"Komentar Gus Mad"

Kofi Annan: DK PBB awasi terus Indonesia.

"Janganlah takut kepada mereka, tapi takutlah pada-Ku...." (QS. Al-Baqarah 150).

Yusril Ihza Mahendra: Pengadilan HAM mengikuti standar internasional.

"Kalian akan mengikuti jalan hidup umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian mengikutinya" (HR. Bukhari).

Edisi 091

Hal yang Adikuasa Mau (HAM)

Akhirnya Menko Polkam Jenderal TNI Wiranto dinonaktifkan dari jabatannya oleh Presiden Gus Dur. Keputusan tersebut dikeluarkan Presiden pada hari Minggu, 13 Februari menjelang tengah malam. Wajar karenanya, tidak semua surat kabar memberitakan hal tersebut pada pagi harinya. Mereka seperti tidak menduga akan dikeluarkannya keputusan itu. Maklum, pada pertemuan Minggu paginya antara Presiden Gus Dur, Wapres Megawati, Menko Polkam Wiranto dan Jaksa Agung Marzuki Darusman, diputuskan bahwa Jenderal Wiranto masih pada posisi sebagai Menko Polkam, sampai Kejaksaan Agung menemukan bukti kesalahannya. Keputusan Presiden yang sangat bertolak belakang dan hanya berselang beberapa jam itu, karuan saja mengundang polemik di antara berbagai kalangan. Sebagaimana juga sebelum itu, pro dan kontra mewarnai polemik sekitar kebijakan Presiden Gus Dur berkait dengan Wiranto selaku Menko Polkam yang mantan Panglima TNI.

Memang, Presiden Gus Dur dalam lawatannya yang cukup panjang ke luar negeri, berkali-kali menegaskan agar Wiranto segera mundur dari jabatan Menko Polkam. Penegasan Presiden tersebut berkait erat dengan rekomendasi Komnas HAM dan KPP HAM Timtim pada Jaksa Agung bahwa Wiranto bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Timtim. Alasan menonaktifkan Wiranto pun bersandar pada upaya pemeriksaan kejaksaan terhadap dugaan keterlibatan Wiranto dalam kasus pelanggaran HAM pasca penentuan pendapat di Timtim. “Untuk menunggu keputusan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim Jaksa Agung, dan supaya pemeriksaan berjalan netral, maka Jenderal Wiranto dinonaktifkan dari jabatannya...", tegas Presiden Gus Dur.

Menduduk-soalkan KPP HAM Timtim

Posisi Wiranto khususnya dan TNI pada umumnya, tampak terus terpojok, terutama sejak komisi penyelidik yang dibentuk oleh Komnas HAM, yakni KPP HAM Timtim mulai melaksanakan tugas investigasinya, kemudian secara prematur mengungkapkan kepada publik hasil temuan sementaranya. KPP HAM itu diadakan setelah muncul ancaman dan tekanan internasional yang akan menyeret mantan Panglima TNI dan sejumlah perwira lainnya ke Mahkamah Internasional. Mereka dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Timtim, bahkan dituduh sebagai penjahat perang. Mengapa? Meski hasil penentuan pendapat dimenangkan oleh pihak pro-kemerdekaan dan Timtim pisah dari Indonesia, namun negara-negara Barat yang berkonspirasi untuk merebut Timtim sangat tidak rela melihat Timtim yang telah hancur-lebur. Sehingga, mereka berkukuh untuk 'memberi pelajaran' kepada para jenderal yang dianggap paling bertanggung jawab. Ramos Horta sudah lama mengancam mereka yang dianggapnya sebagai penjahat perang, ke Mahkamah Internasional.

Ancaman konspirasi Barat itu tak pelak membuat pemerintahan Gus Dur gundah karena menghadapi dilema yang tidak ringan. Bila ia membiarkan para jenderal TNI diseret ke Mahkamah Internasional sebagai penjahat perang, kredibilitas dan reputasinya sebagai presiden akan terpuruk, terutama di hadapan rakyatnya sendiri. Sementara jika ia tidak 'mematuhi' kehendak Barat lewat PBB, program pemulihan ekonomi yang tengah dirintisnya bakal terseok-seok. Sebab, ancaman Barat yang durjana itu dinisbahkan dengan paket 'bantuan' ekonomi dan investasi. Sedang Gus Dur juga tidak punya anternatif lain, kecuali menghiba kepada Barat dalam program pemulihan ekonominya. Pada sisi lain, pemerintah juga tidak ingin dianggap melindungi para perwira TNI termasuk Wiranto. Karena, sudah terlanjur terbentuk opini pada sebagian besar masyarakat, bahwa mereka telah melanggar HAM di Timtim ataupun di sejumlah wilayah RI lainnya. Maka, pemerintah melalui Komnas HAM membentuklah KPP HAM Timtim yang konon dimaksudkan untuk mengamankan para jenderal dari jerat Mahkamah Internasional.

Menlu Alwi Shihab kemudian melakukan negosiasi dengan Sekjen PBB Kofi Annan dan memintanya agar memberi keleluasaan untuk KPP HAM. Maksudnya lebih kurang bahwa pemerintah RI akan mengadili para perwira TNI yang melakukan pelanggaran HAM di Timtim. Untuk itu, KPP HAM akan bekerja sesuai dengan prosedur yang digariskan PBB dalam mengusut dan mengungkap pelanggaran HAM oleh perwira TNI di Timtim pasca jajak pendapat. PBB tak perlu menuntut Jenderal Wiranto beserta jajarannya, tetapi cukup diadili di Indonesia dengan tetap mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi dunia internasional.

Dengan demikian, tidak bisa tidak, KPP HAM Timtim mesti melaksanakan tugasnya dengan metode dan prosedur internasional serta sejalan dengan kehendak PBB. Itulah konsekuensi dari keberadaannya, sekaligus syarat bagi adanya pengakuan atas kredibilitasnya. Bila tidak demikian, hasil kerja dan kredibilitasnya tidak akan diakui hingga karena itu, PBB tetap punya alasan untuk menyeret Wiranto dan yang lainya ke Mahkamah Internasional.

Jadi, cukup gamblang bahwa KPP HAM Timtim bekerja sepenuhnya mengikuti kehendak pihak asing yakni konspirasi Barat yang mendominasi PBB. Ketimpangan dalam proses investigasi, persekongkolannya dengan Interfet dan UNTAET, prosedur penyelidikan dan publikasi laporannya oleh Komnas HAM yang melampaui batas yuridis adalah di antara indikasi yang membuktikan akan hal itu. Tim Advokasi Perwira TNI menangkap kesan adanya konspirasi antara Komnas HAM, dengan UNTAET dan Interfet. Mantan Menkeh Ismail Saleh menyoroti isi laporan Komnas HAM hasil kerja KPP HAM Timtim kepada Jaksa Agung, dari aspek yuridis, inkonsistensi dan tidak proporsional. (Kompas, 14/2/2000). Sedang KPP HAM sendiri kerap mengatakan dengan nada mengancam, bila tak mau begini, biar saja nanti pengadilan internasional!

Hakikat Penonaktifan Wiranto

Di permukaan, perseteruan antara KPP HAM Timtim dan Wiranto yang kemudian dengan Gus Dur, dan berlanjut pada penonaktifan Wiranto melahirkan aneka tafsir publik sekitar kebijakan Presiden Gus Dur. Namun, bila dicermati kronologisnya sejak bergulirnya isu tersebut, pada hakikatnya semua bermuara pada eksekusi hukuman oleh konspirasi Barat atas diri Wiranto yang dinilai telah membumihanguskan Timtim, melalui tangan-tangan orang Indonesia dan penguasanya sendiri. Maka, Wiranto pun terus dieliminasi perannya, baik dalam militer maupun sosial politik, lantaran tekanan internasional menuntut demikian.

Presiden Gus Dur memang sangat bingung menghadapi persoalan ini. Wiranto bukanlah orang yang tergolong buruk dalam pandangannya, dan ia tidak menutup mata akan peran dan jasa Wiranto yang tidak kecil. Tetapi Gus Dur tak punya daya untuk menangkis tekanan Barat yang selama ini telah memanjakannya, dan yang akan menolong kekuasaannya secara politik maupun ekonomi. Gus Dur akhirnya memilih mengorbankan Wiranto. Jadi, tidak sulit untuk mengeja bahwa keputusan Gus Dur atas Wiranto lebih dipengaruhi oleh kemauan luar negeri. Akankah penguasa yang tak kuasa mengayomi rakyatnya dari tekanan pihak asing mampu menyejahterakan mereka?

Dimensi lain dari kasus Wiranto adalah adanya kehendak Barat untuk memformat TNI pada konstelasi baru tatanan Negara Kesatuan Rebublik Indonesia (NKRI) ke arah demokrasi yang dimaui Barat (AS). Isu kudeta merupakan teror kepada TNI untuk tujuan itu.

Di atas semua itu, yang menyedihkan adalah terus berlanjutnya kebijakan pemerintah RI yang disetir oleh kekuatan asing. Dan itu disadari serta diketahui oleh cukup banyak tokoh-tokoh elit negeri ini. Herannya, mereka kehilangan karsa untuk menolak dan menggerakkan rakyat untuk melawannya. Bila kondisi ini tidak berubah, sampai kapan kita biarkan imperialis Barat menginjak-injak dan mengeruk kekayaan kita? Apakah kita berpikir bahwa kita akan hidup sejahtera dan mulia dalam kondisi sedemikian?

Insyaflah wahai orang-orang yang nunut urip kepada Barat! Boleh jadi kalian memperolkenikmatan finansial dari mereka. Tetapi, perbuatan kalian mengakibatkan rakyat negeri ini kian terlunta. Tiada kebaikan sedikit pun bagi kalian. Justru kenistaanlah sejatinya yang menimpa, selama kalian tak berhenti meneriakkan slogan imperialis; apakah itu demokrasi atau pula hak asasi manusia (HAM).

Muslihat di Balik HAM

Seruan-seruan tentang ditegakkannya HAM telah membius kebanyakan umat manusia di seantero dunia. Pada satu sisi, fenomena tersebut wajar adanya. Karena, sebagai hak-hak dasar yang melekat secara inheren dalam diri insan, diakui hampir oleh semua manusia. Akan tetapi, HAM dalam perspektif Barat sangat musykil, baik dalam konsepsi maupun implementasinya.

Secara konsepsional, terjadi kontroversi tanpa titik temu. Apakah HAM itu bersendi pada asas universal atau asas lokalitas yang mengakui keragaman budaya. Lalu, pada sisi mana HAM itu berpihak: individu atau masyarakat. Dan dalam penanganannya, apakah HAM hanya menjadi urusan dalam negeri (statis) atau negara-negara lain yang lebih kuat berhak mencampuri negara lain dalam penegakan HAM (hegemonial). Kendati tidak ada kesepakatan mengenai konsep-konsep HAM tersebut, akan tetapi Dunia Barat memaksakan konsepsinya sendiri untuk diterapkan oleh semua negara di dunia. Apakah bangsa-bangsa Barat benar-benar mengakui dan menghormati HAM?

Realitas sejarah menunjukkan bahwa Barat sebagai bangsa-bangsa kolonialis-imperialis sangat tidak menghormati dan menghargai HAM. Penjajahan yang mereka lakukan betapa telah mendatangkan bencana dan penderitaan yang sangat berat atas berbagai bangsa di dunia. Merekalah yang memicu terjadinya krisis kemanusiaan yang dahsyat dalam Perang Dunia ke-1 dan ke-2.

Ketika AS menghancurkan Jepang dengan bom atom, di manakah HAM diletakkan? Sementara ribuan korban yang jatuh lebih banyak rakyat sipil ketimbang kalangan militer. Suatu yang bertentangan dengan hukum perang. Begitu pula saat Perang Vietnam. AS melakukan tindakan yang sangat biadab dengan membunuhi rakyat dan memusnahkan desa-desa, tidak lebih ringan dengan apa yang terjadi di Timor Timur. Manakah HAM itu?!

Apakah AS, Inggris, Prancis dan sekutu Barat lainnya, menghargai dan menegakkan HAM ketika mereka menyokong Israel mengusir, membunuh, memperkosa, membantai, dan tindakan biadab lainnya terhadap rakyat Palestina? Demikian juga pemboman bertubi-tubi terhadap Irak oleh AS dan Inggris, ditambah embargo yang sampai saat ini masih diberlakukan. Padahal akibat dari tindakan itu telah merenggut beribu-ribu nyawa penduduk tak bersalah dan sangat menyengsarakan rakyat Irak.

Masih sangat banyak peristiwa dan tragedi yang membuktikan bahwa imperialis Barat tidak sebenar-benarnya menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.

Dalam implementasinya, HAM sangat dipengaruhi oleh kepentingan pihak yang memiliki kekuatan. Dengan kata lain, penerapan HAM tidak terlepas dari kepentingan politis, ekonomis dan ideologis dari negara-negara yang punya kekuatan besar. Dalam konteks itu Dunia Barat khususnya AS, memanfaatkan isu HAM untuk menekan suatu negara demi kepentingannya sendiri. PBB dan badan internasional lainnya seperti IMF dan Bank Dunia acapkali dipakai AS untuk merealisasikan kepentingannya itu. Sehingga, penegakkan HAM disandarkan pada hal yang adikuasa mau.

Para Propagandis HAM

Mereka yang aktif mempropagandakan HAM melalui berbagai saluran seperti LSM dan selainnya, sadar atau tanpa sadar sebenarnya telah menjadi kaki-tangan imperialis Barat. Hal yang sama bagi para pejuang demokrasi. Karena sesungguhnya, imperialis Barat terutama AS memperluas pengaruh dan dominasinya atas negara-negara di dunia dengan isu demokrasi dan HAM.

Para pejuang demokrasi dan HAM domestik itu pada kenyataannya menjadi kelompok penekan yang membela kepentingan tententu dan mendapat bantuan finansial, manajerial dan pelatihan (SDM) dari luar negeri.

Oleh sebab itu bagi seorang muslim haram hukumnya terlibat dalam aktivitas tersebut. Siapa saja yang menerjunkan diri dalam perjuangan demokrasi dan HAM berdosa besar di sisi Allah, lantaran perbuatan itu dapat menjerumuskan pada kekafiran. Allah SWT mengingatkan dalam Al-Quran: "Wahai orang-orang beriman, jika kamu mengikuti orang-orang kafir itu, niscaya mereka menggiring kamu kepada kekafiran, maka jadilah kamu orang-orang yang merugi" (QS. Ali Imran 149). Dalam surat yang lain Allah menegaskan pula dalam firman-Nya: "Dan jika kamu menuruti kebanyakan manusia di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka hanyalah mengikuti suatu persangkaan, dan mereka pada dasarnya berdusta kepada Allah" (QS. Al An'am 116).

Sebaliknya, justru yang dilakukan oleh seorang muslim adalah membeberkan bahaya terselubung di balik penyebaran paham demokrasi dan HAM. Kemudian pada saat yang sama, setiap muslim wajib memperjuangkan diterapkannya syariat Islam yang penuh rahmat. Karena dengan penerapan syariat Islam itulah akan terjamin dan terpelihara hak-hak asasi manusia sebenar-benarnya.

Islam mempunyai perspektif yang khas, jelas dan gamblang tentang hak asasi manusia. Dan itu menjadi bagian integral dari sistem Islam dalam mengatur persoalan hidup manusia. Islam sangat menjunjung tinggi kehormatan dan kemuliaan manusia. Al-Quran memakzulkan kenyataan itu. "Dan sesungguhnya telah kami muliakan keturunan Adam. Kami angkat mereka di darat dan di laut. Kami beri mereka rizki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan" (QS. Al Isra 70).

Atas kemuliaan itulah Islam melindungi jiwa manusia dari ancaman sesamanya. Perlindungan tersebut bertujuan untuk menyelamatkan dan memelihara eksistensi manusia. Sehingga, pembunuhan atas satu jiwa manusia, pada hakikatnya sama seperti membunuh semua manusia. Dan balasan yang layak bagi orang yang membunuh adalah dibunuh pula. Islam pun melarang tindakan bunuh diri. Semua itu tertuang jelas di dalam Al-Quran. (lihat QS. Al Maidah 32, Al Baqarah 178-179, An Nisaa' 29).

Hak-hak lainya seperti hak memiliki dan mengusahakan harta (ekonomi), hak berpolitik, hak edukasi, dan hak primer yang lain, Islam menjamin pemenuhannya atas tanggung jawab negara dalam merealisasikan kehidupan Islam.

Khatimah

Apa yang dikumandangkan negara-negara Barat soal penegakan HAM sebenarnya hanya isapan jempol belaka. Tidak ada sama sekali dalam kenyataan. Dunia Barat tidak pernah memuliakan harkat manusia dalam arti yang sebenarnya.

HAM sekadar menjadi komoditas politik internasional yang kerap dipakai sebagai pembenaran untuk melakukan intervensi ke negara lain.

Penegakan dan perlindungan atas hak-hak asasi manusia hanya akan terwujud manakala Islam memegang tampuk kekuasaan, dan dunia berada dalam kendali kepemimpinannya. Di sanalah Islam kelak akan mengakhiri kedigdayaan dan kesemena-menaan bangsa-bangsa imperialis kafir. Generasi Islam yang murni kini telah lahir di seluruh penjuru negeri muslim. Mereka tengah menempa diri, siaga menghadapi pertarungan akbar di abad ini dan akan menumpas para durjana yang telah membuat malapetaka kehidupan.