"Komentar Gus Mad"

Rapim DPR menolak anggotanya dipersenjatai

DPR memang bukan milisi, tetapi dewan untuk amar makruf nahi mungkar kepada penguasa (QS. Ali Imran 104)

Pimpinan DPR meminta aparat meningkatkan pengamanan terhadap wakil rakyat di gedung DPR maupun di luar.

Keamanan itu hak seluruh rakyat yang harus dipenuhi negara secara gratis.

Edisi 094

MENENTUKAN HARI IDUL ADHA YANG BENAR

Setiap muslim berkewajiban menstandarisasi setiap perbuatannya, baik yang berkait dengan amal ibadah dalam arti khusus maupun amal-amal lain di luar ibadah yang khusus, dengan ketentuan hukum syara’. Ini merupakan sebuah kemestian agar tidak terjadi distorsi amal yang menyebabkan kesia-siaan atau amal tersebut justru membuahkan petaka bagi dirinya di kemudian hari. Prinsip ini termasuk hal yang harus dipedomani dan tak boleh diabaikan.

Berkaitan dengan pelaksanaan manasik haji yang akan dilaksanakan oleh setiap muslim yang memiliki istitho'ah (kemampuan) untuk menempuh jalannya, Nabi Muhammad saw. bersabda:

ÎõÐõæúÇ Úóäøöíú ãóäóÇÓößóßõãú

"Ambillah dariku manasik haji yang kalian lakukan" (Al Hadits).

Sedangkan berkaitan dengan pelaksanaan sholat, Rasulullah saw. bersabda:

ÕóáøõæúÇ ßóãóÇ ÑóÃóíúÊõãõæúäöíú ÃõÕóáøöí

"Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat" (Al Hadits).

Oleh karena itu, setiap muslim mesti menyesuaikan diri dengan ketentuan Sunnah Rasulullah saw. dan melaksanakannya dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Allah SWT semata. Inilah yang menjadi prinsip amal dalam kepribadian kaum muslimin dari masa ke masa sejak zaman shahabat yang dibina Rasulullah saw.

Hanya saja, di masa yang jauh dari kehidupan Islam seperti sekarang ini, tidak jarang kaum muslimin mengambil pertimbangan lain dalam menentukan sikap dan menjalani perbuatannya. Contoh paling kongkrit adalah masalah penetapan hari-raya Idul Fitri maupun Idul Adha yang menjadi bagian ibadah terpenting dalam kehidupan spiritual kaum muslimin. Lantaran realitas kaum muslimin kini hidup terpecah-belah dalam berbagai bangsa dan negara berdasarkan nasionalisme, maka realitas itu ternyata mempengaruhi pertimbangan kaum muslimin dalam menentukan kapan berhariraya Idul Fitri dan Idul Adha. Mayoritas mereka awam dan mengikuti saja pengumuman pemerintah tanpa mengambil sikap kritis. Padahal pemerintah masing-masing negara mengambil kebijakan dengan pertimbangan masing-masing yang tidak jarang bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh; dalam kasus Idul Adha tahun lalu pemerintah Saudi Arabia menetapkan hari Arafah (pelaksanaan wukuf) tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Jum’at bertepatan tanggal 26 Maret 1999. Jadi, Idul Adha tiba esok harinya yakni 10 Dzulhijjah 1419 H bertepatan hari Sabtu tanggal 27 Maret 1999. Tetapi kemudian pemerintah Indonesia menetapkan Idul Adha jatuh pada hari Minggu tanggal 28 Maret 1999, dengan alasan bahwa hari Arafah di Indonesia baru jatuh pada hari Sabtu tanggal 27 Maret 1999. Tentunya orang Indonesia yang sholat Ied pada hari Minggu tanggal 28 Maret itu bertepatan dengan hari tasyriq. Dan mereka berpuasa pada hari Nahr dimana para jamaah haji (yang di anataranya juga dari Indonesia) sedang melempar jumrah dan kaum muslimin yang lain hari itu melaksanakan sholat Ied.

Sehingga, di era informasi dan globalisasi seperti sekarang ini, taklid buta masyarakat kaum muslimin kepada pihak yang berwenang itu menjadi persoalan. Perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri (1 Syawal) dan Idul Adha (10 Zulhijjah) yang begitu mudah tersiar dalam saluran media massa cetak maupun elektronik menjadi tontonan yang tidak sedap. Umat seakan dibiarkan terpecah belah.

Padahal, kalau umat dan pemerintah menggunakan satu patokan hukum syara' untuk penentuan kedua hari raya tersebut, maka persatuan dan kesatuan umat Islam di seluruh dunia akan menjadi kenyataan yang mengagumkan. Untuk itu, tulisan ini mencoba mengupas penetapan hari raya Idul Adha dengan semangat mewujudkan kesatuan umat tersebut.

Penentuan Idul Adha Menurut Syara’

Pelaksanaan Idul Adha wajib dilakukan secara serentak dalam hari yang sama oleh segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kewajiban tersebut ditentukan berdasarkan berbagai dalil syar’i, di antaranya:

  1. Hadits Rasulullah SAW:
  2. ÇóáúÝöØúÑõ íóæúãó íõÝúØöÑõ ÇáäøóÇÓõ æóÇúáÃóÖúÍì íóæúãó íõÖóÍøöí ÇáäøóÇÓõ .

    “Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika umat manusia menyembelih kurbannya.” (HR. Tirmidzi dari ‘Aisyah ra).

    Selain itu Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadits Nabi SAW dengan lafadz berbeda:

    ÇóáÕøóæúãõ íóæúãó íóÕõæúãõæúäó æóÇáúÝöØúÑõ íóæúãó íõÝúØöÑõæúäó æóÇúáÃóÖúÍì íóæúãó íõÖóÍøõæúäó .

    “Berpuasa (Ramadlan) adalah saat mereka berpuasa, Idul fitri adalah saat mereka berbuka, dan Idul Adha adalah saat mereka menyembelih (hewan kurban).”(HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra)

    Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perayaan Idul Adha dilakukan pada saat (jamaah haji) melakukan penyembelihan hewan kurban (berkurban), tanggal 10 Dzulhijah, yaitu sehari setelah mereka wukuf di Arafah, bukan hari yang lain. Dalam hal ini Ummul Mukminin ‘Aisyah ra mengatakan:

    “Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkurban itu adalah saat Imam menyembelih kurban.” (HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan).

    Ini lebih menegaskan lagi bahwasanya penetapan hari (wukuf) di Arafah, dan Idul Adha (yaumul hadyi) diputuskan oleh Khalifah kaum muslimin, yang berlaku serentak untuk seluruh kaum muslimin di negeri mana pun, baik mereka tinggal di negeri Hijaz, Mesir, Suriah, Turki, Irak, Pakistan, Uzbekistan, atau pun di Indonesia.

  3. Hadits yang berasal dari Husain bin Harits Al Jadali, yang menyampaikan:

Ãóäøó ÃóãöíúÑó ãóßøóÉó ÎóØóÈó: ÚóåöÏó ÇöáóíúäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåö Õóáøóì Çááå Úóáóíúåö æó Óóáøóãó Ãóäú äóäúÓõßó áöáÑøõÄúíóÉö ÝóÅöäú áóãú äóÑóåó æóÔóåöÏó ÔóÇåöÏñ ÚóÏúáñ äóÓóßúäóÇ ÈöÔóåóÇÏóÊöåöãóÇ

“Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah, yakni Al Harits bin Hathib) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah SAW berpesan pada kami (para wali Makkah) agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru`yat. Apabila kami tidak melihat (ru`yat)nya, sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kami harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu Daud).

Perkataan Amir Mekkah Al Harits bin Hathib “ahida ilainaa Rasulullah saw an nansuka lirru’yah,” (Rasulullah saw. telah berpesan pada kami agar menjalankan manasik haji berdasarkan ru’yah) dikemukakan dalam kedudukannya sebagai Amir Mekkah. (Ia menduduki jabatan tersebut pada masa kekhilafahan Abdullah bin Azzubair, kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, dan sesudahnya). Hal ini berarti bahwa pesan (al ‘ahdu) itu adalah dari Rasulullah bagi orang seperti dirinya selaku Amir Mekkah. Adalah Attaab bin Usaid yang bertindak sebagai Amir Mekkah pada masa Rasulullah. Sehingga, kandungan pesan Rasulullah SAW tersebut tertuju untuk Amir Mekkah, bukan untuk kaum muslimin secara umum. Sebab, kata al ‘ahdu dalam konteks ini bermakna suatu yang diwasiatkan Rasulullah kepada amir atau wali Mekkah ketika Beliau saw. mengangkatnya sebagai wali di sana. Dalam Kamus Lisaanul Arab, juz 3 halaman 311, disebutkan: “Dan pesan (al ‘ahdu) adalah suatu yang ditetapkan bagi para wali; al ‘ahdu merupakan pecahan kata -musytaq- dari ‘ahida, jamaknya ‘uhuudun. Wa qod ‘ahida ilaihi ‘ahdan (sungguh dia telah menyampaikan pesan kepadanya). Dikatakan pula dalam kitab itu: “‘ahida ilayya fii kadza (dia menyampaikan pesan kepadaku dalam hal anu), artinya adalah aushaani (dia berwasiat kepadaku).

Adapun sabda Nabi SAW “an nansuka lirru’yah” maksudnya adalah agar kami menyembelih kurban pada yaumun nahar, atau agar kami menunaikan syiar-syiar haji, setelah terbukti adanya ru’yah. Hal ini karena, sekali pun bahasa Arab menggunakan kata nusuk dalam arti ibdan setiap aktivitas penghambaan diri kepada Allah, akan tetapi syara’, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak nash baik dalam al Quran maupun sunnah, telah menggunakannya dengan arti (untuk) manasik haji. Jadi, kata nusuk memiliki makna syar’i yang relatif berbeda denganmakna lughawi-nya.

Wajib Mengikuti Pengumuman Hari Wukuf oleh Penguasa Kota Mekkah

Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkahlah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.

Maka, tidak diperbolehkan kaum muslimin menjalankan puasa sunat pada hari tatkala jamaah haji tengah melempar jumrah dan menyembelih kurban, karena hari itulah hari Idul Adha. Sebab, berpuasa pada hari itu serta hari tasyriq haram hukumnya. Apa yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin di Indonesia yang tahun lalu berbeda penetapan jatuhnya Idul Adha (sehari lebih lambat) adalah suatu yang salah. Perbedaan waktu di Indonesia dengan di Arafah hanya terpaut sekitar 4 jam saja, tidak sampai 24 jam (1 hari).

Dari paparan di atas jelaslah bahwasanya penetapan Idul Adha ditempuh melalui cara ru`yatul hilal yang yang disahkan oleh Amir Mekkah atau penguasa yang mengelola kota Mekkah. Hal ini juga menunjukkan bahwa jatuhnya hari raya Idul Adha itu harus sama dan serentak di setiap negeri kaum muslimin, mengikuti penetapan jatuhnya Yaumun Nahar (sehari setelah wukuf Arafah) yang dijalankan oleh jamaah haji di tanah suci. Apabila terdapat perbedaan jatuhnya hari Arafah, begitu pula hari raya Idul Adha seperti terjadi di Indonesia tahun 1419 H lalu, dengan yang dilakukan oleh jamaah haji, lalu atas dasar syariat siapa dan argumen apa kaum muslimin di sini merayakan Idul Adha?

Oleh karena itu, kaum muslimin di Indonesia tidak boleh membedakan diri dalam merayakan hari raya Islamnya dari kaum muslimin di negeri-negeri mereka lainnya, seperti halnya seluruh negeri-negeri Islam yang lain mengikuti hari ke-10 bulan Dzulhijjah berdasarkan ru`yat negeri Hijaz sebagai hari raya Idul Adha mereka. Mereka beraklamasi untuk menjalankan Idul Adha berdasarkan satu ru`yat, sama harinya dengan yang dijalankan oleh jamaah haji di tanah suci.

Lalu mengapa Indonesia pada tahun lalu begitu berani membedakan diri? Apakah Indonesia hendak menjadi negeri pertama yang membuat kebiasaan buruk (sunnatan sayyiatan) dalam Islam. Tentu dosa perbuatan itu harus ditanggung oleh para ulama dan penguasanya yang membiarkan hal ini terjadi, padahal mereka mampu mengubahnya sekaligus mengikuti hari raya Idul Adha sebagaimana yang dirayakan oleh jamaah haji di tanah suci?

Khatimah

Berdasarkan informasi yang disimpulkan dari pencucian Ka'bah oleh Gubernur Mekkah Pangeran Abdul Majid bin Abdul Aziz, wukuf di Arafah jatuh pada hari Rabu 9 Dzul Hijjah bertepatan dengan tanggal 15 Maret 2000 (Republika, 7 Maret 2000). Jika informasi itu benar, maka hari Idul Adha 1420 H insya Allah jatuh pada hari Kamis tanggal 16 Januari 2000.

Kita berharap kaum musimin di seluruh dunia merayakan hariraya Idul Adha tahun ini pada hari dan tanggal yang sama. Sebab Allah SWT memerintahkan kita untuk senantiasa bersatu dalam agama-Nya dan tidak bercerai-berai (QS. Ali Imran 103). Wallahua'lam!

Çááå ÇßÈÑ Çááå ÇßÈÑ ,Çááå ÇßÈÑæááå ÇáÍãÏ

Hadirilah... Sholat Idul Adha

Bersama Keluarga Besar Syabab Hizbut Tahrir

Tanggal : 10 Zulhijjah 1420H (Sehari setelah wukuf di padang Arafah).

Pukul : 7.30 WIB

Tempat : Lapangan Parkir Timur Senayan

Khotib : Al Ustadz M. Ahmad Jannati

Informasi/Konfirmasi: Sekretariat Panpel: Jl. Cililitan Kecil 1 No. 11 RT15/07 Jakarta, Tilp. (021) 9185845

Keluarga Besar Badan Wakaf AS SALAM mengucapkan:

Selamat Menunaikan Ibadah Haji, Selamat Hari Raya Idul Adha 1420H,

dan

Selamat Berqurban

ÊóÞóÈøóáó Çááåõ ãöäøóÇ æóãöäúßõãú

Dan kepada para jama'ah Hajji, semoga menjadi Haji yang Mabrur