oleh Muhamad Shiroth, Imam Hartojo, dan Reza Nursadewo
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999
Manusia dan Alam Semesta
Dari sudut pandang manusia, yang ada adalah Allah Sang Pencipta dan alam semesta yang diciptakan Allah. Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja yang teratur, rapi, dan serasi. Keteraturan, kerapian, dan keserasian ini dapat dilihat dari dua kenyataan: Pertama,berupa keteraturan, kerapian, dan keserasian dalam hubungan alamiah antara bagian-bagian di dalamnya dengan pola saling melengkapi dan mendukung; Kedua, keteraturan yang ditugaskan kepada malaikat untuk menjaga dan melaksanakannya. Kedua hal itulah yang membuat berbagai keteraturan, kerapian, dan keserasian yang kita yakini sebagai Sunnatullah yakni ketentuan dan hukum yang ditetapkan Allah. Seperti pada matahari sebagai pusat dari sistem tata surya, berputar pada sumbunya dan memancarkan energinya kepada alam semesta secara teratur dan tetap.
Ada tiga sifat utama Sunnatullah yang disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: pasti, tetap,
dan obyektif. Sifat yang pertama, yaitu pasti, tentu menjamin dan memberi kemudahan kepada
manusia membuat rencana, sehingga dapat membuat perhitungan yang tepat menurut
Sunnatullah:
Sifat yang kedua adalah tetap, tidak berubah-ubah:
Sifat yang ketiga adalah obyektif:
Demikianlah alam semesta diciptakan Allah dengan hukum-hukum yang berlaku baginya yang
(kemudian) diserahkan-Nya kepada manusia untuk dikelola dan dimanfaatkan, sebagai
khalifah. Untuk dapat menjalankan kedudukannya itu manusia diberi bekal berupa
potensi seperti akal yang melahirkan berbagai ilmu sebagai alat untuk mengelola dan memanfaatkan
alam semesta serta mengurus bumi ini.
Dengan akal dan ilmu yang dikuasainya, manusia akan mampu mengelola dan memanfaatkan alam semesta serta bumi ini untuk kepentingan manusia serta makhluk lain. Atas pelaksanaan amanat tersebut manusia akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat apakah telah mengikuti dan mematuhi pola dan garis besar yang diberikan melalui para nabi dan rasul yang termuat dalam ajaran agama.
Manusia Menurut Agama Islam
Al-Qur’an tidak menggolongkan manusia ke dalam kelompok hewan selama manusia mempergunakan
akal dan karunia Tuhan lainnya. Namun bila manusia tidak mempergunakan akal dan berbagai
potensi pemberian Tuhan yang sangat tinggi nilainya seperti: pemikiran, kalbu, jiwa, raga,
serta pancaindera secara baik dan benar, ia akan menurunkan derajatnya sendiri menjadi hewan:
Di dalam Al-Qur’an manusia disebut antara lain dengan al-insan (QS 76:1), an-nas (QS 114:1), basyar (QS 18:110), bani adam (QS 17:70). Berdasarkan studi isi Al-Qur’an dan Al-Hadits, manusia (al-insan) adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki potensi untuk beriman kepada Allah dan dengan mempergunakan akalnya mampu memahami dan mengamalkan wahyu serta mengamati gejala-gejala alam, mempunyai rsa tanggung jawab atas segala perbuatannya dan berakhlak (N.A. Rasyid, 1983: 19). Berdasarkan rumusan tersebut, manusia mempunyai berbagai ciri sebagai berikut:
Makhluk yang paling unik, dijadikan dalam bentuk yang sangat baik, ciptaan Tuhan yang
paling sempurna.
Manusia memiliki potensi (daya atau kemampuan yang mungkin dikembangkan) beriman kepada
Allah.
Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi kepada-Nya.
Manusia diciptakan Tuhan untuk menjadi khalifahnya di bumi.
Manusia dilengkapi akal, perasaan, dan kemauan atau kehendak.
Manusia secara individual bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Manusia itu berakhlak.
Manusia menurut agama Islam, terdiri dari dua unsur, yaitu unsur materi berupa tubuh yang
berasal dari tanah dan unsur immateri berupa roh yang berasal dari alam gaib. Al-Qur’an
mengungkapkan proses penciptaan manusia:
Sedangkan menurut hadits, Rasulullah bersabda:
Ali Syari’ati – sejarawan dan ahli sosiologi Islam terkemuka – mengemukakan pendapatnya mengenai intrepretasi hakikat kejadian manusia. Manusia menpunyai dua dimensi: dimensi ketuhanan (kecendrungan manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah) dan dimensi kerendahan atau kehinaan (lumpur mencerminkan keburukan-kehinaan). Karena itulah manusia dapat mencapai derajat yang tinggi namun dapat pula terperosok dalam lembah yang hina, yang manusia dibebaskan untuk memilihnya.
Ali Syari’ati memberikan makna tentang filsafat manusia:
Manusia tidaklah sama (konsep hukum), tetapi bersaudara (asal kejadian).
Manusia mempunyai persamaan antara pria dan wanita (sumber yang sama yakni dari Tuhan).
Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari malaikat karena pengetahuan yang dimilikinya.
Manusia memiliki fenomena dualistis: terdiri dari tanah dan roh Tuhan, yang terdapat kebebasan pada dirinya untuk memilih.
Atas kebebasan memilih tersebut, manusia bergerak dalam spektrum yang mengarah ke jalan
Tuhan atau sebaliknya mengarah ke jalan setan. Manusia dengan akalnya sebagai suatu hidayah
Allah kepada-Nya , memilih apakah ia akan terbenam dalam lumpur kehinaan atau menuju ke kutub
mulia ke arah Tuhan. Dalam menentukan pilihan manusia memerlukan petunjuk yang benar yang
terdapat dalam agama Allah yaitu agama Islam, yang menyeimbangkan antara dunia dan akherat.
Manusia sebagai makhluk Ilahi hidup dan kehidupannya berjalan melalui lima tahap: (1) alam gaib, (2) alam rahim, (3) alam dunia, (4) alam barzakh, dan (5) alam akherat. Dari kelima tahapan kehidupan manusia itu, tahap kehidupan di dunia merupakan tahap yang menentukan tahap kehidupan selanjutnya, sehingga manusia dikaruniai Allah dengan berbagai alat perlengkapan dan bekal agar dapat menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi, serta pedoman agar selamat sejahtera di dunia dalam perjalanannya menuju tempatnya yang kekal di akherat nanti. Pedoman itu adalah agama.
Sesunguhnya manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Apa arti ibadah? Apakah
secara ritual menyembah Allah, shalat lima waktu, puasa, zakat, dan berhaji saja? Bila memang
itu maknanya, lalu bagaimana dengan usaha mempertahankan hidup? Apakah hanya dengan shalat
maka hidangan akan disediakan Allah begitu saja? Tentu tidak, kita sebagai manusia harus
berusaha memperoleh makan dan minum. Sebagai manusia kita harus bekerja untuk memperoleh
penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bila ibadah hanya diartikan sebatas pada ibadah
ritual belaka dan tidak memasukkan bekerja sebagai suatu ibadah pula, maka merugilah manusia
karena hanya sedikit dari waktunya untuk beribadah, bila dibandingkan ibadah dalam artian luas
yang tidak terbatas pada ibadah ritual belaka. Tujuan ibadah:
Prof.DR. M. Mutawwali As-Sya’rani mengutarakan bahwa: manusia diberi sarana oleh-Nya, diberi bumi yang tunggal dan beribadah pada-Nya, Alah telah memberi kewajiban-kewajiban, karenanya Allah meminta hak agar manusia beribadah kepada-Nya dengan tujuan agar manusia dapat terhindar dari soal-soal buruk yang merugikan di dunia.
Agama: Arti dan Ruang Lingkupnya
Sesuai dengan asal muasal katanya (sansekerta: agama,igama, dan ugama) maka makna agama
dapat diutarakan sebagai berikut: agama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan manusia
dengan raja; igama artinya peraturan, tata cara, upacara hubungan dengan dewa-dewa; ugama
artinya peraturan, tata cara, hubungan antar manusia; yang merupakan perubahan arti pergi
menjadi jalan yang juga terdapat dalam pengertian agama lainnya. Bagi orang Eropa,
religion hanyalah mengatur hubungan tetap (vertikal) anatar manusia dengan Tuhan saja.
Menurut ajaran Islam, istilah din yang tercantum dalam Al-Qur’an mengandung pengertian
hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat
termasuk dirinya sendiri, dan alam lingkungan hidupnya (horisontal).
Persamaan istilah agama tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebutkan bahwa semua agama adalah sama, karena adanya perbedaan makna atas istilah agama tersebut, yang berbeda atas sistem, ruang lingkupnya, dan klasifikasinya.
Karena agama merupakan kepentingan mutlak setiap orang dan setiap orang terlibat dengan agama yang dipeluknya maka tidaklah mudah untuk membuat suatu defenisi yang mencakup semua agama, namun secara umum dapat didefenisikan sebagai berikut: agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang dinyatakan dengan mengadakan hubungan dengan-Nya melalui upacara, penyembahan dan permohonan, dan membentuk sikap hidup manusia menurut atau berdasarkan ajaran agama itu.
Hubungan Manusia dengan Agama
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah sebagai pencipta alam semesta. Allah sendiri yang mencipta dan memerintahkan ciptaan-Nya untuk beribadah kepada-Nya, juga menurunkan panduan agar dapat beribadah dengan benar. Panduan tersebut diturunkan Allah melalui nabi-nabi dan rasul-rasul-Nya, dari Adam AS hingga Muhammad SAW. Nabi-nabi dan rasul-rasul tersebut hanya menerima Allah sebagai Tuhan mereka dan Islam sebagai panduan kehidupan mereka. Beribadah diartikan secara luas meliputi seluruh hal dalam kehidupan yang ditujukan hanya kepada Allah. Kita meyakini bahwa hanya Islamlah panduan bagi manusia menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Islam telah mengatur berbagai perihal dalam kehidupan manusia. Islam merupakan sistem hidup, bukan sekedar agama yang mengatur ibadah ritual belaka.
Sayangnya, pada saat ini, kebanyakan kaum muslim tidak memahami hal ini. Mereka memahami ajaran Islam sebagaimana para penganut agama lain memahami ajaran agama mereka masing-masing, yakni bahwa ajaran agama hanya berlaku di tempat-tempat ibadah dan dilaksanakan secara ritual, tanpa ada aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut biasanya disebabkan karena dua hal: Pertama, terjadinya gerakan pembaruan di Eropa yang fikenal sebagai Renaissance dan Humanisme, sebagai reaksi masyarakat yang dikekang oleh kaum gereja pada masa abad pertengahan atau Dark Ages, kaum gereja mendirikan mahkamah inkuisisi yang digunakan untuk menghabisi para ilmuwan, cendikiawan, serta pembaharu. Setelah itu, pada masa Renaissance, masyarakat menilai bahwa Tuhan hanya berkuasa di gereja , sedangkan di luar itu masyarakat dan rajalah yang berkuasa. Paham dikotomis ini kemudian dibawa ke Asia melalui penjajahan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa; Kedua, masih adanya ulama-ulama yang jumud, kaku dalam menerapkan syariat-syariat Islam, tidak dapat atau tidak mau mengikuti perkembangan jaman. Padahal selama tidak melanggar Al-Qur’an dan Hadits, ajaran-ajaran Islam adalah luwes dan dapat selalu mengikuti perkembangan zaman. Akibat kejumudan tersebut, banyak kalangan masyrakat yang merasa takut atau kesulitan dalam menerapkan syariat-syariat Islam dan menilainya tidak aplikatif. Ini membuat masyarakat semakin jauh dari syariat Islam.
Paham dikotomis melalui sekularisme tersebut antara lain dipengaruhi terutama oleh pemikiran August Comte melalui bukunya Course de la Philosophie Positive (1842) mengemukakan bahwa sepanjang sejarah pemikiran manusia berkembang melalui tiga tahap: (1) tahap teologik, (2) tahap metafisik, dan (3) tahap positif; pemikiran tersebut melahirkan filsafat positivisme yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial dan humaniora, melalui sekularisme. Namun teori tersebut tidaklah benar, sebab perkembangan pemikiran manusia tidaklah demikian, seperti pada zaman modern ini (tahap ketiga), manusia masih tetap percaya pada Tuhan dan metafisika, bahkan kembali kepada spiritualisme.
Sejarah umat manusia di barat menunjukkan bahwa dengan mengenyampingkan agama dan mengutamakan ilmu dan akal manusia semata-mata telah membawa krisis dan malapetaka. Atas pengalamannya tersebut, kini perhatian manusia kembali kepada agama, karena: (1) Ilmuwan yang selama ini meninggalkan agama, kembali pada agama sebagai pegangan hidup yang sesungguhnya, dan (2) harapan manusia pada otak manusia untuk memecahkan segala masalah di masa lalu tidak terwujud.
Kemajuan ilmu pengetahuan telah membawa manusia pada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, namun dampak negatifnya juga cukup besar berpengaruh pada kehidupan manusia secara keseluruhan. Sehingga untuk dapat mengendalikan hal tersebut diperlukan agama, untuk diarahkan untuk keselamatan dan kebahagiaan umat manusia.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa agama sangat diperlukan oleh manusia sebagai pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Agama Islam adalah agama yang selalu mendorong manusia untuk mempergunakan akalnya memahami ayat-ayat kauniyah (Sunnatullah) yang terbentang di alam semesta dan ayat-ayat qur’aniyah yang terdapat dalam Al-Qur’an, menyeimbangkan antara dunia dan akherat. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Referensi
Al-Qur’an dan Terjemahannya.
Al-Qardhawy, Yusuf. Fiqih Daulah dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1998.
Copyright © 1999 Muhamad Shiroth, Imam Hartojo, and Reza Nursadewo
Copyright © 1999 Akademika WebSite by Muhamad Shiroth
All rights reserved.