"Komentar Gus Mad"

Merusaknya 32 tahun, masak harus diperbaiki dalam 100 hari, kata Gus Dur.

Yang jelas, selama 100 hari, para perusak itu masih bebas menikmati hasil "karya"nya.

Panitia Tabligh Akbar Sejuta Umat Peduli Maluku, Al Chaidar, ditangkap Polda Metrojaya.

Para muballigh siap-siap gulung tikar.

Edisi 089

JANGAN SALAH MENGEVALUASI PRESIDEN

Berbagai kalangan telah mengevaluasi kinerja pemerintahan Gus Dur-Megawati selama tiga bulan pertama atau selama 100 hari. Momentum 100 hari sebagai ajang evaluasi, dianggap oleh sebagian orang khususnya kalangan birokrat sebagai tidak fair dan tidak realistis. Menko Ekuin Kwik Kian Gie mengatakan, jika evaluasi tersebut diartikan sebagai keberhasilan memulihkan kondisi ekonomi seperti sebelum krisis, maka itu merupakan hal yang mustahil”. Menristek AS Hikam menilai hal itu cuma untuk gagah-gagahan (Republika, 26,27/1/2000).

Sebagian lain memandangnya sebagai hal wajar untuk melihat sejauh mana duet pemerintahan Gus Dur-Megawati dan kabinetnya menjalankan tugas-tugas pemerintahannya dalam mengatasi persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab mereka. Ini tercermin dari banyaknya pengamat yang memberi penilaian dan peninjauan dalam forum diskusi maupun tulisan-tulisan yang termuat di berbagai surat kabar. Bahkan tidak sedikit media massa yang melakukan jajak pendapat untuk mengungkap penilaian masyarakat.

Pada umumnya mereka menilai kinerja pemerintahan Gus Dur beserta kabinetnya dalam 100 hari ini sebagai jauh dari memuaskan. Ada yang menilai pemerintahan Gus Dur berjalan tanpa orientasi, belum ada program yang jelas dengan prioritas terfokus, sangat lamban, lebih merupakan one man show sang presiden, dan lemah aspek manajerial. Ringkasnya, belum ada perkembangan signifikan selama 100 hari pemerintahan berjalan yang berarti pemerintahan Gus Dur-Megawati belum mencatat kemajuan. Namun perspektif lain menilai bahwa pemerintah dan Presiden Gus Dur khususnya, dalam 100 hari kepemimpinannya telah memberikan pencerahan kepada bangsanya.

Terlepas bahwa model evaluasi seperti itu merupakan cara-cara yang umum berlaku di negara-negara Barat dan Sekularisme Barat yang memang tengah menjadi acuan pemerintahan sekular di Indonesia, fenomena kritisisme masyarakat terhadap penguasa yang tumbuh akhir-akhir ini perlu diberi apresiasi. Sebab, apabila masyarakat tidak punya keberanian untuk mengevaluasi dan mengkritik penguasa —seperti di masa-masa lalu, justru akan mengundang bahaya yang dapat mengancam rakyat seluruhnya.

Hanya saja bagi kaum muslimin, sikap kritis terhadap penguasa yang merupakan kewajiban syar’i dalam konteks amar makruf nahi mungkar harus dilakukan sesuai dengan perspektif Islam. Artinya, tolok ukur penilaian terhadap setiap aspek baik ekonomi, politik, sosial, keamanan, pendidikan dan sebagainya harus berlandaskan ketentuan hukum-hukum syara’. Demikian pula ketika kaum muslimin menyoroti dan mengevaluasi pemerintahan Gus Dur dan jajarannya, termasuk mereka yang berada di lembaga-lembaga negara.

Antara Optimisme dan Pesimisme

Ketika Abdurrahman Wahid dan Megawati terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, hampir semua kalangan menilainya sebagai pilihan terbaik bagi bangsa Indonesia. Dan duet pemerintahan Gus Dur dan Megawati dipandang sebagai pemerintahan yang paling mendapat dukungan dan legitimasi dari rakyat melalui pemilihan umum yang juga diklaim paling jurdil dan lewat proses pemilihan di MPR yang konon sangat fair. Gus Dur dan Mega juga mempunyai dukungan massa yang tergolong sangat besar. Oleh karena itu, banyak pihak yang menaruh harapan besar terhadap pemerintahan Gus Dur-Mega bahwa keduanya akan sanggup mengentaskan bangsa Indonesia dari krisis multidimensional dan mewujudkan Indonesia Baru yang maju dan bermartabat. Akankah harapan itu menjadi kenyataan?

Setelah lewat 100 hari pemerintahan Gus Dur-Mega, sebagian orang mulai menimbang-nimbang tentang kemungkinan berhasil tidaknya kedua tokoh ini menahkodai kapal bernama Indonesia menuju hari esok yang cerah. Sekalipun kebanyakan pengamat memberi penilaian negatif atas kinerja pemerintahan Gus Dur dan kabinetnya, tetapi sebagian besar masih cukup optimis terhadap keberhasilan pemerintahan Gus Dur. Mereka percaya, legitimasi rakyat dan dukungan dari dunia Internasional akan cukup menopang keberhasilan Gus Dur. Dari kalangan yang dekat dengan Gus Dur, tentu juga yang dekat dengan Mega, optimisme itu tidak tergoyah oleh berbagai kritik dan penilaian para pengamat. Wakil Rais Aam Majelis Syuro DPP PKB KH.Cholil Bisri misalnya, memberi tamsil mengenai metode yang dipakai Gus Dur dalam mengurai masalah seperti makan bubur panas, dimakan pelan-pelan dari pinggir piring. Orang lain boleh pesimistis dengan pemerintahan Gus Dur tetapi dirinya tidak. “Saya optimistis, insya Allah GusDur akan bisa mengatasi cobaan yang berat ini”, paparnya. (Media Indonesia, 30/1/2000).

Hasil jajak pendapat Harian Kompas memperlihatkan, meskipun masyarakat tidak puas terhadap upaya pemerintahan Gus Dur di bidang ekonomi dan kesra, namun masyarakat punya keyakinan penuh bahwa pemerintah mampu mengatasi persoalan tersebut. (Kompas, 28/1/2000)

Di samping ada yang tetap optimis, ada pula pihak-pihak yang mulai pesimis melihat 100 hari kinerja pemerintahan Gus Dur. Mereka mencoba membandingkan dengan rentang 100 hari semasa pemerintahan Presiden BJ. Habibie yang dinilai lebih baik. Salah satu yang berpandangan pesimis itu adalah tokoh politik Sri Bintang Pamungkas. Dengan lugas ia menilai, "Melihat situasi nasional yang tidak juga berubah sepanjang 100 hari pemerintahan Gus Dur, saya melihat pemerintahan Gus Dur tidak akan lebih baik meskipun dikasih perpanjangan 360 hari atau diberi tambahan 720 hari sekalipun" (Tekad, 31/1/2000).

Eep Saefulloh Fatah, Staf pengajar UI malah melihat kemungkinan Gus Dur tidak mampu bertahan sampai lima tahun. Pasalnya, "Di satu sisi pemerintah terus-menerus memproduksi masalahnya sendiri, di sisi lain daya tahan fisik dan politik Gus Dur bersama pemerintahannya makin melemah. Lemahnya pemerintahan Gus Dur bukan karena impeachment parlemen atau gerakan massa, tapi datang dari dirinya sendiri akibat beban masalah yang diciptakannya sendiri" (Tekad, idem).

Sinyal-sinyal Kegagalan

Tampaknya, penilaian bahwa Gus Dur dan Megawati sebagai duet pemimpin terbaik bagi bangsa ini hanya akan menjadi sebuah klise. Karena sejatinya, personalitas keduanya tidak memiliki kapasitas yang mumpuni sebagai pemimpin yang baik dan bijak. Kemampuannya dalam memahami dan menganalisis persoalan lalu memecahkan persoalan itu secara benar, tidaklah memadai bagi seorang kepala negara dan pemerintahan. Baik Gus Dur maupun Megawati, keduanya hanyalah figur pemimpin kharismatik yang dimitoskan oleh lingkungan kulturalnya. Pandangan demikian bukan sama sekali dibangun atas dasar sinisme dan kebencian. Melainkan, pengetahuan obyektif yang digali dari nilai kepribadian yang melekat pada laku kehidupan keduanya. Sikapnya yang kontroversial, emosional, resisten terhadap kritik, merasa selalu benar, arogan terhadap mereka yang berseberangan dengan dirinya merupakan sifat-sifat yang menghalangi dirinya sebagai pemimpin yang luhur dan terpercaya.

Oleh karena itu, legitimasi dari rakyat pendukungnya dan sekutunya di dunia internasional terhadap pemerintahanya, tidak cukup menolong dari kegagalan yang akan menimpa kekuasaannya. Sebagaimana kegagalan yang menimpa rezim Soekarno dan Soeharto. Analoginya relatif sederhana. Bahwa Gus Dur memiliki kualitas dan kapasitas personal yang tidak melebihi Soekarno maupun Soeharto baik dari segi intelektualitas, kepemimpinan maupun kenegarawanan. Orang-orang yang membantu dalam kabinetnya pun tidak punya keunggulan kualitatif dibandingkan dengan orang-orang yang pernah duduk dalam kabinet di era Orla maupun Orba. Demikian halnya dengan legitimasi rakyat dan duinternasional.

Kemudian sejarah mengabadikan, kepemimpinan Soekarno dan Soeharto berakhir tragis dan terhinakan.

Dipandang dari berbagai seginya, tidak ada perbedaan signifikan antara pemerintahan Gus Dur dengan orde pemerintahan sebelumnya. Karena pada hakikatnya, asas dan sistem yang diterapkan oleh masing-masing rezim penguasa, dalam kehidupan kenegaraan serta proses penyelenggaraan pembangunan adalah sama yaitu sistem demokrasi sekular. Padahal rusaknya nilai-nilai keadaban dan hancurnya harkat kemanusiaan akibat penerapan sistem demokrasi sekular itu sangat kasat mata pada semua negara penganutnya. Termasuk yang kini tengah melanda Indonesia. Sehingga, ketika Gus Dur beserta kabinetnya tampak berkukuh dengan demokrasi sekular sebagai haluannya seraya mencampakkan sistem Islam dan mendiskreditkan umatnya, maka keterpurukan dan nestapa yang panjang yang bakal menimpanya bukan suatu yang samar. Alquran memberi peringatan keras:

"...maka hendaklah orang-orang yang menyimpang dari perintah Rasul takut akan ditimpa bencana atau didera azab teramat pedih" (QS. An Nuur 63).

Sejalan dengan eksposisi di atas, sinyal-sinyal kegagalan pemerintahan Gus Dur terlihat jelas pada tiga hal yang sangat prinsipal. Pertama, Gus Dur tidak mengambil pelajaran dari kegagalan rezim-rezim pendahulunya yang betapa telah mewariskan krisis multidimensional yang sangat parah. Dengan pandangan yang menyeluruh dan jernih akan terlihat jelas bahwa merebaknya aneka krisis itu secara esensial lebih disebabkan karena faktor ideologis.

Apabila dalam suatu masyarakat dan negara di dalamnya diterapkan ideologi yang rusak, tentulah masyarakat tersebut akan dilanda kekisruhan yang menjerumuskannya pada kemerosotan dan kemunduran yang laten. Negara Uni Soviet adalah contoh kasus yang masih hangat. Demikian pula jika dalam suatu masyarakat diberlakukan padanya ideologi yang ambigui dan kontradiktif, maka akan tumbuh dalam masyarakat tersebut banyak pertentangan, kekacauan dan ketidakpastian arah. Masyarakat Barat secara umum merupakan contoh yang paling faktual.

Gus Dur tidak arif melihat kenyataan-kenyataan tersebut. Ia bahkan merasa enjoy dan percaya diri dengan obsesinya menjadikan Indonesia tampil sejajar dengan bangsa-bangsa yang 'berperadaban maju', tanpa menyadari jurang dalam dan terjal membentang di hadapannya.

Bila Gus Dur ingin selamat dan terhindar dari kegagalan yang mengancam, ia harus kembali kepada Islam dan berupaya keras untuk menerapkan sistem ideologinya. Tetapi jika ia tetap angkuh dan menegasikan hak otoritatif Allah dalam mengatur manusia dan urusan kehidupannya, niscaya akan berlakulah ketetapan Allah sebagaimana firman-Nya: "Dan berlaku angkuhlah Fir'aun beserta balatentaranya di muka bumi tanpa alasan yang benar sedang mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami. Maka Kami hukumlah Fir'aun dan balatentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, maka lihatlah bagaimana orang-orang yang zhalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru manusia ke gerbang neraka lagi pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong" (QS. Al Qashash 39-41).

Kedua, Gus Dur cenderung mengabaikan urgensi keimanan dalam membenahi sumberdaya manusia (SDM). Ini cukup terlihat dari tidak adanya program dan keseriusan pemerintah untuk memberantas segala hal yang dapat merusak keimanan masyarakat. Sarang-sarang kemaksiatan seperti perzinaan, perjudian, miras dan sebangsanya seakan dibiarkan tetap menjamur.

Pemerintah juga tidak memberi dorongan dan teladan yang benar dalam merealisasikan perintah-perintah Islam yang dapat memelihara dan meningkatkan keimanan masyarakat. Pemerintah justru memprakarsai tindakan-tindakan yang bercorak sinkretis dan toleransi yang melampaui batas. Seolah kesadaran pemerintah telah hilang bahwa tanpa keimanan dan ketakwaan masyarakat serta para penguasanya mustahil kesentosaan hidup akan terwujud. Allah SWT memperingatkan dalam firman-Nya: "Sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barkah dari langit dan bumi. Hanyasaja mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan tindakan-tindakannya" (QS.Al A'raaf 96).

Ketiga, Gus Dur tidak jeli melihat persoalan-persoalan mendasar yang menjadi pangkal musabab terjadinya krisis dan tidak mengetahui cara pemecahannya yang sahih bagi penyelesaian krisis tersebut secara tuntas. Pangkal semua krisis itu sebenarnya terletak pada proses penyelenggaraan pembangunan, khususnya aspek politik (pemerintahan) dan ekonomi yang berjalan sepenuhnya mengikuti arahan negara-negara Barat Imperialis. Secara faktual, suatu negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya, dan sistem kapitalis dalam ekonominya, secara praktis senjata negara tersebut berada dalam genggaman kekuasaan bangsa kafir Kapitalis. Terutama Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. Dan Indonesia tidak diragukan lagi termasuk negara yang berada dalam cengkeraman Imperialisme Barat itu. Campur tangan dan intervensi AS seperti pada berbagai kasus yang belakangan terjadi sangat cukup menjadi bukti.

Semua kebijakan Gus Dur, khususnya yang menyangkut pemulihan ekonomi, hampir sepenuhnya mengikuti kemauan Barat (AS). Badan-badan Internasional seperti PBB, Bank Dunia, IMF, Amnesti Internasional bagi HAM yang Indonesia selalu tunduk kepadanya, mereka bekerja untuk kepentingan AS. Tidak mengherankan bila pemerintah terkesan selalu manut atas kendali 'sang Tuan', dan kehilangan inisiatif untuk merespon secara cepat dalam mengatasi masalah.

Sikap keras kepala pemerintah untuk tetap menjalin hubungan dan mengundang investor Yahudi, meskipun banyak yang tidak setuju dan menentang, juga merupakan kebijakan yang konyol. Sebab tidak ada keuntungan yang signifikan bagi pemulihan ekonomi. Justru kerugian moral dan ideologis yang lebih besar. Seolah Gus Dur dan para pendukungnya tak pernah membaca firman Allah:

"Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang di luar kalanganmu (kafir-musyrik), mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu..." (QS. Ali Imran 118).

Khatimah

Sesungguhnya masyarakat Indonesia di bawah pemerintahan Gus Dur, atau pemerintahan siapa pun tidak akan pernah meraih kejayaan dan kemuliaan selama tetap berpegang pada pandangan hidup atau sistem ideologi kufur seperti yang selama ini diberlakukan. Merindukan perbaikan hidup dalam kesejahteraan dan keadilan terhadap pemerintahan saat ini, tak ubahnya bagaikan menanti harapan yang hampa. Kerinduan itu hanya akan terobati dengan Islam dan penerapan syari'atnya yang suci.

Para pemuja, pengagum, pengikut dan pendukung Gus Dur dan Megawati, terutama mereka yang selama ini diam dalam sukacita tanpa pernah menyampaikan nasihat, kontrol dan kritik atau muhasabah, cepat atau lambat akan menanggung akibat yang menistakan. Waspadalah dan bertaubatlah. Allahumma ballaghna!, Ya Allah, kami telah sampaikan!