"Komentar Gus Mad"

Gus Dur: Ada skenario besar ingin jatuhkan presiden.

Tak usah repot, toh yang bisa memberikan kekuasaan kepada seseorang dan mencabut darinya hanyalah Allah (QS. Ali Imran 26).

Seluruh PTN kini terancam kesulitan membiayai kegiatan pendidikan, karena mulai April 2000 seluruh subsidi untuk dana operasional pendidikan akan dihapus.

Itu resiko mengikuti petunjuk IMF. Kalau menurut petunjuk RasululIah saw., biaya pendidikan ditanggung negara 100% !

Edisi 092

Jangan Salah Menegakkan Supremasi Hukum

Akhir-akhir ini marak tuntutan ditegakkannya supremasi hukum, khususnya terkait dengan tindakan yang dilakukan pejabat di masa lalu baik mengenai pelanggaran HAM maupun keputusan-keputusan dalam masalah ekonomi. Hanya saja persoalannya menjadi pelik manakala hukum yang hendak ditegakkan supremasinya itu ternyata tak mampu menjangkau perkara yang dipersoalkan, misalnya hal ini tampak sekali pada peradilan masalah HAM yang hingga hari ini belum ada Undang-undangnya.

Persoalan ini kemudian memicu perbedaan pendapat yang sulit diketemukan. Di satu sisi UU Peradilan HAM yang akan dibuat dan disahkan itu diinginkan berlaku surut agar pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi selama ini bisa diadili. Di sisi lain, sebagaimana diungkap Menkumdang Yusril Ihza Mahendra dalam suatu forum, Deklarasi HAM sendiri menegaskan bahwa UU peradilan HAM tidak boleh berlaku surut! Sementara desakan-desakan untuk peradilan HAM itu sering lebih bernuansa politis ketimbang penegakan keadilan dan kebenaran itu sendiri!

Juga andaikan UU itu disahkan, benarkah undang-undang itu memiliki kelayakan untuk menduduki posisi supremasinya atas umat manusia yang akan dikenai hukum itu? Tulisan ini mencoba memberikan gambaran tentang hukum siapa yang paling layak menempati supremasi hukum itu. Pula, bagaimana menangani kasus-kasus perkara yang terjadi sebelum berdirinya suatu sistem hukum yang ditegakkan supremasinya itu seiring dengan tumbangnya sistem hukum dan pemerintahan sebelumnya. Tentu saja dalam perspektif Islam.

Hukum Siapa Paling Layak?

Barangkali akan menjadi perdebatan panjang kalau dua bangsa yang masing-masing memiliki hukum adat ataupun kodifikasi yang telah dihasilkan oleh para ahli hukum mereka untuk menentukan hukum buatan bangsa mana yang paling layak untuk menempati posisi supremasi hukum bagi kedua bangsa tersebut. Perdebatan itu barangkali berakhir dengan kesepakatan untuk melaksanakan hukum nasional masing-masing di wilayah masing-masing. Artinya, supremasi hukum masing-masing sebatas wilayah masing-masing kedua bangsa tersebut.

Jika bangsa yang satu mengalahkan bangsa yang lain dalam suatu perang fisik maupun non fisik, lalu bangsa yang satu menjajah atau mendominasi bangsa yang lain, maka akan terjadi pergeseran keadaan dimana hukum bangsa yang menang ditransformasikan menduduki supremasi hukum bagi kedua bangsa tersebut -terlepas pelaksanaannya diskriminatif atau tidak. Jika suatu bangsa mampu mengalahkan bangsa-bangsa lain di dunia, dan dalam percaturan politik internasional dia menduduki negara nomor satu di dunia, maka hukum bangsa tersebut pun akan bergesar dari hukum nasional bangsa itu menjadi hukum internasional. Jadilah hukum bangsa nomor satu di dunia itu menempati supremasi hukum dunia internasional.

Dan sejalan dengan perubahan peta politik internasional, perubahan suatu sistem hukum dalam kedudukannya di masyarakat dan posisinya sebagai pemegang supremasi bisa berubah sesuai dengan perubahan politik. Tatkala Kaisar Justinianus berkuasa atas daerah Italia hingga pantai utara Afrika, perundang-undangan Rumawi yang dikumpulkannya dalam Corpus Yuris berlaku di wilayah tersebut. Ketika kekhilafahan Islam menguasai sebagian besar wilayah dunia lama, yakni Asia, Afrika, dan sebagian Eropa, maka hukum Islam menempati supremasi hukum di wilayah yang didiami berbagai bangsa itu. Dan ketika kebangkitan Eropa -khususnya setelah Revolusi Perancis dan Revolusi Industri- menggeser dominasi Khilafah Utsmaniyah pada abad ke-19 M, supremasi hukum Eropa menggeser supremasi hukum Islam, bahkan di negeri-negeri Islam sendiri.

Pertanyaannya di masa sekarang, masihkah kita bertahan dengan logika kelompok penguasa itulah pemegang kekuasaan untuk menentukan hukum apa yang paling tepat untuk menempati supremasinya itu? Ataukah kita perlu merenung lebih dalam, sebenarnya hukum apakah yang paling layak untuk menempati supremasi itu?

Bagi kalangan muslim -apa pun aliran madzhabnya- tentu Islam adalah dinul haq yang telah disempurnakan oleh Allah SWT sebagai pedoman hidup manusia. Allah SWT berfirman:

Çáúíóæúãó ÃóßúãóáúÊõ áóßõãú Ïöíäóßõãú æóÃóÊúãóãúÊõ Úóáóíúßõãú äöÚúãóÊöí æóÑóÖöíÊõ áóßõãõ ÇáúÅöÓúáóÇãó ÏöíäðÇ

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS. Al Maidah 3).

Dan bertahkim kepada hukum Allah SWT yang merupakan bagian penting dalam tegaknya dinul Islam adalah perkara yang dihubungkan dengan keimanan kaum muslimin. Ketika ada seorang muslim yang lebih condong kepada pengadilan pimpinan Yahudi, Ka'ab bin Al Asyrof, dan tidak rela kepada keputusan hukum yang diberikan oleh Rasulullah saw. dalam mengadili perkara yang terjadi antara dia dengan seorang Yahudi, Allah SWT menurunkan ayat yang menegaskan bahwa bertahkim kepada hukum Allah dan Rasul-Nya adalah barometer keimanan seseorang. Dia berfirman:

ÝóáóÇ æóÑóÈøößó áóÇ íõÄúãöäõæäó ÍóÊøóì íõÍóßøöãõæßó ÝöíãóÇ ÔóÌóÑó Èóíúäóåõãú Ëõãøó áóÇ íóÌöÏõæÇ Ýöí ÃóäúÝõÓöåöãú ÍóÑóÌðÇ ãöãøóÇ ÞóÖóíúÊó æóíõÓóáøöãõæÇ ÊóÓúáöíãðÇ

"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya" (QS. An Nisa 65).

Dalam kasus tersebut Rasulullah saw. memutuskan bahwa orang Yahudi menang perkara. Ini membuktikan bahwa penerapan hukum Islam sebagai pemegang supremasi hukum berlaku terhadap siapapun. Juga kebenaran dan keadilan dalam sebuah perkara tetap terbukti dan dapat ditegakkan walaupun bagi suatu kaum yang memiliki kebencian kepada Islam. Tentu ini tak lepas dari firman Allah:

æóáóÇ íóÌúÑöãóäøóßõãú ÔóäóÂäõ Þóæúãò Úóáóì ÃóáøóÇ ÊóÚúÏöáõæÇ ÇÚúÏöáõæÇ åõæó ÃóÞúÑóÈõ áöáÊøóÞúæóì...

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." (QS. Al Maidah 8).

Fakta sejarah menunjukkan bahwa hukum Islam sebagai hukum Allah SWT adalah satu-satunya hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat manusia, muslim maupun non muslim, kalangan bangsawan maupun rakyat jelata, orang-orang kaya maupun orang-orang miskin, kawan maupun lawan. Tatkala para bangsawan Quraisy meminta kepada Usamah bin Zaid agar meminta kebijaksanaan Rasulullah saw. terhadap seorang bangsawan wanita yang mencuri, maka Rasulullah saw. dengan tegas bersabda:

"Hancurnya umat-umat terdahulu adalah tatkala kalangan rakyat jelata melakukan pelanggaran, mereka menerapkan hukum dengan tegas, tetapi manakala pelanggar itu dari kalangan bangsawan, mereka tidak melaksanakan hukum sepenuhnya. Oleh karena itu, kalau sekiranya Fatimah putri Rasullah mencuri, pasti kupotong tangannya".

Perlu kita ketahui, hukuman potong tangan terhadap pencuri (dengan batas minimal barang yang dicuri 1/4 dinar emas = sekitar 1 1/16 gram emas) adalah termasuk hudud Allah yang tak bisa dibatalkan oleh siapapun, termasuk Nabi Muhammad saw. dalam posisi sebagai Rasulullah saw. dan kepala negara.

Oleh karena itu, Rasul dan siapapun di antara kaum muslimin yang memiliki wewenang hukum untuk mengadili perkara, senantiasa diseru oleh Allah SWT agar tetap menerapkan hukum Allah SWT, sebagai satu-satunya hukum yang layak menempati posisi supratas perkara yang terjadi di antara manusia. Allah SWT berfirman:

æóÃóäö ÇÍúßõãú Èóíúäóåõãú ÈöãóÇ ÃóäúÒóáó Çááøóåõ æóáóÇ ÊóÊøóÈöÚú ÃóåúæóÇÁóåõãú æóÇÍúÐóÑúåõãú Ãóäú íóÝúÊöäõæßó Úóäú ÈóÚúÖö ãóÇ ÃóäúÒóáó Çááøóåõ Åöáóíúßó

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkaradi antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu" (QS. Al Maidah 49).

Sistem Hukum Islam Lain dari yang Lain

Perbedaan utama sistem hukum Islam dengan sistem hukum lain adalah berawal dari sumber hukum itu sendiri. Hukum Islam berasal dari Allah Al Khaliq yang telah menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Oleh karena itu, di samping hukum Islam meliputi segala permasalahan hidup serta menjangkau setiap permasalahan baru, juga dimensinya dunia akhirat. Artinya, setiap perbuatan apabila diproyeksikan terhadap hukum Islam, maka akan ada penilaian pahala dan dosa yang bakal dibalas di akhirat kelak disamping ada konsekwensi di dunia. Keyakinan dan kesungguhan meletakkan hukum Islam sebagai supremasi atas interaksi kehidupan manusia akan memberikan dampak keakhiratan berupa pahala dan janji sorga Allah SWT. Bahkan Allah SWT lebih menyukai diterapkannya salah satu hukum hudud daripada menurunkan hujan (rahmat) sebanyak 40 hari.

Penerapan sanksi itu sendiri memiliki dampak dua dimensi, yakni dunia dan akhirat. Dampak dunia berupa tercegahnya pelanggaran-pelanggaran hukum serupa di masyarakat. Dampak di akhirat, pelaksanaan sanksi itu akan menjadi penebus atas sanksi siksa Allah di akhirat yang tentu lebih pedih dari yang diterima pelakunya di dunia. Sebagai contoh, jika seorang membunuh di dunia, maka penerapan sanksi hukum qishsah itu bagi yang bersangkutan akan menjadi penebus bagi siksa Allah terhadapnya di akhirat. Ia akan bebas dari tuntutan atas perbuatan itu di mahkamah akhirat kelak. Sedangkan penerapan hukum qishash terhadapnya akan memberikan dampak mencegah terulangnya perbuatan serupa. Orang berpikir seribu kali untuk membunuh jika ia sadar bahwa hukum bagi pembunuh adalah hukuman mati. Allah SWT menjelaskan bahwa hukum qishash justru menjaga kehidupan di masyarakat. Dia berfirman:

æóáóßõãú Ýöí ÇáúÞöÕóÇÕö ÍóíóÇÉñ íóÇÃõæáöí ÇáúÃóáúÈóÇÈö áóÚóáøóßõãú ÊóÊøóÞõæäó

"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa" (QS. Al Baqarah 179).

Keunikan yang tak terdapat dalam sistem hukum lain, sistem hukum Islam memiliki 4 jenis sanksi hukum. Pertama, perkara-perkara yang termasuk dalam hudud. Perkara dalam lingkup hudud adalah pelanggaran terhadap hukum Allah SWT dimana ditegaskan hak Allah untuk membatasi sanksi hukum yang pasti dan tak ada pilihan kecuali dilaksanakan. Misalnya saja, pencurian atas barang yang bernilai minimal setara dengan 1/4 dinar emas adalah dikenai sanksi potong tangan. Allah SWT berfirman:

æóÇáÓøóÇÑöÞõ æóÇáÓøóÇÑöÞóÉõ ÝóÇÞúØóÚõæÇ ÃóíúÏöíóåõãóÇ ÌóÒóÇÁð ÈöãóÇ ßóÓóÈóÇ äóßóÇáðÇ ãöäó Çááøóåö

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah". (QS. Al Maidah 38).

Kedua, perkara-perkara yang termasuk dalam jinayat. Yakni, perkara pelanggaran fisik terhadap seorang manusia. Berbeda dengan hudud, perkara dalam jinayat ini memiliki tiga alternatif tindakan hukum atas pelaku pelanggarannya dimana wewenang memilih alternatif ada pada korban (untuk kasus pencideraan fisik) atau keluarga korban (untuk kasus pembunuhan). Pertama, ditawarkan qishash. Jika korban atau keluarga korban menerimanya, maka pelaku akan dikenakan sanksi balas. Jika dia mematahkan kaki korban, maka kakinya akan dipatahkan. Jika dia membunuh, maka dia akan dihukum mati. Bila korban atau keluarga korban menolak, maka korban atau keluarga korban berhak atas diat, berupa tebusan harta yang besarnya menurut keterangan hukum syara'. Misalnya, diat untuk pembunuhan sebesar 100 ekor onta atau 200 ekor sapi atau 2000 ekor kambing atau uang emas seribu dinar. Jika ia menanggalkan satu gigi, maka korban berhak atas lima ekor onta.

Jika korban atau keluarga korban menolak dua pilihan tersebut, maka berarti mereka memaafkan pelaku pelanggaran tersebut dan berhak atas pahala yang besar di akhirat.

Ketiga, perkara-perkara yang termasuk dalam ta'zir. Yakni, sanksi atas perkara pelanggaran hukum Allah SWT, tetapi bentuk sanksinya diserahkan kepada Qadli (Hakim) dengan merujuk kepada ragam sanksi hudud mulai dari yang teringan sampai terberat: hukuman mati.

Keempat, perkara-perkara yang termasuk dalam mukhalafat. Mukhalafat adalah pelanggaran terhadap perkara-perkara yang syara' sudah memberikan kewenangan kepada penguasa (khalifah) untuk mengaturnya demi kemaslahatan umum. Bentuk sanksi atas perkara-perkara ini ditentukan oleh undang-undang yang disusun oleh khalifah. Misalnya, UU Lalu-lintas.

Mengatasi Persoalan Masa Lalu

Jika terjadi pergantian sistem dari sistem pemerintahan demokratis dan sistem hukum Barat kepada sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah dengan penerapan sistem hukum Islam, maka perkara-perkara yang terjadi sebelum berlakunya sistem Islam akan dituntaskan menurut sistem hukum Islam manakala perkara itu sudah diajukan ke mahkamah peradilan tapi belum selesai proses pengadilannya. Perkara-perkara yang belum masuk proses hukum dibatalkan perkaranya.

Tidak ada perkara baru yang diajukan ke mahkamah kecuali para pelakunya sendiri datang memberi kesaksian dan meminta dirinya disucikan dengan penerapan sanksi hukum Islam yang berdimensi keakhiratan itu. Sebab, falsafah pengadilan bukanlah mencari-cari kesalahan orang, tetapi memberitahukan hukum Allah kepada setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sehingga perkara apapun yang tidak diajukan kepada mahkamah bukanlah tanggung jawab mahkamah untuk mencarinya.

Dengan sistem tersebut, negara baru yang menjalankan sistem kehidupan baru termasuk sistem hukum dan peradilan baru itu tidak sibuk mengadili orang tetapi menciptakan tertib hukum dalam interaksi di antara warga negara dalam rangka memenuhi kemaslahatan masing-masing individu warga negara itu.

Khatimah

Jelaslah supremasi hukum yang berlaku dalam masyarakat manusia yang mengakui Allah SWT sebagai Al Khalik dan masyarakat beradab yang mengerti kemaslahatan yang hakiki, adalah supremasi hukum Allah SWT atas manusia.

Segala tuntutan penegakan supremasi hukum dengan melupakan penerapan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat -apalagi masyarakat kaum muslimin di negeri-negeri Islam- adalah omong kosong belaka. Lebih-lebih justru meninggalkan hukum Islam untuk mencari hukum yang lain.

Kita semua yang mau merenung, pasti mudah mengerti firman Allah SWT:

ÃóÝóÍõßúãó ÇáúÌóÇåöáöíøóÉö íóÈúÛõæäó æóãóäú ÃóÍúÓóäõ ãöäó Çááøóåö ÍõßúãðÇ áöÞóæúãò íõæÞöäõæäó

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al Maidah 50).

Allahumma ballaghna! Ya Allah, kami telah sampaikan!