila tidak mengharapkan sesuatu. Bila sekadar alasan demokrasi atau aspirasi rakyat banyak, mengapa kemerdekaan rakyat Chechnya dan Degestan di Rusia sana mereka tolak? Apa bedanya Chechnya dan Timtim? Jadi, hasil jajak pendapat yang mengunggulkan kelompok kaum kuffar pro-kemerdekaan kemarin adalah buah dari kita merelakan intervensi itu. Sudah banyak bukti Unamet tidak netral, mengapa kita membiarkan jajak pendapat diselenggarakan olehnya? Yang lebih penting lagi, mengapa kita membiarkan jajak pendapat itu diadakan?
Dimanapun, intervensi negara Barat justru semakin merunyamkan keadaan. Mana ada konflik internasional yang beres setelah Barat turut campur? Konflik Palestina hingga sekarang masih terus berlangsung. Kawasan Kashmir masih bergolak. Bosnia belum lagi beres, menyusul Kosovo. Tidakkah kita sebagai umat Islam mau memetik pelajaran dari semua itu? Kenapa kita merelakan harga diri kita mereka injak-injak begitu rupa? Bukankah Allah SWT berfirman:
" dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman " (QS An Nisa 141).
Khatimah
Hasil jajak pendapat telah diumumkan dan itu tidak mungkin dianulir. Tapi akhir yang tragis dari wilayah Timtim memberikan pelajaran berharga kepada kita umat Islam di Indonesia, untuk tidak melakukan kesalahan serupa di masa mendatang. Caranya, tidak lain dengan menggunakan hanya hukum Islam untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan aturan Islam ini kita menjadi tahu secara pasti bagaimana segala problematika kehidupan masyarakat, termasuk persoalan seperti yang terjadi di Timtim, diselesaikan.
Sementara itu, dengan semangat dakwah, masih ada kesempatan di masa datang untuk menguasai kembali Timtim. Selanjutnya wilayah itu akan diperlakukan sesuai aturan Islam. Yang pasti harus tidak diulangi lagi kesalahan yang pernah dilakukan oleh rezim orde baru ataupun oleh rezim yang menamakan diri orde reformasi ini.
Dan Timtim adalah salah satu bumi kaya di negeri kaum muslimin terbesar di dunia ini yang kini digigit oleh pihak luar untuk dipisahkan dari tubuhnya yang satu. Semestinya kita semua merenungkan salah satu peringatan Nabi saw:
"Akan datang suatu masa, dalam waktu dekat, ketika bangsa-bangsa (musuh-musuh Islam) bersatu padu mengalahkan (memperebutkan) kalian. Mereka seperti gerombolan orang rakus yang berkerumun untuk berebut hidangan makanan yang ada di sekitar mereka." Salah seorang sahabat bertanya, 'Apakah karena kami (kaum Muslimin) ketika itu sedikit?' Rasul menjawab, 'Tidak! Bahkan kalian waktu itu sangat banyak jumlahnya. Tetapi kalian bagaikan buih di atas lautan (yang terombang ambing). (Ketika itu) Allah mencabut rasa takut kepadamu dari musuh-musuh kalian, dan Allah telah menancapkan di dalam hati kalian wahan, yakni cinta dunia dan takut mati." (HR. Bukhari, Ahmad dan Abu Dawud)Orang yang cinta dunia dan takut mati tak akan berani berjuang. Dan siapapun yang tak berani berjuang, maka dia hidup dan mati dalam keadaan hina. Wahai kaum muslimin, di manakah kita sekarang?
Allahumma ballaghna!
Ya, Allah, kami telah menyampaikan!