JUDUL KEGIATAN:
PEMBUATAN UNDANG-UNDANG
TUJUAN KEGIATAN:
TAHAPAN KEGIATAN:
REFERENSI:
1.
MATERI
MUATAN
Pasal
8 UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:
a.
mengatar lebih lanjut ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:
1.
hak-hak asasi manusia;
2.
hak dan kewajiban warga negara;
3.
pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara
serta pembagian kekuasaan negara;
4.
wilayah negara dan pembagian daerah;
5.
kewarganegaraan dan kependudukan;
6.
keuangan negara.
b.
diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk
diatur dengan Undang-Undang.
Dalam Pasal 14 UU No. 10 Tahun 2004 dibatasi
bahwa materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
2.
TEKNIK PENYUSUNAN UNDANG-UNDANG
Dalam
LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, diuraikan mengenai SISTEMATIKA TEKNIK PENYUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN, yang meliputi:
BAB I |
KERANGKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
JUDUL |
|
|
B. |
PEMBUKAAN |
|
|
|
1. |
Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa |
|
|
2. |
Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan |
|
|
3. |
Konsiderans |
|
|
4. |
Dasar Hukum |
|
|
5. |
Diktum |
|
C. |
BATANG TUBUH |
|
|
|
1. |
Ketentuan Umum |
|
|
2. |
Materi Pokok yang Diatur |
|
|
3. |
Ketentuan Pidana (Jika diperlukan) |
|
|
4. |
Ketentuan Peralihan (Jika diperlukan) |
|
|
5. |
Ketentuan Penutup |
|
D. |
PENUTUP |
|
|
E. |
PENJELASAN (Jika diperlukan) |
|
|
F. |
LAMPIRAN (Jika diperlukan) |
|
BAB II |
HAL-HAL KHUSUS |
||
|
A. |
PENDELEGASIAN KEWENANGAN |
|
|
B. |
PENYIDIKAN |
|
|
C. |
PENCABUTAN |
|
|
D. |
PERUBAHAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN |
|
|
E. |
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG |
|
|
F. |
PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL |
|
BAB III |
RAGAM BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
BAHASA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN |
|
|
B. |
PILIHAN KATA ATAU ISTILAH |
|
|
C. |
TEKNIK PENGACUAN |
|
BAB IV |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN |
||
|
A. |
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PADA UMUMNYA |
|
|
B. |
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG. |
|
|
C. |
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI
SALAH SATU BAHASA RESMI |
|
|
D. |
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG |
|
|
E. |
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN
UNDANG-UNDANG |
|
|
F. |
BENTUK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG |
|
|
G. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG |
|
|
H. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH |
|
|
I. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN |
|
|
J. |
BENTUK RANCANGAN PERATURAN DAERAH |
Uraian
selanjutnya mengikuti sistematika tersebut di atas.
2.1 KERANGKA UNDANG-UNDANG
Kerangka undang-undang terdiri atas:
A. Judul;
B. Pembukaan;
C. Batang
Tubuh;
D. Penutup;
E. Penjelasan;
F. Lampiran
(Jika diperlukan).
Selanjutnya,
kerangka di atas akan diuraikan satu-persatu.
A.
JUDUL
1. Judul
undang-undang memuat keterangan mengenai jenis, nomor, tahun pengundangan atau
penetapan, dan nama undang-undang.
2. Nama
undang-undang dibuat secara singkat dan mencerminkan isi undang-undang.
3. Judul
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin tanpa
diakhiri tanda baca.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
4. Pada
judul undang-undang perubahan ditambahkan frase perubahan atas depan nama undang-undang
yang diubah.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN
2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
5. Jika
undang-undang telah diubah lebih dari 1 (satu) kali, di antara kata perubahan dan kata atas disisipkan keterangan yang menunjukkan berapa kali perubahan
tersebut telah dilakukan, tanpa merinci perubahan sebelumnya.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS
UNDANG–UNDANG
NOMOR…TAHUN….TENTANG ….
6. Jika
undang-undang yang diubah mempunyai nama singkat, undang-undang perubahan dapat
menggunakan nama singkat undang-undang yang diubah.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ... TAHUN ...
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI 1984
7. Pada
judul undang-undang pencabutan disisipkan
kata pencabutan di depan nama undang-undang
yang dicabut.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1985
TENTANG
PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1970
TENTANG PEMBENTUKAN DAERAH PERDAGANGAN BEBAS
DAN PELABUHAN BEBAS SABANG
8. Pada
judul Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang ditetapkan
menjadi Undang-Undang, ditambahkan kata penetapan
di depan nama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang ditetapkan
dan diakhiri dengan frase menjadi Undang-Undang.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 2003
TENTANG
PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG
9. Pada
judul Peraturan Perundang-undangan pengesahan perjanjian atau persetujuan
internasional, ditambahkan kata pengesahan
di depan nama perjanjian atau persetujuan internasional yang akan disahkan.
10.
Jika dalam perjanjian atau persetujuan
internasional Bahasa Indonesia digunakan sebagai teks resmi, nama perjanjian
atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Indonesia, yang diikuti oleh teks resmi
bahasa asing yang ditulis dengan huruf cetak miring dan diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1999
TENTANG
PENGESAHAN PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK
INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
(TREATY
BETWEEN THE REPUBLIC OF INDONESIA AND AUSTRALIA ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN
CRIMINAL MATTERS)
11.
Jika dalam, perjanjian atau persetujuan
internasional, Bahasa Indonesia tidak digunakan sebagai teks resmi, nama
perjanjian atau persetujuan ditulis dalam Bahasa Inggris dengan huruf cetak
miring, dan diikuti oleh terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang diletakkan
di antara tanda baca kurung.
Contoh:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1997
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST ILLICIT TRAFFIC IN NARCOTIC DRUGS AND
PSYCHOTROPIC SUBTANCES, 1998
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
PEMBERANTASAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA, 1998)
B.
PEMBUKAAN
Pembukaan
undang-undang terdiri atas:
1.
Frase “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”;
2.
Jabatan Pembentuk undang-undang (akan
dijelaskan lebih lanjut);
3.
Konsiderans;
4.
Dasar Hukum; dan
5.
Diktum.
B.1.
Frase
“Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”
Pada
pembukaan tiap jenis Peraturan Perundang-undangan sebelum nama jabatan
pembentuk Peraturan Perundang-undangan dicantumkan frase DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital yang diletakkan di tengah marjin.
B.2.
Jabatan
Pembentuk undang-undang
Jabatan
pembentuk undang-undang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital yang diletakkan
di tengah marjin dan diakhiri dengan tanda baca koma.
B.3.
Konsiderans
1. Konsiderans
diawali dengan kata Menimbang.
2. Konsiderans
memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang
dan alasan pembuatan undang-undang.
3. Pokok-pokok
pikiran pada konsiderans Undang-Undang memuat unsur filosofis, yuridis, dan
sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya.
4. Jika
konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran
dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian.
5. Tiap-tiap
pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat
yang diawali dengan kata bahwa dan
diakhiri dengan tanda baca titik koma.
Contoh:
Menimbang: |
a. |
bahwa….; |
|
b. |
bahwa….; |
|
c. |
bahwa….; |
6. Jika
konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, rumusan butir pertimbangan
terakhir berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Menimbang: |
a. |
bahwa.....; |
|
b. |
bahwa….; |
|
c. |
bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu membentuk
Undang-Undang tentang…; |
B.4.
Dasar
Hukum
Contoh:
Mengingat: |
Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; |
Contoh:
Mengingat: |
1. |
….; |
|
2. |
Undang-Undang Nomor
43 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4316); |
Contoh:
Mengingat: |
1. |
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel, Staatsblad 1847); |
|
2. |
....; |
Contoh:
Mengingat: |
1. |
….; |
|
2. |
….; |
|
3. |
….; |
B.5.
Diktum
Contoh
Undang-Undang:
Dengan
Persetujuan Bersama:
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Contoh:
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
C.
BATANG
TUBUH
1. Batang
tubuh undang-undang memuat semua substansi undang-undang yang dirumuskan dalam
pasal (-pasal).
2. Pada
umumnya substansi dalam batang tubuh dikelompokkan ke dalam:
(1) Ketentuan
Umum;
(2) Materi
Pokok yang Diatur;
(3) Ketentuan
Pidana (Jika diperlukan);
(4) Ketentuan
Peralihan (Jika diperlukan);
(5) Ketentuan
Penutup.
3. Dalam
pengelompokan substansi sedapat mungkin dihindari adanya bab ketentuan lain
atau sejenisnya. Materi yang bersangkutan, diupayakan untuk masuk ke dalam bab
yang ada atau dapat pula dimuat dalam bab tersendiri dengan judul yang sesuai
dengan materi yang diatur.
4. Substansi
yang berupa sanksi administratif atau sanksi keperdataan atas pelanggaran norma
tersebut dirumuskan menjadi satu bagian (pasal) dengan norma yang memberikan
sanksi administratif atau sanksi keperdataan.
5. Jika
norma yang memberikan sanksi administratif atau keperdataan terdapat lebih dari
satu pasal, sanksi administratif atau sanksi keperdataan dirumuskan dalam pasal
terakhir dari bagian (pasal) tersebut. Dengan demikian hindari rumusan
ketentuan sanksi yang sekaligus memuat sanksi pidana, sanksi perdata, dan sanksi
administratif dalam satu bab.
6. Sanksi
administratif dapat berupa, antara lain, pencabutan izin, pembubaran,
pengawasan, pemberhentian sementara, denda administratif, atau daya paksa
polisional. Saksi keperdataan dapat berupa, antara lain, ganti kerugian.
7. Pengelompokan
materi undang-undang dapat disusun secara sistematis dalam buku, bab, bagian,
dan paragraf.
8. Jika
undang-undang mempunyai materi yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai
banyak pasal, pasal (-pasal) tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika
merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.
9. Pengelompokan
materi dalam buku, bab, bagian, dan paragraf dilakukan atas dasar kesamaan
materi.
10. Urutan
pengelompokan adalah sebagai berikut:
a. bab
dengan pasal (-pasal) tanpa bagian dan paragraf,
b. bab
dengan bagian dan pasal (-pasal) tanpa paragraf-, atau
c. bab
dengan bagian dan paragraf yang berisi pasal (-pasal).
11. Buku
diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis
dengan huruf kapital.
Contoh:
BUKU
KETIGA
PERIKATAN
12. Bab diberi
nomor urut dengan angka Romawi dan judul bab yang seluruhnya ditulis dengan
huruf kapital.
Contoh:
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
13. Bagian
diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi
judul.
14. Huruf
awal kata bagian, urutan bilangan, dan setiap kata pada judul bagian ditulis
dengan huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada
awal frase.
Contoh:
Bagian
Kelima
Persyaratan
Teknis Kendaraan Bermotor, Kereta Gandengan, dan Kereta Tempelan
15. Paragraf
diberi nomor urut dengan angka Arab dan diberi judul.
16. Huruf
awal dari kata paragraf dan setiap kata pada judul paragraf ditulis dengan
huruf kapital, kecuali huruf awal kata partikel yang tidak terletak pada awal
frase.
Contoh:
Paragraf
1
Ketua,
Wakil Ketua, dan Hakim
17. Pasal
merupakan satuan aturan dalam Peraturan Perundang-undangan yang memuat satu
norma, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas,
dan lugas.
18. Materi
Peraturan Perundang-undangan lebih baik dirumuskan dalam banyak pasal yang singkat
dan jelas daripada ke dalam beberapa pasal yang masing-masing pasal memuat
banyak ayat, kecuali jika materi yang menjadi isi pasal itu merupakan satu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
19. Pasal
diberi nomor urut dengan angka Arab.
20. Huruf
awal kata pasal yang digunakan sebagai acuan ditulis dengan huruf kapital.
Contoh:
Pasal
34
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 26 tidak meniadakan kewajiban
membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
21. Pasal
dapat dirinci ke dalam beberapa ayat.
22. Ayat
diberi nomor urut dengan angka Arab di antara tanda baca kurung tanpa diakhiri
tanda baca titik.
23. Satu
ayat hendaknya hanya memuat satu norma yang dirumuskan dalam satu kalimat utuh.
24. Huruf
awal kata ayat yang digunakan
sebagai acuan ditulis dengan huruf kecil.
Contoh:
Pasal
8
(1)
Satu
permintaan pendaftaran merek hanya dapat diajukan untuk 1 (satu) kelas barang.
(2)
Permintaan
pendaftaran merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyebutkan jenis barang
atau jasa yang termasuk dalam kelas yang bersangkutan.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai kelas barang atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
25. Jika
satu pasal atau ayat memuat rincian unsur, maka di samping dirumuskan dalam
bentuk kalimat dengar rincian, dapat pula dipertimbangkan penggunaan rumusan
dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pasal
17
Yang
dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang telah berusia 17
(tujuh belas) tahun atau telah kawin dan telah terdaftar pada daftar pemilih.
Isi
pasal tersebut dapat lebih mudah dipahami jika dirumuskan sebagai berikut:
Contoh
rumusan tabulasi:
Pasal
17
Yang
dapat diberi hak pilih ialah warga negara Indonesia yang:
a. telah
berusia 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin; dan
b. telah
terdaftar pada daftar pemilih.
26. Dalam
membuat rumusan pasal atau ayat dengan bentuk tabulasi hendaknya diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. setiap
rincian harus dapat dibaca sebagai satu rangkaian kesatuan dengan frase
pembuka;
b. setiap
rincian diawali dengan huruf (abjad) kecil dan diberi tanda baca titik;
c. setiap
frase dalam rincian diawali dengan huruf kecil;
d. setiap
rincian diakhiri dengan tanda baca titik koma;
e. jika
suatu rincian dibagi lagi ke dalam unsur yang lebih kecil, maka unsur tersebut
dituliskan masuk ke dalam;
f. di
belakang rincian yang masih mempunyai rincian lebih lanjut diberi tanda baca
titik dua;
g. pembagian
rincian (dengan urutan makin kecil) ditulis dengan abjad kecil, yang diikuti
dengan tanda baca titik; angka Arab diikuti dengan tanda baca titik; abjad
kecil dengan tanda baca kurung tutup; angka Arab dengan tanda baca kurung
tutup;
h. pembagian
rincian hendaknya tidak melebihi empat tingkat. Jika rincian melebihi empat
tingkat, perlu dipertimbangkan pemecahan pasal yang bersangkutan ke dalam pasal
atau ayat lain.
27. Jika
unsur atau rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif,
ditambahkan kata dan yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian
terakhir.
28. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian alternatif ditambahkan kata
atau yang diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
29. Jika
rincian dalam tabulasi dimaksudkan sebagai rincian kumulatif dan alternatif,
ditambahkan kata dan/atau yang
diletakkan di belakang rincian kedua dari rincian terakhir.
30. Kata
dan, atau, dan/atau tidak perlu
diulangi pada akhir setiap unsur atau rincian.
a. Tiap-tiap
rincian ditandai dengan huruf a, huruf b, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal
9
(1) |
…..: |
|
(2) |
…..: |
|
|
a. |
….; |
|
b. |
….;
(dan, atau, dan/atau) |
|
c. |
…. |
b. Jika
suatu rincian memerlukan lebih lanjut, rincian itu ditandai dengan angka Arab
1, 2, dan seterusnya.
Contoh:
Pasal
12
(1) |
….. |
||
(2) |
…..; |
||
|
a. |
….; |
|
|
b. |
….;
(dan, atau, dan/atau) |
|
|
c. |
….: |
|
|
|
1. |
….; |
|
|
2. |
….;
(dan, atau, dan/atau) |
|
|
3. |
…. |
c. Jika
suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu
ditandai dengan huruf a), b), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal
20
(1) |
…. |
|||
(2) |
…. |
|||
(3) |
….: |
|||
|
a. |
…. |
||
|
b. |
….;
(dan, atau, dan/atau) |
||
|
c. |
….: |
||
|
|
1. |
…; |
|
|
|
2. |
…;
(dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
3. |
…: |
|
|
|
|
a) |
…; |
|
|
|
b) |
…; (dan, atau,
dan/atau) |
|
|
|
c) |
… |
d. Jika
suatu rincian lebih lanjut memerlukan rincian yang mendetail, rincian itu
ditandai dengan angka 1), 2), dan seterusnya.
Contoh:
Pasal
22
(1) |
… |
||||
(2) |
… |
||||
|
a. |
... ; |
|||
|
b. |
…;
(dan, atau, dan/atau) |
|||
|
c. |
…: |
|||
|
|
1. |
… |
||
|
|
2. |
…(dan,
atau, dan/atau) |
||
|
|
3. |
…: |
||
|
|
|
a) |
….; |
|
|
|
|
b) |
….;
(dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
|
c) |
….: |
|
|
|
|
|
1) |
…; |
|
|
|
|
2) |
…;
(dan, atau, dan/atau) |
|
|
|
|
3) |
… |
C.1.
Ketentuan
Umum
1.
Ketentuan umum diletakkan dalam bab kesatu.
Jika dalam Peraturan Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal (-pasal) awal.
2.
Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu
pasal.
3.
Ketentuan umum berisi:
a. batasan
pengertian atau definisi;
b. singkatan
atau akronim yang digunakan dalam peraturan;
c. hal-hal
lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal (-pasal) berikutnya antara lain
ketentuan yang mencerminkan asas, maksud, dan tujuan.
4.
Frase pembuka dalam ketentuan umum
undang-undang berbunyi –Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksudkan dengan:
5.
Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian
atau definisi singkatan atau akrorim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan huruf kapital
serta diakhiri dengan tanda baca titik.
6.
Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan
umum hanyalah kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal
(-pasal) selanjutnya.
7.
Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan
satu kali, namun kata atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu
bab, bagian atau paragraf tertentu, dianjurkan agar kata atau istilah itu
diberi definisi.
8.
Jika suatu batasan pengertian atau definisi
perlu dikutip kembali di dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan pelaksanaan harus
sama dengan rumusan batasan pengertian atau definisi yang terdapat di dalam
peraturan lebih tinggi yang dilaksanakan tersebut.
9.
Karena batasan pengertian atau definisi,
singkatan, atau akronim berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau
istilah maka batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan sedemikian rupa
sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
10. Urutan
penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum mengikuti ketentuan sebagai
berikut:
a. pengertian
yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan lebih dahulu dari yang
berlingkup khusus;
b. pengertian
yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang diatur ditempatkan dalam
urutan yang lebih dahulu; dan
c. pengertian
yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya diletakkan berdekatan secara
berurutan.
C.2.
Materi
Pokok yang Diatur
1.
Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung
setelah bab ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokan bab, materi pokok
yang diatur diletakkan setelah pasal (-pasal) ketentuan umum.
2.
Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang
lebih kecil dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
Contoh:
a.
pembagian berdasarkan hak atau kepentingan
yang dilindungi, seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
(1) kejahatan
terhadap keamanan negara;
(2) kejahatan
terhadap martabat Presiden;
(3) kejahatan
terhadap negara sahabat dan wakilnya;
(4) kejahatan
terhadap kewajiban dan hak kenegaraan;
(5) kejahatan
terhadap ketertiban umum dan seterusnya.
b.
pembagian berdasarkan urutan/kronologis,
seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
c.
pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan,
seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
C.3.
Ketentuan
Pidana (jika diperlukan)
1.
Ketentuan pidana memuat rumusan yang
menyatakan penjatuhan pidana atas
pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau perintah.
2.
Dalam merumuskan ketentuan pidana perlu
diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku
juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut Peraturan Perundang-undangan
lain, kecuali jika oleh Undang-Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana).
3.
Dalam menentukan lamanya pidana atau
banyaknya denda perlu dipertimbangkan mengenai dampak yang ditimbulkan oleh
tindak pidana dalam masyarakat serta unsur kesalahan pelaku.
4.
Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab
tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang
diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Jika bab ketentuan peralihan tidak
ada, letaknya adalah sebelum bab ketentuan penutup.
5.
Jika di dalam Peraturan Perundang-undangan
tidak diadakan pengelompokan bab per bab, ketentuan pidana ditempatkan dalam
pasal yang terletak langsung sebelum pasal (-pasal) yang berisi ketentuan
peralihan. Jika tidak ada pasal yang berisi ketentuan peralihan, ketentuan
pidana diletakkan sebelum pasal penutup.
6.
Ketentuan pidana hanya dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
7.
Rumusan ketentuan pidana harus menyebutkan
secara tegas norma larangan atau perintah yang dilanggar dan menyebutkan pasal
(-pasal) yang memuat norma tersebut. Dengan demikian, perlu dihindari:
a.
pengacuan kepada ketentuan pidana Peraturan
Perundang-undangan lain. Lihat juga Nomor 98;
b.
pengacuan kepada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, jika elemen atau unsur-unsur dari norma yang diacu tidak sama; atau
c.
penyusunan rumusan sendiri yang berbeda atau
tidak terdapat di norma-norma yang diatur dalam pasal (-pasal) sebelumnya,
kecuali untuk Undang-Undang tindak pidana khusus.
8.
Jika ketentuan pidana berlaku bagi siapapun,
subyek dari ketentuan pidana dirumuskan dengan frase setiap orang.
Contoh:
Pasal
81
Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada
keseluruhannya dengan merek terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain
untuk barang atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
9.
Jika ketentuan pidana hanya berlaku bagi
subyek tertentu, subyek itu dirumuskan secara tegas, misalnya, orang asing,
pegawai negeri, saksi.
Contoh:
Pasal
95
Saksi
yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana
narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000, 00 (tiga ratus juta
rupiah).
10. Sehubungan
adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran
di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, rumusan ketentuan pidana harus
menyatakan secara tegas apakah perbuatan yang diancam dengan pidana itu
dikualifikasikan sebagai pelanggaran atau kejahatan.
Contoh:
BAB
V
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
33
(1)
Setiap
orang yang melanggar ketentuan Pasal......dipidana dengan pidana kurungan
paling lama……atau denda paling banyak Rp…………, 00.
(2)
Tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
11. Rumusan
ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas apakah pidana yang dijatuhkan
bersifat kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif.
Contoh:
¨
Sifat kumulatif:
Setiap
orang yang dengan sengaja menyiarkan hal-hal yang bersifat sadisme, pornografi,
dan/atau bersifat perjudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (7)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
¨
Sifat alternatif:
Setiap
orang yang dengan sengaja menyelenggarakan penyiaran tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8
(delapan) tahun atau denda paling
banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
¨
Sifat kumulatif alternatif:
Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus juta ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
12. Hindari
rumusan dalam ketentuan pidana yang tidak menunjukkan dengan jelas apakah
unsur-unsur perbuatan pidana bersifat kumulatif atau alternatif.
Contoh:
Setiap
orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13
dan Pasal 14, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan.
13. Jika
suatu Peraturan Perundang-undangan yang memuat ketentuan pidana akan
diberlakusurutkan, ketentuan pidananya harus dikecualikan, mengingat adanya
asas umum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Contoh:
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya dan berlaku surut sejak tanggal 1
Januari 1976, kecuali untuk ketentuan pidananya.
14. Ketentuan
pidana bagi tindak pidana yang merupakan pelanggaran terhadap kegiatan bidang
ekonomi dapat tidak diatur tersendiri di dalam undang-undang yang bersangkutan,
tetapi cukup mengacu kepada Undang-Undang yang mengatur mengenai tindak pidana
ekonomi, misalnya, Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1955 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
15. Tindak
pidana dapat dilakukan oleh orang-perorangan atau oleh korporasi. Pidana
terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dijatuhkan kepada:
a.
Badan hukum, perseroan, perkumpulan, atau
yayasan;
b.
mereka yang memberi perintah melakukan tindak
pidana atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana; atau
c.
kedua-duanya.
C.4.
Ketentuan
Peralihan (jika diperlukan)
1.
Ketentuan peralihan memuat penyesuaian
terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat undang-undang baru
mulai berlaku, agar undang-undang tersebut dapat berjalan lancar dan tidak
menimbulkan permasalahan hukum.
2.
Ketentuan peralihan dimuat dalam bab
ketentuan peralihan dan ditempatkan di antara bab ketentuan pidana dan bab
Ketentuan Penutup. Jika dalam undang-undang tidak diadakan pengelompokan bab,
pasal yang memuat ketentuan peralihan ditempatkan sebelum pasal yang memuat
ketentuan penutup.
3.
Pada saat suatu undang-undang dinyatakan
mulai berlaku, segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi
baik sebelum, pada saat maupun sesudah undang-undang yang baru itu dinyatakan
mulai berlaku, tunduk pada ketentuan undang-undang baru.
4.
Di dalam undang-undang yang baru, dapat
dimuat pengaturan yang memuat penyimpangan sementara atau penundaan sementara
bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu.
5.
Penyimpangan sementara itu berlaku juga bagi
ketentuan yang diberlakusurutkan.
6.
Jika suatu undang-undang diberlakukan surut, undang-undang
tersebut hendaknya memuat ketentuan mengenai status dari tindakan hukum yang
terjadi, atau hubungan hukum yang ada di dalam tenggang waktu antara tanggal
mulai berlaku surut dan tanggal mulai berlaku pengundangannya.
Contoh:
Selisih
tunjangan perbaikan yang timbul akibat undang-undang ini dibayarkan paling
lambat 3 (tiga) bulan sejak saat tanggal pengundangan undang-undang ini.
7.
Mengingat berlakunya asas-asas umum hukum
pidana, penentuan daya laku surut hendaknya tidak diberlakusurutkan bagi
ketentuan yang menyangkut pidana atau pemidanaan.
8.
Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak
diadakan bagi undang-undang yang memuat ketentuan yang memberi beban konkret
kepada masyarakat.
9.
Jika penerapan suatu ketentuan undang-undang dinyatakan
ditunda sementara, bagi tindakan hukum atau hubungan hukum tertentu, ketentuan undang-undang
tersebut harus memuat secara tegas dan rinci tindakan hukum dan hubungan hukum
mana yang dimaksud, serta jangka waktu atau syarat-syarat berakhirnya penundaan
sementara tersebut.
Contoh:
Izin
ekspor rotan setengah jadi yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang
.... Tahun .... masih tetap berlaku untuk jangka waktu 60 (enam puluh) hari
sejak tanggal pengundangan Undang-Undang ini.
10. Hindari
rumusan dalam ketentuan peralihan yang isinya memuat perubahan terselubung atas
ketentuan Peraturan Perundang-undangan lain. Perubahan ini hendaknya dilakukan
dengan membuat batasan pengertian baru di dalam ketentuan umum undang-undang atau
dilakukan dengan membuat Peraturan Perundang-undangan perubahan.
Contoh:
Pasal
35
(1)
Desa
atau yang disebut dengan nama lainnya yang setingkat dengan desa yang sudah ada
pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan sebagai desa menurut
Pasal I huruf a.
C.5.
Ketentuan
Penutup
1.
Ketentuan penutup ditempatkan dalam bab
terakhir. Jika tidak diadakan pengelompokan bab, ketentuan penutup ditempatkan
dalam pasal (-pasal) terakhir.
2.
Pada umumnya ketentuan penutup memuat
ketentuan mengenai:
a.
penunjukan organ atau alat perlengkapan yang
melaksanakan undang-undang;
b.
nama singkat;
c.
status Peraturan Perundang-undangan yang
sudah ada; dan
d.
saat mulai berlaku undang-undang.
3.
Ketentuan penutup dapat memuat peraturan
pelaksanaan yang bersifat:
a.
menjalankan (eksekutif), misalnya, penunjukan
pejabat tertentu yang diberi kewenangan untuk memberikan izin, mengangkat
pegawai, dan lain-lain;
b.
mengatur (legislatif), misalnya, memberikan kewenangan
untuk membuat peraturan pelaksanaan.
4.
Bagi nama undang-undang yang panjang dapat
dimuat ketentuan mengenai nama singkat (judul kutipan) dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
nomor dan tahun pengeluaran peraturan yang
bersangkutan tidak dicantumkan;
b.
nama singkat bukan berupa singkatan atau
akronim, kecuali jika singkatan atau akronim itu sudah sangat dikenal dan tidak
menimbulkan salah pengertian.
5.
Nama singkat tidak memuat pengertian yang
menyimpang dari isi dan nama peraturan.
Contoh
nama singkat yang kurang tepat
(Undang-Undang
tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan)
Undang-Undang
ini dapat disebut Undang-Undang tentang Karantina Hewan.
6.
Hindari memberikan nama singkat bagi nama undang-undang
yang sebenarnya sudah singkat.
Contoh
nama singkat yang kurang tepat:
(Undang-Undang
tentang Bank Sentral)
Undang-Undang
ini dapat disebut Undang-Undang tentang Bank Indonesia.
7.
Hindari penggunaan sinonim sebagai nama
singkat.
Contoh
nama singkat yang kurang tepat:
(Undang-Undang
tentang Peradilan Tata Usaha Negara)
Undang-Undang
ini dapat disebut dengan Undang-Undang tentang Peradilan Administrasi Negara.
8.
Jika materi dalam undang-undang baru
menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam Peraturan
Perundang-undangan lama, di dalam Peraturan Perundang-undangan baru harus
secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau sebagian Peraturan
Perundang-undangan lama.
9.
Rumusan pencabutan diawali dengan frase Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku,
kecuali untuk pencabutan yang dilakukan dengan undang-undang pencabutan
tersendiri.
10. Demi
kepastian hukum, pencabutan Peraturan Perundang-undangan hendaknya tidak
dirumuskan secara umum tetapi menyebutkan dengan tegas Peraturan
Perundang-undangan mana yang dicabut.
11. Untuk
mencabut Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dan telah mulai
berlaku, gunakan frase dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Contoh
untuk, Nomor 118, 119, dan 120:
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang Nomor ... Tahun ....
tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun .... Nomor Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
12. Jika
jumlah Peraturan Perundang-undangan yang dicabut lebih dari 1 (satu), dapat
dipertimbangkan cara penulisan dengan rincian dalam bentuk tabulasi.
Contoh:
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
(1)
Ordonansi
Perburuan (Jachfordonantie 1931,
Slaatsblad 1931: 133);
(2)
Ordonansi
Perlindungan Binatang-binatang Liar (Dierenbeschermingsordonantie
1931, Staasblad 1931: 134);
(3)
Ordonansi
Perburuan Jawa dan Madura (Jachtordonantie
Java en Madoera 1940, Staasblad 1939: 733); dan
(4)
Ordonansi
Perlindungan Alam (Natuurbescherming-sordonantie
1941, Staasblad 1941: 167);
dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku,
13. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai, status
hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan lebih rendah, atau keputusan yang
telah dikeluarkan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang dicabut.
Contoh:
Pasal
102
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang
merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3086) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
14. Untuk
mencabut undang-undang yang telah diundangkan tetapi belum mulai berlaku,
gunakan frase ditarik kembali dan
dinyatakan tidak berlaku.
Contoh:
Pada saat
Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor ... Tahun tentang ...
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ... Nomor Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor .... ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
15. Pada
dasarnya setiap Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku pada saat peraturan
yang bersangkutan diundangkan.
16. Jika
ada penyimpangan terhadap saat mulai berlakunya undang-undang yang bersangkutan
pada saat diundangkan, hal ini hendaknya dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang
yang bersangkutan dengan:
a.
menentukan tanggal tertentu saat peraturan
akan berlaku;
Contoh:
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2000.
b.
menyerahkan penetapan saat mulai berlakunya
kepada Peraturan Perundang-undangan lain yang tingkatannya sama, jika yang
diberlakukan itu kodifikasi, atau oleh Peraturan Perundang-undangan lain yang
lebih rendah.
Contoh:
Saat
mulai berlakunya Undang-Undang ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
c.
dengan menentukan lewatnya tenggang waktu
tertentu sejak saat Pengundangan atau penetapan. Agar tidak menimbulkan
kekeliruan penafsiran gunakan frase setelah
... (tenggang waktu) sejak ...
Contoh:
Undang-Undang
ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan.
17. Hindari
frase ... mulai berlaku efektif pada
tanggal ... atau yang sejenisnya, karena frase ini menimbulkan ketakpastian
mengenai saat resmi berlalunya suatu undang-undang: saat Pengundangan atau saat
berlaku efektif.
18. Pada
dasarnya saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan adalah sama bagi
seluruh bagian Peraturan Perundang-undangan dan seluruh wilayah negara Republik
Indonesia.
Contoh:
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
19. Penyimpangan
terhadap saat mulai berlaku undang-undang hendaknya dinyatakan secara tegas
dengan:
a.
menetapkan bagian-bagian mana dalam undang-undang
itu yang berbeda saat mulai berlakunya;
Contoh:
Pasal 45
(1)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
mulai berlaku pada tanggal…
b.
menetapkan saat mulai berlaku yang berbeda
bagi wilayah negara tertentu.
Contoh:
Pasal 40
(1)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) mulai berlaku untuk wilayah Jawa
dan Madura pada tanggal…
20. Pada
dasarnya saat mulai berlakunya undang-undang tidak dapat ditentukan lebih awal
dari pada saat pengundangannya.
21. Jika
ada alasan yang kuat untuk memberlakukan undang-undang lebih awal daripada saat
pengundangannya (artinya, berlaku surut), perlu diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a.
ketentuan baik yang berkaitan dengan masalah
pidana, baik jenis, berat, sifat, maupun klasifikasinya, tidak ikut
diberlakusurutkan;
b.
rincian mengenai pengaruh ketentuan berlaku
surut itu terhadap tindakan hukum, hubungan hukum, dan akibat hukum tertentu
yang sudah ada, perlu dimuat dalam ketentuan peralihan;
c.
awal dari saat mulai berlaku undang-undang sebaiknya
ditetapkan tidak lebih dahulu dari saat rancangan undang-undang tersebut mulai
diketahui oleh masyarakat, misalnya, saat rancangan undang-undang itu
disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat.
22. Saat
mulai berlaku undang-undang, pelaksanaannya tidak boleh ditetapkan lebih awal
daripada saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan yang mendasarinya.
23. Peraturan
Perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya sama atau lebih tinggi.
24. Pencabutan
Peraturan Perundang-undangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian
materi Peraturan Perundang-undangan lebih rendah yang dicabut itu.
D.
PENUTUP
1.
Penutup merupakan bagian akhir Peraturan
Perundang-undangan dan memuat:
a.
rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah;
b.
penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan;
c.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan;
dan
d.
akhir bagian penutup.
2.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan…(jenis Peraturan
Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
3.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Berita Negara Republik Indonesia yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan, pengundangan...(Jenis Peraturan
Perundang-undangan), ... ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
4.
Rumusan perintah pengundangan dan penempatan
Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara atau Berita Daerah yang
berbunyi sebagai berikut:
Contoh:
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan...(jenis Peraturan
Perundang-undangan) ... ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah (Berita
Daerah).
5.
Penandatanganan pengesahan atau penetapan
Peraturan Perundang-undangan memuat:
a.
tempat dan tanggal pengesahan atau penetapan;
b.
nama jabatan;
c.
tanda tangan pejabat; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani,
tanpa gelar dan pangkat.
6.
Rumusan tempat dan tanggal pengesahan atau
penetapan diletakkan di sebelah kanan.
7.
Nama jabatan dan nama pejabat ditulis dengan
huruf kapital. Pada akhir nama jabatan diberi tanda baca koma.
Contoh
untuk pengesahan
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
tanda tangan |
NAMA |
Contoh
untuk penetapan:
Ditetapkan di
Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA, |
tanda tangan |
NAMA |
8.
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
memuat:
a.
tempat dan tanggal Pengundangan;
b.
nama jabatan yang berwenang mengundangkan;
c.
tanda tangan; dan
d.
nama lengkap pejabat yang menandatangani,
tanpa gelar dan pangkat.
9.
Tempat tanggal Pengundangan Peraturan
Perundang-undangan diletakkan di sebelah kiri (di bawah penandatanganan
pengesahan atau penetapan).
10. Nama
jabatan dan nama pejabat ditulis dengan huruf kapital. Pada akhir nama jabatan
diberi tanda baca koma.
Contoh:
Diundangkan
di ... pada tanggal ...
MENTERI
(yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang Peraturan Perundang-undangan)
tanda
tangan
NAMA
11. Jika
dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari Presiden tidak menandatangani
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden, maka dicantumkan kalimat pengesahan setelah nama pejabat
yang mengundangkan yang berbunyi: Undang-Undang
ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
12. Pada
akhir bagian penutup dicantumkan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita
Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah beserta tahun dan
nomor dari Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik
Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah tersebut.
13. Penulisan
frase Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, dan Berita Daerah
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR....
Contoh:
BERITA
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR..
E.
PENJELASAN
1. Setiap
Undang-Undang perlu diberi penjelasan.
2. Penjelasan
berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas
norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat
uraian atau jabaran lebih lanjut dari norma yang diatur dalam batang tubuh.
Dengan demikian, penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang
tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang
dijelaskan.
3. Penjelasan
tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.
Oleh karena itu, hindari membuat rumusan norma di dalam bagian penjelasan.
4. Dalam
penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung terhadap
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
5. Naskah
penjelasan disusun bersama-sama dengan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan.
6. Judul
penjelasan sama dengan judul Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.
Contoh:
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
... TAHUN ...
TENTANG
KESEJAHTERAAN
ANAK
7. Penjelasan
Peraturan Perundang-undangan memuat penjelasan umum dan penjelasan pasal demi
pasal.
8. Rincian
penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal diawali dengan angka Romawi dan
ditulis seluruhnya dengan huruf kapital.
Contoh:
I.
UMUM
II.
PASAL
DEMI PASAL
9. Penjelasan
umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang pemikiran, maksud,
dan tujuan penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang telah tercantum secara
singkat dalam butir konsiderans, serta asas-asas, tujuan, atau pokok-pokok yang
terkandung dalam batang tubuh Peraturan Perundang-undangan.
10. Bagian-bagian
dari penjelasan umum dapat diberi nomor dengan angka Arab, jika hal ini lebih
memberikan kejelasan.
Contoh:
I. |
UMUM |
|
|
(1) |
Dasar Pemikiran |
|
|
... |
|
(2) |
Pembagian Wilayah |
|
|
... |
|
(3) |
Asas-asas
Penyelenggara Pemerintahan |
|
|
... |
|
(4) |
Daerah Otonom |
|
|
... |
|
(5) |
Wilayah
Administratif |
|
|
... |
|
(6) |
Pengawasan |
|
|
... |
11. Jika
dalam penjelasan umum dimuat pengacuan ke Peraturan Perundang-undangan lain
atau dokumen lain, pengacuan itu dilengkapi dengan keterangan mengenai
sumbernya.
12. Dalam
menyusun penjelasan pasal demi pasal harus - diperhatikan agar rumusannya:
a.
tidak bertentangan dengan materi pokok yang
diatur dalam batang tubuh;
b.
tidak memperluas atau menambah norma yang ada
dalam batang tubuh;
c.
tidak melakukan pengulangan atas materi pokok
yang diatur dalam batang tubuh;
d.
tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau
pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum.
13. Ketentuan
umum yang memuat batasan pengertian atau definisi dari kata atau istilah, tidak
perlu diberikan penjelasan karena itu batasan pengertian atau definisi harus
dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti tanpa memerlukan
penjelasan lebih lanjut.
14. Pada
pasal atau ayat yang tidak memerlukan penjelasan ditulis frase Cukup jelas yang
diakhiri dengan tanda baca titik, sesuai dengan makna frase penjelasan pasal
demi pasal tidak digantungkan walaupun terdapat beberapa pasal berurutan yang
tidak memerlukan penjelasan.
Contoh
yang kurang tepat:
Pasal
7, Pasal 8 dan Pasal 9 (Pasal 7 s/d Pasal 9)
Cukup
jelas,
Seharusnya
Pasal 7
Cukup
jelas.
Pasal 8
Cukup
jelas.
Pasal 9
Cukup
jelas.
15. Jika
suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir tidak memerlukan penjelasan,
pasal yang bersangkutan cukup diberi penjelasan. Cukup jelas., tanpa merinci masing-masing ayat atau butir.
16. |
a. |
Jika
suatu pasal terdiri dari beberapa ayat atau butir dan salah satu ayat atau
butir tersebut memerlukan penjelasan, setiap ayat atau butir perlu
dicantumkan dan dilengkapi dengan penjelasan yang sesuai. |
Contoh:
Pasal 7
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Ayat
ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada hakim dan para pengguna
hukum.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
|
b. |
jika
suatu istilah/kata/frase dalam suatu pasal atau ayat yang memerlukan
penjelasan, gunakan tanda baca petik (“…”) pada istilah kata/frase tersebut. |
Contoh:
Pasal
25
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan "persidangan yang berikut" adalah masa persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
F.
LAMPIRAN (Jika diperlukan)
Dalam
hal Peraturan Perundang-undangan memerlukan lampiran, hal tersebut harus
dinyatakan dalam batang tubuh dan pernyataan bahwa lampiran tersebut merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan. Pada akhir lampiran harus dicantumkan nama dan tanda tangan
pejabat yang mengesahkan/ menetapkan Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan.
2.2 HAL-HAL KHUSUS
A.
PENDELEGASIAN
KEWENANGAN
1.
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah.
2.
Pendelegasian kewenangan mengatur, harus
menyebut dengan tegas:
a.
ruang lingkup materi yang diatur; dan
b.
jenis Peraturan Perundang-undangan.
3. |
a. |
Jika
materi yang didelegasikan sebagian sudah diatur pokok-pokoknya di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan tetapi materi itu harus
diatur hanya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang didelegasikan dan
tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan lebih lanjut mengenai ... diatur dengan... |
|
b. |
Jika
pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut
(subdelegasi) gunakan kalimat Ketentuan
lebih lanjut mengenai ...diatur dengan atau berdasarkan... |
Contoh
huruf a:
Pasal
...
(1)
...
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh
huruf b:
Pasal
...
(1)
...
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
4. |
a. |
Jika
materi yang didelegasikan sama sekali belum diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang mendelegasikan dan materi itu harus diatur di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang diberi delegasi dan tidak boleh
didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah
(subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan
mengenai ... diatur dengan... |
|
b. |
Jika
peraturan materi tersebut dibolehkan didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi)
digunakan kalimat Ketentuan
mengenai…diatur dengan atau berdasarkan… |
Contoh
huruf a:
Pasal…
(1)
…
(2)
Ketentuan
mengenai ... diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Contoh
huruf b:
Pasal
...
(1)
....
(2)
Ketentuan
mengenai ... diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
5.
Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari
peraturan pelaksana yang akan dibuat rumusan pendelegasian perlu mencantumkan
secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan diatur lebih lanjut.
Contoh:
Pasal
10
(1)
…
(2)
ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara permohonan pendaftaran desain industri diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Jika pasal terdiri dari beberapa ayat pendelegasian
kewenangan dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan.
7.
Jika pasal terdiri dari banyak ayat,
pendelegasian kewenangan dapat dipertimbangkan untuk dimuat dalam pasal
tersendiri, karena materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa
yang diatur dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya.
8.
Dalam pendelegasian kewenangan mengatur
sedapat mungkin dihindari adanya delegasi blangko.
Contoh:
Pasal
...
Hal-hal
yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
9.
Pendelegasian kewenangan mengatur dari
Undang-Undang kepada menteri atau pejabat yang setingkat dengan menteri
dibatasi untuk peraturan yang bersifat teknis administratif.
10. Kewenangan
yang didelegasikan kepada suatu alat penyelenggara negara tidak dapat
didelegasikan lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain, kecuali jika
oleh Undang-Undang yang mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan
untuk itu.
11. Hindari
pendelegasian kewenangan mengatur secara langsung dari Undang-Undang kepada
direktur jenderal atau pejabat yang setingkat.
12. Pendelegasian
langsung kepada direktur jenderal atau pejabat yang setingkat hanya dapat
diberikan oleh Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah
daripada Undang-Undang.
13. Peraturan
Perundang-undangan pelaksanaannya hendaknya tidak mengulangi ketentuan norma
yang telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan yang mendelegasikan,
kecuali jika hal tersebut memang tidak dapat dihindari.
14. Di
dalam peraturan pelaksana sedapat mungkin dihindari pengutipan kembali rumusan
norma atau ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lebih
tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan kembali dapat dilakukan sepanjang
rumusan norma atau ketentuan tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop)
untuk merumuskan norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal (-pasal) atau
ayat (-ayat) selanjutnya.
B.
PENYIDIKAN
1.
Ketentuan penyidikan hanya dapat dimuat di
dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah.
2.
Ketentuan penyidikan memuat pemberian
kewenangan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil departemen atau instansi
tertentu untuk menyidik pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang atau
Peraturan Daerah.
3.
Dalam merumuskan ketentuan yang menunjuk
pejabat tertentu sebagai penyidik hendaknya diusahakan ajar tidak mengurangi
kewenangan penyidik umum untuk melakukan penyidikan.
Contoh:
Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan ... (nama departemen atau
instansi)... dapat diberikan kewenangan untuk melaksanakan penyidikan terhadap
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang ini.
4.
Ketentuan penyidikan ditempatkan sebelum
ketentuan pidana atau jika dalam Undang-Undang tidak diadakan pengelompokan,
ditempatkan pada pasal (-pasal) sebelum ketentuan pidana.
C.
PENCABUTAN
1.
Jika ada Peraturan Perundang-undangan lama
yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan Peraturan Perundang-undangan
baru, Peraturan Perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut
Peraturan Perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.
2.
Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya
hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat.
3.
Peraturan Perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
4.
Pencabutan melalui Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung
kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang
lebih rendah yang dicabut itu.
5.
Jika Peraturan Perundang-undangan baru
mengatur kembali suatu materi yang sudah diatur dan sudah diberlakukan,
pencabutan Peraturan Perundang-undangan itu dinyatakan dalam salah satu pasal
dalam ketentuan penutup dari Peraturan Perundang-undangan yang baru, dengan
menggunakan rumusan dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
6.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang
sudah diundangkan atau diumumkan, tetapi belum mulai berlaku, dapat dilakukan
dengan peraturan tersendiri dengan menggunakan rumusan ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku.
7.
Jika pencabutan Peraturan Perundang-undangan
dilakukan dengan peraturan pencabutan tersendiri, peraturan pencabutan itu
hanya memuat 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai
berikut:
a.
Pasal 1 memuat ketentuan yang menyatakan
tidak berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi
belum mulai berlaku.
b.
Pasal 2 memuat ketentuan tentang saat mulai
berlakunya Peraturan Perundang-undangan pencabutan yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal
1
Undang-Undang
Nomor…Tahun…tentang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...
Nomor…Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ...) dicabut dan di
nyatakan tidak berlaku.
Pasal
2
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
8.
Pencabutan Peraturan Perundang-undangan yang
menimbulkan perubahan dalam Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait,
tidak mengubah Peraturan Perundang-undangan lain yang terkait tersebut, kecuali
ditentukan lain secara tegas.
9.
Peraturan Perundang-undangan atau ketentuan
yang telah dicabut, otomatis tidak berlaku kembali, meskipun Peraturan
Perundang-undangan yang mencabut di kemudian hari dicabut pula.
D.
PERUBAHAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan
dilakukan dengan:
a.
menyisipkan atau menambah materi ke dalam
Peraturan Perundang-undangan; atau
b.
menghapus atau mengganti sebagian materi
Peraturan Perundang-undangan.
2.
Perubahan Peraturan Perundang-undangan dapat
dilakukan terhadap:
a.
seluruh atau sebagian buku, bab, bagian,
paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau
b.
kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda
baca.
3.
Jika Pengaturan Perundang-undangan yang
diubah mempunyai nama singkat, Peraturan Perundang-undangan perubahan dapat
menggunakan nama singkat Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
4.
Pada dasarnya batang tubuh Peraturan Perundang-undangan
perubahan terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis dengan angka Romawi yaitu
sebagai berikut:
a.
Pasal 1 memuat judul Peraturan
Perundang-undangan yang diubah, dengan menyebutkan Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di
antara tanda baca kurung serta memuat materi atau norma yang diubah. Jika
materi perubahan lebih dari satu, setiap, materi perubahan dirinci dengan
menggunakan angka Arab (1, 2, 3, dan seterusnya).
Contoh:
Pasal
1
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor...Tahun...tentang...(Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun...Nomor..., Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor...) diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan
Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:...
2.
Ketentuan
Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:...
3.
dan
seterusnya...
b.
Jika Peraturan Perundang-undangan telah
diubah lebih dari satu kali, pasal 1 memuat, selain mengikuti ketentuan pada
Nomor 193 huruf a, juga tahun dan nomor dari Peraturan Perundang-undangan
perubahan yang ada serta Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia yang diletakkan di antara tanda baca kurung
dan dirinci dengan huruf-huruf (abjad) kecil (a, b, c dan seterusnya).
Contoh:
Pasal
1
Undang-undang
Nomor…Tahun…tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…) yang telah beberapa kali
diubah dengan Undang-undang:
a.
Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…);
b.
Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…);
c.
Nomor…Tahun…(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor… Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…);
c.
Pasal II memuat ketentuan tentang saat mulai
berlaku. Dalam hal tertentu, Pasal II juga dapat memuat ketentuan peralihan
dari Peraturan Perundang-undangan, perubahan, yang maksudnya berbeda dengan
ketentuan peralihan dari Peraturan Perundang-undangan yang diubah.
5.
Jika dalam Peraturan Perundang-undangan
ditambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, atau pasal baru, maka bab,
bagian, paragraf, atau pasal baru tersebut dicantumkan pada tempat yang sesuai
dengan materi yang bersangkutan.
Contoh
penyisipan bab:
15.
Di
antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IX A sehingga
berbunyi sebagai berikut:
BAB IX A
INDIKASI GEOGRAFI DAN
INDIKASI ASAL
Bagian
Pertama
Indikasi
Geografi
Pasal
79 A
(1)
…
(2)
...
(3)
…
Pasal
79 B
(1)
…
(2)
…
(3)
…
Contoh
penyisipan pasal:
9.
Di
antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128 A
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal
128 A
Dalam
hal terbukti adanya pelanggaran paten, hakim dapat memerintahkan hasil-hasil
pelanggaran paten tersebut dirampas untuk negara untuk dimusnahkan.
6.
Jika dalam 1 (satu) pasal yang terdiri dari
beberapa ayat disisipkan ayat baru, penulisan ayat baru tersebut diawali dengan
angka Arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf
kecil a, b, c, yang diletakkan di antara tanda baca kurung.
Contoh:
10.
Di
antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 18 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a)
dan ayat (1b) sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
19
(1) |
…. |
(1a) |
…. |
(1b) |
…. |
(2) |
…. |
7.
Jika dalam suatu Peraturan Perundang-undangan
dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka
urutan bab, bagian paragraf, pasal, atau ayat tersebut tetap dicantumkan dengan
diberi keterangan dihapus.
Contoh:
9.
Pasal
16 dihapus
10.
Pasal
19 ayat (2) dihapus sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1) |
… |
(2) |
Dihapus |
(3) |
… |
8.
suatu perubahan Peraturan Perundang-undangan
mengakibatkan:
a.
sistematika Peraturan Perundang-undangan
berubah;
b.
materi Peraturan Perundang-undangan berubah
lebih dari 50% (lima puluh persen); atau
c.
esensinya berubah,
Peraturan
Perundang-undangan yang diubah tersebut lebih baik dicabut dan disusun kembali
dalam Peraturan Perundang-undangan yang baru mengenai masalah tersebut.
9.
Jika suatu Peraturan Perundang-undangan telah
sering mengalami perubahan sehingga menyulitkan pengguna Peraturan
Perundang-undangan, sebaiknya Peraturan Perundang-undangan tersebut disusun
kembali dalam naskah sesuai dengan perubahan-perubahan yang telah dilakukan,
dengan mengadakan penyesuaian pada:
1.
urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat,
angka, atau butir;
2.
penyebutan-penyebutan, dan
3.
ejaan, jika Peraturan Perundang-undangan yang
diubah masih tertulis dalam ejaan lama.
10. Penyusunan
kembali dalam hal sistematika peraturan perundang-undangan berubah dilaksanakan
oleh Presiden dengan mengeluarkan suatu penetapan yang berbunyi sebagai
berikut:
Contoh:
PERATURAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
... TAHUN ...
TENTANG
PENYUSUNAN
KEMBALI NASKAH
UNDANG-UNDANG
NOMOR... TAHUN…
TENTANG
………………….
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
bahwa untuk
mempermudah pemahaman materi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor ... Tahun
... tentang... sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang Perubahan Undang-Undang Nomor ...
Tahun…tentang ... perlu menyusun kembali naskah Undang-Undang tersebut dengan
memperhatikan segala perubahan yang telah diadakan; |
|
|
Mengingat: |
Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KESATU: |
Naskah Undang-Undang
Nomor…Tahun…tentang…yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor ... Tahun ... tentang ... dan dengan mengadakan
penyesuaian mengenai urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka dan
butir serta penyebutan-penyebutannya dan ejaan-ejaannya, berbunyi sebagai
tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. |
KEDUA: |
Peraturan Presiden
ini dengan lampirannya ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. |
KETIGA: |
Peraturan Presiden
ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. |
E.
PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG MENJADI UNDANG-UNDANG
Batang
tubuh Undang-Undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang (Perpu) menjadi undang-undang pada dasarnya terdiri dari 2 (dua)
pasal, yang ditulis dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a.
Pasal 1 memuat penetapan Perpu menjadi
undang-undang yang diikuti dengan pernyataan melampirkan Perpu sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dengan undang-undang penetapan yang bersangkutan.
b.
Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai
berlaku.
Contoh:
Pasal
1
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor
106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... ) ditetapkan menjadi
Undang-Undang, dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
F.
PENGESAHAN
PERJANJIAN INTERNATIONAL
1.
Batang tubuh Undang-Undang tentang pengesahan
perjanjian internasional pada dasarnya terdiri atas 2 (dua) pasal yang ditulis
dengan angka Arab, yaitu sebagai berikut:
a.
Pasal 1 memuat pengesahan perjanjian
internasional dengan memuat pernyataan melampirkan salinan naskah aslinya atau
naskah asli bersama dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
b.
Pasal 2 memuat ketentuan mengenai saat mulai
berlaku.
Contoh
untuk perjanjian multilateral:
Pasal
1
Mengesahkan
Convention on the Prohibition of the
Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapon and on Their
Destruction (Konvensi tentang Pelanggaran Pengembangan, Produksi,
Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia serta Pemusnahannya) yang naskah
aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia
sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh
untuk perjanjian bilateral yang menggunakan dua bahasa:
Pasal
1
Mengesahkan
Perjanjian Kerjasama antara Republik Indonesia dan Australia Mengenai Bantuan
Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Treaty
between the Republic of Indonesia and Australia on Mutual Assistance in
Criminal Matters) yang telah ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1995 di
Jakarta yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia sebagaimana
terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Contoh
untuk perjanjian bilateral yang menggunakan lebih dari dua bahasa:
Pasal
1
Mengesahkan
Persetujuan antara Republik Indonesia dan Pemerintah Hongkong untuk Penyerahan
Pelanggar Hukum yang Melarikan Diri (Agreement
the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Hongkong for
the Surrender of Fugitive Offenders) yang telah ditandatangani pada tanggal
5 Mei 19977 di Hongkong yang salinan naskah aslinya dalam bahasa Indonesia,
bahasa Inggris, dan bahasa Cina sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan
2.
Cara penulisan rumusan Pasal 1 bagi
pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional dilakukan dengan
Undang-Undang berlaku juga bagi pengesahan perjanjian atau persetujuan
internasional yang dilakukan dengan Peraturan Presiden.
3. RAGAM BAHASA PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A.
BAHASA
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1.
Bahasa Peraturan Perundang-undangan pada
dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan
kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya, namun demikian
bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan
kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan
ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum.
Contoh:
Pasal
34
(1)
Suami
isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati setia dan memberi
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Rumusan
yang lebih baik:
(1)
Suami
isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir
batin.
2.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan digunakan kalimat yang tegas, jelas, singkat, dan mudah
dimengerti.
Contoh:
Pasal
5
(1)
Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Rumusan
yang lebih baik:
(1)
Permohonan
berisi lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
3.
Hindarkan penggunaan kata atau frase yang
artinya kurang menentu atau konteksnya dalam kalimat kurang jelas.
Contoh:
Istilah
minuman keras mempunyai makna yang kurang jelas dibandingkan dengan istilah
minuman beralkohol.
4.
Dalam merumuskan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, gunakan kaidah tata bahasa Indonesia yang baku.
Contoh
kalimat yang tidak baku:
(1)
Rumah
itu pintunya putih.
(2)
Pintu
rumah itu warnanya putih.
(3)
Izin
usaha perusahaan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat dicabut.
Contoh
kalimat yang baku:
(1)
Rumah
itu mempunyai pintu (yang berwarna) putih.
(2)
Pintu
ramah itu (berwarna) putih.
Warna
pintu rumah itu putih.
(3)
Perusahaan
yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat dicabut izin
usahanya.
5.
Untuk memberikan perluasan pengertian kata
atau istilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan
kata meliputi.
Contoh:
6.
Pejabat
negara meliputi direksi badan usaha milik negara dan direksi badan usaha milik
daerah.
6.
Untuk mempersempit pengertian kata istilah
isilah yang sudah diketahui umum tanpa membuat definisi baru, gunakan kata tidak meliputi.
Contoh:
5.
Anak
buah kapal tidak meliputi koki magang.
7.
Hindari pemberian arti kepada kata atau frase
yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa digunakan dalam penggunaan
bahasa sehari-hari.
Contoh:
3.
Pertanian
meliput pula perkebunan, peternakan, dan perikanan.
Rumusan
yang baik:
3.
Pertanian
meliputi perkebunan.
8.
Di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
sama hindari penggunaan:
a.
beberapa istilah yang berbeda untuk menyatakan
satu.
Contoh:
Istilah
gaji, upah, atau pendapatan dapat menyatakan pengertian penghasilan. Jika untuk
menyatakan penghasilan, dalam suatu pasal telah digunakan kata gaji maka dalam
pasal-pasal selanjutnya jangan menggunakan kata upah atau pendapatan untuk
menyatakan pengertian penghasilan.
b.
satu istilah untuk beberapa pengertian yang
berbeda.
Contoh:
Istilah
penangkapan tidak digunakan untuk meliputi pengertian penahanan atau pengamanan
karena pengertian penahanan tidak sama dengan pengertian pengamanan.
9.
Jika membuat pengacuan ke pasal atau ayat
lain, sedapat mungkin dihindari penggunaan frase tanpa mengurangi, dengan tidak mengurangi, atau tanpa menyimpang dari.
10. Jika
kata atau frase tertentu digunakan berulang-ulang maka untuk menyederhanakan
rumusan dalam peraturan perundang-undangan, kata atau frase sebaiknya
didefinisikan dalam pasal yang memuat arti kata, istilah, pengertian, atau
digunakan singkatan atau akronim.
Contoh:
a.
Menteri
adalah Menteri Keuangan.
b.
Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi
Pemeriksa adalah…
c.
Tentara
Nasional Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI adalah…
d.
Asuransi
Kesehatan yang selanjutnya disingkat ASKES.
11. Jika
dalam peraturan pelaksanaan dipandang perlu mencantumkan kembali definisi atau
batasan pengertian yang terdapat dalam Peraturan Perundang-undangan yang
dilaksanakan, rumusan definisi atau batasan pengertian tersebut hendaknya tidak
berbeda dengan rumusan definisi atau batasan pengertian yang terdapat dalam
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut.
12. Untuk
menghindari perubahan nama suatu departemen, penyebutan menteri sebaiknya
menggunakan penyebutan yang didasarkan pada tugas dan tanggung jawab di bidang
yang bersangkutan.
Contoh:
Menteri
adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang…(misalnya, bidang
ketenagakerjaan)
13. Penyerapan
kata atau frase bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya
dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frase tersebut:
a.
mempunyai konotasi yang cocok;
b.
lebih singkat bila dibandingkan dengan
padanannya dalam Bahasa Indonesia;
c.
mempunyai corak internasional;
d.
lebih mempermudah tercapainya kesepakatan;
atau
e.
lebih mudah dipahami daripada terjemahannya
dalam Bahasa Indonesia.
Contoh:
(1)
devaluasi
(penurunan nilai uang)
(2)
devisa
(alat pembayaran luar negeri)
14. Penggunaan
kata atau frase bahasa asing hendaknya hanya digunakan di dalam penjelasan
peraturan perundang-undangan. Kata atau frase bahasa asing itu didahului oleh
padanannya dalam Bahasa Indonesia, ditulis miring, dan diletakkan di antara
tanda baca kurung.
Contoh:
(1)
penghinaan
terhadap peradilan (contempt of court)
(2)
penggabungan
(merger)
B.
PILIHAN
KATA ATAU ISTILAH
1.
Untuk menyatakan pengertian maksimum dan
minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu yang digunakan kata paling.
Contoh:
...
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000,00
(lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp 1 .000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
2.
Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi
satuan:
a.
waktu, gunakan frase paling singkat atau paling
lama;
b.
jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak;
c.
jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi;
3.
Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali.
Kata kecuali ditempatkan di awal
kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat.
Contoh:
Kecuali
A dan B, setiap orang wajib memberikan kesaksian di depan sidang pengadilan.
4.
Kata kecuali
ditempatkan langsung di belakang suatu kata, jika yang akan dibatasi hanya
kata yang bersangkutan.
Contoh:
Yang
dimaksud dengan anak buah kapal adalah mualim, juru mudi, pelaut, dan koki,
kecuali koki magang.
5.
Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata selain.
Contoh:
Selain
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 7, pemohon wajib
membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
6.
Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan,
digunakan kata jika, apabila, atau
frase dalam hal.
a.
Kata jika
digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka).
Contoh:
Jika
suatu perusahaan melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, izin
perusahaan tersebut dapat dicabut.
b.
Kata apabila digunakan untuk menyatakan
hubungan kausal yang mengandung waktu.
Contoh:
Apabila
anggota Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti dalam masa jabatannya karena
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), yang bersangkutan
digantikan oleh anggota pengganti sampai habis masa jabatannya.
c.
Frase dalam
hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang
mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka).
Contoh:
Dalam
hal Ketua tidak dapat hadir, sidang dipimpin oleh Wakil Ketua.
7.
Frase pada
saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi di
masa depan.
Contoh:
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku.
8.
Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan
kata dan.
Contoh:
A dan B
dapat menjadi ...
9.
Untuk menyatakan sifat alternatif, digunakan
kata atau.
Contoh:
A atau
B wajib memberikan...
10. Untuk
menyatakan sifat kumulatif sekaligus alternatif, gunakan frase dan/atau.
Contoh:
A
dan/atau B dapat memperoleh...
11. Untuk
menyatakan adanya suatu hak, gunakan kata berhak.
Contoh:
Setiap
orang berhak mengemukakan pendapat di muka umum.
12. Untuk
menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang.
Contoh:
Presiden
berwenang menolak atau mengabulkan permohonan grasi.
13. Untuk
menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang diberikan kepada
seorang atau lembaga, gunakan kata dapat.
Contoh:
Menteri
dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten.
14. Untuk
menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak
dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang
berlaku.
Contoh:
Untuk
membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan.
15. Untuk
menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu, gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak
dipenuhi, yang bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan
didapat seandainya ia memenuhi kondisi atau persyaratan tersebut.
Contoh:
Untuk
memperoleh izin mendirikan bangunan, seseorang harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
16. Untuk
menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang.
C.
TEKNIK
PENGACUAN
1.
Pada dasarnya setiap pasal merupakan suatu
kebulatan pengertian tanpa mengacu ke pasal atau ayat lain. Namun untuk
menghindari pengulangan rumusan dapat digunakan teknik pengacuan.
2.
Teknik pengacuan dilakukan dengan menunjuk
pasal atau ayat dari Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan atau
Peraturan Perundang-undangan yang lain dengan menggunakan frase sebagaimana dimaksud dalam Pasal ... atau
sebagaimana dimaksud pada ayat.
Contoh:
a.
Persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2)...
b.
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 3 ) berlaku pula...
3.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau
ayat yang berurutan tidak perlu menyebutkan pasal demi pasal atau ayat demi
ayat yang diacu tetapi cukup dengan menggunakan frase sampai dengan.
Contoh:
a.
...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12.
b.
...
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan ayat (4).
4.
Pengacuan dua atau lebih terhadap pasal atau
ayat yang berurutan, tetapi ada ayat dalam salah satu pasal yang dikecualikan,
pasal atau ayat yang tidak ikut diacu dinyatakan dengan kata kecuali.
Contoh:
a.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 berlaku juga bagi
calon hakim, kecuali Pasal 7 ayat (1).
b.
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi
tahanan kecuali ayat (4) huruf a.
5.
Kata Pasal
ini tidak perlu digunakan jika ayat yang diacu merupakan salah satu ayat
dalam pasal yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal 8
(1)
…
(2)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini berlaku untuk 60 (enam puluh)
hari.
6.
Jika ada dua atau lebih pengacuan, urutan
dari pengacuan dimulai dari ayat dalam pasal yang bersangkutan (Jika ada),
kemudian diikuti dengan pasal atau ayat yang angkanya lebih kecil.
Contoh:
Pasal
15
(1)
…
(2)
…
(3)
Izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 12,
dan Pasal 13 ayat (3) diajukan kepada Menteri Pertambangan.
7.
Pengacuan sedapat mungkin dilakukan dengan
mencantumkan pula secara singkat materi pokok yang diacu.
Contoh:
Izin
penambangan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 diberikan oleh…
8.
Pengacuan hanya dapat dilakukan ke Peraturan
Perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.
9.
Hindari pengacuan ke pasal atau ayat yang
terletak setelah pasal atau ayat yang bersangkutan.
Contoh:
Pasal
Permohonan
izin pengelolaan hutan wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dibuat dalam
rangkap 5 (lima).
10. Pengacuan
dilakukan dengan menyebutkan secara tegas nomor dari pasal atau ayat yang diacu
dan dihindarkan pengguna frase pasal
yang terdahulu atau pasal tersebut
di atas.
11. Pengacuan
untuk menyatakan berlakunya berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang tidak disebutkan secara rinci, menggunakan frase sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
12. Untuk
menyatakan bahwa (berbagai) peraturan pelaksanaan dari suatu Peraturan
Perundang-undangan masih diberlakukan atau dinyatakan berlaku selama belum
diadakan penggantian dengan Peraturan Perundang-undangan yang baru, gunakan
frase berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam (Jenis peraturan yang bersangkutan).
13. Jika
Peraturan Perundang-undangan yang dinyatakan masih tetap berlaku hanya sebagian
dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, gunakan frase tetap berlaku, kecuali…
Contoh:
Pada
saat Undang-Undang ini berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor…Tahun… (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor…) tetap berlaku kecuali Pasal 5 sampai dengan Pasal 10.
4.
BENTUK RANCANGAN
A.
BENTUK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…TENTANG
(Nama Undang-Undang)
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya…; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
…; |
|
2. |
…; |
|
3. |
dan seterusnya…; |
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
UNDANG-UNDANG TENTANG…(nama undang-undang). |
BAB
I
…
Pasal
1
…
BAB
II
…
Pasal
...
BAB
... (dan seterusnya)
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal…
MENTERI (yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR…
B.
BENTUK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
MENJADI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN...
TENTANG
PENETAPAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
... MENJADI UNDANG-UNDANG
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya…; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
…; |
|
2. |
…; |
|
3. |
dan seterusnya…; |
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT PEPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONIESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
UNDANG-UNDANG
TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG…
MENJADI UNDANG-UNDANG. |
Pasal
1
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor ... Tahun … tentang … (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun … Nomor …, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor …)
ditetapkan menjadi Undang-Undang dan melampirkannya sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR...
C.
BENTUK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TIDAK
MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI SALAH SATU BAHASA RESMI
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PENGESAHAN
KONVENSI…
(bahasa
asli perjanjian internasional yang diratifikasi dan diikuti dengan bahasa
Indonesia sebagai terjemahannya)
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa ...; |
|
b. |
bahwa ...; |
|
c. |
dan seterusnya...; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
...; |
|
2. |
...; |
|
3. |
dan seterusnya…; |
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
UNDANG-UNDANG
TENTANG PENGESAHAN KONVENSI ... |
|
(bahasa asli perjanjian internasional yang
diratifikasi dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya). |
Pasal
1
(1)
Mengesahkan
Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang diratifikasikan dan
diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai terjemahannya) ... dengan Reservation
(Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...
(2)
Salinan
naskah asli Konvensi...(bahasa asli perjanjian internasional yang
diratifikasikan dan diikuti dengan bahasa Indonesia sebagai
terjemahannya)...dengan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal...tentang...dalam
bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal
2
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
Pada tanggal...
MENTERI (yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
D.
BENTUK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR...TAHUN...
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR…TAHUN…TENTANG
(untuk
perubahan pertama)
atau
PERUBAHAN
KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR…TAHUN…TENTANG…
(untuk
perubahan kedua, dan seterusnya)
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya…; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
…; |
|
2. |
…; |
|
3. |
dan seterusnya…; |
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
UNDANG-UNDANG
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG… |
Pasal I
Beberapa
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor…Tahun…tentang...(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun...Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor…),
diubah sebagai berikut:
1.
Ketentuan
Pasal…(bunyi rumusan tergantung keperluan), dan seterusnya.
Pasal II
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal...
MENTERI (yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
E.
BENTUK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR...
TAHUN...
TENTANG
PENCABUTAN
UNDANG-UNDANG NOMOR... TAHUN...
TENTANG
... (Nama Undang-Undang)
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya…; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
…; |
|
2. |
…; |
|
3. |
dan seterusnya ...; |
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
UNDANG-UNDANG
TENTANG PENCABUTAN UNDANG-UNDANG NOMOR ... TAHUN ... TENTANG .... |
Pasal
1
Undang-Undang
Nomor ... Tahun … tentang ... (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ...
Nomor ...., Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor...) dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku (bagi
Undang-Undang yang sudah berlaku) atau ditarik kembali dan dinyatakan tidak
berlaku (bagi Undang-Undang yang sudah
diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal
2
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK ENDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI (yang tugas
dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…
F.
BENTUK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN…
TENTANG
PENCABUTAN
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR…TAHUN…TENTANG...
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANUGMAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya…; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
…; |
|
2. |
…; |
|
3. |
dan seterusnya…; |
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
UNDANG-UNDANG
NOMOR…TAHUN…TENTANG PENCABUTAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR ... TAHUN…TENTANG... |
Pasal
I
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor…Tahun…(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun…Nomor…, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor ... )
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (bagi
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah berlaku) atau
ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku (bagi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang sudah
diundangkan tetapi belum mulai berlaku).
Pasal
2
Undang-Undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI
(yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan Perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN...NOMOR...
G.
RANCANGAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
PERATURAN
PEMERINTAH
PENGGANTI
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR…TAHUN...
TENTANG
(Nama
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang)
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: |
a. |
bahwa…; |
|
b. |
bahwa…; |
|
c. |
dan seterusnya...; |
|
|
|
Mengingat: |
1. |
...; |
|
2. |
...; |
|
3. |
dan seterusnya...; |
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: |
PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG .... (Nama Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang). |
BAB
I
...
Pasal
1
...
BAB
II
...
Pasal
...
BAB
(dan
seterusnya)
Pasal
2
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
pada tanggal ... |
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, |
(tanda tangan) |
(NAMA) |
Diundangkan di
Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI
(yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan)
(tanda tangan)
(NAMA)
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN…NOMOR…