"Komentar Gus Mad"

- Gus Dur berkata, "Bagi saya, peringatan Natal adalah peringatan kaum Muslimin juga".

Rasulullah saw. bersabda: "Tiap kaum itu punya hari-raya sendiri-sendiri" (HR. Bukhari).

- Tak sedetik pun Gus Dur merasa berbeda dengan orang yang beragama lain.

Gus, apa artinya sabda Rasul: "Berbedalah dengan orang-orang musyrik!" (HR. Bukhari).

Edisi 086

PERBEDAAN IDUL FITRI BERTENTANGAN DENGAN HUKUM SYARA’

Seakan tiada terasa bulan Ramadhan kini tengah memasuki pekan-pekan terakhir. Beberapa hari lagi Hari Raya Idul Fitri tiba. Kaum muslimin sudah lazim menyambutnya dengan suka cita penuh kegembiraan. Sayangnya, suasana syahdu dan kudus itu acap berganti menjadi suasana yang diliputi kegundahan. Kehadiran hari yang suci mulia dan penuh berkah itu seolah ternoda oleh munculnya perselisihan dalam penetapan Idul Fitrinya, seiring perbedaan penentuan awal Ramadhannya. Fenomena ini dari tahun ke tahun terus saja terjadi, seakan tidak ada jalan bagi awal Ramadhan dan Hari Raya berlangsung serentak pada hari dan tanggal yang sama. Tahun lalu, pemerintah Indonesia menetapkan 1 Syawwal 1419 H jatuh pada hari Selasa 19 Januari 1999. Sementara beberapa negara di Timur Tengah seperti Mesir, Yordania, Irak, Palestina, dan Saudi Arabia pemerintah di sana menetapkannya pada hari Senin 18 Januari 1999 (Dunia Dalam Berita TVRI, Senin, 18/1/99; Nuansa Pagi RCTI, Selasa, 19/1/99). Turki tidak berbeda dengan Indonesia, sedangkan Iran konon menentukan 1 Syawwal 1419 H pada 20 Januari 1999. Aneh dan memprihatinkan!

Tahun ini, pemerintah Indonesia menetapkan awal Ramadhan 1420 H jatuh pada hari Kamis 9 Desember 1999. Adapun beberapa negeri muslim seperti Yaman, Libya, dan Algeria berdasarkan rukyatul hilal menetapkannya pada hari Rabu 8 Desember 1999. Sebagian masyarakat muslim di sini yang lebih yakin berpegang pada penetapan rukyat sesuai dengan tuntunan syara’, ikut mengawali shaum Ramadlan pada hari Rabu, meskipun mereka hanya melakukan imsak —menahan diri— karena informasi rukyatul hilal sampai kepada mereka pada pagi hari setelah terbit fajar.

Melihat kenyataan ini, besar kemungkinan akan terjadi pula perbedaan pelaksanaan Idul Fitri 1420 H kali ini. Sebab, seandainya usia Ramadhan kali ini 30 hari berdasarkan rukyatul hilal, mereka yang memulai shaum pada 8 Desember 1999, akan melaksanakan shalat Idul Fitri pada hari Jum’at, 7 Januari 2000. Apabila berdasarkan rukyatul hilal usia Ramadhan sekarang hanya 29 hari, Idul Fitri akan jatuh pada hari Kamis, 6 Januari 2000. Dengan demikian jika pemerintah Indonesia menetapkan 1 Syawwal 1420 H jatuh pada hari Sabtu, 8 Januari 2000 berdasarkan hisab seperti kebiasaannya selama ini, maka bisa jadi perbedaan pelaksanaan Idul Fitri itu terpaut dua hari. Apakah hal itu akan menjadi suatu keniscayaan yang dibenarkan oleh syara? Tentu saja tidak!

Menelusuri Sebab Munculnya Keragaman

Apabila ditelusuri dengan seksama, munculnya keragaman penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri itu dapat dikembalikan kepada tiga faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu:

  1. Hilangnya institusi internasional pemersatu umat (khalifah) yang memegang otoritas dalam menentukan dan mengambil keputusan untuk mengatasi perselisihan di antara kaum muslimin di seluruh dunia.
  2. Banyaknya penguasa kaum muslimin yang berdiri atas dasar nasionalisme yang tentu saja tidak sesuai dengan Islam.
  3. Perbedaan metodologi dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan.

Urusan-urusan umat muslim di masa kehidupan Islam berjalan dengan baik di bawah perlindungan Amirul Mukminin atau Khalifah, menyangkut aktivitas yang berhubungan dengan muamalah, lebih-lebih urusan ibadah. Negara melalui kebijakan Khalifah menyelenggarakannya secara baik sesuai ketentuan hukum-hukum syariat Islam. Kekisruhan di sekitar penetapan awal Ramadhan dan pelaksanaan hari raya tidak pernah terjadi.

Tetapi setelah runtuhnya Negara Khilafah, kaum muslimin kehilangan seorang kepala negara yang selama ini mengatur dan melayani berbagai urusan kehidupan mereka, serta mengayomi dan meneguhkan kedudukan mereka di hadapan bangsa-bangsa lain. Sehingga, hilangnya Daulah Islamiyah atau Khilafah sebagai institusi pemersatu umat yang memegang otoritas dalam menentukan dan mengambil keputusan untuk mengatasi perselisihan, menjadi salah satu faktor penyebab terpecah-pecahnya kaum muslimin di seluruh dunia. Termasuk, meruyaknya keragaman dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Fenomena tersebut kemudian diperparah dengan munculnya para penguasa di negeri-negeri muslim yang berdiri atas dasar nasionalisme yang tidak mengindahkan pelaksanaan hukum-hukum syara’. Dan berdirinya negara-negara dalam format kebangsaan ini telah membuat sekat-sekat dalam kehidupan kaum muslimin menjadi lebih dari 50 negara.

Kenyataan itu menyebabkan pelaksanaan ibadah kaum muslimin, khususnya ibadah-ibadah yang bersifat seremonial bagi umat Islam dan berdimensi sosial yang luas seringkali tercemar. Contoh kasus penentuan awal Ramadhan dan pelaksanaan hari raya, kita menyaksikan realita yang memilukan. Kaum muslimin dari satu komunitas masyarakat yang sama melaksanakan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berbeda, lantaran ada perbedaan wilayah hukum karena batas teritorial negara yang berbeda. Padahal batas-batas teritorial itu semu belaka, lebih-lebih penetapan itu ditentukan oleh bangsa-bangsa kafir Imperialis. Kasus seperti itu sering terjadi di wilayah-wilayah perbatasan negara, semisal masyarakat muslim yang tinggal di kawasan perbatasan Indonesia dengan Malaysia atau perbatasan negara-negara muslim lainnya. Terjadinya perbedaan yang demikian tentu saja telah keluar dari konteks hukum syariat tentang penetapan Ramadhan dan Syawwal. Dengan demikian, tampak jelas bahwa munculnya keragaman penetapan awal Ramadhan dan Syawwal itu menjadi galib seiring dengan fenomena terpecah-belahnya kaum muslimin dalam wadah negara-negara kebangsaan.

Sesungguhnya shaum Ramadhan dan Idul Fitri termasuk bagian dari ibadah yang secara tauqifiy wajib kita lakukan sesuai dengan ketentuan Rasulullah SAW. Keterikatan dengan perintah Rasulullah SAW dengan menyandarkan kepada nash syara’ yang shahih dan sharih itu, akan mengantarkan pada wujud penghambaan yang benar di sisi Allah Azza wajalla. Pada runtutannya ibadah yang demikian akan membuahkan makna ruhiyah dan kesadaran yang tinggi, baik dalam konteks individu maupun jamaah kaum muslimin.

Metode Syar’iyah Dalam Penetapan Awal Ramadhan dan Idul Fitri

Sehubungan dengan penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri apabila dikembalikan persoalannya kepada nash-nash syara’ yang shahih dan sharih, maka tidak akan sampai begitu runyam seperti sekarang ini. Memang, sebagian orang yang mengetahui masalah-masalah fiqhiyah, berpendapat bahwa perbedaan awal dan akhir Ramadhan ('id) diperbolehkan secara syar’i. Pendapat tersebut memerlukan telaah syar’iyah agar jelas kontekstual persoalannya dan terbukti benar tidaknya.

Rasulullah selaku pembawa syari’at telah menetapkan metode dalam menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri, yaitu metode ru’yatul hilal yang beliau SAW telah gariskan baik secara fi’liyah (perbuatan nabi) maupun qauliyah (perkataan nabi). Hadits-hadits yang menjelaskan tentang ru’yatul hilal sebagai metode penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri sangatlah banyak, di antaranya adalah:

"Dari Aisyah RA, ia berkata: Adalah Rasulullah SAW sangat mencermati keadaan hilal pada bulan Sya’ban, melebihi perhatian beliau akan bulan selain Sya’ban. Beliau pun melakukan puasa Ramadhan karena terlihatnya hilal. Maka apabila hilal terhalang awan, beliau menghitung 30 hari, kamudian beliau berpuasa" (HR Ahmad, Abu Daud, Daru Quthni).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sendiri melakukan rukyatul hilal, malah beliau menunjukkan perhatian yang lebih dalam mengamati hilal di akhir bulan Sya’ban atau hilal awal Ramadhan. Selain riwayat yang bersifat fi’liyah tersebut, ada juga riwayat-riwayat yang menunjukkan perintah untuk melakukan ru’yatul hilal, di antaranya:

B¿ÌÍ ÅÎQÝQ ÆBJ¨q Ñf§ A̼À·D¯ Á¸Î¼§ Á« ÆH¯ ÉNÍÚj» AËjñ¯CË ÉNÍÚj» AÌ¿Ìu

"Berpuasalah kalian karena melihat bulan sabit, dan berharirayalah kalian ketika melihat bulan sabit. Maka, jika mendung menghalangi penglihatan kalian dari melihat bulan sabit, sempurnakanlah 30 hari bulan Sya’ban" (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits ini merupakan perintah melaksanakan puasa dan hari raya bila terlihat hilal, yaitu masuknya awal Ramadhan dan tanggal 1 Syawwal. Jadi hadits-hadits tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri adalah dengan rukyatul hilal. Dengan demikian, berdasarkan ketetapan hukum syara’, penyebab sah untuk memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri adalah dengan melihat bulan sabit. Ini sebenarnya merupakan metode yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW untuk memulai ibadah Ramadhan dengan rukyatul hilal dan mengakhirinya dengan pelaksanaan shalat Idul Fitri karena rukyatul hilal.

Seruan Allah SWT dalam hadits-hadits tersebut ditujukan bagi seluruh kaum muslimin. Tidak ada bedanya antara masyarakat muslim di Timur Tengah dengan Indonesia maupun umat muslim di negeri-negeri lainnya. Sebab, lafazh-lafazh dalam semua hadits yang mengetengahkan persoalan ini bersifat umum. Kata ganti berupa wawu jama’ (dhamir jama’ah) yang terdapat dalam kalimat ‘berpuasalah kalian semua’ dan ‘dan berbukalah —yakni beridulfitrilah kalian semua’, tertuju kepada kaum muslimin seluruhnya, tanpa membedakan wilayah domisilinya. Rasulullah saw. pernah menerima berita hilal Ramadhan dari seorang Baduwi yang datang kepada beliau saw. sebagaimana disebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas yang berkata:

, ÆBz¿i ÏÄ¨Í ¾ÝÈ»A OÍCi ÏÃG :¾B´¯ ,Á¼m Ë Éμ§ ɼ»A Ó¼u ÏJÄ»A Ó»G ÏIj§C ÕBU

?ɼ»A ¾Ìmi AfÀŠ ÆC fÈrMC ¾B³ . Á¨Ã :¾B³ ?ɼ»A ÜG É»GÜ ÆA fÈrMC :¾B´¯

.Af« AÌ¿Ìvμ¯ pBÄ»A ϯ ÆgC ,¾ÝI BÍ:¾B³ .Á¨Ã :¾B³

"Seorang 'Arabi (Badawi) telah datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata: 'Bahwasanya saya telah melihat hilal Ramadhan'. Maka bertanya Rasulullah saw.: 'Apakah kamu mengakui bahwasanya tiada Tuhan melainkan Allah?'. Badawi itu menjawab: 'Benar'. Rasulullah bertanya lagi: 'Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasul Allah?'. Badawi itu menjawab: 'Benar'. Maka bersabdalah Rasulullah: 'Wahai Bilal, beritahukanlah kepada manusia supaya mereka berpuasa esok hari'".

Sesungguhnya, dengan mendalami seluruh nash-nash yang terkait dengan masalah ini disertai keikhlasan kepada Allah dalam mengamalkannya, tampak jelas tanpa kesamaran bahwa metode penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan rukyatul hilal (melihat bulan sabit) adalah bersifat tauqify. Artinya, ketentuan baku dari Allah yang Mahabijaksana melalui Rasul-Nya sehingga kesatuan awal Ramadhan dan Idul Fitri menjadi kewajiban bagi kaum muslimin untuk merealisasikannya.

Namun sangat disayangkan, ketika kaum muslimin menggunakan pula metode lain selain rukyatul hilal, seperti metode hisab falaky, kesepakatan sejumlah orang —forum itsbat— yang ditunjuk mewakili pemerintah, atau fatwa ulama yang dipesan penguasa fasik, muncullah keragaman dalam penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri. Kondisi ini tentu saja kian menampakkan gambaran perpecahan dalam tubuh umat Islam yang memang dikehendaki bahkan direkayasa oleh musuh-musuh kafir agar terus terjadi, tanpa umat menyadarinya.

Khatimah

Munculnya keragaman dalam penetapan awal Ramadhan dan Idul Fitri hanyalah salah satu dari berbagai masalah yang dihadapi kaum muslimin karena lenyapnya negara Khilafah Islamiyah yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Islam dan mempersatukan mereka di bawah panji Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah.

Kaum muslimin wajib mengikatkan diri dengan hukum syara’, baik dalam mengawali puasa Ramadhan dan beridul Fitri maupun dalam segala aktivitas mereka, sekalipun para penguasa lebih peduli dengan hukum sekuler. Hanya dengan cara demikian seluruh amaliyah mereka bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Tidak ada ketaatan kepada makhluk sembari bermaksiat kepada Allah.

Atas dasar itu, apabila berita rukyatul hilal untuk bulan Ramadhan telah sampai kepada mereka, dari tempat mana pun di muka bumi, maka wajib bagi mereka berpuasa. Begitu pula bila informasi rukyatul hilal untuk bulan Syawwal telah sampai kepada mereka dari negeri mana pun, maka mereka wajib berbuka (berhari raya). n

 

INFORMASI SHALAT IED

Sehubungan kemungkinan munculnya hilal 1 Syawwal 1420 H pada hari Rabu Maghrib tanggal 5 Januari (berdasarkan rukyat internasional), maka kemungkinan SHALAT IEDUL FITHRI TAHUN INI dilaksanakan pada HARI RABU ATAU KAMIS, TANGGAL 6 ATAU 7 JANUARI 2000.

Untuk mendapatkan informasi 1 Syawwal 1420 H, dan tempat-tempat shalat Iedul Fithri 1420 H silakan hubungi nomor-nomor berikut:

Jakarta: 9185845, 7659787, 9224998. Bogor: 665628, 624645, 622567.

 

Keluarga Besar BADAN WAKAF AS SALAM MENGUCAPKAN

SELAMAT HARI RAYA IEDUL FITHRI 1 SYAWWAL 1420H

Taqabbalallah minna waminkum, Minal 'Aidin Wal Faizin, KULLU 'AAMIN WAANTUM BIKHAIR

MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN

Sehubungan dengan HARI RAYA IEDUL FITHRI 1420 H, BULETIN AS SALAM TIDAK TERBIT PADA HARI JUM'AT TANGGAL 7 DAN 14 JANUARI 2000.

Harap Maklum. Wasssalam!