Edisi 081

GERAKAN NU PASCA GUS DUR

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-30 tengah berlangsung di pesantren Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Muktamar tersebut telah dibuka secara resmi oleh Presiden Gus Dur pada hari Minggu, 21 November 1999, dan akan berlangsung hingga 27 November 1999. Muktamar tersebut dianggap sebagai perhelatan terbesar sepanjang penyelenggaraan muktamar NU yang selama ini pernah dilakukan. Sebab, pembangunan sarana dan prasarananya saja konon menghabiskan dana sekitar 8 milyar rupiah. Ditambah lagi, adanya antusiasme muktamirin, masyarakat pendukung dan pengunjung, dan hadirnya suasana euforia naiknya Gus Dur sebagai presiden RI ke-4.

Namun agak disayangkan, di hari-hari pertama berlangsung, muktamar diliputi suasana yang kurang sehat dan terkesan kurang mencerminkan akhlak Islami. Ditengarai, terjadi konflik dan rasa saling curiga antara panitia muktamar pusat dengan panitia daerah. Panitia pusat dituduh sebagai tim sukses Said Aqiel Siradj, kandidat ketua umum yang juga ketua panitia pusat. Sementara panitia lokal atau daerah didakwa lebih membela kandidat ketua umum asal Jawa Timur, Hasyim Muzadi. Akibatnya, terjadi kesemrawutan kerja panitia. Ekses selanjutnya adalah kekacauan acara, dan bahkan nyaris menyulut terjadinya baku hantam antara sesama peserta muktamar. Seorang muktamirin asal Magelang, Hasan Musthofa, tidak bisa menahan kerisauannya atas munculnya gejala tersebut. "Kok saya mencium bau yang tidak sedap. Kayaknya mereka rebutan proyek, dan ujung-ujungnya soal duit", tukasnya. Sedangkan M. Syafaat utusan daerah Jember mengungkapkan rasa kecewanya. "Muktamarnya memang besar dan fenomenal, tetapi panitianya sangat parah. Sejak awal mereka menggiring muktamirin kepada calon tertentu. Ini jelas tidak fair dan melenceng jauh dari citra NU." (Media Indonesia, 23/11/1999).

Suasana kurang baik lainnya, yakni perseteruan yang memanas di antara calon-calon ketua umum yang melibatkan tim sukses atau pendukungnya, sehingga muktamar kali ini tidak ubahnya seperti permainan politik yang lazim terjadi dalam partai-partai politik. Bahkan beredar pula isu permainan politik uang (money politics) yang dilancarkan calon tertentu. Seolah-olah agenda pencalonan dan pemilihan ketua umum menjadi yang paling utama dan terpenting dibanding agenda-agenda lainnya.

Terlepas dari semua itu, kiranya para aktivis NU perlu merumuskan kembali ide-ide dan langkah-langkah NU sebagai sebuah gerakan Islam yang solid. Ini terutama setelah Ketua PBNU Gus Dur menduduki jabatan kepala negara. Apakah NU menempatkan posisi sebagai jam'iyyah yang para pengurusnya juga ikut bermain politik sebagaimana selama ini, ataukah menjadi suatu partai politik? Dan yang terpenting, akankah gerakan NU tetap dalam bayang-bayang Gus Dur seperti selama ini, ataukah memiliki kemandirian dan daya kritis terhadap Gus Dur. Tulisan ini sekedar urun rembuk kepada Muktamar NU kali ini, sebagai perwujudan ukhuwah Islamiyyah dari sesama muslim dalam perspektif Islam.

Momentum Rekonsiliasi Internal

Seyogyanya, muktamar kali ini dapat menjadi momentum awal bagi upaya rekonsiliasi internal, khususnya bagi para elite NU yang beberapa waktu lalu terkesan saling berseberangan. Menjelang dan ketika berlangsung kampanye pemilu 1999, misalnya, di sejumlah daerah yang menjadi kantong NU, seperti jalur pantai utara Jawa Tengah, banyak terjadi bentrok massa. Di permukaan, bentrok itu terjadi antara dua massa pendukung partai yang berbeda. Namun sebenarnya mereka berasal dari satu rumah, sesama warga Nahdliyyin. Bentrok yang terjadi tidak bisa dipandang ringan, karena banyak menimbulkan korban. Bahkan sampai jatuh korban jiwa, seperti yang terjadi di Pati.

Kenyataan pahit tersebut seharusnya tidak perlu terjadi, seandainya para elit partai yang dikomandani oleh tokoh-tokoh NU berpijak pada kerangka landasan yang sama, dan tidak mengedepankan ambisi serta kepentingan-kepentingan tertentu yang beragam. Tetapi realitas yang berkembang ternyata sebaliknya, sehingga terjadi konflik terbuka. Konflik tersebut bukan saja muncul pada lapisan bawah yang cenderung emosional, tetapi terjadi juga pada lapisan kalangan atas. Hal itu dapat terlihat sewaktu Gus Dur dalam kesempatan dialog partai-partai di televisi (TPI) memberikan tamsil tentang kemunculan banyak partai di luar PKB, tetapi masih dari NU, yakni, "Bahwa yang keluar dari ayam itu bukan hanya telor, tetapi ada juga tahi. Tamsil tersebut mengandung makna bahwa PKB adalah telor dari ayam NU, sedangkan partai-partai NU selain PKB adalah seperti tahinya". Serangan terbuka Gus Dur tersebut kemudian dibalas oleh tokoh NU dari partai non-PKB, "Masih mending tahi ayam dari pada telor busuk". Selain contoh yang kasat mata tersebut, tentu ada juga hal-hal lain yang tak muncul di permukaan.

Fenomena saling serang dan melecehkan berlatar terpecahnya politisi NU dalam beberapa wadah partai politik. Pada satu sisi hal itu menjadi preseden buruk bagi NU sebagai organisasi keagamaan yang dimotori dan bertumpu pada peran para ulama dan kyai. Preseden buruk tersebut juga dapat mengarah pada penistaan terhadap tokoh-tokoh NU sendiri yang saling bersengketa. Tentu saja hal itu juga sesuatu yang tidak selaras dengan Islam. Sebab, yang dianjurkan oleh Islam justru ikatan persatuan dan persaudaraan yang tidak saling bertikai. Rasulullah SAW bersabda :

"Janganlah kalian saling mendengki, jangan pula mengungkit keburukan orang lain. Jangan saling benci dan bermusuhan, serta jangan saling menawar lebih tinggi atas penawaran yang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara muslim lainnya dengan tidak menzhaliminya, tidak mengecewakannya, tidak membohonginya, dan tidak merendahkannya seorang Muslim haram menumpahkan darah, merampas harta, dan menodai kehormatan Muslim lainnya." (HR Imam Muslim).

Oleh karena itu tidak boleh terjadi lagi hal serupa di kemudian hari. Dan di sanalah forum muktamar itu menjadi salah satu media perukunan kembali sesama komponen NU. Bila hal itu terwujud, maka wadah NU akan tumbuh dalam arah dan gerak yang padu bagi terwujudnya cita-cita perjuangannya. Apalagi, konon NU sendiri berkehendak menjadi unsur perekat bagi jalinan ukhuwah antara semua organisasi dan kelompok Islam lainnya di luar NU. Bila kondisi internal sendiri semrawut, bagaimana NU berpretensi akan mampu menggalang dan mengayomi kelompok di luar mereka?

Reevaluasi dan Reorientasi

Forum muktamar, selain wahana untuk memilih kepengurusan baru, baik organ Syuriah maupun Tanfidziah di tingkat pusat, juga sebagai forum yang akan mengevaluasi program-program kerja NU, dan menetapkan garis-garis besar kebijakan organisasi. Pemilihan pengurus baru dengan ketua umum baru periode 1999-2004, akan menandai perjalanan NU pasca Gus Dur yang menjabat ketua umum PB NU selama 15 tahun.

Kepemimpinan Gus Dur atas NU selama tiga periode tentu saja meninggalkan pengaruh yang nyata dalam arti positif dan negatif sekaligus. Gus Dur dianggap berhasil mengantarkan NU pada tahapan transformasi dari kondisi marginal ke dataran elitis. Terlebih dengan naiknya Gus Dur sebagai presiden. Seiring itu Gus Dur juga punya andil besar dalam membangun sikap kritisme di kalangan generasi muda NU. Pada runtutannya kritisme itu lebih mendorong angkatan muda NU meninggalkan kesan tradisionalis ke arah progresivitas. Inilah aspek positif dari peran dan pengaruh kepemimpinan Gus Dur.

Adapun nilai yang dipandang negatif dari prakarsa Gus Dur yaitu liberalisme pemikiran yang juga tumbuh di kalangan tokoh-tokoh muda NU. Boleh jadi ini bisa diperdebatkan tentang nilai positif dan negatifnya, tergantung dari perspektif apa yang dipakainya. Akan tetapi kecenderungan berpikir liberal pada sebagian kader-kader Gus Dur, seperti Masdar F. Mas'udi dan Said Aqiel Siradj, hingga saat ini tidak mendapat pengakuan dari kalangan tokoh-tokoh sepuh NU yang lebih lurus pandangan ke-Islamannya. Di antara contoh pemikiran liberal Gus Dur adalah ketika ia melontarkan gagasan agar shalat dilakukan dengan bahasa Indonesia dan ucapan salam: "Assalamualaikum" diganti dengan "selamat pagi". Terlepas dari kontekstualitas yang melatari gagasan Gus Dur tersebut, yang pasti gagasan itu secara prinsipil telah menyimpang dari kebenaran Islam.

Oleh karena itu, NU di masa depan sebenarnya membutuhkan tipologi pemimpin yang tidak sekadar memiliki kecakapan managerial yang handal untuk merekonstruksi jamiyah NU menjadi organisasi Islam yang tangguh. Tetapi juga harus mempunyai visi yang jernih, berfikir kreatif dan inofatif, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip ajaran Islam yang shahih dan baku. Akankah muktamar sekarang ini akan membuka jalan bagi terpilihnya tipologi pemimpin seperti itu?

Bercermin pada sejarahnya, para kader NU perlu melakukan reevaluasi dan reorientasi atas program maupun arah kebijakan organisasi. Meskipun sebagai jamiyah NU bukan wadah politik, tetapi realitas sejarah menunjukkan NU tidak pernah ghaib dalam pergumulan politik di tanah air. KH Abdul Wahab Chasbullah (1884-1971) bisa dipandang sebagai orang pertama yang menyemai benih politik dalam NU. Ia juga pantas dicatat sebagai politisi terbesar NU, yang punya peran sentral bagi berdirinya Majelis Islam Ala Indonesia pada tahun 1937. Majelis tersebut merupakan embrio lahirnya partai politik Islam yang pertama di awal kemerdekaan, Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pasca Kyai Wahab, muncul politisi-politisi terampil yang dimiliki NU, sekalipun ada kondisi-kondisi yang di sana NU lebih banyak dipolitiki (menjadi obyek politik) dari pada pengendali politik.

Disadari atau tidak, kembalinya NU ke Khiththah 1926, yang diputuskan pada muktamar ke-27 tahun 1984, itu sebagai kekeliruan strategis dan keputusan tergesa-gesa yang bervisi pendek. Buktinya, keputusan tersebut di kemudian hari mendatangkan persoalan yang cukup serius. Karena, NU tak mungkin bisa membunuh naluri berpolitiknya dan mencampakkan peluang ketika terjadi perubahan cuaca politik dan di sana terdapat kebutuhan mendesak bagi NU untuk mengambil prakarsa dan peran politiknya. Akibatnya, muncul polarisasi politik NU dalam wadah partai-partai politik yang terberai dan tak sepi dari intrik dan konflik. Walaupun perkembangan saat ini belum sampai pada tahap yang mencemaskan, namun membiarkan hal tersebut terus berlanjut akan menjadi kontra produktif bagi NU di masa depan.

Oleh karena itu sangat mendesak bagi NU untuk merumuskan kerangka dasar pemikiran yang jelas dan mantap bagi perjuangan politiknya, serta metode yang benar dan terarah dalam mewujudkan tujuannya. Dengan ungkapan lain, NU harus mengadopsi pemikiran-pemikiran yang mengarah kepada suatu tujuan yang riil dan menempuh metode perjuangan politik yang benar dalam upaya mewujudkan tujuan tersebut. Hanya saja seluruh pemikiran tadi harus diambil dari Islam, demikian pula metode yang dituangkan dalam strategi dan cara tertentu harus selaras dengan tuntunan Islam. Dengan begitu, NU akan menempati posisi sebagaimana yang digariskan Allah dalam Al Quran:

ÆÌZA ÁÇ ׻ËCË jÄA Å ÆÌÈÄÍË ËjBI ÆËjDÍË jÎA ÓG ÆÌfÍ ÒC ÁÄ ÅNË

"Dan adakanlah (wujudkan) segolongan umat di antara kamu yang menyeru kepada Islam, memerintah dengan maruf, dan mencegah dari yang mungkar, mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan." (QS Ali Imraan : 104)

Sejalan upaya baru di atas, NU juga harus mengubah arah orientasinya. NU harus berorientasi kepada dunia Islam secara keseluruhan dan tidak memenjarakan diri dalam wawasan kebangsaan. Sangat ketinggalan zaman apabila NU tetap bertahan dalam lingkup ke-Indonesiaan dan itu sesungguhnya irelevan dengan lambang NU yang berwujud bola dunia. Selama NU terus berkutat dalam wacana nasionalisme, NU akan terjerat dalam perangkap ashabiyah dan mengulang terus kesalahan masa lalu. Andil NU dalam melegalisasi ideologi Nasakom di zaman Orla dan Asas Tunggal di masa Orba merupakan dua kesalahan fatal NU. Ketika keduanya dihancurkan umat, NU tidak punya argumen logis untuk membelanya. Kesalahan-kesalahan sejenis itu tidak patut diulangi lagi di waktu-waktu mendatang.

Ke depan nanti NU harus bergandeng tangan dengan kelompok muslim lain dari dalam negeri, juga menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok muslim strategis di dunia Islam lainnya. Sebab, di masa depan Islam akan kembali pada kesejatiannya sebagai agama universal yang tak lagi terkoyak-koyak oleh nasionalisme. Islam akan tampil sebagai kekuatan ideologis yang mengikat dan mempersatukan umat muslim seantero dunia. Kekuasaan Islam akan eksis kembali untuk menyelamatkan umat manusia dan menebarkan rahmat bagi kehidupan setelah kerusakannya akibat angkara murka bangsa-bangsa kafir imperialis. Itulah manifestasi dari kebangkitan ulama dan kebangkitan umat yang hakiki, sekaligus sebagai realisasi dari janji Allah seperti termaktub dalam Al-Quran.

Allah berfirman:

ÁÈJ Å ÅÍhA bNmA BÀ ~iÞA ÁÈÄbNnÎ PBBvA AÌÀË ÁÄ AÌÄE ÅÍhA ÉA fË

BÎq ÏI ÆÌjrÍ Ü ÏÄÃËfJÍ BÄC ÁÈÌa fI Å ÁÈÄfJÎË ÁÈ ÓzMiA ÐhA ÁÈÄÍe ÁÈ ÅÄÀÎË

"Dan Allah telah menjanjikan kepada orang-orang mukmin dan mengerjakan amal-amal shalih di antara kalian bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang mukmin sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridlai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengganti keadaan mereka yang selama ini diliputi ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap mengabdi pada-Ku tanpa mempersekutukan Aku dengan suatu apapun" (QS. An-Nuur 55).

Khatimah

Sesungguhnya di hadapan Gus Dur, NU berada dalam keadaan yang serba dilematis. Gus Dur boleh jadi telah membawa NU ke dataran tertentu yang sebagian besar orang memandangnya sebagai lebih baik daripada keadaan sebelum ini. Tetapi di sana terdapat bahaya yang mengancam, yaitu berkembangnya pribadi-pribadi yang telah mengalami proses Gus Dur-isasi yang membawa bibit pemikiran yang destruktif terhadap Islam dan kontraproduktif bagi masa depan umat secara umum dan NU khususnya.

Harapan baik akan masa depan NU kiranya terpikul pada generasi muda pasca Gus Dur yang memiliki daya intelektual tinggi dan pemahaman ke-Islaman yang lurus dan jernih sehingga mereka akan sanggup merekonstruksi NU sebagai bagian dari organisasi Islam yang kontributif terhadap kemajuan Islam dan mampu memformat pemikiran-pemikiran Islam yang cemerlang dalam labirin-labirin NU.