Edisi 075

DICARI, SOSOK PEMIMPIN SEJATI!

Indonesia kini tengah memasuki eksperimen ketiga dalam proses penentuan dan pemilihan kepala negara. Eksperimen pertama dengan suatu mekanisme yang sudah dimaklumi telah menghasilkan Ir. Soekarno sebagai kepala negara. Kedua, melalui tatacara yang diakhiri dengan aklamasi mengukuhkan Jendral Soeharto sebagai Presiden RI ke-2. Kedua pemimpin tersebut kemudian memegang tampuk kekuasaan dalam waktu yang relatif lama, dan hasil dari kepemimpinannya telah menorehkan klimaks yang buruk, yaitu membawa perjalanan bangsa ini kepada kehidupan yang menistakan.

Dengan mengambil pelajaran dari eksperimen ORLA dan ORBA tentang kepemimpinan negara, DPR/MPR sekarang melalui Sidang Umum-nya yang masih berlangsung, mencoba untuk merumuskan dan akan memilih pemimpin Indonesia masa depan. Dan, dari nama-nama yang muncul dalam bursa calon presiden, terdapat tiga tokoh kandidat yang menonjol. Masing-masing merasa mendapat dukungan dari rakyat, dan secara formal ketiganya akan dicalonkan fraksi pendukungnya di MPR.

Membarengi SU MPR yang salah satu agenda utama dan terpentingnya itu pengangkatan kepala negara, patut kiranya seluruh komponen warga negara —lebih khusus umat muslim— memikirkannya secara mendalam. Hal ini sangat penting artinya agar kita tidak terus-menerus mengulang kesalahan masa lalu yang berakibat fatal, kemudian sanggup bangkit dari kehinaan yang mencekam saat ini demi meraih kejayaan di hari esok. Di sanalah terdapat keharusan bagi kita pemeluk teguh Islam untuk sebenar-benarnya mengkaji ulang dan mengkritisi secara arif. Apakah paradigma (sistem ideologi) yang dijadikan acuan dalam membangun masyarakat dan negara selama ini merupakan sebuah pijakan yang kukuh dan shahih? Dan apakah mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sebagai tujuan utama pembangunan harus ditempuh dengan model pendekatan ala Barat? Pertanyaan tersebut mempunyai relevansi yang erat dengan visi kepemimpinan negara.

Urgensi Kepemimpinan Negara

Urgensi kepemimpinan dan peran signifikan seorang kepala negara dapat dilihat dengan jelas dalam perspektif ideologis. Sebab, sekalipun dalam tataran formal politis, kepala negara ditentukan dan dipilih, serta berasal dari partai politik tertentu, akan tetapi konsekuensi peran dan tanggung jawab yang dipikulnya jauh melampaui batas itu. Ia akan menjalankan seluruh fungsi kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan. Di pundaknya-lah terpikul tugas dan tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya, menegakkan keadilan, melindungi dan menghindarkan masyarakat dari segala marabahaya. Sejalan dengan itu, seorang kepala negara harus mengawal rakyatnya pada kehidupan yang bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain.

Bangsa-bangsa Barat telah menjadi bangsa yang besar dan berkuasa atas bangsa-bangsa lain sangat ditentukan oleh peran handal para pemimpinnya. Mereka tampil memimpin lebih karena panggilan ideologis dan bertindak secara konsisten sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan ideologinya. Itulah realita kepemimpinan di dunia Barat, terlepas bahwa kepemimpinan mereka telah mendatangkan bencana dan penderitaan atas dunia.

Oleh karena itu, hakikat kepemimpinan negara bukanlah kepemimpinan kelompok atau golongan tertentu yang berkiprah demi suatu maslahat material tertentu, atau bekerja sebagai agen bagi kepentingan di luar komunitas rakyat yang dipimpinnya, alias sebagai broker imperialis.

Islam memandang sangat penting arti kepemimpinan negara. Bahkan, Islam menggariskan bahwa kepala negara adalah seorang yang harus bertanggung jawab untuk merealisasikan kehendak Allah dan Rasul-Nya dengan menerapkan sistem Islam, dan mengemban risalahnya itu kepada bangsa-bangsa lain dengan dakwah dan jihad. Itulah makna strategis dari kepemimpinan negara yang sekaligus mencitrai kepemimpinan bermuatan ideologis dalam perspektif Islam. Pola kepemimpinan yang dituntut kemudian adalah sebuah kepemimpinan yang dapat menjamin terbentuknya masyarakat dan negara yang kuat, mulia, dan terhormat.

Mengingat betapa pentingnya peran kepala negara dan konsekuensi kiprahnya yang dituangkan melalui kebijakan-kebijakan yang berdampak sangat luas terhadap kehidupan masyarakat, maka Islam telah memberi pedoman berupa kriteria-kriteria tertentu dalam menetukan sosok pemimpin yang baik.

Deskripsi Pemimpin Sejati

Pemimpin yang baik dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pola hubungan dengan rakyatnya dan kualifikasi personal-nya.

Pemimpin yang baik dilihat dari segi pola hubungan antara seorang pemimpin dengan rakyat yang dipimpinnya, maka dalam konteks ini, Islam lebih menekankan pada interaksi mutualis antara keduanya. Artinya, kualitas hubungan timbal-balik antara pemimpin dengan rakyatnya itulah yang akan mencirikan apakah pemimpin itu baik ataukah buruk. Sehingga, pemimpin yang mencintai rakyatnya, selalu berkorban dalam melayani kebutuhan dan suatu yang mendatangkan maslahat bagi mereka, membimbing dan mendidik mereka dengan keteladanan yang terpuji serta bertindak adil, merupakan ciri-ciri utama pemimpin yang baik. Pada saat yang sama, rakyat yang melihat dan merasakan sikap bijak pemimpinnya itu akan mencintai sang pemimpin, selalu berharap akan datangnya kebaikan, rahmat dan ampunan Allah baginya.

Sebaliknya, interaksi parasitis yang di sana terjadi suasana saling mencurigai, gasak-menggasak, dan hujat-menghujat antara pemimpin dengan rakyatnya, mengindikasikan buruknya pemimpin itu. Rasulullah SAW memberi pelajaran akan hal itu sebagaimana sabdanya:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian". (HR. Imam Muslim dari 'Auf bin Malik Al-Asyja'i).

Adapun dari segi kualifikasi personal, di antara hal yang fundamental dan mesti melekat pada kandidat pemimpin, selain ia seorang yang merdeka, dewasa dan berakal, maka ia haruslah seorang muslim. Karena, secara mutlak orang kafir tidak boleh menjadi pemimpin bagi orang muslim, dan orang muslim tidak boleh mengangkat orang kafir sebagai pemimpinnya. Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:

{141} ÝÎJm "Ä¿ÛA Ó¼§ ÅÍj¯B¸¼» ɼ»A ½¨ Å»Ë

"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang muslim". (QS. An-Nisaa' 141).

Termasuk dalam kategori tersebut adalah bahwa kaum muslimin tidak boleh mengangkat seorang muslim yang terbukti sangat loyal kepada orang kafir. Sebab, loyalitasnya dengan orang kafir itu akan menjerat dirinya dan memperalatnya untuk kepentingan pihak kafir. Sedangkan memberikan loyalitas kepada orang kafir adalah haram juga.

Kedua, kandidat pemimpin haruslah seorang yang adil. Artinya, orang yang konsisten, berpegang pada prinsip agamanya, dan konsekuen dalam melaksanakan aturannya. Orang yang fasik, fajir, cacat integritasnya, tidak layak diangkat dan dipilih menjadi pemimpin. Jadi, pemimpin harus dipilih dari kalangan ahlut taqwa meskipun tidak harus yang paling bertaqwa. Secara implisit Al-Qur'an mengisyaratkan hal ini:

Á¸Ä¿ ¾f§ ÐËg AËfÈqCË

"Sepatutnya ambillah sebagai saksi dua orang yang adil dari kalanganmu". (QS. Ath-Thalaq 2).

Kedudukan kepala negara tentu saja lebih tinggi daripada seorang saksi (dalam peradilan). Oleh karena itu, lebih utama dan dituntut, ia lebih memiliki sifat adil.

Bangsa Indonesia telah melakukan kesalahan di masa lalu ketika mengangkat Soekarno dan Soeharto sebagai presiden. Pasalnya, kedua orang tersebut punya cacat moral yang sudah diketahui jauh sebelumnya. Belang Soekarno terlihat sejak ia menjadi mahasiswa di Bandung, sedangkan lancungnya Soeharto sudah terkuak ketika menjadi pangdam di Jawa Tengah.

Ketiga, kandidat pemimpin haruslah seorang yang memiliki qudrah. Artinya, seorang yang benar-benar mampu mengemban dan menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Di dalamnya terhimpun kekuatan dan keberanian. Dalam bahasa teknis, ia adalah seorang yang capable, accountable, dan credible (cakap, bertanggung jawab, dan dapat dipercaya) sebagai negarawan. Hal ini karena tuntutan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala negara mengharuskan demikian, dan atas tujuan itu pula ia diangkat. Apabila kepemimpinan negara diserahkan kepada orang yang tidak cakap dan berkepribadian lemah, tentu akan terjadi kerusakan yang luas di tengah kehidupan. Itu suatu yang wajib dicegah.

Seluruh deskripsi di atas, secara empirik dalam sejarah umat Islam banyak dihasilkan sosok pemimpin sejati. Di antaranya yang sangat masyhur adalah Al-Faruq Umar ibn Khaththab dan At-Taqiy Umar ibn Abdul Aziz. Al-Faruq ra. seringkali melakukan ronda malam atau patroli untuk mengetahui dari dekat keadaan rakyatnya seraya melayani hajat hidup mereka. Atau, ia melakukan inspeksi terhadap para aparat bawahannya, sekira ada kesalahan, penyimpangan atau pelanggaran yang mereka lakukan dalam mengatur urusan rakyatnya.

Mengenai sosok Umar ibn Abdul Aziz, sebuah sketsa kecil tentang kepemimpinannya dapat diperlihatkan melalui cuplikan kisah berikut ini.

Ketika khalifah Umar ibn Abdul Aziz ra. meninggal dunia, para ulama bertakziah menyampaikan belasungkawa kepada istrinya. Mereka memuliakannya serta mengungkapkan besarnya musibah yang menimpa rakyat atas berpulangnya Sang Pemimpin. Kepada istri mendiang khalifah, para ulama itu bertanya: "Kabarkanlah kepada kami perihal dia karena yang paling mengetahui lelaki itu tentulah keluarganya". Bertuturlah istri mendiang khalifah itu: "Demi Allah, tidaklah dia itu lebih banyak shalat dan puasanya daripada orang-orang. Tapi, demi Allah, belum pernah aku melihat hamba Allah yang lebih hebat rasa takutnya kepada Allah daripada Umar. Dia yang dirahmati Allah itu senantiasa meluangkan dirinya untuk melayani kepentingan masyarakat. Dia bekerja sepanjang hari untuk melayani berbagai kebutuhan mereka. Bila tiba sore hari dan masih ada sisa kebutuhan masyarakat yang harus ia penuhi, dilanjutkannya pada malam hari. Di suatu petang, dia meluangkan waktu guna memenuhi kepentingan mereka. Setelah itu, ia meminta lampu yang ia beli dari hartanya sendiri. Kemudian ia shalat dua rakaat. lalu ia merenung lama sambil meremasi jenggotnya. Ia terus melakukan itu hingga terbit fajar. Pagi harinya dia berpuasa. Aku bertanya, 'Wahai Amirul Mukminin, apa kiranya yang telah engkau lakukan sehingga tiada di sisiku tadi malam?'. Dia menjawab, 'Sesungguhnya engkau telah mendapati aku diserahi urusan rakyat ini, baik yang berkulit merah atau hitam. Aku mengingat nasib orang yang terlantar, yang miskin, yang fakir, yang kehilangan, yang berkekurangan, yang tertawan, yang masih tertindas, dan lain sebagainya di berbagai pelosok bumi. dan aku sadar bahwa Allah SWT pasti akan menanyai diriku perihal mereka…'.

Menimbang Ketiga Kandidat Presiden

Kandidat presiden yang ramai diperbincangkan banyak kalangan, dan masing-masing telah merasa siap maju dalam proses pemilihan di SU MPR, yaitu BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Pada ketiganya haruslah dilakukan penimbangan dengan parameter Islam.

Pada dasarnya ketiga kandidat tersebut jauh dari memenuhi kriteria pemimpin yang handal yang berkesanggupan mengantarkan negara ini dari keterpurukan yang sangat, menuju masa depan yang cerah dan terhormat. Sebab, baik Habibie, Gus Dur, maupun Megawati, ketiganya tidak punya konsep yang shahih dan jelas serta metoda operasional yang akurat dalam mengentaskan aneka krisis yang melanda negeri ini dan mewujudkan negara yang benar-benar berdaulat, memiliki kemandirian baik secara politik maupun ekonomi. Ketiganya akan mampu membangun hanya dengan menggantungkan topangan ekonomi dan politik dari negara-negara donor kapitalis. Padahal, dengan sumber daya manusia dan sumber daya alam dan energi yang dimiliki, Indonesia mampu membangun kemandirian ekonomi dan politik tanpa memerlukan bantuan sedikit pun dari negara-negara Barat.

Aspek lain yang menjadikan Habibie bukan termasuk kategori pemimpin yang baik dalam perspektif Islam, dapat dilihat dari kiprahnya selama ini. Ia sangat lemah dan nyaris tak punya 'izzah terhadap tekanan luar, yaitu konspirasi global bangsa-bangsa imperialis Barat untuk memberangus Islam. Sehingga, terkesan ia terlalu manut, menuruti apa saja yang mereka diktekan. Kasus Timor-Timur dengan semua rentetannya adalah contoh yang amat kasat mata. Ia malah seperti kikuk dan merasa minder diposisikan sebagai muslim fundamentalis oleh pihak yang menjadi lawannya dan melakukan serangan terhadapnya. Bahkan ketika terjadi insiden-insiden yang mengguncangkan umat Islam seperti tragedi Banyuwangi, Aceh, Ambon, dan selainnya, termasuk keinginan sebahagian kelompok untuk membuka kembali tragedi Priok, Habibie tak mampu berbuat sesuatu dan tidak melakukan pembelaan yang berarti bagi kemaslahatan umat.

Akan halnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak pula tergolong pemimpin yang sanggup membawa citra kemuliaan dan kejayaan Islam. Sebagian ulama sepuh pun meragukannya, di antaranya karena sepak terjang dia selama ini. Gus Dur adalah orang yang sangat-sangat dekat dengan kelompok orang yang amat memusuhi Islam dan kaum muslimin. Ia pernah dinobatkan sebagai Presiden Konferensi Dunia bagi Agama dan Perdamaian, yang sangat sinkretis. Ia juga termasuk anggota Dewan Pendiri Shimon Peres Peace Center, yang tulen Yahudi. Dan masih ada hal-hal lain yang irrelevan dengan kemaslahatan Islam.

Mengenai kandidat ketiga, maka tidak ada jalan kebaikan sedikitpun bagi orang-orang muslim untuk mengangkat Mega sebagai kepala negara. Sebab, selain karena kurang kapabel, seperti dirasakan oleh banyak pengamat, ia dikelilingi oleh orang-orang yang buruk itikad dan tak terpuji perangainya. Lebih dari itu, ia sendiri tidak bisa disebut sebagai orang yang adil dan ahlut taqwa. Seorang wanita yang bertaqwa akan memahami dan mentaati Rasulullah SAW ketika beliau bersabda:

"Sesekali tiada akan pernah jaya dan mulia suatu kaum yang mengangkat seorang wanita sebagai pemimpinnya". (HR. Abi Bakrah).

Sehingga, ia tak akan nekat menjadi kepala negara meskipun banyak pihak yang mendesaknya. Kecuali, apabila ia berada dalam sebuah komunitas wanita, dan lelaki yang ada di sana adalah dari kalangan jompo dan idiot.

Khatimah

Sesungguhnya kebaikan rakyat suatu negeri dalam perjalanannya mencapai kejayaan banyak ditentukan oleh sikap pemimpinnya yang baik dan bertindak adil. Dan sejarah menunjukkan bahwa kemakmuran dan kemuliaan hidup umat ini justru dicapai dan terjadi di masa kekuasaan-kekuasaan Islam dahulu. Sayangnya kenyataan ini tidak disadari oleh kebanyakan kaum muslim saat ini.

Dalam pada itu, munculnya pemimpin yang buruk dan bertindak kejam terhadap rakyatnya, juga terjadinya krisis kepemimpinan yang kini melanda, merupakan suatu bala bagi umat. Bala itu telah berkembang menjadi derita dan kehinaan.

Hanya pemimpin yang selalu menyadari akan amanah kepemimpinannya, ia sangat memperhatikan kepentingan urusan rakyatnya. Ia akan bekerja keras mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keluhuran martabat negara di hadapan bangsa lain. Ia pun mencintai rakyatnya dan gemar berdoa demi kebaikan bersama. Semua itu akan berhulu dari kehidupan Islam, dan memang kebaikan itu hanya ada pada Islam.

LOWONGAN

Sebuah Pondok Pesantren Agribisnis di Jawa Tengah membutuhkan :

1. Direktur Pondok Pesantren (DP)

Pria berusia maksimal 40 thn. S-1. Berjiwa pemimpin, mampu mengarahkan dan memotivasi bawahan. Pernah tinggal/memahami kehidupan pesantren. Berjiwa wirausaha. Relasi luas.

2. Guru bidang keahlian Hortikultura (PH), Peternakan (PP), Perikanan (PPI), Pasca Panen (PPN), Agama (PA)

Pria berusia maksimal 35 thn. S-1. Pengalaman mengajar di bidangnya minimal satu tahun. Berjiwa wirausaha. Berpengalaman mengelola usaha.

3. Staf Keuangan (SK)

Pria berusia maksimal 35 thn. Pendidikan minimal D-3. Memahami aspek pembukuan dan keuangan.

4. Staf Data Base (SDB)

Pria berusia maksimal 30 thn. S-1. Disukai dari jurusan statistik.

5. Sekretaris Umum (SU)

Pria berusia maksimal 30 thn. S-1 Manajemen. Berjiwa pemimpin. Memiliki rasa tepa-selira yang tinggi.

Persyaratan Umum : Profesional berhati santri

Lamaran dilampiri CV, foto 4x6 (2 buah), Daftar Riwayat Hidup, foto copy Ijazah terakhir dan transkrip akademik.

Lamaran dikirimkan ke : PO BOX 2134 / SLTP 57154-A, SOLO