"Komentar Gus Mad"

Di Bireuen, Aceh, 13 marinir ditembak saat shalat maghrib berjamaah.

Penembaknya pasti bukan pejuang penegakan syari’at Islam di Aceh

Hasil kunjungan Mega ke Maluku, menegaskan pernyataan Gus Dur bahwa penyelesaian konflik terpulang kepada rakyat Maluku sendiri.

Ingatlah Mbak Mega, pemimpin itu laksana penggembala.

 

Edisi 088

POLITIK BUKANLAH REBUTAN KEKUASAAN

Termasuk salah satu kesalahan kaum muslimin —khususnya para politisi, penguasa, dan pengamat politik—adalah mengikuti definisi politik yang dibuat oleh para pemikir Barat yang cenderung memberikan batasan politik sebagai: segala upaya atau aktivitas yang mengarah kepada kekuasaan. W.A. Robson dalam The University Teaching of Social Sciences hal 24 —sebagaimana dikutip Miriam Budiarjo dalam Dasar-dasar Ilmu Politik hal 10— misalnya, menyebut perhatian ilmuwan politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.

Akibatnya, apabila seorang muslim mendengar berdirinya sebuah partai politik, maka serta merta menganggapnya sebagai sebuah partai yang akan berebut kekuasaan atau berebut kursi. Bila mendengar kata pemerintah atau penguasa, maka serta merta menganggapnya sebagai pihak yang cenderung akan mempertahankan kekuasaan. Kalau ada seorang politisi atau sebuah partai yang mengkritik suatu kebijakan, maka akan dicurigai akan menjatuhkan pemerintah.

Inilah fakta yang akhir-akhir ini terjadi dan cenderung mengemuka, khususnya setelah hasil pemilu tahun lalu menunjukkan tak ada satu partai pun yang memenangkan pemilu secara mutlak, sehingga tidak ada partai dominan. Amien rais sebagai Ketua DPP PAN mendapatkan kedudukan Ketua MPR. Akbar Tanjung sebagai Ketua DPP Golkar mendapatkan jabatan Ketua DPR. Gus Dur sebagai pendiri PKB mendapatkan kedudukan sebagai Presiden. Megawati sebagai Ketua DPP PDI-P mendapatkan kedudukan sebagai Wapres. Hamzah Haz sebagai Ketua DPP PPP mendapatkan jabatan Menko Kesra dan Taskin (lalu mengundurkan diri). Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua DPP PBB mendapatkan jabatan sebagai Menkumdang. Nur Mahmudi Ismail sebagai Ketua DPP PK mendapat jabatan Menhutbun.

Dengan komposisi seperti itu kedudukan Gus Dur sebagai penguasa sebenarnya sudah sangat kuat. Karena tiap partai pemenang pemilu (7 partai peraih suara terbanyak) sudah mendudukkan pimpinannya dalam jabatan-jabatan di atas. Oleh karena itu, menjadi aneh tatkala Amien Rais dan sejumlah tokoh partai dari PAN-PBB-PK mengadakan tabligh akbar pada tanggal 7 Januari lalu dituduh akan mengkudeta Gus Dur. Orang pun banyak menyebut para pembisik Gus Dur sebagai keterlaluan. Dan Amien pun memberikan klarifikasi tentang aktivitas di lapangan Monas itu. Bahkan Amien mengatakan “Sayalah orang yang pertama akan mempertahankan Gus Dur sampai 2004”.

Setelah tidak ada alasan menuduh Amien, lalu muncullah isu kudeta yang akan dilakukan oleh TNI. Hanya saja, tak ada yang berani munuduh TNI kecuali Dubes AS untuk PBB Holdbrooke. Namun isu kudeta itu dibantah oleh TNI sendiri yang buru-buru mengikrarkan loyalitasnya kepada presiden Gus Dur. Dan belum puas dengan itu, kini Gus Dur menyerang TNI dengan mengatakan ada 10 % jenderal yang tidak loyak kepadanya dengan “jendral penakut”! Nampaknya ada upaya menjatuhkan wibawa dan kekuatan TNI yang di masa Orde Baru sangat dominan di negeri ini. Sebab, tinggal kelompok TNI-lah yang memiliki kekuatan terbesar di negeri ini, yang paling punya kemungkinan untuk melakukan pengambilan kekuasaan.

Bagiamana sesungguhnya pengertian politik dalam pandangan Islam, apa tugas pemerintah atau penguasa, apa tugas parpol, dan bolehkah kudeta dalam sistem pemerintahan Islam? Tulisan ini mengungkapkannya.

Pengertian Politik

Politik dalam bahasa Arab disebut dengan istilah siyasah, berasal dari kata sasa-yasuusu-siyasah. Secara bahasa, artinya memerintah dan melarang. Dalam kitab Mafaahiim Siyasiyah li Hizbit Tahriir, Taqiyuddin An Nabhani mendefinisikan siayasah sebagai ri’aayatu syu-unil ummah daakhiliyan wa kharijiyan atau memelihara urusan umat baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pemeliharaan urusan umat di dalam negeri dilaksanakan dengan menerapkan seluruh hukum dan peraturan Islam yang merupakan bagian dari mabda Islam. Sedangkan pemeliharaan urusan umat di luar negeri dilakukan dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.

Selanjutnya An Nabhani menjelaskan bahwa pelaksana praktis dari pemiliharaan urusan umat itu adalah negara. Sedangkan umat memeliharanya dengan cara melakukan muhasabah, yakni kritik dan kontrol terhadap negara atau penguasa atas tanggung jawabnya dalam memelihara urusan umat tersebut.

Definisi yang diungkapkan oleh An Nabhani tersebut menitikberatkan pada pemiliharaan urusan umat, bukan kekuasaan atas urusan umat. Oleh karena itu, seorang kepala negara atau imam dalam sistem pemerintahan Islam diposisikan sebagai pemelihara seperti penggembala memelihara binatang gembalaannya. Rasulullah saw. bersabda:

ÇáÅöãóÇãõ ÑóÇÚò æóåõæó ãóÓúÄõæúáñ Úóäú ÑóÚöíøóÊöåö

Dan seorang Imam (Kepala Negara) adalah laksana penggembala, dan ia bertanggungjawab terhadap urusan rakyatnya” (HR.Bukhari).

Dengan pengertian tersebut maka politik justru merupakan lapangan pengabdian kepada Allah SWT untuk merealisasikan hukum-hukum Allah SWT di muka bumi untuk mengatur interaksi di antara umat manusia agar kemaslahatan mereka terpelihara. Jadi siapapun di antara kaum muslimin, baik sebagai penguasa mapun sebagai rakyat, peduli pada terwujudnya pemeliharaan urusan umat dengan diterapkannya perintah dan larangan Allah SWT dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Fungsi Pemerintah

Jelaslah bahwa fungsi pemerintah atau kepala negara dan jajaran penguasa di bawahnya bukanlah sekedar berkuasa atas manusia, namun lebih merupakan pelaksanaan tanggung jawab memelihara urusan manusia yang menjadi tanggung jawabnya, yakni kemaslahatan warga negara baik muslim maupun non muslim. Bahkan Nabi Muhammad saw. Mengancam para pejabat yang telah diberi wewenang pemerintahan dalam sebuah sabda beliau saw.:

"Barangsiapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memimpin rakyat lalu dia tidak memberikan perhatian penuh kepada rakyatnya (alias mengabaikan urusan rakyat), maka Allah haramkan dia dari masuk surga" (HR.Bukhari).

Maka jelaslah bahwa dalam perspektif Islam, siapa saja yang berani menerjunkan diri dalam jabatan pemerintahan, dia harus siap mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memikul beban berat menjalankan seluruh hukum Allah SWT untuk mewujudkan terpeliharanya kemaslahatan masyarakat. Dia harus siap 24 jam per hari untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan umat dengan menjalankan kebijakan ekonomi sesuai aturan Allah SWT. Dia harus berjuang keras mengatasi segala kefakiran dan kemiskinan dengan menjaga terpenuhinya kebutuhan pokok umat, sandang, pangan, dan papan. Memenuhi kebutuhan pokok umat adalah harga mati yang tak boleh ditawar. Tak boleh ada yang lapar, telanjang, atau tak punya tempat bernaung. Mewujudkan terpenuhinya kebutuhan pokok atas tiap individu umat didahulukan daripada pertumbuhan kekayaan para konglomerat. Hukum Islam mengesahkannya untuk menarik sebagian harta orang-orang kaya -–di luar zakat dan sumbangan tabarru’at mereka—sebagai sebuah pajak manakala urusan memenuhi kebutuhan pokok setiap individu umat itu belum selesai.

Pemerintah dalam pandangan Islam juga tidak mengijinkan privatisasi barang-barang kepemilikan umum, tapi langsung mengelolanya sendiri --dengan BUMN— sebagai wakil dari umat yang merupakan pemilik harta kekayaan umum seperti listrik, gas bumi, tambang minyak, emas, hutan, laut dan lain-lain yang hasilnya dikembalikan kepada umat dalam bentuk jaminan keamanan menyeluruh dengan memperbanyak polisi yang menjaga keamanan, jaminan kesehatan menyeluruh dengan pelayanan kesehatan secara gratis, dan jaminan pendidikan menyeluruh dengan sekolah-sekolah gratis dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Dengan sebagian gambaran fungsi dan pemerintah tersebut di atas, maka tak terbayang oleh kita susana rebutan kekuasaan dan rebutan kursi sebagaimana lazimnya dalam sistem demokrasi kapitalis yang menganggap kekuasan sebagai alat untuk mendapatkan dan mempertahankan kekayaan para kapitalis.

Dalam sistem pemerintahan Islam, penguasa melayani kebutuhan dan kemaslahatan umat (khadimul ummah) bukan memeras umat demi kepentingan pribadi mereka.

Fungsi Partai Politik

Partai politik dalam sistem Islam adalah sekumpulan orang yang beraqidan dan berpemikiran sama untuk melakukan aktivitas dalam menjawab seruan Allah SWT dalam firman-Nya:

æóáúÊóßõäú ãöäúßõãú ÃõãøóÉñ íóÏúÚõæäó Åöáóì ÇáúÎóíúÑö æóíóÃúãõÑõæúäó ÈöÇáúãóÚúÑõæúÝö æóíóäúåóæúäó Úóäö ÇáúãõäúßóÑöæó ÃõæáÆößó åõãõ ÇáúãõÝúáöÍõæúäó

“Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang makruf, dan melarang perbuatan yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang menang” (QS. Ali Imran 104).

Dengan demikian tugas sebuah partai politik dalam Islam terbatas kepada menyampaikan dinul Islam kepada umat manusia, dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Berkaitan dengan definisi politik di atas maka partai politik sebagai bagian dari umat, bahkan boleh dikatakan bagian terpenting dari umat, bertugas melakukan amar makruf nahi mungkar kepada negara atau penguasa. Amar makruf nahi mungkar kepada negara atau penguasa dalam istilah politik Islam lebih dikenal dengan istilah muhasabah.

Tugas amar-makruf nahi mungkar ini menempati posisi yang tinggi dalam Islam, yakni sebagai ibadah yang paling agung. Aktivitas itu dianggap sebagai jihad yang paling agung.

Nabi Muhammad saw. bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah pernyataan kebenaran yang disampaikan kepada penguasa yang jahat”.

Para pelakunya dunilai sebagai pemimpin orang-orang yang mati syahid dalam medan jihad fi sabilillah, sayyisus syuhada! Rasulullah saw. bersabda:

“Sayyidus syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seorang lelaki yang berdiri di depan seorang penguasa yang zhalim, lalu ia menasihati (dalam lafazh lain disebut: melakukan amar makruf nahi mungkar)penguasa itu, lalu penguasa itu membunuhnya”.

Sedemikian penting aktivitas amar-makruf nahi mungkar —khususnya kepada penguasa— sampai-sampai Nabi hanya memberikan pilihan: beramar makruf nahi mungkar atau mendapatkan adzab Allah SWT. Beliau bersabda:

“Hendaknya kalian benar-benar melakukan amar makruf nahimungkar atau (kalau tidak) Allah SWT akan menyegerakan menimpakan adzabnya kepada kalian, kemudian kalian berdoa lalu doa kalian tidak dikabulkan” (HR. Imam Ahmad dari Hudzaifah).

Tentu saja, agar amar makruf nahi mungkat atau muhasabah kepada penguasa lebih efektif, partai politik harus mendapatkan dukungan nyata dari umat atau paling tidak kelompok terkuat dari umat. Dan dukungan itu hendaknya bukanlah dukungan membabi buta serti yang biasanya terjadi dalam partai-partai dalam sistem demokrasi, dimana sebuah partai didukung secara fanatik buta oleh para pendukungnya. Namun dukungan itu diberikan dengan penuh kesadaran bahwa muhasabah yang disampaikan kepada penguasa itu adalah kebenaran Islam semata yang dapat menjamin agar pemeliharaan urusan umat senantiasa dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum Allah SWT. Untuk memberikan bobot muhasabahnya itu, maka partai politik Islam harus melakukan aktivitas-aktivitas sebagai berikut:

1. Pembinaan intensif, melalui pengkajian-pengkajian intensif terhadap ide-ide dan hukum-hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Pembinaan ini diberikan kepada para pengikut partai, dalam rangka mengembangkan tubuh partai, memperbanyak pendukung, serta yang terpenting adalah melahirkan kepribadian Islam para kader dan pendukungnya agar memiliki kemampuan mengemban dakwah di tengah-tengah umat, termasuk kepada para penguasa.

2. Pembinaan Umum (kolektif), melalui ceramah-ceramah umum di masjid-masjid, balai-balai pertemuan dan tempat-tempat umum lainnya; juga melalui media massa, buku-buku dan selebaran. Pembinaan ini dimaksudkan untuk melahirkan kesadaran umat secara umum sekaligus sebagai ajang berinteraksi dengan masyarakat. Dengan aktivitas itu, umat memiliki kesadaran politik Islam, yakni mampu menilai segala perkembangan yang terjadi di dunia dengan perspektif Islam sehingga memahami hakikat persoalan-persoalan yang sedang terjadi dan bagaimana pemecahannya menutur pandangan ilahi. Selain itu, dengan kontinyuitas pembinaan umum yang dilakukan oleh partai dalam merespon setiap perkembangan aktual, maka pandangan partai yang Islami itu pun akan menjadi opini umum yang senantiasa menjadi bahan pembicaraan di tengah-tengah umat. Penguasa manapun tak akan berani menentang opini umum umat, kecuali kalau mereka tak mau melihat dan mendengar realitas dan kehendak umat, disamping tak perduli kebenaran.

3. Pergolakan pemikiran, dalam rangka menentang ideologi, aturan dan pemikiran-pemikiran kufur yang tidak dibenarkan oleh Islam. Menentang segala bentuk aqidah yang rusak, pemikiran yang keliru, persepsi yang salah dan sesat. Pergolakan pemikiran dilakukan dengan cara mengungkapkan kepalsuannya serta kekeliruan dan pertentangannya dengan Islam. Sekaligus membersihkan umat dari seluruh bentuk pengaruh dan bekas-bekasnya. Dengan aktivitas itu, partai plitik berarti akan menjebol pemikiran dan adat-istiadat yang rusak sebagai sebuah penyakit yang melekat dalam diri umat, membuangnya, dan menggantikannya dengan pemikiran dan adat istiadat baru yang sehat, yakni Islam. Dengan ini, perjalanan hidup umat dalam mewujudkan kemaslahatannya akan lebih efisien karena tak terhalangi oleh berbagai penyakit sosial budaya yang ada.

4. Perjuangan Politik, berbentuk:

a. Menghadapi segala bentuk penjajahan (pemikiran, ekonomi, politik, militer) serta melepaskan umat dari segala bentuk pengaruh dominasi kekuasaannya. Ini dilakukan karena kiota tak dapat menutup mata bahwa pihak asing —khususnya bangsa-bangsa adidaya internasional— sangat mendominasi realitas kehidupan kaum muslimin di berbagai negeri Islam.

b. Menentang dan mengungkap kezhaliman dan kejahatan para penguasa di negeri-negeri Islam, menasihati dan mengkritik mereka manakala merampak hak-hak umat atau melalaikan kewajiban mereka, atau manakala mereka membuat kebijakan yang bertentangan dengan Islam. Terhadap para penguasa yang tak mau menerapkan Islam, maka partai politik bersama umat, baik sipil maupun militer, harus berjuang melakukan people power menggantikan kekuasaannya dengan kekuasaan yang berlandaskan pada hukum-hukum Islam. Sebab, dengan penerapan hukum-hukum Islam pada seluruh aspek kehidupan akan menjamin kemaslahatan umat, memberikan kesejahteraan dunia akhirat bag umat, dan memberikan jaminan hidup sejahtera bagi warga negara non muslim di dunia fana ini.

5. Mengetengahkan suatu kemaslahatan umat, dengan cara mengungkapkan suatu persoalan serius yang dihadapi oleh umat, kemaslahatan umat dalam persoalan tersebut, serta ide-ide pelayanannya menurut hukum syara' agar dituntut oleh umat dan dipenuhi oleh penguasa.

Kudeta, Bolehkah?

Menurut An Nabhani dalam kitab Nizhamul Hukm fil Islam, pada prinsipnya melakukan kudeta dalam pemerintahan Islam tidak dibenarkan, sebab metode dan mekanisme teknis pergantian kekuasaan dari seorang kepala negara atau khalifah sudah jelas, yakni dengan bai’at khalifah yang didasari oleh keridloan dan pilihan umat.

Jika seseorang berhasil mengkudeta seorang khalifah, lalu dia mengumumkan bahwa dialah khalifah yang sah. Maka tidak otomatis dia menjadi khalifah atas kaum muslimin. Walaupun dia berhasil mengambil bai’at atas kaum muslimin dengan cara paksa, bai’at paksa itu tidak mensahkan kedudukannya sebagai amirul mukminin atau kepala negara atau khalifah, karena bai’at secara paksa —tidak dengan rela dan pilihan— tidak mewujudkan akad khilafah kepadanya. Akad khilafah baru terwujud atas seorang khalifah manakala kaum muslimin memberikannya dengan rela dan atas pilihan mereka sendiri.

Namun demikian, dalam kondisi tertentu, manakala orang yang berhasil mengambil alih kekuasaan dengan jalan mengkudeta tadi ternyata berhasil meyakinkan kaum muslimin bahwa kemaslahatan mereka bisa terpelihara manakala kekuaada di tangannya, dan hukum syara’ mengharuskan mereka memberikan bai’at kepada penguasa baru itu, lalu kaum muslimin memberikan bai’at mereka dengan rela dan atas pilihan mereka sendiri kepada penguasa baru itu, maka penguasa baru itu sah menjadi khalifah. Dia sah menjadi khalifah dengan bai’at kaum muslimin dengan rela dan atas pilihan mereka sendiri, sekalipun pada mulanya penguasa baru itu memperoleh kekuasaannya dengan jalan kudeta.

Khatimah

Jelaslah bahwa politik dalam pandangan Islam bukanlah sekedar berebut kekuasaan, tetapi lebih merupakan upaya pemeliharaan urusan kemaslahatan umat. Pemerintah bukanlah pihak yang dapat dengan sewenang-wenang mengeruk kekayaan negara dengan kekuasaan yang dimilikinya, justru ia bertanggungjawab agar membagi kekayaan negara itu kepada seluruh umat —khususnya untuk kebutuhan dasar: sandang, pangan, dan papan serta kebutuhan jama’ah: keamanan, pendidikan, dan kesehatan— sebelum ikut pula merasakannya. Partai politik bukanlah kumpulan orang-orang yang haus kekuasaan, tapi mereka adalah para pembela kebenaran yang siap mati dalam melakukan muhasabah kepada penguasa agar kemaslahatan umat terjaga. Kapankah kondisi politik luhur ini terwujud. Wallahua’lam!