Edisi 073

RUU PKB:

MENGAPA DITOLAK ?

Reformasi yang berjalan tanpa panduan imani tampaknya terus beranjak memasuki situasi kehidupan yang diliputi dengan insiden. Bagaikan drama serial, insiden demi insiden, tragedi demi tragedi, skandal demi skandal terus bergulir, dari satu babak berlanjut ke babak berikutnya.

Bila kita coba menghitung, sejak hari pertama reformasi hingga sekarang, telah terjadi sejumlah insiden yang di dalamnya selalu ada korban baik sedikit atau banyak. Insiden terkini yang makam-makam para korbannya pun masih basah adalah bentrok antara aparat keamanan dengan sejumlah mahasiswa dan kalangan masyarakat yang menolak RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) seminggu yang lalu.

Seperti diketahui bahwa insiden itu terjadi bermula karena aksi bersama yang dimotori forum mahasiswa, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), buruh dan kelompok seni, yang berunjuk rasa menentang pengesahan RUU PKB. Ketika DPR tengah bekerja keras menyelesaikan tugas di hari-hari terakhir masa baktinya, ribuan mahasiswa, aktivis partai politik, dan para partisipannya itu bergerak serentak menuju gedung DPR di Senayan. Sementara itu aparat yang sudah mengantisipasi aksi itu membentuk barikade menghadang mereka. Maka, situasi pun berkembang pada terjadinya bentrokan antara dua kubu. Tak pelak darah pun tertumpah lagi, jiwa-jiwa kembali terenggut. Pada insiden yang disebut tragedi II Semanggi itu tercatat 6 korban tewas: 5 orang warga sipil dan 1 orang aparat keamanan, 167 orang luka-luka (Media Indonesia, 27/9/99).

Kita sangat prihatin dengan kejadian itu. Namun, kenapa lagi-lagi begitu mudah jatuh korban?

Kalau kita renungkan, pangkalnya adalah sikap emosional yang menyelinap pada hampir seluruh elemen masyarakat dan bangsa saat ini. Seolah bangsa ini tidak mampu lagi berpikir jernih dan bersikap bijak. Berpikir jernih berarti mencurahkan daya nalar untuk melihat setiap persoalan secara utuh dengan parameter kebenaran obyektif. Bersikap bijak maknanya adalah menunjukkan atau melakukan suatu tindakan tertentu yang dilandasi oleh pemikiran yang jernih itu atau sesuai dengan peraturan yang benar. Dengan cara demikian, seseorang tidak akan terjebak pada egoisme pemikiran yang bertumpu pada kepentingan diri dan kelompoknya yang runtutannya adalah tindakan emosional dan tidak terpuji. Kecenderungan yang berkembang saat ini yang menimpa banyak pihak lebih khusus kalangan politisi justru egoisme pemikiran dan tindakan emosional. Hal inilah sebenarnya yang menjadi cikal-bakal tumbuhnya konflik dan insiden, termasuk insiden 23, 24 September yang lalu.

Mendudukkan Persoalan RUU PKB

Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya dimaksudkan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang No 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Undang-Undang tersebut diyakini sudah tidak relevan lagi dipertahankan karena mengandung muatan militeristik yang sangat pekat dan terlalu mengekang kebebasan rakyat. Di masa rezim Orde Baru Undang-Undang tersebut lebih populer di sebut UU-Antisubversi yang digunakan oleh penguasa dengan garang untuk memberangus individu atau kelompok yang dinilai mengancam kedudukan penguasa.

Semula pemerintah mengajukan draft RUU tersebut dengan nama Keselamatan dan Keamanan Negara (RUU KKN) yang menurut Menhankam/ Panglima TNI Jenderal Wiranto, sudah direvisi dari konsep awalnya, sebelum diajukan ke DPR. RUU KKN kemudian berubah nama menjadi RUU PKB (Penanggulangan Keadaan Bahaya).

Setelah melalui perdebatan panjang di sidang DPR, RUU PKB mengalami perubahan drastis baik isi maupun judulnya. Dalam wawancara Media Indonesia dengan ketua Pansus RUU PKB Agus Muhyidin, ia menegaskan sikapnya, "….Saya selaku ketua Pansus RUU PKB serta semua fraksi telah berjuang siang dan malam untuk menghasilkan yang terbaik untuk rakyat. Juga sudah pula dipikirkan yang terbaik agar peristiwa seperti sekarang ini tidak terjadi. Tapi kalau memang rakyat masih saja melakukan tindakan kekerasan, maka terserah saja mau yang mana dipakai, dengan undang-undang atau dibiarkan saja". (Media Indonesia, 26/9/99)

Jadi sebenarnya pemerintah dan DPR telah mendengarkan dan memperhatikan keberatan serta masukan-masukan dari pihak masyarakat. Hal ini cukup jelas terlihat, bila saja kita dengan kepala dingin bersedia membandingkan judul dan isi RUU PKB yang telah disetujui DPR dengan RUU sebelumnya. Pada keduanya terdapat perbedaan yang substansial.

Akan tetapi jerih payah DPR dan pemerintah (TNI-Polri) sama sekali tidak diapreasiasi oleh penentang RUU itu. Mereka juga tidak melihat adanya i'tikad baik pada DPR dan pemerintah, karena agaknya ada perspektif lain yang mereka gunakan sehingga mereka cenderung bersikap apriori terhadap segala hasil kerja DPR maupun pemerintah.

Berbagai komentar para aktivis penggerak demonstrasi menentang RUU PKB yang telah disetujui oleh DPR itu, tampak adanya indikasi yang cukup terang. Dandhi Kusumohartono, aktivis Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ), melihat bahwa persoalan utama bukan substansi isi UU PKB, tapi lebih kepada legitimasi anggota DPR sekarang. "Ketika anggota Dewan legitimasinya dipertanyakan, apakah mereka layak membuat sebuah undang-undang?" Begitu pula Reinhard Sirait dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi. Ia berpendirian "Rakyat tidak butuh undang-undang seperti itu, di mana ada perang?". Ia pun menyoal tentang isi produk hukum tersebut yang menurutnya, akan meligitimasi teror, intimidasi, dan kekerasan terhadap rakyat. "Nanti akan ada pengesahan pembunuhan, dan pemberangusan pers atas nama hukum". (Forum Keadilan, No 026, 3/10/99).

Apabila kita cermati, komentar kedua aktivis tersebut tampak ada kesamaan nada dengan pernyataan-pernyataan sejumlah tokoh yang selama ini dikenal anti pemerintah atau tepatnya anti Habibie. Tokoh-tokoh yang berpayung dalam Gerakan Reformasi Nasional (GRN) dan Barisan Nasional (Barnas) ini telah mengirim pernyataan ke berbagai media massa yang isinya meminta agar Habibie mengundurkan diri. Sejumlah orang yang bernaung dalam GRN maupun Barnas kerap menyuarakan gerakan agar Habibie mundur lantaran dia dianggap sebagai perpanjangan tangan Orde Baru dan pro status quo. Bahkan mereka melontarkan pula ide agar pemerintahan saat ini digantikan sebuah presidium pemerintahan transisi (Forum Keadilan, ibid)

Memang, tidak terdapat bukti keterlibatan tokoh-tokoh kedua ormas itu sebagai orang di belakang layar yang mengotaki gelombang aksi mahasiswa yang memicu terjadinya insiden II Semanggi. Namun cukup jelas mereka berada pada satu haluan pemikiran yang sama. Sayangnya, tokoh GRN, Barnas, dan para aktivis mahasiswa itu --disadari atau tidak-- cenderung menggunakan kerangka berpikir yang timpang atau logika yang rusak (broken logic). Mereka sering menilai dan menghukumi seseorang dengan perbuatan orang lain hanya karena antara keduanya punya hubungan yang dekat. Seperti halnya menghukumi seorang anak dengan perbuatan bapaknya. Karena Habibie itu orang yang dekat dan 'digembleng' Soeharto, maka Habibie sama saja dengan Soeharto. Pemerintahan dan kabinet yang dipimpinnya sama dan sebangun dengan Orba. Demikian pula penerapan konsep dwifungsi ABRI di masa yang lalu yang menimbulkan bencana, menjadi vonis yang mematikan terhadap upaya tertentu yang dilakukan TNI dan Polri saat ini. Hal yang serupa diarahkan pula kepada DPR yang baru mengakhiri masa baktinya bahwa mereka tidak legitimate.

Anehnya logika itu tidak dipakai secara konsisten, ketika mereka menilai diri sendiri. Sebab, semua orang faham bahwa tokoh-tokoh GRN dan Barnas adalah orang-orang yang punya kedudukan dan peran baik sebagai teknokrat, petinggi ABRI, birokrat atau lainnya di masa Orde Baru. Kalau tokoh-tokoh itu memandang bahwa mereka telah menginsafi dosa-dosanya, dan berkehendak memperbaiki diri, mengapa mereka tidak pula memberi tenggang waktu kepada pemerintah, TNI-Polri dan DPR untuk memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu dan kesalahan para pendahulunya?.

Oleh karena itu, tindakan yang mereka lakukan dan sikapnya terhadap pemerintah sekarang ibarat memasang bingkai di luar batas cerminnya. Tidak pernah gathuk.

Sehubungan dengan RUU PKB, apabila ditinjau dengan kejernihan berpikir tanpa curiga, prasangka buruk dan didudukkan secara proporsional minus i'tikad jelek, adakah alasan signifikan untuk menolaknya?

Mahasiswa dan Masyarakat bukan Tanpa Salah

Dalam setiap aksi mahasiswa yang berlanjut dengan insiden berdarah, hampir selalu mahasiswa ditempatkan pada pihak yang benar. Sedang kesalahan ada di pihak yang menjadi lawannya. Terlebih lagi, bila ada jatuh korban dari mahasiswa dan seterunya itu aparat keamanan, maka serta-merta masyarakat menjunjung mahasiswa bagai pahlawan. Dalilnya, bahwa apa yang dilakukan mahasiswa murni karena dorongan moral dan untuk membela kepentingan rakyat. Padahal, kejadiannya tidaklah selalu demikian. Mahasiswa bukan tanpa salah. Mereka juga punya andil kesalahan, yang tak jarang bukan kesalahan kecil.

Apakah demonstrasi itu selalu murni sebagai aksi mahasiswa untuk kepentingan rakyat? Secara retorik Wiranto menyatakan sindiran. "Maunya yang ada di belakang demonstran itu apa?. Jangan bersembunyi di balik demonstran, memperalat mahasiswa, memperalat preman. Mari ksatria, muncul dengan berdialog."

Sindiran itu bagaikan tantangan yang kemudian mendapat jawaban dari mereka yang selama ini terus sembunyi. Laporan khusus Tekad (No 48, 27/9/'99) mengungkapkan dengan cukup jelas siapa penggerak aksi demo mahasiswa itu. Ratna Sarumpaet mengakui dirinya beserta sekelompok orang lain sebagai penggerak aksi-aksi mahasiswa yang menentang RUU PKB.

Dalam insiden 23, 24 September 1999 yang silam, setidaknya ada tiga kesalahan yang dilakukan para mahasiswa. Pertama, mereka bertindak di luar batas norma mahasiswa yang seharusnya lebih mengedepankan daya intelektualitas dan intuisi dalam melihat dan menyikapi suatu persoalan. Mahasiswa mestilah bergerak dengan konsep yang handal dan siap dipaparkan dengan argumentasi yang logis melalui mekanisme dialog. Mahasiswa bukanlah kelompok orang yang bertindak emosional, irasional dan brutal.

Kedua, mereka bertindak seolah-olah seperti kelompok preman yang mengutamakan bayaran ketimbang memahami realitas suatu persoalan secara jernih. Sebagian besar mereka yang berunjuk rasa belum sebenar-benarnya membaca dan memahami isi RUU PKB. Kenyataan ini terungkap jelas dalam suatu wawancara RRI PRO 2 FM Jakarta dengan sejumlah mahasiswa demonstran. Dengan begitu, sebenarnya mereka telah merendahkan integritasnya sebagai mahasiswa.

Ketiga, akibat tindakan brutal dan emosional yang mereka lakukan telah menimbulkan kerusakan dan gangguan umum (pembakaran mobil dll). Lebih dari itu, aksi tersebut telah menyebabkan pula jatuhnya korban baik yang tewas maupun yang luka-luka. Tentu saja mereka punya andil langsung meskipun tidak secara langsung melakukan pembunuhan.

Islam melarang tindakan-tindakan yang dapat membawa akibat seperti itu. Nabi saw. bersabda:

"Tidak boleh mencelakakan dan dicelakai ".

Begitu juga kaidah fiqhiyah menggariskan:

"Sarana yang dapat mengantarkan kepada suatu yang haram, maka sarana itupun menjadi suatu yang diharamkan".

Menyampaikan suatu aspirasi dengan unjuk rasa atau demonstrasi sebagai sarananya terbukti berdampak sangat negatif, seperti gangguan umum, konflik berdarah dan sebagainya. Padahal sarana itu --demonstrasi-- belum tentu membuahkan hasil yang baik.

Masyarakat, terutama kalangan politisi dan tokoh-tokoh ormas tidak terbebas dari kesalahan juga. Sebab, mereka tidak melakukan tindakan konkrit untuk mencegah terjadinya bentrokan itu. Padahal mereka mampu melakukannya apabila ada kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh. Mereka tidak melakukan itu lebih karena sibuk membenahi kepentingan mereka sendiri.

Khatimah

Bentrokan berdarah dan jatuhnya korban itulah salah satu harga yang harus ditebus dari demo kebebasan "berhala" demokrasi. Kaum muslimin umumnya dan mahasiswa muslim khususnya tidak boleh mengikuti dan terpengaruh terhadap hal-hal yang Islam melarang untuk melakukannya. Lebih-lebih apabila itu sesuatu yang akan membawa resiko pertumpahan darah atau terbunuhnya jiwa manusia.

Islam telah memberikan tuntunan tertentu sebagai jalan keluar yang shahih dalam mengatasi setiap persoalan. Maka pelajarilah tuntunan itu dan tetaplah berpegang teguh pada ketentuan hukum Islam.

Al-Qur'an juga mengajarkan kepada kita agar menilai dan memutuskan suatu persoalan secara adil, walaupun hal itu dilakukan terhadap orang-orang yang tidak kita senangi. Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamumenjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" (QS. Al-Ma'idah: 8)

Justru dengan ketaqwaan kepada Allah, yakni ketundukan, kepatuhan, dan keterikatan kita kepada perintah dan larangan Allah SWT, mestinya kita ber fikir, undang-undang yang mana yang harus kita persoalkan, undang-undang yang jelas bertentangan dengan hukum Allah SWT atau undang-undang yang tidak bertentangan dengan hukum Allah SWT? Juga penyelenggaraan pemerintahan yang mana yang harus kita persoalkan, penyelenggaraan yang sesuai dengan petunjuk Allah SWT ataukah yang tidak sesuai? Kalau kita tidak berfikir secara mendasar seperti itu, justru kita sesama kaum muslimin (baik pemerintah maupun rakyat) akan mengalami kesulitan oleh berbagai persoalan yang sebenarnya kita buat sendiri. Kita masuk perangkap yang kita minta kepada pihak musuh agar mereka pasang buat kita. Dan orang-orang kafir akan dengan mudah memecah-belah dan menundukkan kita. Maka kita mesti merenungkan sindiran Allah kepada kita:

"Apakah hukum-hukum jahiliyah yang mereka cari? Hukum mana yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin (kepada kebenaran dinullah)?" (QS. Al Maidah 50).

Allahumma ballaghna!