JUDUL KEGIATAN:
PEMBUATAN PERATURAN PRESIDEN
TUJUAN KEGIATAN:
TAHAPAN KEGIATAN:
REFERENSI:
1.
MATERI MUATAN
Pasal 11 UU No. 10 Tahun 2004
menyebutkan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi
yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah.
Dalam Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 dibatasi bahwa materi
muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan
Peraturan Daerah.
2. TEKNIK
PENYUSUNAN PERATURAN PRESIDEN
Dalam LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004
TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, diuraikan mengenai
SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, yang meliputi:
BAB I |
KERANGKA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
JUDUL |
|
|
B. |
PEMBUKAAN |
|
|
|
1. |
Frase Dengan Rahmat Tuhan
Yang Maha Esa |
|
|
2. |
Jabatan Pembentuk
Peraturan Perundang-undangan |
|
|
3. |
Konsiderans |
|
|
4. |
Dasar Hukum |
|
|
5. |
Diktum |
|
C. |
BATANG TUBUH |
|
|
|
1. |
Ketentuan Umum |
|
|
2. |
Materi Pokok yang Diatur |
|
|
3. |
Ketentuan Pidana (Jika
diperlukan) |
|
|
4. |
Ketentuan Peralihan (Jika
diperlukan) |
|
|
5. |
Ketentuan Penutup |
|
D. |
PENUTUP |
|
|
E. |
PENJELASAN (Jika
diperlukan) |
|
|
F. |
LAMPIRAN (Jika
diperlukan) |
|
BAB II |
HAL-HAL KHUSUS |
||
|
A. |
PENDELEGASIAN KEWENANGAN |
|
|
B. |
PENYIDIKAN |
|
|
C. |
PENCABUTAN |
|
|
D. |
PERUBAHAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
|
|
E. |
PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG |
|
|
F. |
PENGESAHAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL |
|
BAB III |
RAGAM BAHASA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
BAHASA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
|
|
B. |
PILIHAN KATA ATAU ISTILAH |
|
|
C. |
TEKNIK PENGACUAN |
|
BAB IV |
BENTUK RANCANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA |
|
|
B. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI
UNDANG-UNDANG. |
|
|
C. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN
BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI |
|
|
D. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG |
|
|
E. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG |
|
|
F. |
BENTUK RANCANGAN
UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG |
|
|
G. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG |
|
|
H. |
BENTUK RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH |
|
|
I. |
BENTUK RANCANGAN
PERATURAN PRESIDEN |
|
|
J. |
BENTUK RANCANGAN
PERATURAN DAERAH |
Uraian selanjutnya mengikuti sistematika tersebut di atas.
2.1 KERANGKA PERATURAN PRESIDEN
Kerangka peraturan presiden terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang
Tubuh;
D. Penutup;
E. Penjelasan
(Jika diperlukan);
F. Lampiran
(Jika diperlukan).
Selanjutnya,
kerangka di atas akan diuraikan satu-persatu.
A. JUDUL
1. Judul
peraturan presiden memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan
atau penetapan, dan nama peraturan presiden.
2. Nama
peraturan presiden dibuat secara singkat dan mencerminkan isi peraturan
presiden.
3. Judul
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca.
Contoh:
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
4. Pada
judul peraturan presiden perubahan ditambahkan frase perubahan atas depan nama peraturan
presiden yang diubah.
Contoh:
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
5. Jika
peraturan presiden telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan
tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG–UNDANG
NOMOR…TAHUN….TENTANG ….
6. Jika
peraturan presiden yang diubah mempunyai nama singkat, peraturan presiden
perubahan dapat menggunakan nama singkat peraturan presiden yang diubah.
Contoh:
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
7. Pada
judul peraturan presiden pencabutan disisipkan
kata pencabutan di depan nama peraturan
presiden yang dicabut.
Contoh:
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN PERATURAN PRESIDEN NOMOR 4 TAHUN 1970
TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
B.
PEMBUKAAN
Pembukaan peraturan presiden
terdiri atas:
1.
Frase “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”;
2.
Jabatan Pembentuk peraturan presiden;
3.
Konsiderans;
4.
Dasar Hukum; dan
5.
Diktum.
B.1.
Frase
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Pada pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama
jabatan pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2.
Jabatan
Pembentuk Peraturan presiden
Jabatan pembentuk Peraturan presiden
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin dan
diakhiri dengan tanda baca koma.
B.3.
Konsiderans
1.
Konsiderans diawali dengan kata Menimbang.
2.
Konsiderans memuat uraian singkat
mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan
Peraturan presiden.
3.
Jika konsiderans memuat lebih dari
satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat
yang merupakan kesatuan pengertian.
4.
Tiap-tiap pokok pikiran diawali
dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca
titik koma.
Contoh:
Menimbang: |
a. |
bahwa….; |
|
b. |
bahwa….; |
|
c. |
bahwa….; |
5.
Jika konsiderans memuat lebih dari
satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan terakhir berbunyi sebagai
berikut:
Contoh:
Menimbang: |
a. |
bahwa.....; |
|
b. |
bahwa….; |
|
c. |
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Presiden;. |
B.4.
Dasar
Hukum
1.
Dasar hukum diawali dengan kata Mengingat.
2.
Dasar hukum memuat dasar
kewenangan pembuatan Peraturan presiden
dan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembuatan Peraturan presiden tersebut.
3.
Peraturan Perundang-undangan yang
digunakan sebagai dasar hukum hanya Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
4.
Peraturan Perundang-undangan yang
akan dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang akan dibentuk atau
Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku,
tidak dicantumkan sebagai dasar hukum.
5.
Jika jumlah Peraturan
Perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan
pencantuman perlu memperhatikan tata urutan Peraturan Perundang-undangan dan
jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan
atau penetapannya.
6.
Dasar hukum yang diambil dari
pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua
huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Mengingat: |
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
7.
Dasar hukum yang bukan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak perlu
mencantumkan pasal, tetapi cukup mencantumkan nama judul Peraturan
Perundang-undangan.
Penulisan undang-undang, kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital.
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden perlu
dilengkapi dengan pencantuman Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: |
1. |
….; |
|
2. |
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); |
8.
Dasar hukum yang berasal dari
peraturan perundang-undangan jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, ditulis
lebih dulu terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian judul asli Bahasa
Belanda dan dilengkapi dengan tahun dan nomor Staadsblad yang dicetak miring di
antara tanda baca kurung.
Contoh:
Mengingat: |
1. |
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, Staatsblad 1847); |
|
2. |
....; |
9.
Cara penulisan sebagaimana
dimaksud dalam Nomor 32 berlaku juga untuk pencabutan peraturan perundang-undangan
yang berasal dari jaman Hindia Belanda atau yang dikeluarkan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda sampai dengan tanggal 27 Desember 1949.
10. Jika
dasar hukum memuat lebih dari satu Peraturan Perundang-undangan, tiap dasar
hukum diawali dengan angka Arab 1, 2, 3, dan seterusnya, dan diakhiri dengan
tanda baca titik koma.
Contoh:
Mengingat: |
1. |
….; |
|
2. |
….; |
|
3. |
….; |
B.5.
Diktum
1.
Diktum terdiri atas:
a.
kata Memutuskan;
b.
kata Menetapkan;
c.
Nama Peraturan Perundang-undangan (peraturan presiden).
2.
Kata Memutuskan ditulis seluruhnya dengan huruf kapital tanpa spasi di
antara suku kata dan diakhiri dengan tanda baca titik dua serta diletakkan di
tengah marjin.
3.
Kata Menetapkan dicantumkan sesudah kata Memutuskan yang disejajarkan ke
bawah dengan kata Menimbang dan Mengingat. Huruf awal kata Menetapkan
ditulis dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik dua.
4.
Nama
yang tercantum dalam judul Peraturan Perundang-undangan
dicantumkan lagi setelah kata Menetapkan
dan didahului dengan percantuman jenis Peraturan Perundang-undangan tanpa
frase Republik Indonesia, serta
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik.
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
PERATURAN PRESIDEN TENTANG
….. |
5.
Pembukaan Peraturan Perundang-undangan tingkat pusat yang tingkatannya
lebih rendah daripada Undang-Undang, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, Peraturan Menteri, dan peraturan pejabat yang setingkat, secara
mutatis mutandis berpedoman pada pembukaan Undang-Undang.
C.
BATANG TUBUH
1.
Batang tubuh Peraturan presiden memuat semua substansi
Peraturan presiden yang dirumuskan dalam pasal (-pasal).
2.
Pada umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke
dalam:
(1) Ketentuan Umum;
(2) Materi Pokok yang Diatur;
(3) Ketentuan Peralihan (Jika
diperlukan);
(4) Ketentuan Penutup.
3.
Dalam pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari
adanya bab ketentuan lain atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan
untuk masuk ke dalam bab yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri
dengan judul yang sesuai dengan materi yang diatur.
4.
Substansi yang berupa sanksi administratif atau sanksi
keperdataan atas pelanggaran norma tersebut dirumuskan menjadi satu bagian
(pasal) dengan norma yang memberikan sanksi administratif atau sanksi
keperdataan.
5.
Jika norma yang memberikan sanksi administratif atau
keperdataan terdapat lebih dari satu pasal, sanksi administratif atau sanksi
keperdataan dirumuskan dalam pasal terakhir dari bagian (pasal) tersebut.
Dengan demikian hindari rumusan ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi perdata
dan sanksi administratif dalam satu bab.
6.
Sanksi administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan
izin, pembubaran, pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif,
atau daya paksa polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti
kerugian.
7.
Pengelompokan materi Peraturan presiden dapat disusun secara
sistematis dalam buku, bab, bagian, dan paragraf.
8.
Jika Peraturan presiden mempunyai materi yang
ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal (-pasal)
tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab,
bagian, dan paragraf.
9.
Pengelompokan materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf
dilakukan atas dasar kesamaan materi.
10. Urutan pengelompokan adalah
sebagai berikut:
a.
bab dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf,
b.
bab dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf-, atau
c.
bab dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasal).
11. Buku diberi nomor urut dengan
bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU KETIGA
PERIKATAN
12. Bab diberi nomor urut dengan
angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
BAB I
KETENTUAN UMUM
13. Bagian diberi nomor urut
dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul.
14. Huruf awal kata bagian,
urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis dengan huruf
kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh:
Bagian Kelima
Persyaratan Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta
Gandengan, dan Kereta Tempelan
15. Paragraf diberi nomor urut
dengan angka Arab dan diberi judul.
16. Huruf awal dari kata paragraf
dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan huruf kapital, kecuali huruf
awal kata partikel yang tidak terletak pada awal frase.
Contoh:
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
17. Pasal
merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu
norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas,
dan lugas.
18. Materi
Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang
singkat dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal
memuat banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan
satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
19. Pasal
diberi nomor urut dengan angka Arab.
20. Huruf
awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal 34
Ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban membayar ganti
kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
21. Pasal
dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
22. Ayat
diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri
tanda baca titik.
23. Satu
ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
24. Huruf
awal kata ayat yang digunakan
sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal 8
(1)
Satu permintaan pendaftaran merek hanya dapat
diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
(2)
Permintaan pendaftaran merek sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyebutkan jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelas yang
bersangkutan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelas barang atau
jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
25. Jika
satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam
bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan
dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih
ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau
telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih.
Isi pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai
berikut:
Contoh rumusan tabulasi:
Pasal 17
Yang dapat diberi hak pilih
ialah warga negara Indonesia yang:
a.
telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah
kawin; dan
b.
telah terdaftar pada daftar pemilih.
26. Dalam
membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
setiap rincian harus dapat dibaca
sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase pembuka;
b.
setiap rincian diawali dengan
huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik;
c.
setiap frase dalam rincian diawali
dengan huruf kecil;
d.
setiap rincian diakhiri dengan
tanda baca titik koma;
e.
jika suatu rincian dibagi lagi ke
dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut dituliskan masuk ke dalam;
f.
di belakang rincian yang masih
mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca titik dua;
g.
pembagian rincian (dengan urutan
makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti dengan tanda baca titik;
angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad kecil dengan tanda baca
kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung tutup;
h.
pembagian rincian hendaknya tidak
melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat tingkat, perlu
dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal atau ayat lain.
27. Jika
unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif,
ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian
terakhir.
28. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata
atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
29. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif,
ditambahkan kata dan/atau yang
diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
30. Kata
dan, atau, dan/atau tidak perlu
diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
Contoh:
a.
Tiap-tiap rincian ditandai dengan
huruf a, huruf b, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 9
(1) |
…..: |
|
(2) |
…..: |
|
|
a. |
….; |
|
b. |
….; (dan, atau, dan/atau) |
|
c. |
…. |
b.
Jika suatu rincian memerlukan
lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab 1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 12
(1) |
….. |
||
(2) |
…..; |
||
|
a. |
….; |
|
|
b. |
….; (dan, atau, dan/atau) |
|
|
c. |
….: |
|
|
|
1. |
….; |
|
|
2. |
….; (dan, atau, dan/atau) |
|
|
3. |
…. |
c.
Jika suatu rincian lebih lanjut
memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan huruf a), b),
dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 20
(1) |
…. |
|||
(2) |
…. |
|||
(3) |
….: |
|||
|
a. |
…. |
||
|
b. |
….; (dan, atau, dan/atau) |
||
|
c. |
….: |
||
|
|
1. |
…; |
|
|
|
2. |
…; (dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
3. |
…: |
|
|
|
|
a) |
…; |
|
|
|
b) |
…; (dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
c) |
… |
d.
Jika suatu rincian lebih lanjut
memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu ditandai dengan angka 1), 2),
dan seterusnya.
Contoh:
Pasal 22
(1) |
… |
||||
(2) |
… |
||||
|
a. |
... ; |
|||
|
b. |
…; (dan, atau, dan/atau) |
|||
|
c. |
…: |
|||
|
|
1. |
… |
||
|
|
2. |
…(dan, atau, dan/atau) |
||
|
|
3. |
…: |
||
|
|
|
a) |
….; |
|
|
|
|
b) |
….; (dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
|
c) |
….: |
|
|
|
|
|
1. |
…; |
|
|
|
|
2. |
…; (dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
|
3. |
… |
C.1.
Ketentuan Umum
1.
Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu. Jika dalam
Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab, ketentuan umum
diletakkan dalam pasal (-pasal) awal.
2.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
3.
Ketentuan umum berisi:
a.
batasan pengertian atau definisi;
b.
singkatan atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
c.
hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal
(-pasal) berikutnya antara lain ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan
tujuan.
4.
Frase pembuka dalam ketentuan umum undang-undang berbunyi –Dalam Peraturan
Presiden ini yang dimaksudkan
dengan:
5.
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi
singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka masing-masing uraiannya diberi
nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital serta diakhiri
dengan tanda baca titik.
6.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata
atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal (-pasal) selanjutnya.
7.
Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun
kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian atau
paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu diberi definisi.
8.
Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip
kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka rumusan
batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus sama
dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam
peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
9.
Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau
akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka batasan
pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak perlu diberi
penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan pengertian ganda.
10. Urutan penempatan kata atau
istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a.
pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus;
b.
pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok
yang diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu; dan
c.
pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
C.2.
Materi Pokok yang Diatur
1.
Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok yang diatur
diletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum.
2.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil
dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh:
a.
pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) kejahatan terhadap keamanan
negara;
(2) kejahatan terhadap martabat
Presiden;
(3) kejahatan terhadap negara
sahabat dan wakilnya;
(4) kejahatan terhadap kewajiban
dan hak kenegaraan;
(5) kejahatan terhadap ketertiban
umum dan seterusnya.
b.
pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian
dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat
kasasi, dan peninjauan kembali.
c.
pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa
Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3.
Ketentuan Peralihan (jika
diperlukan)
1.
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Presiden baru mulai berlaku, agar
Peraturan Presiden tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan
hukum.
2.
Ketentuan peralihan dimuat dalam bab ketentuan peralihan dan
ditempatkan sebelum
bab Ketentuan Penutup. Jika dalam Peraturan Presiden tidak diadakan pengelompokan
bab, pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang
memuat ketentuan penutup.
3.
Pada saat suatu Peraturan Presiden dinyatakan mulai
berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi baik
sebelum, pada saat maupun sesudah Peraturan Presiden yang baru itu
dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan Peraturan Presiden baru.
4.
Di dalam Peraturan Presiden yang baru, dapat
dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara
bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
5.
Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi ketentuan yang
diberlakusurutkan.
6.
Jika suatu Peraturan Presiden diberlakukan surut,
Peraturan Presiden tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai
status dari tindakan hukum yang terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam
tenggang waktu antara tanggal mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku
pengundangannya.
Contoh:
Selisih tunjangan perbaikan yang timbul akibat
Peraturan Presiden ini dibayarkan paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak saat tanggal pengundangan Peraturan Presiden ini.
7.
Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi
Peraturan Presiden
yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret kepada masyarakat.
8.
Jika penerapan suatu ketentuan Peraturan Presiden dinyatakan ditunda
sementara, bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan
Peraturan Presiden
tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum dan hubungan hukum
mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya penundaan
sementara tersebut.
Contoh:
Izin …. yang telah dikeluarkan
berdasarkan Peraturan Presiden .... Tahun ....
masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
pengundangan Peraturan Presiden ini.
9.
Hindari rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat
perubahan terselubung atas ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain.
Perubahan ini hendaknya dilakukan dengan membuat batasan pengertian baru di
dalam ketentuan umum Peraturan Presiden atau dilakukan dengan membuat Peraturan
Perundang-undangan perubahan.
Contoh:
Pasal 35
(1)
Desa atau
yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada pada
saat mulai berlakunya Peraturan Presiden
ini dinyatakan sebagai desa menurut Pasal I huruf a.
C.4.
Ketentuan
Penutup
1.
Ketentuan penutup ditempatkan
dalam bab terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup
ditempatkan dalam pasal (-pasal) terakhir.
2.
Pada umumnya ketentuan penutup
memuat ketentuan mengenai:
a.
penunjukan organ atau alat
perlengkapan yang melaksanakan Peraturan Presiden;
b.
nama singkat;
c.
status Peraturan
Perundang-undangan yang sudah ada; dan
d.
saat mulai berlaku Peraturan
Perundang-undangan.
3.
Ketentuan penutup dapat memuat
peraturan pelaksanaan yang bersifat:
a.
menjalankan (eksekutif), misalnya,
penunjukan pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin,
mengangkat pegawai, dan lain-lain;
b.
mengatur (legislatif), misalnya,
memberikan kewenangan untuk membuat peraturan pelaksanaan.
4.
Bagi nama Peraturan Presiden yang panjang dapat dimuat ketentuan
mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a.
nomor dan tahun pengeluaran
peraturan yang bersangkutan tidak dicantumkan;
b.
nama singkat bukan berupa
singkatan atau akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat
dikenal dan tidak menimbulkan salah pengertian.
5.
Nama singkat tidak memuat
pengertian yang menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh nama singkat yang kurang tepat
(Peraturan Presiden tentang Kenaikan Harga Bahan Bakar
Minyak dan Gas)
Peraturan Presiden ini dapat disebut Peraturan Presiden tentang Kenaikan Harga Minyak.
6.
Hindari memberikan nama singkat
bagi nama Peraturan Perundang-undangan yang sebenarnya sudah singkat.
Contoh nama singkat yang kurang tepat:
(Peraturan Presiden tentang Upah Minimum)
Peraturan Presiden ini dapat disebut Peraturan Presiden tentang Standar Upah Terendah.
7.
Hindari penggunaan sinonim sebagai
nama singkat.
Contoh nama singkat yang kurang tepat:
(Peraturan Presiden tentang Ketenagakerjaan)
Peraturan Presiden ini dapat disebut dengan Peraturan Presiden tentang Perburuhan.
8.
Jika materi dalam Peraturan Presiden baru menyebabkan perlunya
penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan Perundang-undangan
lama, di dalam Peraturan Presiden baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau
sebagian Peraturan Perundang-undangan lama.
9.
Rumusan pencabutan diawali dengan
frase Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku,
kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan Peraturan Perundang-undangan
pencabutan tersendiri.
10. Demi
kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak
dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan
Perundang-undangan mana yang dicabut.
11. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai
berlaku, gunakan frase dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Contoh untuk, Nomor 118, 119, dan
120:
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, Peraturan Presiden Nomor ... Tahun .... tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun .... Nomor Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... )
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
12. Jika
jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat
dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku:
(1) Ordonansi
Perburuan (Jachfordonantie 1931,
Slaatsblad 1931: 133);
(2) Ordonansi
Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie
1931, Staasblad 1931: 134);
(3) Ordonansi
Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie
Java en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan
(4) Ordonansi
Perlindungan Alam (Natuurbescherming-sordonantie
1941, Staasblad 1941: 167);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
13. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai, status
hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang
telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh:
Pasal 102
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai
berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.
14. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan tetapi belum mulai
berlaku, gunakan frase ditarik kembali
dan dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Pada saat Peraturan Presiden ini mulai
berlaku, Peraturan Presiden Nomor ... Tahun tentang ...
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
15. Pada
dasarnya setiap Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan
yang bersangkutan diundangkan.
16. Jika
ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya Peraturan Presiden yang bersangkutan pada saat diundangkan, hal ini
hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam Peraturan Presiden yang bersangkutan dengan:
a.
menentukan tanggal tertentu saat
peraturan akan berlaku;
Contoh:
Peraturan Presiden ini mulai berlaku
pada tanggal 1 April 2008.
b.
menyerahkan penetapan saat mulai
berlakunya kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama,
jika yang diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Perundang-undangan
lain yang lebih rendah.
Contoh:
Saat mulai
berlakunya Peraturan Presiden ini akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
c.
dengan menentukan lewatnya
tenggang waktu tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak
menimbulkan kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah ... (tenggang waktu) sejak ...
Contoh:
Peraturan Presiden ini mulai
berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan.
17. Hindari
frase ... mulai berlaku efektif pada
tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian
mengenai saat resmi berlalunya suatu Peraturan Presiden:
saat Pengundangan atau saat berlaku efektif.
18. Pada
dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi
seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
Contoh:
Peraturan Presiden ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
19. Penyimpangan
terhadap saat mulai berlaku Peraturan Presiden hendaknya dinyatakan secara tegas dengan:
a.
menetapkan bagian-bagian mana
dalam Peraturan Presiden itu yang berbeda saat mulai berlakunya;
Contoh:
Pasal 45
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) mulai berlaku pada tanggal…
b.
menetapkan saat mulai berlaku yang
berbeda bagi wilayah negara tertentu.
Contoh:
Pasal 40
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura pada tanggal…
20. Pada
dasarnya saat mulai berlakunya Peraturan Presiden tidak dapat ditentukan lebih awal dari pada saat pengundangannya.
21. Jika
ada alasan yang kuat untuk memberlakukan Peraturan Presiden lebih awal daripada saat
pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a.
rincian mengenai pengaruh
ketentuan berlaku surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat
hukum tertentu yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan;
b.
awal dari saat mulai berlaku Peraturan
Presiden sebaiknya
ditetapkan tidak lebih dahulu dari saat rancangan Peraturan Presiden tersebut mulai diketahui oleh
masyarakat.
22. Saat
mulai berlaku Peraturan Presiden,
pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal daripada saat mulai berlaku
Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
23. Peraturan
Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
24. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian
materi Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
D.
PENUTUP
1.
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan Perundang-undangan
dan memuat:
a.
rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara
Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b.
penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
Perundang-undangan;
c.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan; dan
d.
akhir bagian penutup.
2.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang berbunyi
sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan…(jenis Peraturan Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
3.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang berbunyi sebagai
berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan,
pengundangan...(Jenis Peraturan Perundang-undangan), ... ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
4.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan Peraturan
Perundang-undangan dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang berbunyi
sebagai berikut:
Contoh:
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan...(jenis Peraturan Perundang-undangan) ... ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita Daerah).
5.
Penandatanganan pengesahan atau penetapan Peraturan
Perundang-undangan memuat:
a.
tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b.
nama jabatan;
c.
tanda tangan pejabat; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan
pangkat.
6.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan
diletakkan di sebelah kanan.
7.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital.
Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh untuk pengesahan
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
tanda tangan |
NAMA |
Contoh untuk penetapan:
Ditetapkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
tanda tangan |
NAMA |
8.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan memuat:
a.
tempat dan tanggal Pengundangan;
b.
nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
c.
tanda tangan; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani, tanpa gelar dan
pangkat.
9.
Tempat tanggal Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan pengesahan atau
penetapan).
10. Nama jabatan dan nama pejabat
ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh:
Diundangkan di ... pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
Peraturan Perundang-undangan)
tanda tangan
NAMA
11. Pada akhir bagian penutup
dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan nomor dari
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran
Daerah, dan Berita Daerah tersebut.
12. Penulisan frase Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah ditulis
seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR....
Contoh:
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR..
Contoh:
LEMBARAN DAERAH PROVINSI (KABUPATEN/KOTA) ... TAHUN
...NOMOR....
E.
PENJELASAN
13. |
Peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang dapat diberi penjelasan, jika
diperlukan. |
14. Penjelasan
berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas
norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat
uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh.
Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dijelaskan.
15. Penjelasan
tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.
Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.
16. Dalam
penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
17. Naskah
penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
18. Judul
penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
KESEJAHTERAAN ANAK
19. Penjelasan
Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi
pasal.
20. Rincian
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
I.
UMUM
II.
PASAL DEMI PASAL
21. Penjelasan
umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud,
dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara
singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang
terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
22. Bagian-bagian
dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih
memberikan kejelasan.
Contoh:
I. |
UMUM |
|
|
(1) |
Dasar Pemikiran |
|
|
... |
|
(2) |
Pembagian Wilayah |
|
|
... |
|
(3) |
Asas-asas Penyelenggara Pemerintahan |
|
|
... |
|
(4) |
Daerah Otonom |
|
|
... |
|
(5) |
Wilayah Administratif |
|
|
... |
|
(6) |
Pengawasan |
|
|
... |
23. Jika
dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain
atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai sumbernya.
24. Dalam
menyusun penjelasan pasal demi pasal harus - diperhatikan agar rumusannya:
a.
tidak bertentangan dengan materi
pokok yang diatur dalam batang tubuh;
b.
tidak memperluas atau menambah
norma yang ada dalam batang tubuh;
c.
tidak melakukan pengulangan atas
materi pokok yang diatur dalam batang tubuh;
d.
tidak mengulangi uraian kata,
istilah, atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.
25. Ketentuan
umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak
perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus
dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
26. Pada
pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang
diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal
demi pasal tidak digantungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang
tidak memerlukan penjelasan.
Contoh yang kurang
tepat:
Pasal 7, Pasal 8
dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup jelas,
Seharusnya
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
27. Jika
suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan,
pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
28. |
a. |
Jika
suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau
butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu
dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. |
Contoh:
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat ini
dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
|
b. |
jika
suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan
penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…”) pada istilah kata/frase tersebut. |
Contoh:
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud
dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan
Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
F.
LAMPIRAN (Jika diperlukan)
Dalam hal
Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus dinyatakan
dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pada
akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan pejabat yang
mengesahkan/ menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
2.2 HAL-HAL KHUSUS
A.
PENDELEGASIAN
KEWENANGAN
1.
Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah.
2.
Pendelegasian kewenangan mengatur,
harus menyebut dengan tegas:
a.
ruang lingkup materi yang diatur;
dan
b.
jenis Peraturan
Perundang-undangan.
3. |
a. |
Jika
materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus
diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan
tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan... |
|
b. |
Jika
pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) gunakan kalimat Ketentuan
lebih lanjut mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... |
Contoh huruf a:
Pasal
...
(1)
...
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Keputusan
Presiden.
Contoh huruf b:
Pasal
...
(1)
...
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan
atau berdasarkan Keputusan Presiden.
4. |
a. |
Jika
materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur
di dalam Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
(subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan
mengenai ... diatur dengan... |
|
b. |
Jika
peraturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi)
digunakan kalimat Ketentuan
mengenai…diatur dengan atau berdasarkan… |
Contoh huruf a:
Pasal…
(1)
…
(2)
Ketentuan mengenai ... diatur dengan Keputusan
Presiden.
Contoh huruf b:
Pasal
...
(1)
....
(2)
Ketentuan mengenai ... diatur dengan atau
berdasarkan Keputusan Presiden.
5.
Untuk mempermudah dalam penentuan
judul dari peraturan pelaksana yang akan dibuat rumusan pendelegasian perlu
mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih
lanjut.
Contoh:
Pasal
10
(1)
…
(2)
ketentuan lebih lanjut tentang tata cara permohonan
pendaftaran desain industri diatur dengan Keputusan Presiden.
6.
Jika pasal terdiri dari beberapa
ayat pendelegasian kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang
bersangkutan.
7.
Jika pasal terdiri dari banyak
ayat, pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal
tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa
yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
8.
Dalam pendelegasian kewenangan
mengatur sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blangko.
Contoh:
Pasal
...
Hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Peraturan Presiden ini, diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
9.
Pendelegasian kewenangan mengatur
dari Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri
dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
10. Kewenangan
yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika
oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan
untuk itu.
11. Hindari
pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada
direktur jenderal atau pejabat yang setingkat.
12. Pendelegasian
langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat
diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah
daripada Undang-Undang.
13. Peraturan
Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma
yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan,
kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
14. Di
dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan
norma atau ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih
tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang
rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop)
untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (-pasal) atau
ayat (-ayat) selanjutnya.
B.
PENCABUTAN
1.
Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama yang tidak
diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan baru, Peraturan
Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut Peraturan
Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
2.
Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat
dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat.
3.
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.
Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian
dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.
5.
Jika Peraturan Perundang-undangan baru mengatur kembali suatu
materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan, pencabutan Peraturan
Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal dalam ketentuan
penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan menggunakan rumusan
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang sudah
diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan dengan
peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
7.
Jika pencabutan Peraturan Perundang-undangan dilakukan dengan
peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu hanya memuat 2 (dua)
pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a.
Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya Peraturan
Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku.
b.
Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai berlakunya
Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 1
Peraturan
Presiden Nomor…Tahun…tentang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor…Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan di nyatakan tidak berlaku.
Pasal 2
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
8.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang menimbulkan
perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait, tidak mengubah
Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali ditentukan
lain secara tegas.
9.
Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan yang telah
dicabut, otomatis tidak berlaku kembali, meskipun Peraturan Perundang-undangan
yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
C.
PERUBAHAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Perubahan Peraturan
Perundang-undangan dilakukan dengan:
a.
menyisipkan atau menambah materi
ke dalam Peraturan Perundang-undangan; atau
b.
menghapus atau mengganti sebagian
materi Peraturan Perundang-undangan.
2.
Perubahan Peraturan
Perundang-undangan dapat dilakukan terhadap:
a.
seluruh atau sebagian buku, bab,
bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b.
kata, istilah, kalimat, angka,
dan/atau tanda baca.
3.
Jika Pengaturan Perundang-undangan
yang diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan
dapat menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
4.
Pada dasarnya batang tubuh
Peraturan Perundang-undangan perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis
dengan angka Romawi yaitu sebagai berikut:
a.
Pasal 1 memuat judul Peraturan
Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di
antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika
materi perubahan lebih dari satu, setiap, materi perubahan dirinci dengan
menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
Contoh:
Pasal
1
Beberapa ketentuan
dalam Peraturan Presiden
Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun...Nomor...,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:...
2.
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:...
3.
dan seterusnya...
b.
Jika Peraturan Perundang-undangan
telah diubah lebih dari satu kali, pasal 1 memuat, selain mengikuti ketentuan
pada Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan
perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung
dan dirinci dengan huruf-huruf (abjad) kecil (a, b, c dan seterusnya).
Contoh:
Pasal
1
Peraturan
Presiden Nomor…Tahun…tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor…; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) yang telah
beberapa kali diubah dengan Peraturan Presiden:
a.
Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…);
b.
Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…);
c.
Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…);
c.
Pasal II memuat ketentuan tentang
saat mulai berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan
peralihan dari Peraturan Perundang-undangan, perubahan, yang maksudnya berbeda
dengan ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
5.
Jika dalam Peraturan
Perundang-undangan ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau
pasal baru, maka bab, bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan
pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
Contoh penyisipan bab:
15.
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab,
yakni BAB IX A sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IX A
INDIKASI GEOGRAFI DAN INDIKASI ASAL
Bagian Pertama
Indikasi Geografi
Pasal
79 A
(1)
…
(2)
...
(3)
…
Pasal
79 B
(1)
…
(2)
…
(3)
…
Contoh penyisipan pasal:
9.
Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1
(satu) pasal, yakni Pasal 128 A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 128 A
Dalam hal terbukti
adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil pelanggaran
paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
6.
Jika dalam 1 (satu) pasal yang
terdiri dari beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut
diawali dengan angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah
dengan huruf kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
10.
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan
2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
19
(1) |
…. |
(1a) |
…. |
(1b) |
…. |
(2) |
…. |
7.
Jika dalam suatu Peraturan
Perundang-undangan dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf,
pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut
tetap dicantumkan dengan diberi keterangan dihapus.
Contoh:
9.
Pasal 16 dihapus
10.
Pasal 19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1) |
… |
(2) |
Dihapus |
(3) |
… |
8.
suatu perubahan Peraturan
Perundang-undangan mengakibatkan:
a.
sistematika Peraturan
Perundang-undangan berubah;
b.
materi Peraturan
Perundang-undangan berubah lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.
esensinya berubah,
Peraturan Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan
disusun kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah
tersebut.
9.
Jika suatu Peraturan
Perundang-undangan telah sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan
pengguna Peraturan Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan
tersebut disusun kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan-perubahan yang
telah dilakukan, dengan mengadakan penyesuaian pada:
1.
urutan bab, bagian, paragraf,
pasal, ayat, angka, atau butir;
2.
penyebutan-penyebutan, dan
3.
ejaan, jika Peraturan
Perundang-undangan yang diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
10. Penyusunan
kembali sebagaimana dimaksud pada Nomor 199 butir a dilaksanakan oleh Presiden
dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
PERATURAN PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PENYUSUNAN KEMBALI
NASKAH
UNDANG-UNDANG
NOMOR... TAHUN…
TENTANG
………………….
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang: |
bahwa untuk mempermudah pemahaman materi
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang... sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor ... Tahun ...
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor ... Tahun…tentang ... perlu menyusun
kembali naskah Undang-Undang tersebut dengan memperhatikan segala perubahan
yang telah diadakan; |
Mengingat: |
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU: |
Naskah Undang-Undang Nomor… Tahun… tentang … yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
... Tahun ... tentang ... dan dengan mengadakan penyesuaian mengenai urutan
bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan butir serta penyebutan-penyebutannya
dan ejaan-ejaannya, berbunyi sebagai tercantum dalam Lampiran Peraturan
Presiden ini. |
KEDUA: |
Peraturan Presiden ini dengan lampirannya
ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
KETIGA: |
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan. |
3.
RAGAM
BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A.
BAHASA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Bahasa Peraturan
Perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia,
baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan,
maupun pengejaannya, namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan
mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan
pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan
kebutuhan hukum.
Contoh:
Pasal 34
(1)
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Rumusan yang lebih baik:
(1)
Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati,
setia, dan memberi bantuan lahir batin.
2.
Dalam merumuskan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan
mudah dimengerti.
Contoh:
Pasal 5
(1)
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan yang lebih baik:
(1)
Permohonan berisi lebih dari seorang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
3.
Hindarkan penggunaan kata atau
frase yang artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.
Contoh:
Istilah minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan
dengan istilah minuman beralkohol.
4.
Dalam merumuskan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh kalimat yang tidak baku:
(1) Rumah
itu pintunya putih.
(2) Pintu
rumah itu warnanya putih.
(3) Izin
usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat dicabut.
Contoh kalimat yang baku:
(1) Rumah
itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih.
(2) Pintu
ramah itu (berwarna) putih.
Warna pintu rumah itu putih.
(3) Perusahaan
yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin
usahanya.
5.
Untuk memberikan perluasan
pengertian kata atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi
baru, gunakan kata meliputi.
Contoh:
6.
Pejabat negara meliputi direksi
badan usaha milik negara dan direksi badan usaha milik daerah.
6.
Untuk mempersempit pengertian kata
istilah isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan
kata tidak meliputi.
Contoh:
5.
Anak buah kapal tidak meliputi
koki magang.
7.
Hindari pemberian arti kepada kata
atau frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan
dalam penggunaan bahasa sehari-hari.
Contoh:
3.
Pertanian meliput pula perkebunan,
peternakan, dan perikanan.
Rumusan yang baik:
3.
Pertanian meliputi perkebunan.
8.
Di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang sama hindari penggunaan:
a.
beberapa istilah yang berbeda
untuk menyatakan satu.
Contoh:
Istilah gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian
penghasilan. Jika untuk menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah
digunakan kata gaji maka dalam pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata
upah atau pendapatan untuk menyatakan pengertian penghasilan.
b.
satu istilah untuk beberapa
pengertian yang berbeda.
Contoh:
Istilah penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan
atau pengamanan karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian
pengamanan.
9.
Jika membuat pengacuan ke pasal
atau ayat lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
10. Jika
kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang maka untuk menyederhanakan
rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya
didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau
digunakan singkatan atau akronim.
Contoh:
a.
Menteri adalah Menteri Keuangan.
b.
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang
selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah…
c.
Tentara Nasional Republik Indonesia yang
selanjutnya disingkat TNI adalah…
d.
Asuransi Kesehatan yang selanjutnya disingkat
ASKES.
11. Jika
dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau
batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang
dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak
berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut.
12. Untuk
menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya
menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang
yang bersangkutan.
Contoh:
Menteri adalah Menteri yang
tugas dan tanggung jawabnya di bidang…(misalnya, bidang ketenagakerjaan)
13. Penyerapan
kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya
dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut:
a.
mempunyai konotasi yang cocok;
b.
lebih singkat bila dibandingkan
dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c.
mempunyai corak internasional;
d.
lebih mempermudah tercapainya
kesepakatan; atau
e.
lebih mudah dipahami daripada
terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
(1) devaluasi
(penurunan nilai uang)
(2) devisa
(alat pembayaran luar negeri)
14. Penggunaan
kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan
peraturan perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh
padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
(1) penghinaan
terhadap peradilan (contempt of court)
(2) penggabungan
(merger)
B.
PILIHAN KATA ATAU ISTILAH
1.
Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam
menentukan ancaman pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling.
Contoh:
... dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda
paling sedikit Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1
.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2.
Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a.
waktu, gunakan frase paling
singkat atau paling lama;
b.
jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling
banyak;
c.
jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling
tinggi;
3.
Untuk menyatakan makna tidak
termasuk, gunakan kata kecuali.
Kata kecuali ditempatkan di awal
kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh:
Kecuali A dan B, setiap orang wajib memberikan
kesaksian di depan sidang pengadilan.
4.
Kata kecuali ditempatkan
langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya kata yang
bersangkutan.
Contoh:
Yang dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim,
juru mudi, pelaut, dan koki, kecuali koki magang.
5.
Untuk menyatakan makna termasuk,
gunakan kata selain.
Contoh:
Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan
dalam Pasal 7, pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
6.
Untuk menyatakan makna pengandaian
atau kemungkinan, digunakan kata
jika, apabila, atau frase dalam hal.
a.
Kata jika digunakan
untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
Contoh:
Jika suatu perusahaan melanggar kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin perusahaan tersebut dapat dicabut.
b.
Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu.
Contoh:
Apabila anggota Komisi Pemberantasan Korupsi
berhenti dalam masa jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (4), yang bersangkutan digantikan oleh anggota pengganti sampai habis
masa jabatannya.
c.
Frase dalam hal digunakan
untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi
atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam hal Ketua tidak dapat hadir, sidang
dipimpin oleh Wakil Ketua.
7.
Frase pada saat digunakan
untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di masa depan.
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 45,
Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak
berlaku.
8.
Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan.
Contoh:
A dan B dapat menjadi ...
9.
Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan kata atau.
Contoh:
A atau B wajib memberikan...
10. Untuk menyatakan sifat
kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frase dan/atau.
Contoh:
A dan/atau B dapat memperoleh...
11. Untuk menyatakan adanya suatu
hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Setiap orang berhak mengemukakan pendapat di muka
umum.
12. Untuk menyatakan pemberian
kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh:
Presiden berwenang menolak atau mengabulkan permohonan
grasi.
13. Untuk menyatakan sifat
diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada seorang atau lembaga,
gunakan kata dapat.
Contoh:
Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan
pendaftaran paten.
14. Untuk menyatakan adanya suatu
kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan
akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku.
Contoh:
Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin
mendirikan bangunan.
15. Untuk menyatakan pemenuhan
suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan
tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat seandainya ia memenuhi
kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Untuk memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
16. Untuk menyatakan adanya
larangan, gunakan kata dilarang.
C.
TEKNIK PENGACUAN
1.
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu kebulatan
pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk menghindari
pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan.
2.
Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk pasal atau ayat
dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau Peraturan
Perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau sebagaimana dimaksud pada ayat.
Contoh:
a.
Persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)...
b.
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula...
3.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang
berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi ayat yang
diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan.
Contoh:
a.
...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
b.
...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4).
4.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau ayat yang
berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan, pasal atau
ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi
calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi
tahanan kecuali ayat (4) huruf a.
5.
Kata Pasal ini tidak
perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat dalam pasal yang
bersangkutan.
Contoh:
Pasal 8
(1)
…
(2)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh)
hari.
6.
Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan dari pengacuan
dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (Jika ada), kemudian diikuti
dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal 15
(1)
…
(2)
…
(3)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12,
dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
7.
Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan mencantumkan pula
secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh:
Izin penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 diberikan oleh…
8.
Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan Perundang-undangan
yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
9.
Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang terletak setelah
pasal atau ayat yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal
Permohonan izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam rangkap 5 (lima).
10. Pengacuan dilakukan dengan
menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu dan dihindarkan
pengguna frase pasal yang terdahulu atau
pasal tersebut di atas.
11. Pengacuan untuk menyatakan
berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak
disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
12. Untuk menyatakan bahwa
(berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan Perundang-undangan masih
diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum diadakan penggantian dengan
Peraturan Perundang-undangan yang baru, gunakan frase berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis
peraturan yang bersangkutan).
13. Jika Peraturan
Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian dari
ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali…
Contoh:
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor…Tahun… (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal
5 sampai dengan Pasal 10.
4. BENTUK RANCANGAN
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PRESIDEN
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
(nama Peraturan Presiden)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya...; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
...; |
|
2. |
...; |
|
3. |
dan seterusnya...; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
PERATURAN PRESIDEN TENTANG (nama Peraturan Presiden). |
BAB I
...
Pasal 1
BAB II
...
Pasal...
BAB...
(dan seterusnya)
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
pada tanggal... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal…
MENTERI (yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan
perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN…NOMOR...