Edisi 071

PASUKAN PBB, PASUKAN PERDAMAIAN ?

Jajak pendapat di Timtim yang diwarnai ketidaknetralan badan PBB UNAMET, selaku pihak penyelenggara, telah memicu bentrokan antar milisi bersenjata di sana. Kecurangan staf UNAMET yang didominasi kelompok prokemerdekaan telah membuat marah kelompok prointegrasi. Mereka mengamuk dan memburu para politikus dan orang-orang yang telah melakukan konspirasi. Dari sinilah awal munculnya kekacauan dan kekerasan.

Hal itu mendorong arus pengungsi terus mengalir. Sampai Sabtu (11/9/99) sedikitnya 100.000 pengungsi bertebaran di sekitar Atambua, Kupang, dan Timor Barat (Kompas, 13/9/99). Juga di Ujung Pandang, bahkan Darwin, Australia.

Yang menarik, kalau beberapa tahun lalu puluhan ribu umat Islam mengungsi dari Timtim ke Ujung Pandang dan Surabaya, pers internasional sepertinya sakit gigi, kini, mereka ramai-ramai berkoar bukan lantaran sebagian besar pengungsi itu adalah orang-orang muslim, melainkan adanya orang-orang katolik --termasuk uskup Belo-- ikut lari mengungsi. Lebih dari itu, harapan mereka menikmati penguasaan Timtim dan perampasannya dari Indonesia secara mulus dan "legal" sedikit terganggu. Maka bagaikan sekumpulan macan, mereka bareng-bareng mengaum.

Tiga negara dengan sangat garang menekan Indonesia: Amerika Serikat, Australia, dan Portugal. Presiden AS Bill Clinton mengancam akan memutuskan hubungan ekonomi, sementara kerjasama militer telah diputuskan oleh Pentagon. Alasan pemutusan program bantuan dan latihan yang cuma senilai $ 476.000 tahun ini katanya, tidak layak membuka hubungan operasi militer dengan TNI yang ‘terbukti’ bersalah. Tidak hanya itu, dalam siaran televisi AS, Clinton menegaskan keinginannya untuk mengirimkan pasukan PBB: "Jika Indonesia tak bisa menghentikan kekerasan, ia harus mengundang, sekali lagi, harus mengundang masyarakat internasional untuk memulihkan keamanan di Timtim."

Begitu pula Australia, yang selama ini ramah, ternyata tak kalah galak. PM John Howard di Canberra (11/9/1999), mendesak untuk mempertimbangkan kembali hubungan ekonomi dengan Indonesia. Alasannya, tentu saja, kondisi Timtim. Sebelumnya, Persatuan Buruh Australia mendukung kaum buruh pelabuhan memboikot pelayanan kargo bagi Indonesia, melarang pemrosesan kilang minyak asal Indonesia, menghentikan layanan pos dan telepon bagi KBRI, menghentikan impor sayur mayur dari Indonesia, memboikot ekspor gandum bernilai jutaan dolar untuk Indonesia, dan memblokir para penumpang pesawat Garuda di Sydney. Bahkan, aksi demonstrasi menentang pemerintah Indonesia disertai dengan pembakaran bendera merah putih pun terus berlanjut. Selain itu, dengan alasan latihan militer, Pasukan Australia digelar di bagian utara negara tersebut.

Portugal pun bersikap sama. PM Antonio Gutteres mengemukakan bahwa militer negerinya siap bergabung bersama pasukan internasional ke Timtim tanpa harus melalui persetujuan PBB. Suara-suara keras lainnya datang dari Kanada, Selandia Baru, dan Inggris. Seruan pemboikotan terhadap barang-barang Indonesia juga bergema di berbagai tempat.

Uskup Belo --tokoh yang banyak bermain dalam perpolitikan di Timtim-- yang lari ke Eropa pun ikut menyanyi. Dia menuduh pemerintah Indonesia telah melakukan pemusnahan warga Timtim (genocide). Dia pun menyerukan agar para jendral dan komandan milisi yang terlibat dibawa ke pengadilan internasional.

Nada yang sama juga dilontarkan oleh Sekjen PBB, Kofi Annan. "Indonesia harus menerima pasukan internasional tanpa ditunda-tunda lagi. Jika Indonesia tidak menyetujuinya, Jakarta harus bertanggung jawab atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ yang dilakukan oleh milisi di wilayah itu," katanya (Kompas, 11/9/99).

Ancaman dan tekanan yang datang bertubi-tubi serta garang itu membuat Presiden B.J. Habibie keder. Pada Minggu malam (12/9), Habibie mengumumkan bahwa Indonesia mengundang Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB. Dunia Barat gegap gempita menyambutnya. Sekjen PBB Kofi Annan, Presiden Clinton, dan PM Australia John Howard, tentunya, lega dan gembira, sebab misi dan keinginannya tercapai. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

Ironisnya, di tengah kepongahan sikap negara-negara kafir Barat tersebut, negeri-negeri muslim diam seribu bahasa, kecuali Mesir dan Irak. Kedua negara Arab itu mengecam tindakan Barat yang arogan soal Timtim.

Mengundang Pasukan PBB : Haram !

Dalam jajak pendapat beberapa waktu lalu, sekitar 78 persen rakyat Timor Timur memilih untuk merdeka dari Indonesia. Bila opsi ini benar-benar diberikan pemerintah Indonesia, maka sungguh merupakan suatu pengkhianatan. Bagaimana tidak, sejarah mencatat bahwa pulau Timor -termasuk di dalamnya Timtim- merupakan wilayah dari kesultanan Islam Tidore. Pada tahun 1512 Portugal memasuki kepulauan Maluku yang saat itu didominasi oleh kesultanan Islam Ternate dan Tidore. Dan pada waktu yang bersamaan, Portugal merebut Timor Timur yang kemudian dijajahnya. Jadi, sejak awal, daerah tersebut merupakan tanah tak terpisahkan dari kaum muslimin. Selain itu, secara resmi, rakyat Timor Timur telah berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1976 sebagai negeri kaum muslimin yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Dalam konteks syari’at Islam, daerah yang secara damai bergabung dengan suatu negeri Islam dikatagorikan sebagai tanah ‘usyriyah yang pemi-liknya bukan hanya penduduk daerah itu saja, melainkan juga milik seluruh kaum muslimin (Syakhsiyyah Islamiyah, jilid II, hal. 247 – 258). Dengan demikian, suatu wilayah dari negeri Islam, sekalipun mayoritas penduduknya nonmuslim tidak boleh diserahkan atau dilepaskan kepada siapapun. Bila hal itu terjadi, berarti pengkhianatan terhadap ajaran Islam dan kaum muslimin. Berdasarkan ini pula, sebenarnya Timor Timur merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari negeri muslim Indonesia.

Jadi, Permasalahan Timor Timur adalah permasalahan dalam negeri Indonesia, bukan permasalahan negara lain, lebih-lebih internasional. Oleh karena itu, mengundang pasukan asing, sekalipun atas nama PBB, bukan hanya sekedar tidak pada tempatnya, melainkan juga merupakan tindakan berbahaya.

Berkaitan dengan hal ini, Islam telah mengajarkan kepada kaum muslimin dan penguasanya beberapa aturan. Pertama, Rasulullah SAW melarang umatnya meminta bantuan militer kepada negara-negara kafir. Secara jelas, perkara ini tergambar di dalam hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan An-Nasai: "Janganlah kalian meminta penyinaran dengan api orang-orang musyrik!" Pernyataan "api suatu kaum" (nar qoum) di dalam bahasa Arab merupakan kiasan tentang kedudukan mereka di dalam pertempuran sebagai suatu qabilah atau negara.

Lebih jauh lagi, Imam Al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berangkat menuju suatu peperangan. Tiba-tiba muncul satu pasukan yang hendak membantunya. Rasulullah pun bertanya kepada sahabat-sahabatnya: "Siapakah mereka?" Para sahabat menjawab: "Mereka itu Yahudi Bani Qoinuqo’. Pasukan (katibah) itu adalah pasukan Abdullah bin Salam." Rasul bertanya lagi : "Apakah mereka sudah masuk Islam ?" Para sahabat seraya menjawab: "Belum, mereka masih menganut agama mereka." Menyikapi hal ini, beliau SAW pun segera bersabda: "Katakanlah kepada mereka untuk pulang lagi, sebab kita tidak meminta penyinaran dengan api orang-orang musyrik." Kenyataan demikian menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabatnya menolak bantuan militer dari pasukan Abdullah bin Salam dari Bani Qoinuqo’. Penyebabnya bukanlah semata-mata kekafiran mereka, melainkan kedudukannya sebagai satu kelompok pasukan kafir di bawah panji Qoinuqo’ dan atas nama ‘negara’ kafir Qoinuqo’ yang pada saat itu merupakan negara tetangga yang terikat perjanjian dengan negara Islam Madinah pimpinan beliau SAW. Penggunaan kata katibah mengandung pengertian militer independen yang memiliki panji dan kedaulatan tersendiri.

Selain itu, sejarah menunjukkan bahwa pernah Rasulullah SAW menerima pertolongan orang kafir sebagai individu dalam suatu peperangan pada suatu keadaan dan tidak melakukannya pada keadaan yang lain, kecuali setelah mereka masuk Islam. Orang kafir tersebut berperang di bawah komando Rasulullah. Riwayat ini menunjukkan boleh meminta bantuan militer orang kafir, jika mereka mau berperang di bawah panji-panji kaum muslimin. Tetapi, jika mereka memisahkan diri dan berperang di bawah panji-panji mereka sendiri, maka dilarang minta pertolongan kepadanya. Oleh karena itu, mengundang pasukan asing (kafir), yang membawa kedaulatan negaranya masing-masing, sekalipun atas nama PBB adalah haram secara syar'i.

Kedua, Allah SWT berfirman : "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah SWT" (QS. Ali Imron [3]:28). Ayat ini menjelaskan bahwa siapa saja yang menjadikan orang-orang kafir sebagai wali, niscaya tidak akan mendapatkan pertolongan Allah SWT. Akan tetapi, siksa-Nyalah yang akan mereka peroleh. Pernyataan Al-Quran tersebut merupakan indikasi (qarinah) tentang haramnya menjadikan orang kafir dan negara kafir sebagai wali.

Selain itu, Allah SWT menegaskan bahwa menjadikan orang-orang kafir sebagai wali merupakan salah satu ciri-ciri orang munafik. Orang itu menduga bahwa kemuliaan ada pada mereka, padahal kemuliaan ada pada Allah SWT (An-NIsa [4] : 138 – 139). Orang yang menjadikan Yahudi atau Nashrani sebagai wali, maka ia hakikatnya termasuk kelompok mereka (Al Maidah [5] : 51), bahkan orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan alasan persaudaraan dan kasih sayang pun dinyatakan oleh Allah SWT sebagai orang yang tersesat dari jalan yang lurus (Al Mumtahanah [60] : 1). Banyak lagi ayat-ayat lain yang menegaskan larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali. Sementara itu, kata auliya dalam ayat di atas mencakup seluruh makna yang dikan- dungnya. Di dalam kamus Al-Muhith, makna wali (jamaknya auliya) dalam bahasa Arab meliputi: teman dekat, pelindung, penolong, dan pemimpin. Berdasarkan ayat ini, jelaslah bahwa meminta bantuan, pertolongan, dan menyerahkan penyelesaian persoalan dalam negeri kepada pasukan asing atas nama Pasukan Penjaga Perdamaian PBB yang notabene merupakan alat imperialisme negara-negara Barat terkatagorikan dalam perbuatan menjadikan mereka sebagai wali yang diharamkan itu.

Ketiga, Allah SWT berfirman: "Dan Allah sekali-kali tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin" (An-Nisa [4] : 141). Seorang ulama tafsir terkenal, Imam Ibnu Katsir, menyebutkan bahwa salah satu makna ayat ini adalah Allah SWT tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai kaum mukminin di dunia (Tafsir ul Quran il ‘Azhim, jilid I, hal. 700). Adanya kata "lan" (tidak akan pernah sampai kapan pun) dalam ayat itu menunjukkan adanya larangan tegas dari Allah SWT kepada kaum muslimin untuk tidak melakukan aktivitas apapun yang dapat memberikan jalan kepada orang-orang kafir (termasuk negara kafir) untuk menguasai kaum muslimin. Bila dilihat realitasnya, kehadiran pasukan asing, sekalipun atas nama penjaga perdamaian, tidak dapat dipisahkan dari kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi negara-negara Barat. Tekanan dan ancaman politik maupun ekonomi yang dilancarkan negara-negara Barat mengkonfirmasikan hal ini. Bukan hal mustahil, dengan bercokolnya pasukan PBB di Timor Timur akan membuka jalan bagi terjadinya ketegangan-ketegangan baru di wilayah lain Indonesia yang berakibat disintegrasi semakin meluas dan Timor Timur menjadi Israelnya Asia Pasifik.

Keempat, Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk ribath. Dalam hal ini, Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung" (QS. Ali Imron [3]:200). Dalam fiqih siyasah, Ribath bermakna menjaga perbatasan wilayah kaum muslimin dari setiap ancaman musuh yang hendak merebutnya. Di samping itu, banyak sekali pernyataan dari Rasulullah SAW agar kaum muslimin melakukan ribath. "Melakukan ribath sehari-semalam fi sabilillah lebih baik dari pada shaum sebulan lengkap dengan qiyamul lailnya, bila dia meninggal, maka pahala amal yang dilakukannya mengalir padanya, rizkinya mendatanginya, dan dia bebas dari fitnah," kata Nabi SAW seperti diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bahkan, Rasulullah SAW menyatakan : "Dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka adalah mata yang menangis karena takut kepada Allah SWT dan mata yang terjaga semalaman menjaga perbatasan fi sabilillah" (HR. At Tirmidzi). Ribath merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jihad, sehingga hukumnya sama dengan hukum jihad. Perbatasan di sini adalah perbatasan pemerintahan Islam. Dan tentu saja, yang menjaga adalah warga negaranya sendiri (baik muslimin ataupun nonmuslim yang kafir dzimmiy), bukan negara lain. Mempersilakan negara lain untuk menjaga suatu daerah di dalam negeri, sama artinya mempersilakan mereka untuk menguasainya. Hal ini tidak akan dilakukan kecuali oleh penguasa yang lemah atau yang berupaya setor muka di hadapan negara kafir adi daya sekalipun melanggar aturan Allah SWT.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya melarang kaum muslimin mengundang bantuan militer negara-negara kafir untuk ‘memelihara perdamaian’ di dalam negerinya, baik saat ada pemerintahan Islam maupun tidak ada. Karena aktivitas tersebut berarti menjadikan negara kafir yang berselimutkan PBB sebagai wali yang hanya akan mendatangkan kehinaan, jauh dari pertolongan Allah SWT, dan murka-Nya. Na’udzu billah min dzalik.

Perdamaian Terwujud, Benarkah?

Dalam realitasnya, negara-negara Barat yang dipelopori oleh AS, selama ini ngotot untuk menghadirkan pasukan internasional seperti yang didiktekannya. Hal tersebut, tidak lebih sebagai self image negara Paman Sam itu yang selalu ingin menunjukkan diri sebagai penyelamat dunia. Biasanya, pengiriman pasukan perdamaian tersebut dikemas dengan alasan demokratisasi dan hak asasi manusia. Padahal, pada faktanya tidak demikian dan tidak mampu menyelesaikan masalah. Contoh yang paling hangat adalah euforia negara Barat yang dipelopori AS untuk menyelesaikan perang saudara di Somalia. Pada tahun 1993, AS menyatakan bersedia mengirim 25.000 pasukan untuk menegakkan tatanan sipil di Somalia dan menciptakan demokrasi. Tetapi, enam bulan kemudian, pasukan itu ditarik mundur, karena tidak berdaya menghentikan pertempuran antarmilisi. Kondisi pun tetap seperti sedia kala. Contoh lain saat di Kosovo. Kekejaman yang terjadi di Kosovo adalah kekejaman yang dilakukan oleh tentara Serbia pimpinan Slobodan Milosevic. Dia telah mengobarkan apa yang disebut "cleaning etnic". Pasukan internasional di sana, seperti banyak diberitakan media massa saat itu, bukannya membantu mendamaikan mereka yang berseketa melainkan turut membantu menembaki muslim di sana atau paling banter membiarkan Serbia leluasa melakukan pembantaian sekehendaknya. Bila kenyataannya demikian, pasukan penjaga perdamaian (peace keeping troops) tersebut, boleh jadi sebenarnya ‘pasukan pemelihara pembantaian’. Dan dalam kasus Timtim, lebih tepat bila disebut 'Pasukan Pemelihara Perampasan'.

Hubungan Internasional

Dalam konteks hubungan internasional, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi SAW, negara-negara di dunia ini dapat digolongkan menjadi empat kelompok (Zallum, A.Q., Muqaddimat ud Dustur, hal. 438-450). Kelompok pertama terdiri dari negara-negara yang terdapat di dunia Islam. Semua negara dalam kelompok ini dianggap seakan-akan merupakan satu negara yang sama. Hubungan dengan sesama negara ini tidak didasarkan pada politik luar negeri, melainkan wajib diupayakan untuk menyatukannya. Kelompok kedua, negara-negara nonimperialis yang memiliki hubungan perjanjian dalam bidang ekonomi, kebudayaan, dan hubungan bertetangga baik. Negara seperti ini, misalnya Jepang. Hubungan dengan negara kelompok kedua ini sebatas pada isi perjanjian dan syarat-syaratnya. Kelompok ketiga merupakan kelompok negara yang memusuhi tetapi tidak secara langsung dengan kekuatan militer (muhariban hukman). Kelompok ini mencakup negara-negara nonimperialis yang tidak ada perjanjian dan negara-negara imperialis seperti Inggris, Amerika, Perancis, Portugal, dan Australia. Untuk kasus Indonesia, jelas betul sikap ‘peperangan’ dari negara-negara tersebut dengan cara menekan dan mengancam rakyat Indonesia. Secara individual warga negara kelompok ini boleh saja masuk ke negeri Islam dengan ijin khusus. Terhadap negara-negara kelompok ini tidak boleh ada hubungan diplomatik dan sikap pemerintah Islam selalu dalam keadaan siaga. Adapun kelompok keempat merupakan negara-negara yang memerangi Islam dan kaum muslimin langsung secara fisik (muhariban fi’lan). Misalnya, Israel yang sampai kini sedang getol memerangi Palestina dan Rusia yang sampai sekarang terus menggempur kaum muslimin di Chechnya dan Dagestan. Sikap pemerintah terhadap negara-negara kelompok ini merupakan sikap dalam keadaan perang. Seluruh warga negara mereka dilarang memasuki wilayah pemerintahan kaum muslimin. Sedangkan darah dan harta non muslim dari negara-negara tersebut halal.

Berdasarkan pola hubungan internasional di atas, maka bantuan untuk menjaga perdamaian dalam negeri hanya dapat diminta dari negara-negara kelompok pertama, yaitu dunia Islam. Sedangkan dari kelompok negara lainnya tidak demikian. Walaupun negara dunia Islam tersebut ada yang menuhankan demokrasi dan membebek pada Barat. Sangat mungkin, itu hanya sebagai sikap partisan. Tetapi, mereka yang takut akan ‘adzab Allah SWT akan mengambil sikap yang sebaliknya.

Khatimah

Rekayasa halus negara-negara Barat untuk mencabik-cabik negeri kaum muslimin tak pernah surut. Berbagai macam siasat licik mereka jalankan. Sedikit demi sedikit wilayah kaum muslimin telah mereka kuasai. Sebaliknya, kaum muslimin semakin terlena oleh tipu daya mulut-mulut berbisa dari negara-negara Barat yang kafir yang selalu berusaha memperkuat cengkeramanannya. Lupakah kita pada firman Allah SWT, Dzat Maha Benar : "Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi" (QS. Ali Imran [3] : 118).

Sikap tunduk dan mengemis untuk meminta bantuan organisasi kufur dunia, PBB, hanyalah cerminan sikap merasa lemah dan inferior. Boleh jadi, kaum muslimin memang benar-benar lemah atau sangat mungkin hanya sekedar prasangka semata. Namun, di antara sebab utama munculnya kelemahan ini adalah kesejatian iman yang telah tergadaikan. "Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman," demikian firman Allah SWT dalam surat Ali Imran [3] ayat 139. Dengan demikian, tidak ada cara lain untuk mengembalikan kekuatan kaum muslimin, selain mengimani seluruh ajaran Allah SWT, menerapkan Islam di dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta mengkufuri semua jenis thaghut. "Jangan takut dan jangan gelisah, Allah bersama kita."

Allahumma ballaghna !

Ya Allah, Kami telah menyampaikannya!