Edisi 077
MEMBANGUN BUDAYA KRITIS
Terpilihnya Ketua PBNU KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai presiden RI ke-4 merupakan fenomena menarik bagi umat Islam dan pergerakan Islam di Indonesia. Di satu sisi Gus Dur yang dijagokan oleh kaukus "Poros Tengah" itu adalah harapan partai-partai Islam dan berbasis massa Islam yang kurang sreg dengan capres dari PDIP, Megawati. Dan mayoritas umat Islam pun tampak sangat berharap agar umat Islam yang selama ini terpinggirkan bisa mendapatkan kehidupan yang layak di negeri mereka sendiri. Namun di sisi lain, Gus Dur yang berduet dengan Megawati sebagai wapres adalah harapan dan dambaan kelompok nasionalis. Sekedar menyebut contoh, tokoh sepuh PNI Ruslan Abdul Ghani dalam wawancara BBC (24 Okt 1999), menyatakan Mega didukung oleh orang-orang nasionalis dari kalangan Islam, Kristen, maupun yang lain, dan Gus Dur didukung oleh kelompok Islam yang tidak radikal, tidak ekstrim, dan tidak fundamentalis, artinya orang-orang Islam yang nasionalis. Dan harapan kepada Gus Dur yang dikenal humanis ini tampaknya juga diungkapkan oleh kelompok yang selama ini dianggap sempalan dari Islam, yakni Islam Jama'ah (LDII) dan Jemaat Ahmadiyyah yang tidak ketinggalan menyampaikan ucapan selamat di harian Republika.
Hanya saja, patut diingat bahwa tampilnya Gus Dur bersama Mega dan kabinet barunya dalam memimpin pemerintahan Indonesia periode 1999-2004 bukan berarti krisis yang menimpa bangsa muslim terbesar di dunia ini serta-merta selesai. Justru kepemimpinan Gus Dur beserta kabinetnya kali ini menghadapi permasalahan yang sangat berat. Oleh karena itu, diperlukan kearifan komponen bangsa, wabil khusus para ulama dan cendekiawan untuk menempatkan pemerintah sebagai pihak yang perlu dikawal dengan muhasabah (kontrol), kritik dan nasihat, dengan ide-ide dan pemecahan Islami, dengan amar ma'ruf nahi mungkar. Adalah kesalahan besar kalau ada yang menempatkan Gus Dur sebagai Nabi Khidlir yang ma'shum. Adalah berlebihan kalau umat terlalu berharap dan menyerahkan nasib mereka kepada Gus Dur dan kabinetnya. Bahkan Gus Dur sendiri tidak menginginkan hal itu. Malah beliau suka kalau ada yang bereaksi keras atas susunan kabinet yang baru-baru ini diumumkan oleh Wapres Megawati.
Bagaimana sesungguhnya status kritik kepada penguasa dalam ajaran Islam? Siapa yang melakukannya? Untuk tujuan apa? Dan apa standarnya? Tulisan ini mencoba menguraikannya.
BUDAYA KRITIS TERHADAP PENGUASA
Islam adalah agama sempurna yang terdiri atas sistem kepercayaan (aqidah) dan sistem peraturan (syari'at), baik peraturan mengenai hubungan seorang insan dengan Khalik-nya, hubungannya dengan dirinya sendiri, maupun hubungannya dengan anak manusia lainnya. Oleh karena itu, tidak tepat menyamakan agama Islam dengan agama lainnya yang hanya mengatur hubungan manusia secara pribadi dengan Tuhannya. Sebab Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga mengatur masalah akhlak, pakaian, makanan, minuman, pendidikan, muamalat ekonomi, politik, pemerintahan, dan hubungan antarnegara. Bahkan dalam masalah ibadah, Islam menetapkan bahwa negara harus menjamin pelaksanaan peribadatan itu, dengan menerapkan hukum ta'zir atas kaum muslimin yang lalai dalam pelaksanaan kewajiban ibadah, tentunya setelah memberikan pendidikan, penyuluhan, dan pengarahan kepada masyarakat.
Islam mengajarkan bahwa seluruh aktivitas muslim tak lepas dari kehidupan sosialnya sekalipun dia memiliki kehidupan pribadinya. Dan agar kehidupan anggota masyarakat senantiasa dalam celupan Islam (baik agama mereka Islam atau bukan), maka budaya amar ma'ruf nahi mungkar dan saling menasihati untuk menetapi kebenaran dikembangkan dalam konteks kewajiban agama dan kemaslahatan kehidupan sosial. Dan kewajiban negara adalah menerapkan peraturan Islam guna mengatur interaksi antar anggota masyarakat. Dalam konteks inilah diperlukan muhasabah alias kritik dan kontrol kepada penguasa.
Dan budaya muhasabah ini telah dicontohkan dalam kehidupan Rasulullah saw. Para shahabat r.a. sebagai rakyat pernah melakukan muhasabah kepada kebijakan pemerintahan Rasulullah saw. dan para Khulafaur Rasyidin. Rasulullah saw, pernah dinasihati Hubbab bin Mundzir dalam menentukan posisi pasukan di medan perang Badar. Pada saat ditandatangani perjanjian Hudaibiyah kaum muslimin menampakkan ketidaksetujuan mereka. Sedang seusai perang Hunain, para shahabat Anshar menampakkan rasa kecewa melihat Rasulullah saw memberikan ghanimah kepada para pemimpin Quraisy yang baru masuk Islam (al muallafatu qulubuhum), tanpa memberikan satu bagian pun untuk mereka. Para shahabat mempertanyakan pembagian kain dari Yaman kepada pemerintahan Umar bin Khaththab. Beliau juga pernah diprotes oleh seorang wanita yang menentang kebijakan pembatasan mahar.
Bagaimanakah sikap Rasul saw. dan para Khalifah dalam menghadapi muhasabah yang dilakukan oleh para shahabat yang berstatus sebagai rakyat? Rasulullah menerima pendapat Hubbab lantaran beliau melihat adanya keahlian Hubbab dalam strategi pertempuran. Dalam perang Uhud, beliau saw. menyetujuinya pendapat para shahabat yang menghendaki menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya. Pada perjanjian Hudaibiyah beliau tetap bertahan dalam menghadapi protes para shahabat. Sebab, hukum perjanjian tersebut merupakan wahyu yang baru beliau terima.
Tatkala wanita pemrotes kebijakannya Umar membaca firman Allah SWT:
" maka janganlah kamu mengambil kembali (mahar) dari padanya barang sedikitpun" (QS. An Nisaa 20), maka Khalifah Umar berkata, "Benarlah wanita itu dan sayalah yang keliru" (lihat Abdul Aziz Al Badri, Peran Ulama dan Penguasa). Terhadap pertanyaan tentang pakaian yang dikenakannya, Umar meminta putranya untuk menjelaskan. Ibnu Umar r.a. pun menyatakan bahwa pakaian Umar adalah bagian khalifah ditambah dengan bagiannya yang dihadiahkannya kepada ayahnya (lihat Abdul Aziz Al Badri, idem).Mencermati budaya muhasabah di masa rasul dan para khulafaur rasyidin, para pelaku muhasabah adalah rakyat yang terdiri dari para sahabat terkenal maupun orang yang tidak dikenal. Bahkan orang badui sekalipun pernah menyampaikan wasiat taqwa kepada Khalifah Umar. Di masa kini, di mana banyak partai politik dan ada anggota dewan perwakilan rakyat, maka fungsi dan kewajiban itu sudah semestinya diemban oleh mereka. Allah SWT berfirman:
ÆÌZA ÁÇ ËCË jÄA Å ÆÌÈÄÍË ËjBI ÆËjDÍË jÎA ÓG ÆÌfÍ ÒC ÁÄ ÅNË
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (memeluk Islam) menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntun
g." (QS. Ali Imran 104).Memang, tidak ada amar ma'ruf nahi munkar yang lebih utama dari amar ma'ruf nahi munkar yang dilakukan terhadap pemerintah yang berkuasa menjalankan pemeliharaan urusan umat. Dan tidak ada yang lebih efektif melakukan amar ma'ruf nahi mungkar kepada pemerintah kecuali partai politik. Ini bukan berarti menafikan aktivitas perorangan. Hanya saja sebuah partai politik memiliki kemampuan mengemban tugas lebih kuat daripada perorangan.
Tentu saja motivasi partai politik dalam melakukan muhasabah dan amar ma'ruf nahi mungkar tidak sama dengan motivasi oposisi dalam sistem demokrasi parlementer . Dalam pandangan Islam tidak ada partai pemerintah maupun partai oposisi. Khalifah sebagai kepala negara memerintah secara pribadi mewakili umat secara keseluruhan. Dan partai-partai politik yang ada hanyalah melaksanakan amanat Allah SWT yang terkandung dalam surat Ali Imran di atas. Partai-partai tak memiliki pretensi untuk menjatuhkan dan menggantikan pemerintahan yang sah. Partai-partai itu menjadi pengawal di masyarakat Islam agar sistem kehidupan Islam tetap berlangsung, pemikiran Islam yang murni dan jernih menjadi opini umum masyarakat, perasaan Islam yang luhur menjadi perasaan dan norma umum masyarakat, dan peraturan Islam menjadi pemecah problem-problem yang terjadi dalam interaksi masyarakat. Partai menjaga agar penguasa memelihara terjaminnya urusan dan kemaslahatan masyarakat serta menegakkan sanksi hukum Islam atas pelanggaran-pelanggaran yang nyata terjadi. Dengan demikian kesejahteraan dan keadilan dapat diperoleh dan dirasakan oleh segenap anggota masyarakat, baik muslim maupun non muslim, tanpa pandang bulu.
STANDAR KRITIK
Tentu saja kritik dan saran yang dilayangkan kepada penguasa harus memiliki standar yang jelas. Tanpa standar jelas kritik dan saran tak akan menemui sasaran bahkan cenderung dicurigai dan disalahpahami. Inilah yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat yang menerapkan demokrasi sebagai akibat sangat relatifnya aturan-aturan dan ide-ide serta tolok ukur yang dikembangkan.
Dalam sistem Islam, standar perbuatan bagi tiap anggota masyarakat, baik rakyat maupun penguasa, adalah halal dan haram menurut hukum syari'at Islam. Dengan standar itu, komunikasi antara rakyat dan penguasa bisa dilakukan secara rasional dan seimbang. Rakyat dan penguasa bisa beradu argumentasi dan kalau terjadi dead lock, maka perkaranya bisa diajukan ke Mahkamah Mazhalim, sebuah mahkamah yang memiliki integritas untuk menyelesaikan perkara antara penguasa dan rakyat. Mahkamah inilah yang akan memutuskan pihak mana yang lebih dekat kepada hukum Allah SWT. Allah berfirman:
... jaàA ÂÌÎAË ÉBI ÆÌÄÛM ÁNÄ ÆG ÌmjAË ÉA ÓG ÊËej ÕÏq ÁNkBÄM ÆH
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian."
(QS. An Nisa 59).
Dengan adanya standar kritik dan rujukan yang pasti, maka dialog antara rakyat dan penguasa bisa terjadi secara patut dan konstruktif. Dengan ketepatan argumen Al Qur'an, protes seorang wanita diterima secara gentleman oleh Khalifah Umar. Bahkan khalifah Muawiyyah yang terkenal tidak tahan kritik pun tercatat pernah merespon sebuah kritik pedas dengan cara tepuji. "Tadi Abu Muslim melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaanku, sehingga aku sangat marah kepadanya. Tapi aku ingat bahwa Rasulullah saw bersabda: "Marah itu adalah perbuatan setan dan setan diciptakan dari api. Api itu hanya padam dengan air. Siapa saja di antara kalian sedang marah hendaklah ia segera mandi". Aku sudah mandi, dan memang benar apa yang dikatakan Abu Muslim. Oleh karena itu, siapa saja yang merasa dirugikan, sekarang ia boleh mengambil bantuan dari Baitul Mal" (lihat Abdul Aziz Al Badri, idem).
Dan dalam kasus pemberian harta ghanimah kepada para muallaf Quraisy, Rasul saw. merespon sikap shahabat Anshar dengan sabdanya: "Hai kaum Anshar, apakah kalian jengkel karena tidak menerima sekelumit sampah keduniaan yang tidak ada artinya ? Dengan sampah itu aku hendak menjinakkan satu kaum yang baru saja memeluk Islam? Demi Allah SWT yang nyawaku berada di tangannya, seandainya orang-orang lain berjalan di lereng gunung yang lain aku pasti turut berjalan di lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar. Kalau bukan karena hijrah, tentu aku adalah orang Anshar".
Lalu beliau saw mendoakan mereka dan anak cucu mereka. Mendengar itu, banyak kaum Anshar yang menangis hingga janggut mereka basah oleh air mata. Mereka menjawab "Kami puas bertuhankan Allah SWT dan menerima Rasulullah saw sebagai jatah ghanimah " (lihat Muhammad Al Ghazali, Fiqhus Sirah).
Kini jelaslah petunjuk melakukan muhasabah dan memberikan nasihat kepada penguasa dalam perspektif Islam. Oleh karena itu, tidak diperkenankan seorang muslim asal kritik dan asal bicara. Sebab, bicaranya juga dikontrol oleh malaikat, sebagaimana firman-Nya:
"Tidaklah meluncur suatu ucapan yang diucapkannya melainkan di dekatnya ada malaikat yang mengawasinya" (QS. Qaaf 18).
Oleh karena itu, tak bisa dibenarkan misalnya apa yang dilakukan oleh sebuah grup lawak di Jakarta yang melawakkan kelemahan kesehatan mata Gus Dur, sebab masalah itu tidak termasuk dalam perkara yang menggugurkan syarat seorang pemimpin, yakni mampu melaksanakan tugas. Lagi pula Imam Muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Abu Dzar r.a. yang mengatakan:
AjÞA f AfJ ÆB ÆGË ©ÎCË ©ÀmC ÆC ÁmË ÉÎ ÉA Óu ÏÎa ÏÃBuËC
"Kekasihku (Muhammad saw.) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan mentaati (pemimpin) walaupun dia seorang budak yang cacat anggota tubuhnya."
(HR. Muslim dari Abu Dzar)Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda:
"Jika dikuasakan kepada kalian seorang hamba yang cacat lagi hitam, lalu dia memimpin kalian dengan kitabullah, maka dengan dan taatlah kalian kepadanya."
Hadits tersebut, justru tidak mempersoalkan adanya cacat tubuh seorang penguasa selama ia memerintah dengan kitabullah. Jadi, sekalipun seorang pemimpin sehat wal awiat secara sempurna, manakala tidak memerintah dengan hukum yang bersumber dari kitabullah, Rasul tidak memerintahkan kita mentaatinya.
KHATIMAH
Dalam merespon kebijakan Presiden Gus Dur justru yang patut kita persoalkan dan diskusikan adalah kebijakan Gus Dur membuka hubungan perdagangan dengan Israel. Secara faktual maupun syar'i harus kita tinjau. Apakah keuntungannya berdagang dengan negeri kecil berpenduduk sedikit seperti Israel. Surpluskah perdagangan kita nantinya, atau bahkan defisit? Kenapa tidak lebih baik menjalin dan meningkatkan hubungan dagang dengan negeri-negeri muslim di Timteng yang total penduduknya lebih besar dari Indonesia? Dan secara syar'i, layakkah negeri Islam seperti Indonesia ini menjalin hubungan dagang dengan suatu negeri yang merampas tanah dan hak hidup bangsa muslim Palestina? Bukankah mereka telah menjadikan bangsa muslim Palestina terusir dari kampung halaman mereka. Bukankah Allah SWT berfirman:
"Usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian..." (QS. Al Baqarah 191).
Juga kementrian negara urusan HAM, apa perlunya? Kalau untuk mengatasi kezhaliman dari pejabat pemerintah, sipil maupun militer, atas rakyat , kenapa tidak dibentuk saja mahkamah khusus menangani kezhaliman pejabat (mahkamah mazhalim) yang secara teknis dan praktis mudah dilaksanakan.
Masalah penyelesaian krisis ekonomi dengan pinjaman IMF, betulkah itu pemecahan? Bukankah penyebab krisis adalah utang luar negeri yang penuh konsesi dan mengandung riba?. Apakah kekayaan alam kita tidak bisa kita eksploitasi secara mandiri agar pembangunan tidak penuh ketergantungan? Dan untuk memberantas virus KKN dan mencegah kemunculannya kembali, tingkatkan gaji pegawai negeri dan bebaskan biaya admintrasi untuk pelayanan umum. Untuk menumbuhkan industri dan perdagangan rakyat yang kuat --belajar dari pertumbuhan perusahaan pers, bebaskan usaha rakyat dari segala bentuk peizinan. Untuk menghasilkan SDM berkualitas lahir batin, bebaskan rakyat dari beban biaya pendidikan dan kesehatan. Untuk membiayai itu, kekayaan hutan, laut, dan pertambangan harus dikelola oleh BUMN sebagai pengemban amanat kesejahteraan rakyat. Jangan malah dilakukan privatisasi yang hanya mensejahterakan segelintir orang kaya pemegang saham.
Tentu, masih banyak agenda muhasabah yang perlu disampaikan kepada presiden Gus Dur dan kabinetnya. Dan budaya kritik dengan penyampaian solusi ide-ide segar yang Islami sudah saatnya kita tumbuhkan di negeri yang dipimpin seorang kyai haji ini. Wallahu muwaffiq ila aqwamit thariiq!n