Edisi 080

MENINJAU MASA DEPAN ACEH

Aceh menuntut referendum. Tampaknya, referendum bagi masyarakat Aceh adalah suatu point of no return, keharusan yang tak bisa ditawar lagi. Dan referendum bagi sebagian besar mereka berarti merdeka, lepas dari Indonesia.

Tentu ini bukan masalah sepele dan pemerintah Gus Dur tidak boleh memandang dengan sebelah mata. Sebab jika salah menentukan kebijakan, seperti yang selama ini terjadi, bukan tidak mungkin akan terjadi perang besar antara bangsa Aceh dengan bangsa Indonesia. Muncul anggapan pada sebagian masyarakat Aceh, khususnya elitis GAM, bahwa Indonesia adalah Jawa —yang sejauh ini menjajah mereka. Kondisi psikologis rakyat Aceh tengah berada pada tingkat penolakan yang tinggi terhadap Jakarta dan siap menangung konsekuensi apa pun bila harus berseteru dengan Jakarta. Sehingga bukan mustahil terjadi seperti apa yang dialami Timor Timur, lepas dari wilayah kesatuan Indonesia menjadi negara bonsai. Dan lepasnya Aceh, memberi keniscayaan terlepasnya wilayah seperti Irian Jaya, Maluku, Sulawesi, Kalimantan Timur, Riau, yang gejala ke arah itu saat ini bukan tidak ada. Oleh karena itu, seluruh bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini harus peduli dan ikut bertanggungjawab untuk memikirkan masalah Aceh, memahami akar masalahnya, dan memberikan solusi yang tepat agar segala kekhawatiran di atas tidak terjadi.

Mencermati Aceh, kita dapat menangkap akar masalahnya yakni ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat di Jakarta. Selama ini, sejak Indonesia menerima penyerahan kedaulatan dari Belanda dalam Konferensi Meja Bundar di Denhaag tahun 1949 —di sana Aceh diminta oleh Muhammad Hatta bergabung dengan RI— kebijakan pemerintah pusat, yang sudah mendapatkan kesetiaan dan bahkan bantuan keuangan dari wilayah Aceh ternyata sangat mengecewakan mereka, khususnya mengenai penerapan syari’at Islam di wilayah serambi Makkah.

Maka rakyat Aceh pun bergolak dan di bawah pimpinan Panglima Tengku Daud Beureuh, Wilayah Aceh pada tahun 1953 memisahkan diri dari RI dan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamasikan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Pemerintah pusat pun memerangi pasukan DI/TII Daud Beureuh. Lalu Pemerintah pusat membujuk agar tentara DI/TII untuk turun gunung dengan janji akan menerapkan syari’at Islam. Tapi diingkari lagi. Bahkan hingga masa Orde Baru, Aceh yang mendapatkan predikat Daerah Istimewa ternyata tak pernah dipenuhi tuntutan dan hak-hak rakyatnya, lebih-lebih penerapan syari’at Islam!

Lalu muncullah Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Berbeda dengan DI/TII yang masih memiliki komitmen terhadap negara kesatuan —asal diberi otoritas menerapkan syari’at Islam— GAM memiliki tujuan yang bercorak separatis, memisahkan diri dari kedaulatan RI. Menurut penuturan orang-orang Aceh, GAM sebenarnya tidak terlalu mendapat apresiasi dari rakyat. Namun penanganan pemerintah pusat, khususnya setelah Aceh diberi status sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), telah menjadikan keadaan semakin carut-marut. Kezhaliman merajalela. Pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, penindasan, telah meninggakan trauma bagi masyarakat Aceh. Maka, ketika tiba masa reformasi, rakyat Aceh yang selama ini tertindas, kemudian mereka menggeliat bangkit menuntut hak-hak hidup mereka, kesejahteraan dan keadilan. Dalam suasana, seperti ini, GAM yang semula kurang populer di masyarakat, menemukan momentumnya untuk mendesakkan tujuan mereka: membentuk Aceh Merdeka!

Namun persoalannya, apakah dengan memisahkan diri dari kedaulatan RI, rakyat Aceh akan memasuki kehidupan yang lebih baik dan benar-benar bebas dari kezhaliman? Apakah tentara GAM yang dipimpin oleh Hasan Tiro yang selama ini berdiam di negeri kafir Swedia, benar-benar hendak melindungi rakyat Aceh yang mukmin? Benarkah Hasan Tiro seorang pemimpin muslim yang sungguh-sungguh ingin menerapkan Syari’at Islam? Sebab jangan sampai, rakyat Aceh yang muslim itu tertipu kembali seperti mereka tertipu oleh Soekarno dan Soeharto. Apakah, di balik gemuruh semangat tuntutan referendum bangsa Aceh tidak ada tangan-tangan asing dari negara adidaya yang ikut bermain? Jangan sampai bangsa Aceh lepas dari kesatuan wilayah negeri muslim Indonesia, masuk dalam perangkap negara adidaya asing yang kufur, seperti halnya Timor Timur! Itulah pertanyaan-pertanyaan yang harus dicermati oleh bangsa Aceh dan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim ini.

WASPADAILAH CAMPUR TANGAN ASING

Harus selalu menjadi kesadaran seluruh bangsa Indonesia, termasuk bangsa Aceh, bahwa segala peristiwa politik pasca lengser-nya Soeharto tentulah tidak lepas dari siapa yang bermain di balik jatuhnya penguasa orde baru itu.

Kita mengetahui bahwa jatuhnya rezim Soeharto —sebagaimana dulu naiknya— tidak lepas dari konspirasi politik yang dimainkan oleh negara adidaya Amerika Serikat yang kala itu melakukan provokasi dengan menyiagakan kapal induk Belleau Wood dengan 2000 personil marinirnya di laut Cina Selatan (Kompas, 21/5/1998). Para analis politik dari berbagai negara pun membenarkan hal itu. Trairat Soontornprapat dalam Daily News, Thailand, menulis bahwa CIA memainkan peranan di balik gejolak politik di Indonesia. The Guardian menyebut bahwa Washington melakukan penekanan, sekalipun dulu pendukung setia Soeharto. Terakhir, mantan PM Australia Paul Keating mengungkap bahwa AS-lah yang menjatuhkan Soeharto.

AS pun mengguncang pengganti Soeharto, presiden Habibie, dengan berbagai isu ekonomi dan politik, hingga pakar ristek itu gagal tampil sebagai capres dalam SU MPR 1999. Habibie didera kasus Timor Timur yang merupakan jebakan AS dan negara-negara Barat. Opsi merdeka yang diberikan Habibie tentu tidak lepas dari tekanan AS yang empat hari sejak jatuhnya Soeharto, melalui 14 anggota konggres yang dipimpin Christopher H Smith, telah meminta dibebaskannya gembong Fretilin Xanana Gusmao dan dibukanya dialog dengan rakyat Timtim dan Irian Jaya.

Lepasnya Timtim bukan saja menjatuhkan kredibilitas politik Habibie, tapi juga menjadi preseden buruk bagi wilayah-wilayah lain untuk menuntut memisahkan diri dari Indonesia. Dan masa depan Indonesia akan menjadi negara-negara kecil ini telah terbayang. Itulah yang sangat dinanti-nanti oleh negara adidaya AS. Strategi pasar bebas akan menjadi ranjau yang segera digulirkan pada awal milenium ketiga, di mana kontrol perdagangan bebas di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) membutuhkan prasyarat lemahnya pemerintahan dan minimnya campur tangan pemerintah pada perdagangan.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila PM Mahathir Mohammad mengatakan bahwa AS memang menghendaki Indonesia terpecah-belah menjadi negara-negara kecil. Pernyataan tersebut segera dibantah oleh Dubes baru AS —mantan Dubes AS di Yugoslavia— saat bertemu dengan presiden baru Gus Dur sehari setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden.

Hanya saja yang patut dicermati, AS akan mengupayakan negeri Indonesia menjadi negeri yang lemah sehingga mudah ditundukkan. Khususnya kalau kepala negara dan para pejabatnya menolak intervensi AS. Dan AS sangat mengharap permintaan intervensi itu sekalipun harus mengubah detail draft politiknya, yang penting negara bisa dikendalikan untuk memenuhi tujuan politik negara adikuasa itu. Oleh karena itu, di tengah isu separatisme di Indonesia yang terhembus dengan campur tangan AS, Presiden Clinton menawarkan tim ahli anti separatisme kepada presiden Abdurahman Wahid dalam kunjungannya di Washington baru-baru ini. Gus Dur pun menerimanya dan menjadikan tim itu sebagai konsultan pemerintah RI untuk mengatasi masalah separatisme yang kian meruyak (Republika, 16/11/99).

Makar apa lagi yang akan dibuat AS di negeri muslim terbesar di dunia ini?

WASPADAILAH PENGALIHAN MASALAH

Kaum muslimin di Aceh hendaknya benar-benar waspada akan segala tipu daya yang dimainkan pihak asing yang kafir dalam kasus Aceh. Dalam setiap kemelut di negeri muslim, mereka selalu melakukan manuver yang menguntungkan mereka dan merugikan kaum muslimin. Mereka akan membesarkan orang-orang munafik yang memihak kepada mereka dan mengecilkan arti perjuangan kaum muslimin. Mereka akan membesar-besarkan syiar-syiar kekufuran dan menutup rapat-rapat peluang munculnya syiar-syiar Islam. Allah SWT berfirman:

ÆËj¯B¸»A Êj· Ì»Ë ÊiÌà ÁNÍ ÆC ÜG ɼ»A ÓIDÍË ÁÈÇA̯DI ɼ»A iÌà AÌ×°ñÍ ÆC ÆËfÍjÍ

"Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan pernyataan-pernyataan mereka, dan Allah tldak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, Walaupun orang-orang kafir tidak menyukai" (QS. At Taubah 32).

Kaum muslimin di Aceh khususnya dan di Indonesia bahkan di seluruh dunia umumnya harus menyadari bahwa telah terjadi pengalihan isu masalah Aceh dari tuntutan umat untuk hidup di bawah naungan Islam menjadi gerakan Aceh merdeka yang terlepas dari wilayah saudara-saudara muslimnya di Indonesia. Pengalihan isu ini nampak jelas dari pembicaraan tuntutan masyarakat akan penerapan syari’at Islam dalam kehidupan mereka sehari-hari, kepada isu tuntutan pengadilan atas tindak pelanggaran HAM selama DOM maupun sesudah dicabutnya DOM oleh pihak militer kepada rakyat sipil. Dan setelah ditolaknya permintaan anggota MPR dari Aceh Ghazali Abbas di SU-MPR 1999 agar masalah Aceh dimasukkan dalam Tap khusus —hingga wakil rakyat itu keluar meninggalkan sidang— tuntutan itu membulat menjadi satu: referendum, dan referendum itu artinya kemerdekaan! Ghazali menegaskan tuntutan rakyat Aceh itu di Jakarta baru-baru ini: "Itu yang mereka tuntut selama ini. Karena mereka melihat tidak ada harapan kalau selalu dengan Indonesia yang memang modelnya seperti ini" (Republika, 16/11/99).

Namun sekadar merdeka, tentu masih menyisakan banyak pertanyaan. Benarkah akan berdampak positif semata buat bangsa Aceh yang menghendaki hidup Islami seperti zaman nenek moyang mereka dulu?

PLUS MINUS ACEH MERDEKA

Sekedar berhitung, kita cermati plus minus Aceh merdeka. Plus-nya:

  1. Terpisah dari kebijakan Jakarta yang selalu memarginalkan Bangsa Aceh
  2. Terlepas dari kezhaliman kebijakan reperesif pemerintah Indonesia
  3. Bisa mengelola sumber daya alam negeri Aceh yang kaya raya
  4. Bisa menerapkan syari’at Islam

Minus-nya:

  1. Terpisah dari negeri-negeri muslim yang berarti semakin menceberia-beraikan dan mengecilkan kekuatan kaum muslimin
  2. Merangsang tumbuhnya keterpecahbelahan negeri muslim Indonesia
  3. Membatasi hak sesama muslim yang tinggal di negeri lain karena adanya kebijakan pemerintah negara baru
  4. Belum tentu bisa menerapkan syari’at Islam dengan sempurna mengingat adanya gerakan-gerakan yang lebih mengedepankan nasionalisme bangsa Aceh daripada Islam sebagai peraturan hidup yang universal
  5. Ada kemungkinan masuknya campur tangan asing melalui para pemimpin Aceh yang lebih mementingkan ambisi pribadi dari pada menjaga kepentingan umat dan tegaknya agama Allah.

MENGGAGAS MASA DEPAN ACEH

Islam mengajarkan kepada kaum muslimin, setiap perkara yang bertentangan dengan aqidah Islam, atau tidak sesuai dengan syariat Allah SWT dan Rasul-Nya harus dicampakkan jauh-jauh —apapun alasannya. Allah SWT berfirman:

ÁÇj¿C Å¿ ÑjΈA ÁÈ» ÆÌ¸Í ÆC Aj¿C É»ÌmiË É¼»A Óz³ AgG ÒÄ¿Û¿ ÜË Å¿Û ÆB· B¿Ë

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan sutu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka" (QS. Al Ahzab 36).

Kaum muslimin Aceh khususnya, perlu memahami bahwa suara-suara nyaring tentang referendum telah termotivasi oleh ide HAM, yakni ide right for self determination (hak untuk menentukan nasibnya sendiri). Dan ide HAM ini adalah bagian dari ide demokrasi yang nyata-nyata bertentangan dengan aqidah Islam. Ide demokrasi telah menganggap bahwa rakyat sajalah yang berhak menjalankan kehendaknya, menetapkan peraturan yang diinginkannya, menghapus ataupun membatalkan peraturan yang tidak sesuai lagi serta tidak diinginkannya. Karena rakyat adalah pemilik kedaulatan secara mutlak.

Lalu, apakah kaum muslimin akan mengikuti suara mayoritas masyarakat, meskipun perkara bertentangan dengan aqidah maupun syari'at Islam? Padahal di dalam ajaran Islam, setiap perilaku kaum muslimin ditentukan dan diarahkan, serta harus terikat dengan keputusan-keputusan yang telah Allah SWT tetapkan (QS. Al An’aam 57). Bahkan perselisihan apapun yang ada di tengah-tengah umat, semua itu harus dikembalikan kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:

Tentang (perkara) apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (QS. Asy-Syuraa' 10).

Bahwasanya referendum yang menyimpan kehendak melepaskan diri dari kedaulatan RI bukanlah solusi yang hakiki bagi masyarakat Aceh. Sebab hal itu hanya akan menambah kesulitan dan hambatan untuk mempersatukan umat dan negeri-negeri Islam yang sudah tercabik-cabik dan terpecah-belah menjadi lebih dari 50 negara. Itulah yang justru diingini oleh negara-negara imperialis Barat yang kafir, melemahkan kekuatan kaum muslimin dengan mencerai-beraikan dunia Islam. Negara-negara imperialis, dengan slogan demokratisasi, tentulah akan mendukung setiap upaya suatu wilayah untuk memisahkan diri dari kesatuan wilayah dunia Islam yang besar. Atas dasar itu, kami menyerukan umat muslim, khususnya masyarakat Aceh agar mengarahkan dan memfokuskan perjuangan untuk melakukan proses perubahan secara total atas sistem hukum dan sistem pemerintahan,yaitu penerapan sistem ideologi Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Upaya ini ditempuh dengan cara mengalihkan basis wilayah perjuangan dari Aceh ke pusat pemerintahan dan politik di Jakarta. Segenap umat muslim wajib melibatkan diri dan berjuang bersama-sama guna mewujudkan tujuan tersebut.n

SERUAN !

Sehubungan dengan sikap kukuh Menlu Alwi Sihab untuk tetap menjalin hubungan dagang dengan negara Yahudi Israel, FRONT PENYELAMAT UMAT (FPU) menyerukan kepada seluruh kaum muslimin untuk:

  1. Tetap menolak hubungan apapun dengan Yahudi Israel yang eksistensinya tidak sah karena merampas tanah kaum muslimin di Palestina dan terus melakukan permusuhan hingga hari ini.
  2. Melakukan muhasabah kepada pemerintah agar membatalkan rencana hubungan yang diharamkan oleh syari'at Islam, dengan melakukan berbagai aksi damai seperti tabligh akbar, pengiriman delegasi ke DPR dan kantor Menlu, tekanan media massa, dll.
  3. Tetap bersatu padu dalam menghadapi kemungkinan masuknya zionisme Israel di Indonesia dan menyiapkan jihad fisabilillah melawan musuh Allah, musuh Islam, dan musuh kaum muslimin itu.

 

Jakarta, Jum'at 19 November 1999

FRONT PENYELAMAT UMAT

TABLIGH AKBAR

Tempat : Masjid Agung Al-Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (dekat Terminal Blok M).

Dari UKI, naik Mayasari P15 jurusan Blok M, atau bis AC P14 jurusan Ciputat

Waktu : Ba'da shalat Jum'at, 19 Nov.

Pembicara : - M. Al-Khaththath (Front Penyelamat Umat/FPU)

- Habib Husin Alatas (Jakarta)

- Habib Riziq Shihab (Front Pembela Islam/FPI)

Tema : Masalah hubungan dengan Israel dan Aceh