JUDUL KEGIATAN:
PEMBUATAN PERATURAN PEMERINTAH
TUJUAN KEGIATAN:
TAHAPAN KEGIATAN:
REFERENSI:
1.
MATERI
MUATAN
Pasal
10 UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah
berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Dalam Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 dibatasi
bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
2.
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PEMERINTAH
Dalam
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, diuraikan mengenai SISTEMATIKA TEKNIK
PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, yang meliputi:
BAB I |
KERANGKA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
JUDUL |
|
|
B. |
PEMBUKAAN |
|
|
|
1. |
Frase Dengan Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa |
|
|
2. |
Jabatan Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan |
|
|
3. |
Konsiderans |
|
|
4. |
Dasar Hukum |
|
|
5. |
Diktum |
|
C. |
BATANG TUBUH |
|
|
|
1. |
Ketentuan Umum |
|
|
2. |
Materi Pokok yang Diatur |
|
|
3. |
Ketentuan Pidana (Jika
diperlukan) |
|
|
4. |
Ketentuan Peralihan (Jika
diperlukan) |
|
|
5. |
Ketentuan Penutup |
|
D. |
PENUTUP |
|
|
E. |
PENJELASAN (Jika
diperlukan) |
|
|
F. |
LAMPIRAN (Jika diperlukan) |
|
BAB II |
HAL-HAL KHUSUS |
||
|
A. |
PENDELEGASIAN KEWENANGAN |
|
|
B. |
PENYIDIKAN |
|
|
C. |
PENCABUTAN |
|
|
D. |
PERUBAHAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
|
|
E. |
PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG |
|
|
F. |
PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL |
|
BAB III |
RAGAM BAHASA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
BAHASA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
|
|
B. |
PILIHAN KATA ATAU ISTILAH |
|
|
C. |
TEKNIK PENGACUAN |
|
BAB IV |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA |
|
|
B. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI
UNDANG-UNDANG. |
|
|
C. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN
BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI |
|
|
D. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG |
|
|
E. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG |
|
|
F. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG |
|
|
G. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG |
|
|
H. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PEMERINTAH |
|
|
I. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PRESIDEN |
|
|
J. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
DAERAH |
Uraian selanjutnya mengikuti sistematika tersebut di
atas.
2.1 KERANGKA PERATURAN
PEMERINTAH
Kerangka
peraturan pemerintah terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang
Tubuh;
D. Penutup;
E. Penjelasan
(Jika diperlukan);
F. Lampiran
(Jika diperlukan).
Selanjutnya,
kerangka di atas akan diuraikan satu-persatu.
A. JUDUL
1. Judul
peraturan pemerintah memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun
pengundangan atau penetapan, dan nama peraturan pemerintah.
2. Nama
peraturan pemerintah dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan
pemerintah.
3. Judul
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
4. Pada
judul peraturan pemerintah perubahan ditambahkan frase perubahan atas depan
nama peraturan pemerintah yang diubah.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 15
TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
5. Jika
peraturan pemerintah telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan
tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR…TAHUN….TENTANG ….
6. Jika
peraturan pemerintah yang diubah mempunyai nama singkat, peraturan pemerintah
perubahan dapat menggunakan nama singkat peraturan pemerintah yang diubah.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
1984
7. Pada
judul peraturan pemerintah pencabutan disisipkan
kata pencabutan di depan nama peraturan
pemerintah yang dicabut.
Contoh:
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 4 TAHUN
1970
TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS
DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
B. PEMBUKAAN
Pembukaan
peraturan pemerintah terdiri atas:
1.
Frase “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”;
2.
Jabatan Pembentuk peraturan pemerintah (akan
dijelaskan lebih lanjut);
3.
Konsiderans;
4.
Dasar Hukum; dan
5.
Diktum.
B.1.
Frase
“Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”
Pada
pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2.
Jabatan
Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
Jabatan
pembentuk Peraturan pemerintah ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang
diletakkan di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
B.3.
Konsiderans
1.
Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
2.
Konsiderans memuat uraian singkat mengenai
pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan Peraturan pemerintah.
3.
Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok
pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang
merupakan kesatuan pengertian.
4.
Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf
abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca
titik koma.
Contoh:
Menimbang: |
a. |
bahwa….; |
|
b. |
bahwa….; |
|
c. |
bahwa….; |
5.
Jika konsiderans memuat lebih dari satu
pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Menimbang: |
a. |
bahwa.....; |
|
b. |
bahwa….; |
|
c. |
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah; |
6.
Konsiderans Peraturan Pemerintah pada
dasarnya cukup memuat satu pertimbangan yang berisi uraian ringkas mengenai
perlunya melaksanakan, ketentuan pasal atau beberapa pasal dari Undang-Undang
yang memerintahkan pembuatan Peraturan Pemerintah tersebut. Lihat juga Nomor
19.
7.
Konsiderans Peraturan Pemerintah cukup memuat
satu pokok pikiran yang isinya menunjuk pasal (-pasal) dari Undang-Undang yang
memerintahkan pembuatannya. Lihat juga Nomor 20.
Contoh:
Menimbang: |
bahwa untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang Berat; |
B.4.
Dasar
Hukum
1.
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
2.
Dasar hukum memuat dasar kewenangan pembuatan
Peraturan pemerintah dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan
Peraturan pemerintah tersebut.
3.
Peraturan Perundang-undangan yang digunakan
sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya sama
atau lebih tinggi.
4.
Peraturan Perundang-undangan yang akan
dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau Peraturan
Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak
dicantumkan sebagai dasar hukum.
5.
Jika jumlah Peraturan Perundang-undangan yang
dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan
tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan jika tingkatannya sama disusun
secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.
6.
Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal)
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan
menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis
sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf
kapital.
Contoh:
Mengingat: |
Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
7.
Dasar hukum yang bukan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu mencantumkan pasal, tetapi
cukup mencantumkan nama judul Peraturan Perundang-undangan.
Penulisan
undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu dilengkapi dengan
pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: |
1. |
….; |
|
2. |
Undang-Undang Nomor
43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); |
8.
Dasar hukum yang berasal dari peraturan
perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis lebih dulu
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa Belanda dan
dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: |
1. |
Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel,
Staatsblad 1847); |
|
2. |
....; |
9.
Cara penulisan sebagaimana dimaksud dalam
Nomor 32 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang-undangan yang
berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
10. Jika
dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar
hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma.
Contoh:
Mengingat: |
1. |
….; |
|
2. |
….; |
|
3. |
….; |
B.5.
Diktum
1.
Diktum terdiri atas:
a.
kata Memutuskan;
b.
kata Menetapkan;
c.
Nama Peraturan Perundang-undangan (peraturan
pemerintah).
2.
Kata Memutuskan
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di antara suku kata dan
diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di tengah marjin.
3.
Kata Menetapkan
dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan ditulis dengan huruf kapital
dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
4.
Nama
yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan dicantumkan
lagi setelah kata Menetapkan dan
didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa frase Republik Indonesia, serta ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
PERATURAN
PEMERINTAH TENTANG PEMILIHAN DAN PENGANGKATAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA
DAERAH. |
5.
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan
tingkat pusat yang tingkatannya lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan
pejabat yang setingkat, secara mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan
Undang-Undang.
C.
BATANG
TUBUH
1.
Batang tubuh Peraturan pemerintah memuat
semua substansi Peraturan Pemerintah yang dirumuskan dalam pasal (-pasal).
2.
Pada umumnya substansi dalam batang tubuh
dikelompokkan ke dalam:
(1) Ketentuan
Umum;
(2) Materi
Pokok yang Diatur;
(3) Ketentuan
Peralihan (Jika diperlukan);
(4) Ketentuan
Penutup.
3.
Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin
dihindari adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan,
diupayakan untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab
tersendiri dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
4.
Substansi yang berupa sanksi administratif
atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu
bagian (pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan.
5.
Jika norma yang memberikan sanksi
administratif atau keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi
administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari
bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang
sekaligus memuat sanksi perdata dan sanksi administratif dalam satu bab.
6.
Sanksi administratif dapat berupa, antara
lain, pencabutan izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda
administratif, atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa,
antara lain, ganti kerugian.
7.
Pengelompokan materi Peraturan pemerintah dapat
disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
8.
Jika Peraturan pemerintah mempunyai materi
yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (-pasal)
tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab,
bagian, dan paragraf.
9.
Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian,
dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan materi.
10. Urutan
pengelompokan adalah sebagai berikut:
a.
bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan
paragraf,
b.
bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa
paragraf-, atau
c.
bab dengan bagian dan paragraf yang berisi
pasal (-pasal).
11. Buku
diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU
KETIGA
PERIKATAN
12. Bab
diberi nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
13. Bagian
diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi
judul.
14. Huruf
awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis
dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada
awal frase.
Contoh:
Bagian
Kelima
Persyaratan
Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan
15. Paragraf
diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
16. Huruf
awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan
huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal
frase.
Contoh:
Paragraf
1
Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim
17. Pasal
merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu
norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas,
dan lugas.
18. Materi
Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang
singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal
memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan
satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
19. Pasal
diberi nomor urut dengan angka Arab.
20. Huruf
awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal
34
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban
membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
21. Pasal
dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
22. Ayat
diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri
tanda baca titik.
23. Satu
ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
24. Huruf
awal kata ayat yang digunakan
sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1)
Satu
permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
(2)
Permintaan
pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang
atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
25. Jika
satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam
bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan
dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal
17
Yang
dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17
(tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih.
Isi
pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh
rumusan tabulasi:
Pasal 17
Yang
dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang:
a.
telah
berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan
b.
telah
terdaftar pada daftar pemilih.
26. Dalam
membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
setiap rincian harus dapat dibaca sebagai
satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka;
b.
setiap rincian diawali dengan huruf (abjad)
kecil dan diberi tanda baca titik;
c.
setiap frase dalam rincian diawali dengan
huruf kecil;
d.
setiap rincian diakhiri dengan tanda baca
titik koma;
e.
jika suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur
yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f.
di belakang rincian yang masih mempunyai
rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
g.
pembagian rincian (dengan urutan makin kecil)
ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca titik; angka Arab
diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca kurung tutup;
angka Arab dengan tanda baca kurung tutup;
h.
pembagian rincian hendaknya tidak melebihi
empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu dipertimbangkan
pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.
27. Jika
unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif,
ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian
terakhir.
28. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata
atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
29. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif,
ditambahkan kata dan/atau yang
diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
30. Kata
dan, atau, dan/atau tidak perlu
diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
Contoh:
a.
Tiap-tiap rincian ditandai dengan huruf a,
huruf b, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal
9
(1) |
…..: |
|
(2) |
…..: |
|
|
a. |
….; |
|
b. |
….; (dan, atau,
dan/atau) |
|
c. |
…. |
b.
Jika suatu rincian memerlukan lebih lanjut,
rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal
12
(1) |
….. |
||
(2) |
…..; |
||
|
a. |
….; |
|
|
b. |
….; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
c. |
….: |
|
|
|
1. |
….; |
|
|
2. |
….; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
3. |
…. |
c.
Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan
rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b), dan
seterusnya.
Contoh:
Pasal
20
(1) |
…. |
|||
(2) |
…. |
|||
(3) |
….: |
|||
|
a. |
…. |
||
|
b. |
….; (dan, atau,
dan/atau) |
||
|
c. |
….: |
||
|
|
1. |
…; |
|
|
|
2. |
…; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
|
3. |
…: |
|
|
|
|
a) |
…; |
|
|
|
b) |
…; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
|
c) |
… |
d.
Jika suatu rincian lebih lanjut memerlukan
rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2), dan
seterusnya.
Contoh:
Pasal
22
(1) |
… |
||||
(2) |
… |
||||
|
a. |
... ; |
|||
|
b. |
…; (dan, atau,
dan/atau) |
|||
|
c. |
…: |
|||
|
|
1. |
… |
||
|
|
2. |
…(dan, atau,
dan/atau) |
||
|
|
3. |
…: |
||
|
|
|
a) |
….; |
|
|
|
|
b) |
….; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
|
|
c) |
….: |
|
|
|
|
|
1. |
…; |
|
|
|
|
2. |
…; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
|
|
3. |
… |
C.1.
Ketentuan
Umum
1.
Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu.
Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal (-pasal) awal.
2.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu
pasal.
3.
Ketentuan umum berisi:
a.
batasan pengertian atau definisi;
b.
singkatan atau akronim yang digunakan dalam
peraturan;
c.
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku
bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas,
maksud, dan tujuan.
4.
Frase pembuka dalam ketentuan umum
undang-undang berbunyi –Dalam Peraturan
Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan:
5.
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian
atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital
serta diakhiri dengan tanda baca titik.
6.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan
umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
(-pasal) selanjutnya.
7.
Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan
satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu
bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu
diberi definisi.
8.
Jika suatu batasan pengertian atau definisi
perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus
sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam
peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
9.
Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan,
atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi
penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan pengertian ganda.
10. Urutan
penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a.
pengertian yang mengatur tentang lingkup umum
ditempatkan lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di
dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c.
pengertian yang mempunyai kaitan dengan
pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2.
Materi
Pokok yang Diatur
1.
Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung
setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok
yang diatur diletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum.
2.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang
lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh:
a.
pembagian berdasarkan hak atau kepentingan
yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) kejahatan
terhadap keamanan negara;
(2) kejahatan
terhadap martabat Presiden;
(3) kejahatan
terhadap negara sahabat dan wakilnya;
(4) kejahatan
terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
(5) kejahatan
terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b.
pembagian berdasarkan urutan/kronologis,
seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c.
pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan,
seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3.
Ketentuan
Peralihan (jika diperlukan)
1.
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian
terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Pemerintah
baru mulai berlaku, agar Peraturan Pemerintah tersebut dapat berjalan lancar
dan tidak menimbulkan permasalahan hukum.
2.
Ketentuan peralihan dimuat dalam bab
ketentuan peralihan dan ditempatkan sebelum bab Ketentuan Penutup. Jika dalam
Peraturan Pemerintah tidak diadakan pengelompokan bab, pasal yang memuat
ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat ketentuan penutup.
3.
Pada saat suatu Peraturan Pemerintah dinyatakan
mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi
baik sebelum, pada saat maupun sesudah Peraturan Pemerintah yang baru itu
dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Pemerintah baru.
4.
Di dalam Peraturan Pemerintah yang baru,
dapat dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan
sementara bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
5.
Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi
ketentuan yang diberlakusurutkan.
6.
Jika suatu Peraturan Pemerintah diberlakukan
surut, Peraturan Pemerintah tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status
dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam
tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku
pengundangannya.
Contoh:
Selisih
tunjangan perbaikan yang timbul akibat Peraturan Pemerintah ini dibayarkan
paling lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan Peraturan
Pemerintah ini.
7.
Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak
diadakan bagi Peraturan Pemerintah yang memuat ketentuan yang memberi beban
konkret kepada masyarakat.
8.
Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Pemerintah
dinyatakan ditunda sementara, bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu,
ketentuan Peraturan Pemerintah tersebut harus memuat secara tegas dan rinci
tindakan hukum dan hubungan hukum mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau
syarat-syarat berakhirnya penundaan sementara tersebut.
Contoh:
Izin
ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan
Pemerintah .... Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal pengundangan Peraturan Pemerintah ini.
9.
Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan
yang isinya memuat perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan
Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat
batasan pengertian baru di dalam ketentuan umum Peraturan Pemerintah atau
dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Contoh:
Pasal 35
(1)
Desa
atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada
pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan sebagai desa
menurut Pasal I huruf a.
C.4.
Ketentuan
Penutup
1.
Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab
terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan
dalam pasal (-pasal) terakhir.
2.
Pada umumnya ketentuan penutup memuat
ketentuan mengenai:
a.
penunjukan organ atau alat perlengkapan yang
melaksanakan Peraturan Pemerintah;
b.
nama singkat;
c.
status Peraturan Perundang-undangan yang
sudah ada; dan
d.
saat mulai berlaku Peraturan Pemerintah.
3.
Ketentuan penutup dapat memuat peraturan
pelaksanaan yang bersifat:
a.
menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan
pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat
pegawai, dan lain-lain;
b.
mengatur (legislatif), misalnya, memberikan
kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan.
4.
Bagi nama Peraturan Pemerintah yang panjang
dapat dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang
bersangkutan tidak dicantumkan;
b.
nama singkat bukan berupa singkatan atau
akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak
menimbulkan salah pengertian.
5.
Nama singkat tidak memuat pengertian yang
menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh
nama singkat yang kurang tepat
(Peraturan
Pemerintah tentang Pemilihan dan Pemberhentian Kepala daerah)
Peraturan
Pemerintah ini dapat disebut Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan Kepala
daerah
6.
Hindari memberikan nama singkat bagi nama Peraturan
Pemerintah yang sebenarnya sudah singkat.
Contoh
nama singkat yang kurang tepat:
(Peraturan
Pemerintah tentang Standar Pendidikan Nasional)
Peraturan
Pemerintah ini dapat disebut Peraturan Pemerintah tentang Kelayakan Mutu
Pendidikan Nasional Indonesia
7.
Hindari penggunaan sinonim sebagai nama
singkat.
Contoh
nama singkat yang kurang tepat:
(Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Kelautan)
Peraturan
Pemerintah ini dapat disebut dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan
Kebaharian.
8.
Jika materi dalam Peraturan Pemerintah baru
menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan
Perundang-undangan lama, di dalam Peraturan Pemerintah baru harus secara tegas
diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan Perundang-undangan
lama.
9.
Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, kecuali untuk
pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan pencabutan
tersendiri.
10. Demi
kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak
dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan
Perundang-undangan mana yang dicabut.
11. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai
berlaku, gunakan frase dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Contoh
untuk, Nomor 118, 119, dan 120:
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor ...
Tahun .... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
12. Jika
jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat
dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
(1) Ordonansi
Perburuan (Jachfordonantie 1931,
Slaatsblad 1931: 133);
(2) Ordonansi
Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie
1931, Staasblad 1931: 134);
(3) Ordonansi
Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie
Java en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan
(4) Ordonansi
Perlindungan Alam (Natuurbescherming-sordonantie
1941, Staasblad 1941: 167);
dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku,
13. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai, status
hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang
telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh:
Pasal
102
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan
yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini.
14. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai
berlaku, gunakan frase ditarik kembali
dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor ...
Tahun tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan
tidak berlaku.
15. Pada
dasarnya setiap Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan
yang bersangkutan diundangkan.
16. Jika
ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah yang
bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas
di dalam Peraturan Pemerintah yang bersangkutan dengan:
a.
menentukan tanggal tertentu saat peraturan
akan berlaku;
Contoh:
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000.
b.
menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya
kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang
diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Perundang-undangan lain yang
lebih rendah.
Contoh:
Saat
mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini akan ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
c.
dengan menentukan lewatnya tenggang waktu
tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan
kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah
... (tenggang waktu) sejak ...
Contoh:
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan.
17. Hindari
frase ... mulai berlaku efektif pada
tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian
mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Pemerintah: saat Pengundangan
atau saat berlaku efektif.
18. Pada
dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi
seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
Contoh:
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
19. Penyimpangan
terhadap saat mulai berlaku Peraturan Pemerintah hendaknya dinyatakan secara
tegas dengan:
a.
menetapkan bagian-bagian mana dalam Peraturan
Pemerintah itu yang berbeda saat mulai berlakunya;
Contoh:
Pasal
45
(1)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
mulai berlaku pada tanggal…
b.
menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda
bagi wilayah negara tertentu.
Contoh:
Pasal
40
(1)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa
dan Madura pada tanggal…
20. Pada
dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah tidak dapat ditentukan
lebih awal dari pada saat pengundangannya.
21. Jika
ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Pemerintah lebih awal
daripada saat pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku
surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu
yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan;
b.
awal dari saat mulai berlaku Peraturan
Pemerintah sebaiknya ditetapkan tidak lebih dahulu dari saat rancangan Peraturan
Pemerintah tersebut mulai diketahui oleh masyarakat.
22. Saat
mulai berlaku Peraturan Pemerintah, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih
awal daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang
mendasarinya.
23. Peraturan
Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
24. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian
materi Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
D.
PENUTUP
1.
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan
Perundang-undangan dan memuat:
a.
rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b.
penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan;
c.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan;
dan
d.
akhir bagian penutup.
2.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan…(jenis Peraturan
Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
3.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan, pengundangan...(Jenis Peraturan
Perundang-undangan), ... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
4.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan
Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita
Daerah).
5.
Penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan memuat:
a.
tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b.
nama jabatan;
c.
tanda tangan pejabat; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani,
tanpa gelar dan pangkat.
6.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau
penetapan diletakkan di sebelah kanan.
7.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan
huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh
untuk pengesahan
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, |
tanda tangan |
NAMA |
Contoh
untuk penetapan:
Ditetapkan di
Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, |
tanda tangan |
NAMA |
8.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
memuat:
a.
tempat dan tanggal Pengundangan;
b.
nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
c.
tanda tangan; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani,
tanpa gelar dan pangkat.
9.
Tempat tanggal Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan
pengesahan atau penetapan).
10. Nama
jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan
diberi tanda baca koma.
Contoh:
Diundangkan
di ... pada tanggal ...
MENTERI
(yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Peraturan Perundang-undangan)
tanda
tangan
NAMA
11. Pada
akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan
nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut.
12. Penulisan
frase Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR....
Contoh:
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR..
Contoh:
LEMBARAN
DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN ...NOMOR....
E.
PENJELASAN
1.
|
Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diberi penjelasan, jika
diperlukan. |
2.
Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi
pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh.
Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut dari
norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian, penjelasan sebagai
sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan
terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dijelaskan.
3.
Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu, hindari
membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.
4.
Dalam penjelasan dihindari rumusan yang
isinya memuat perubahan terselubung terhadap ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
5.
Naskah penjelasan disusun bersama-sama dengan
penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
6.
Judul penjelasan sama dengan judul Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
... TAHUN ...
TENTANG
PEMILIHAN
DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH
7.
Penjelasan Peraturan Perundang-undangan
memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
8.
Rincian penjelasan umum dan penjelasan pasal
demi pasal diawali dengan angka Romawi dan ditulis seluruhnya dengan huruf
kapital.
Contoh:
I.
UMUM
II.
PASAL
DEMI PASAL
9.
Penjelasan umum memuat uraian secara
sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan
Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara singkat dalam butir
konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang terkandung dalam
batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
10. Bagian-bagian
dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih
memberikan kejelasan.
Contoh:
I. |
UMUM |
|
|
(1) |
Dasar Pemikiran |
|
|
... |
|
(2) |
Pembagian Wilayah |
|
|
... |
|
(3) |
Asas-asas
Penyelenggara Pemerintahan |
|
|
... |
|
(4) |
Daerah Otonom |
|
|
... |
|
(5) |
Wilayah
Administratif |
|
|
... |
|
(6) |
Pengawasan |
|
|
... |
11. Jika
dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain
atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai
sumbernya.
12. Dalam
menyusun penjelasan pasal demi pasal harus - diperhatikan agar rumusannya:
a.
tidak bertentangan dengan materi pokok yang
diatur dalam batang tubuh;
b.
tidak memperluas atau menambah norma yang ada
dalam batang tubuh;
c.
tidak melakukan pengulangan atas materi pokok
yang diatur dalam batang tubuh;
d.
tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau
pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.
13. Ketentuan
umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak
perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus
dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
14. Pada
pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang
diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal
demi pasal tidak digantungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang
tidak memerlukan penjelasan.
Contoh
yang kurang tepat:
Pasal
7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup
jelas,
Seharusnya
Pasal 7
Cukup
jelas.
Pasal 8
Cukup
jelas.
Pasal 9
Cukup
jelas.
15. Jika
suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan,
pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
16. |
a. |
Jika
suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau
butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu
dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. |
Contoh:
Pasal 7
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Ayat
ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna
hukum.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
|
b. |
jika
suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan
penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…”) pada istilah kata/frase tersebut. |
F.
LAMPIRAN (Jika diperlukan)
Dalam
hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus
dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan
pejabat yang mengesahkan/ menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
2.2
HAL-HAL KHUSUS
A.
PENDELEGASIAN
KEWENANGAN
1.
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah.
2.
Pendelegasian kewenangan mengatur, harus
menyebut dengan tegas:
a.
ruang lingkup materi yang diatur; dan
b.
jenis Peraturan Perundang-undangan.
3. |
a. |
Jika
materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus
diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan
tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan... |
|
b. |
Jika
pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) gunakan kalimat Ketentuan
lebih lanjut mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... |
Contoh
huruf a:
Pasal
...
(1)
...
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan Presiden.
Contoh
huruf b:
Pasal
...
(1)
...
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
4. |
a. |
Jika
materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
(subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan
mengenai ... diatur dengan... |
|
b. |
Jika
peraturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi)
digunakan kalimat Ketentuan
mengenai…diatur dengan atau berdasarkan… |
Contoh
huruf a:
Pasal…
(1)
…
(2)
Ketentuan
mengenai ... diatur dengan Peraturan Presiden.
Contoh
huruf b:
Pasal
...
(1)
....
(2)
Ketentuan
mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden.
5.
Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari
peraturan pelaksana yang akan dibuat rumusan pendelegasian perlu mencantumkan
secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut.
Contoh:
Pasal 10
(1) …
(2) ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara permohonan pendaftaran desain industri diatur
dengan Peraturan Presiden.
6.
Jika pasal terdiri dari beberapa ayat
pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang
bersangkutan.
7.
Jika pasal terdiri dari banyak ayat,
pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal
tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa
yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
8.
Dalam pendelegasian kewenangan mengatur
sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blangko.
Contoh:
Pasal ...
Hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Presiden.
9.
Pendelegasian kewenangan mengatur dari
Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri
dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
10. Kewenangan
yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika
oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan
untuk itu.
11. Hindari
pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada
direktur jenderal atau pejabat yang setingkat.
12. Pendelegasian
langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat
diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah
daripada Undang-Undang.
13. Peraturan
Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma
yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan,
kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
14. Di
dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan
norma atau ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih
tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang
rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop)
untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (-pasal) atau
ayat (-ayat) selanjutnya.
B.
PENCABUTAN
1.
Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama
yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan
baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut
Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
2.
Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya
hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat.
3.
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.
Pencabutan melalui Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung
kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah yang dicabut itu.
5.
Jika Peraturan Perundang-undangan baru
mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan,
pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal
dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan
menggunakan rumusan dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
6.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang
sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan
dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
7.
Jika pencabutan Peraturan Perundang-undangan
dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu
hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai
berikut:
a.
Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan
tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi
belum mulai berlaku.
b.
Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai
berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal
1
Peraturan
Pemerintah Nomor…Tahun…tentang…. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...
Nomor…Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan di
nyatakan tidak berlaku.
Pasal
2
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
8.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang
menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait,
tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali
ditentukan lain secara tegas.
9.
Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan
yang telah dicabut, otomatis tidak berlaku kembali, meskipun Peraturan
Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
C.
PERUBAHAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan
dilakukan dengan:
a.
menyisipkan atau menambah materi ke dalam
Peraturan Perundang-undangan; atau
b.
menghapus atau mengganti sebagian materi
Peraturan Perundang-undangan.
2.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat
dilakukan terhadap:
a.
seluruh atau sebagian buku, bab, bagian,
paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b.
kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda
baca.
3.
Jika Pengaturan Perundang-undangan yang
diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
4.
Pada dasarnya batang tubuh Peraturan
Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan
angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a.
Pasal 1 memuat judul Peraturan
Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di
antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika
materi perubahan lebih dari satu, setiap, materi perubahan dirinci dengan
menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
Contoh:
Pasal
1
Beberapa
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan
Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:...
2.
Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:...
3.
dan
seterusnya...
b.
Jika Peraturan Perundang-undangan telah diubah
lebih dari satu kali, pasal 1 memuat, selain mengikuti ketentuan pada Nomor 193
huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan perubahan yang
ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung dan dirinci
dengan huruf-huruf (abjad) kecil (a, b, c dan seterusnya).
Contoh:
Pasal
1
Peraturan
Pemerintah Nomor…Tahun…tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor…; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) yang telah
beberapa kali diubah dengan Peraturan Pemerintah:
a.
Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…);
b.
Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…);
c.
Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…);
c.
Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai
berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan
dari Peraturan Perundang-undangan, perubahan, yang maksudnya berbeda dengan
ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
5.
Jika dalam Peraturan Perundang-undangan
ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab,
bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai
dengan materi yang bersangkutan.
Contoh
penyisipan bab:
15.
Di
antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX A sehingga berbunyi
sebagai berikut:
BAB IX A
INDIKASI GEOGRAFI DAN
INDIKASI ASAL
Bagian
Pertama
Indikasi
Geografi
Pasal
79 A
(1)
…
(2)
...
(3)
…
Pasal
79 B
(1)
…
(2)
…
(3)
…
Contoh
penyisipan pasal:
9.
Di
antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128 A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
128 A
Dalam
hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil
pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
6.
Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari
beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan
angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf
kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
10.
Di
antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a)
dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
19
(1) |
…. |
(1a) |
…. |
(1b) |
…. |
(2) |
…. |
7.
Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan
dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka
urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan
diberi keterangan dihapus.
Contoh:
9.
Pasal
16 dihapus
10.
Pasal
19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1) |
… |
(2) |
Dihapus |
(3) |
… |
8.
suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan
mengakibatkan:
a.
sistematika Peraturan Perundang-undangan
berubah;
b.
materi Peraturan Perundang-undangan berubah
lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.
esensinya berubah,
Peraturan
Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali
dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
9.
Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah
sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan
Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun
kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan,
dengan mengadakan penyesuaian pada:
1.
urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat,
angka, atau butir;
2.
penyebutan-penyebutan, dan
3.
ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
10. Penyusunan
kembali dalam hal sistematika peraturan perundang-undangan berubah dilaksanakan
oleh Presiden dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai
berikut:
Contoh:
PERATURAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
... TAHUN ...
TENTANG
PENYUSUNAN
KEMBALI NASKAH
UNDANG-UNDANG
NOMOR... TAHUN…
TENTANG
………………….
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
bahwa untuk
mempermudah pemahaman materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor ... Tahun
... tentang... sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Perubahan Undang-Undang Nomor ...
Tahun…tentang ... perlu menyusun kembali naskah Undang-Undang tersebut dengan
memperhatikan segala perubahan yang telah diadakan; |
Mengingat: |
Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU: |
Naskah
Undang-Undang Nomor…Tahun…tentang…yang telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... dan dengan mengadakan
penyesuaian mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan
butir serta penyebutan-penyebutannya dan ejaan-ejaannya, berbunyi sebagai
tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. |
KEDUA: |
Peraturan Presiden
ini dengan lampirannya ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
KETIGA: |
Peraturan Presiden
ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
3.
RAGAM
BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A.
BAHASA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada
dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut
pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya,
namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri
yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan,
keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Contoh:
Pasal
34
(1)
Suami
isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Rumusan
yang lebih baik:
(1)
Suami
isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir
batin.
2.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah
dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1)
Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan
yang lebih baik:
(1)
Permohonan
berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
3.
Hindarkan penggunaan kata atau frase yang
artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.
Contoh:
Istilah
minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah
minuman beralkohol.
4.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh
kalimat yang tidak baku:
(1)
Rumah
itu pintunya putih.
(2)
Pintu
rumah itu warnanya putih.
(3)
Izin
usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat dicabut.
Contoh
kalimat yang baku:
(1)
Rumah
itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih.
(2)
Pintu
ramah itu (berwarna) putih.
Warna
pintu rumah itu putih.
(3)
Perusahaan
yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin
usahanya.
5.
Untuk memberikan perluasan pengertian kata
atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan
kata meliputi.
Contoh:
6.
Pejabat negara meliputi direksi badan usaha
milik negara dan direksi badan usaha milik daerah.
6.
Untuk mempersempit pengertian kata istilah
isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
Contoh:
5.
Anak buah kapal tidak meliputi koki magang.
7.
Hindari pemberian arti kepada kata atau frase
yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam
penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh:
3.
Pertanian meliput pula perkebunan,
peternakan, dan perikanan.
Rumusan
yang baik:
3.
Pertanian meliputi perkebunan.
8.
Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
sama hindari penggunaan:
a.
beberapa istilah yang berbeda untuk
menyatakan satu.
Contoh:
Istilah
gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk
menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam
pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk
menyatakan pengertian penghasilan.
b.
satu istilah untuk beberapa pengertian yang
berbeda.
Contoh:
Istilah
penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan
karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
9.
Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat
lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
10. Jika
kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang maka untuk menyederhanakan
rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya
didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau
digunakan singkatan atau akronim.
Contoh:
a.
Menteri
adalah Menteri Keuangan.
b.
Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi
Pemeriksa adalah…
c.
Tentara
Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah…
d.
Asuransi
Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES.
11. Jika
dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau
batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang
dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak
berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut.
12. Untuk
menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya
menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang
yang bersangkutan.
Contoh:
Menteri
adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang…(misalnya, bidang
ketenagakerjaan)
13. Penyerapan
kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya
dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut:
a.
mempunyai konotasi yang cocok;
b.
lebih singkat bila dibandingkan dengan
padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c.
mempunyai corak internasional;
d.
lebih mempermudah tercapainya kesepakatan; atau
e.
lebih mudah dipahami daripada terjemahannya
dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
(1) devaluasi
(penurunan nilai uang)
(2) devisa
(alat pembayaran luar negeri)
14. Penggunaan
kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan
peraturan perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh
padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
(1) penghinaan
terhadap peradilan (contempt of court)
(2) penggabungan
(merger)
B.
PILIHAN
KATA ATAU ISTILAH
1.
Untuk menyatakan pengertian maksimum dan
minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling.
Contoh:
...
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
2.
Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi
satuan:
a.
waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama;
b.
jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak;
c.
jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi;
3.
Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali.
Kata kecuali ditempatkan di awal
kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh:
Kecuali
A dan B, setiap orang wajib memberikan kesaksian di depan sidang pengadilan.
4.
Kata kecuali
ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya
kata yang bersangkutan.
Contoh:
Yang
dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki,
kecuali koki magang.
5.
Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
Contoh:
Selain
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib
membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
6.
Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan,
digunakan kata jika, apabila, atau
frase dalam hal.
a.
Kata jika
digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
Contoh:
Jika
suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin
perusahaan tersebut dapat dicabut.
b.
Kata apabila digunakan untuk menyatakan
hubungan kausal yang mengandung waktu.
Contoh:
Apabila
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan
digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
c.
Frase dalam
hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang
mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam
hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.
7.
Frase pada
saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di
masa depan.
Contoh:
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku.
8.
Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan
kata dan.
Contoh:
A dan B
dapat menjadi ...
9.
Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan
kata atau.
Contoh:
A atau
B wajib memberikan...
10. Untuk
menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frase dan/atau.
Contoh:
A
dan/atau B dapat memperoleh...
11. Untuk
menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Setiap
orang berhak mengemukakan pendapat di muka umum.
12. Untuk
menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh:
Presiden
berwenang menolak atau mengabulkan permohonan grasi.
13. Untuk
menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada
seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh:
Menteri
dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten.
14. Untuk
menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak
dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang
berlaku.
Contoh:
Untuk
membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan.
15. Untuk
menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak
dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan
didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Untuk
memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
16. Untuk
menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
C.
TEKNIK
PENGACUAN
1.
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu
kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk
menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan.
2.
Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk
pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau
Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau
sebagaimana dimaksud pada ayat.
Contoh:
a.
Persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)...
b.
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula...
3.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau
ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi
ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan.
Contoh:
a.
...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
b.
...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4).
4.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau
ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan,
pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi
calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi
tahanan kecuali ayat (4) huruf a.
5.
Kata Pasal
ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat
dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 8
(1)
…
(2)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh)
hari.
6.
Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan
dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (Jika ada),
kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal
15
(1)
…
(2)
…
(3)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12,
dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
7.
Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan
mencantumkan pula secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh:
Izin
penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh…
8.
Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
9.
Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang
terletak setelah pasal atau ayat yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal
Permohonan
izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam
rangkap 5 (lima).
10. Pengacuan
dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu
dan dihindarkan pengguna frase pasal
yang terdahulu atau pasal tersebut
di atas.
11. Pengacuan
untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
12. Untuk
menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan
Perundang-undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum
diadakan penggantian dengan Peraturan Perundang-undangan yang baru, gunakan
frase berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis peraturan yang bersangkutan).
13. Jika
Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian
dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali…
Contoh:
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor…Tahun… (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
4.
BENTUK RANCANGAN
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN...
TENTANG
(Nama Peraturan
Pemerintah)
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa...; |
|
b. |
bahwa...; |
|
c. |
dan seterusnya |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
…; |
|
2. |
…; |
|
3. |
dan seterusnya…; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG (nama Peraturan Pemerintah).
BAB I
…
Pasal 1
BAB II
Pasal…
BAB…
(dan seterusnya)
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung Jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...