Edisi 076

INIKAH JALAN KEBAIKAN BAGI UMAT ?

Eksistensi umat Islam Indonesia seringkali dihadapkan pada keadaan bahaya dan ancaman yang serius. Ini sama sekali bukan ungkapan hasutan atau provokasi hampa tanpa makna. Melainkan, sebuah tausiyah kepada umat agar mereka menyadari persoalan yang tengah terjadi dan akibat-akibat yang bakal menimpa mereka apabila mengabaikannya. Persoalan yang terjadi bukan sekadar apa yang telah dihasilkan oleh Sidang Umum MPR berupa ketetapan-ketetapan dan tokoh yang terpilih sebagai presiden. Jauh di balik itu adalah menyangkut keutuhan dan persatuan umat Islam Indonesia, sekaligus keutuhan dan keselamatan negaranya dari kehancuran.

Meskipun Negara Kesatuan RI tidak bisa disebut sebagai Negara Islam perdefinisi (berdasarkan tinjauan syar'i), namun secara sosio-historis Indonesia adalah kumpulan dari kesultanan-kesultanan Islam yang berada di dalam naungan Khilafah Utsmaniyah de facto. Di sana telah terjadi proses identifikasi bahwa Indonesia adalah Islam, dan Islam memberi nilai bagi Indonesia. Hal ini karena para 'pini sepuh' bangsa Indonesia dahulu, atas kesadarannya sendiri telah memilih dan memeluk Islam dengan meninggalkan atau melepas agama dan kepercayaan mereka sebelumnya. Selanjut itu, telah pula berdiri kekuasaan Islam melalui kesultanan-kesultanan yang banyak berdiri di berbagai belahan negeri, jauh sebelum datangnya kaum kolonial. Kehadiran bangsa kolonial itu justru dipandang sebagai biang kerusakan yang mendapat perlawanan dari penduduk muslim di sepanjang waktu dan tempat. Nilai-nilai Islam telah tertanam dan terpola dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, Islam telah menjadi jiwa yang memberi keniscayaan hidup sekaligus harkat diri yang pada perkembangannya telah menjelma sebagai kekuatan ideologis. Kini, Indonesia telah menjadi negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

Akan tetapi dalam realitas politik kontemporer yang tampak pada proses penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sejak pasca kemerdekaan hingga akhir masa Orde Baru, umat Islam tidak punya peran yang dominan dan signifikan. Dalam pada itu, pengaruh Barat yang notabene imperialis, sangat kuat dan dominan, yang diperankan dengan baik oleh para pengagum Barat dan antek-anteknya. Selama kurun itu telah terjadi proses marjinalisasi atau de-Islamisasi yang secara sadar, terencana, dan sistematis dilakukan oleh para elit penguasa. Umat Islam dan lebih khusus para tokohnya mendapat perlakuan diskriminatif, isolatif, dan represif. Proses marjinalisasi berlangsung di berbagai bidang kehidupan: politik-ekonomi-sosial. Berbagai perlakuan sangat buruk dan keji harus dirasakan oleh umat yang kerap menjadi sasaran fitnah, obyek rekayasa politik yang mendatangkan kerugian sangat besar, baik secara fisik maupun psikis. Semua itu menggoreskan kepedihan yang dalam dan kesan yang teramat pahit.

Peta Persoalan Umat Hari Ini

Melalui perjuangan panjang yang sangat berat dan menguras energi, umat akhirnya cukup dapat mengatasi ranjau-ranjau marjinalisasi dan gelombang sekularisasi. Kekuatan umat berangsur pulih terutama karena tumbuhnya militansi Islam dan kesadaran ideologis di kalangan generasi mudanya. Namun, ketika umat harus sedikit bernapas lega dari keterhimpitannya selama ini, ternyata muncul ancaman yang lebih dahsyat lagi. Kali ini datang dari dua arah yang serentak bekerja sama melakukan serangan. Pertama adalah dari kalangan phobia Islam domestik, dan kedua dari konspirasi kafir imperialis di bawah komando AS. Kedua kelompok ini tampak gundah dan sangat takut terhadap perubahan kondisi dan kemajuan yang dicapai oleh umat muslim terakhir ini. Ketakutan ini telah mendorong mereka melakukan makar bersama untuk menghancurkan umat.

Mereka melakukan serangan melalui tahapan-tahapan yang telah dirancang secara matang dan ditempuh secara simultan. Bermula dengan menciptakan krisis ekonomi untuk membuka jalan bagi terciptanya instabilitas ekonomi negara (makro) yang niscaya berdampak sangat luas pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Tahap ini telah dimulai sejak masa-masa akhir pemerintahan Soeharto, dan itu menjadi faktor utama kejatuhannya, kemudian terus berlanjut pada masa Habibie. Meskipun Habibie berusaha mengatasinya, tetapi tidak memberikan hasil yang signifikan. Hal tersebut mereka lakukan karena akhir pemerintahan Soeharto dan lebih-lebih pemerintah Habibie dipresentasikan sebagai kekuasaan berbasis Islam yang dianggap dapat menjadi ancaman bagi hegemoni Barat kapitalis, terlebih AS.

Seiring itu, mereka membuat skenario untuk menciptakan berbagai kerusuhan dengan meletupkan konflik-konflik horizontal sehingga timbul goncangan sosial di tengah masyarakat. Tragedi Banyuwangi, Ketapang, Dili, Sambas, Semanggi I dan II, termasuk dalam skenario ini. Mereka juga memasuki Aceh, Ambon, Irja, dan Timor Timur untuk mempertinggi eskalasi konflik dan goncangan dengan target tertentu agar lebih mudah dibawa ke gelanggang internasional (PBB).

Tahap berikutnya, mereka melakukan manuver-manuver politik dengan melakukan tekanan-tekanan, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan krisis kepercayaan terhadap pemerintah Indonesia. Pelanggaran HAM, demokratisasi, dan pemberantasan KKN merupakan isu yang sangat efektif guna memetik target politik mereka.

Selain itu, mereka pun terus-menerus melakukan upaya untuk menjauhkan atau membuat jarak antara militer dengan penguasa (Habibie) dan kelompok Islam. Sebab, kedekatan hubungan antara TNI-Polri dengan Habibie dan pada runtutannya adalah harmonisasi hubungan TNI-Polri dengan umat Islam akan mengganggu dan menyulitkan gerak mereka. Teriak mereka yang menyoal peran politik TNI-Polri serta legalitas yuridis yang membenarkan TNI-Polri mengambil tindakan tertentu dalam situasi tertentu (kasus RUU PKB) lebih sebagai upaya mencapai maksud tersebut.

Itulah grand strategy yang mereka tempuh untuk menjatuhkan Indonesia dalam rangka mematikan eksistensi penguasa dengan warna Islam dan umat Islam sekaligus. Secara garis besar, strategi tersebut dituangkan dalam langkah-langkah: menciptakan krisis ekonomi, merekayasa tragedi dan kerusuhan, menimbulkan huru-hara politik, membersihkan anasir-anasir Islam yang berpengaruh dalam pemerintahan dan militer, dan pada akhirnya adalah menciptakan penguasa baru guna memimpin Indonesia baru yang sepenuhnya loyal terhadap Barat, khususnya AS. Adapun pelaku yang berperan dalam menjalankan strategi dimaksud, dari pihak luar adalah Singapura, Australia, Portugal, Bank Dunia, dan IMF, di bawah koordinasi AS. Sedangkan dari dalam yaitu pelaku bisnis (pada umumnya konglomerat non-pri), kalangan profesional dan praktisi, serta LSM dengan back-up kuat dari media massa yang mereka kuasai. Mereka adalah para phobia Islam yang acap bersuara lantang sebagai pembela kepentingan dan hak-hak rakyat. Padahal sejatinya mereka tak ubahnya sebagai pengkhianat yang bekerja sebagai kacung-kacung kafir imperialis.

Langkah Penentuan dan Peran Para Oportunis

Para phobia Islam berada dalam satu barisan di bawah satu partai politik yang anggota-anggota dan kelompok pendukung setianya, mayoritas orang-orang yang meyakini sebagai 'anak-anak Tuhan'. Mereka berjuang habis-habisan sejak bendera dikibarkan, tanda dimulai kompetisi, sekaligus langkah awal ditempuhnya grand strategy di atas. Ketika tanda-tanda kekalahan tampak oleh mereka, yang justru setelah dicapai keberhasilan pada awalnya, mereka melakukan tekanan yang luar biasa seraya mengancam akan melakukan pemogokan massal. Sehingga timbul suasana ketakutan dan kengerian di tengah masyarakat. Tak pelak usaha mereka seperti itu membawa pengaruh terhadap jalannya persidangan di SU MPR.

Bagi mereka tidak ada kosakata lain selain harus menang dan tokoh pemimpinnya menduduki tampuk kekuasaan tertinggi. Bahkan melakukan ancaman melakukan revolusi berdarah. "Korban seribu, dua ribu orang tidak menjadi masalah asal revolusi berjalan", gertak salah seorang tokohnya. Dan, setelah pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh Sidang Paripurna MPR, disusul pengunduran diri Habibie sebagai capres, mereka semakin yakin akan menduduki singgasana.

Hanya saja, yang kemudian terpilih menjadi presiden adalah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Kita masih ingin melihat perkembangan tentang manuver yang mereka lakukan. Sedang naiknya Gus Dur itu sendiri patut diajukan pertanyaan, inikah jalan kebaikan bagi umat? Ataukah, sebuah persoalan baru yang bakal dihadapi umat?

Sementara itu, ada fenomena keprihatinan lagi yakni tentang sikap kalangan oportunis. Mereka selalu mengambil kesempatan untuk kepentingan dirinya di tengah situasi yang serba sulit. Sepak terjang mereka lebih banyak mempersulit perjuangan umat dalam arti sesungguhnya. Sehingga, mereka tidak melakukan sesuatu yang semestinya mendatangkan maslahat bagi umat, malah memperkeruh keadaan menjadi tidak menentu.

Hari-hari terakhir ini, di puncak ketegangan masyarakat dan para wakil rakyat dalam SU MPR menentukan seorang kepala negara, kita menyaksikan gerak-gerik para oportunis tersebut. Mereka adalah tokoh-tokoh dari kalangan umat yang bersedia melakukan tindakan tertentu demi membela dan melicinkan jalan mencapai tujuan dari kelompok tertentu yang jauh dari kepentingan Islam. Mereka mengambil keuntungan berupa kedudukan atau kekayaan tertentu di tengah penderitaan umat. Kiprahnya mengandung resiko terjadinya konflik antar kelompok. Betapa mereka tidak menyadari atau mungkin terlalu berani, bahwa tindakan mereka sama artinya dengan menjual agama demi dunia; menggadaikan akhirat demi kebanggaan semu duniawi.

Kaum oportunis itu memang bukan monopoli kalangan pejabat dan politisi yang rentan suap. Tetapi menimpa pula orang-orang yang disebut kyai dari kalangan pesantren. Dan, yang terakhir inilah yang lebih-lebih memprihatinkan pemeluk Islam sejati.

Di balik semua itu, justru umat Islam Indonesia agaknya kembali memasuki hari-hari yang sangat berat dan perjuangan yang sulit untuk keluar dari perangkap yang mematikan. Yaitu, jerat-jerat kafir kapitalis yang merambah ke berbagai kalangan. Allahumma rabbana, teguhkanlah kami untuk terus berjuang di jalan-Mu dan berilah kami pertolongan dalam menghadapi dan menghancurkan musuh-musuh-Mu.

Kepada Politisi, TNI, dan Polri

Para politisi muslim seyogyanya menyadari hakikat seluruh permainan dalam kompetisi itu. Meskipun kami tahu bahwa Anda-Anda telah berlaku jujur untuk mengikuti rule of the game yang telah menjadi kesepakatan. Tetapi, semua itu tidak ada artinya sama sekali. Sebab, kalangan nasionalis-sekuler dan katolik-kristen yang menjadi lawan Anda pada dasarnya adalah orang-orang yang selalu bertindak curang dan tidak akan pernah berlaku jujur, bila kejujuran itu mendatangkan kerugian bagi mereka. Lagipula, lawan yang sebenarnya Anda hadapi bukanlah semata mereka yang berada dalam gelanggang. Mereka hanyalah para pelaku yang menjalankan dan mengikuti komando bos-bos mereka di luar gelanggang. Tidak lain kaum kapitalis Barat.

Falsafah yang terkandung dalam rule of the game (baca: demokrasi) justru menolak kemenangan menjadi milik Anda yang muslim. Dan itu menjadi perangkap mereka untuk menjerat kita. Sehingga, dengan itu mustahil Anda dapat memenangkan pertandingan. Artinya, bila Anda berjuang dalam jalur demokrasi, sama sekali tidak memberikan keniscayaan kepada Anda untuk memenangkan Islam. Tidakkah menjadi cukup pelajaran bagi Anda sewaktu Masyumi tengah berada di ambang kemenangan lalu digagalkan dengan pembubaran institusionalnya. juga kemengan saudara kita FIS di Aljazair yang kemudian dibatalkan serta dijegalnya kekuasaan Necmettin Erbakan (Turki) yang hampir serupa dengan apa yang dialami B.J. Habibie. Semuanya dimainkan atas nama demokrasi. Maka, yakinlah bahwa demokrasi adalah jalan terjal berliku yang membawa pada kematian umat. Perjuangan di dalamnya adalah kesia-siaan yang tak ada pahala sedikitpun di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Dari itu, berjuanglah di atas jalan (metoda) yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah jalan kita menghindar dari kesia-siaan. Qur'an suci mengingatkan:

"Siapa saja yang mengikuti agama selain Islam, maka sekali-sekali tidaklah akan diterima daripadanya, dan ia kelak di akhirat tergolong orang-orang yang rugi" (QS. Ali Imran 85).

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) inilah jalan-Ku yang lurus, maka tempuhlah ia dan jangan menempuh jalan-jalan lain karena jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari jalan Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu sekalian bertaqwa" (QS Al-An'aam 153).

Kepada saudara-saudara kami yang berada di TNI dan Polri, arifilah kiranya seruan dan ajakan kami. Sesungguhnya Anda-Anda adalah saudara-saudara kandung kami, putra-putri yang terlahir dari rahim umat Islam yang mulia. Kenanglah sejarah kelahiranmu (TRI) di tengah perjuangan bunda pertiwi mengusir bangsa-bangsa kafir penjajah. Bila dalam pertumbuhanmu di kemudian hari, pernah diasuh dan diajar oleh "tuan-tuan penguasa tanah", tak sepatutnya Anda lupa akan asal-usul dan berlaku bagai anak-anak durhaka. Sebab, Anda adalah cucu-cucu Diponegoro, Imam Bonjol, Cik Di Tiro, Hasanuddin -pahlawan-pahlawan Islam yang gagah berani. Anda juga sebagai anak-anak Soedirman -ksatria muslim yang santun dan shalih.

Oleh karena itu, marilah kita kembali sebadi sebagai saudara sekandung. Kita melangkah bersama mewujudkan dharma bakti bagi kejayaan dan kemuliaan martabat negeri di jalan Islam yang suci. sebab, segala perjuangan hidup, pengorbanan dan jerih payah yang kita curahkan tidak bernilai sedikitpun di sisi Allah serta tidak dapat menyelamatkan diri kita dari siksanya kelak di akhirat. Kecuali, apabila kita konsisten di atas jalan Islam. Pengalaman sangat pahit yang pernah Anda alami selama keluar dari pangkuan umat cukup kiranya mejadi pelajaran berharga. Anda tidak mendapat kemuliaan, kehilangan kehormatan, harga diri dan martabat, lebih karena Anda telah berpaling dari pangkuan Islam.

Ayo kita bersatu, bahu-membahu mengemban tugas masa depan yang sangat berat. Kita harus senantiasa siaga dengan senjata di tangan untuk menghadapi setiap makar bangsa-bangsa imperialis beserta kaki tangannya yang berkehendak mengangkangi dan mencengkeram atau merampas negeri kita yang kaya ini. Tidak peduli siapakah itu Aussiegila ataupun si Anak Setan (AS). Kita sambut seruan Allah:

"Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya...." (QS. Al-Anfaal 60).

Khatimah

Jalan kebaikan bagi umat tiada lain hanyalah berpegang teguh pada ajaran agamanya, dengan menjalankan syariat Islam yang penuh rahmat. Sebab, seluruh persoalan dan berbagai krisis yang melanda, pemecahannya secara benar dan mendasar adalah dengan merealisasikan hukum-hukum yang terpancar di dalamnya.

Demokrasi sama sekali bukan jalan kebaikan bagi umat untuk menyelesaikan masalah dan mengentaskan umat dari keterpurukan yang menistakan. Justru, demokrasi adalah jalan terjal, licin dan berliku, yang niscaya membawa umat menuju jurang kehancuran.

Terpilihnya Abdurahman Wahid sebagai presiden yang konon secara demokratis, karenanya, belum menjadi pertanda kebaikan bagi umat Islam sejatinya. Sebab, yang menentukan, dan mengarahkan seseorang maupun masyarakat adalah aqidah/ideologi serta sistem (syariat) yang dianut dan diterapkan secara praktis di tengah-tengah masyarakat. Maka selama aktivitas negara dan masyarakat tidak ditakar dengan aqidah/ideologi Islam dan dibingkai dengan sistem/syariat Islam -siapapun orangnya yang berkuasa- hanya akan berujung pada kenestapaan.

KAJIAN ISLAM TEMATIK

NARKOBA DAN GENERASI ISLAM MASA DEPAN

Pembicara:

Ustadz Muhammad Bakri, BA

Ustadz Ade Marfudin, BE

Ustadz Ir. Muh. Siddiq Al-Jawi

Waktu: Minggu, 24 Oktober 1999,

Pukul 09.00 - 12.00 Wib

Tempat: Masjid Al-Fath, Binong Permai

Blok B, Curug, Tangerang

Penyelenggara:
LPPD MABDA' ISLAM & DKM AL-FATH