Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

eMShi's Writing

PAJAK PENGHASILAN DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA

oleh Muhamad Shiroth, Eko S Mulyanto, Eko Togi, Esti Sulistyani, Jhoni Tuerah, dan Nana Mardiana
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Depok, 1999

 

PENDAHULUAN

Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subyek pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subyek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia disebut sebagai Wajib Pajak. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subyeknya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam Undang-Undang PPH Indonesia adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 bulan.

Pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Subjek pajak dapat dibedakan antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak luar negeri sekaligus menjadi Wajib Pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.

Pajak penghasilan Indonesia menganut prinsip perpajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokan menjadi: penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, penghasilan dari usaha dan kegiatan, penghasilan dari modal, serta penghasilan lain-lain.

Atas penghasilan-penghasilan tertentu dikenakan pajak penghasilan yang diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang No.10 Tahun 1994, yaitu penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya.

Dalam hal pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama lima tahun berturut-turut, dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian.

Dalam menghitung penghasilan kena pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa penghasilan tidak kena pajak berdasarkan ketentuan dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994.

Sistem pengenaan pajak berdasarkan UU Pajak Penghasilan Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenakan pajak dan pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun, dalam hal-hal tertentu pemenuhan kewajiban pajaknya dilakukan secara terpisah.

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu, berdasarkan pertimbangan praktis, atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan Norma Perhitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tersebut. Jenis usaha khusus tersebut antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusaan pengeboran minyak, gas dan pajak bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun guna serah.

Penghasilan kena pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang. Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak, yaitu penghitungan denga cara biasa dan perhitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan. Bagi Wajib Pajak luar negeri, penentuan besarnya penghasilan kena pajak dibedakan antara Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Pada prinsipnya pelunasan Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak dalam tahun pajak berjalan dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu:

  1. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pemotongan pajak oleh pihak lain, yaitu dalam hal:

    • diterima atau diperoleh penghasilan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

    • diterima atau diperoleh penghasilan dari modal, jasa atau kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 23.

    • diterima atau diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam padal 26.

  2. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pemungutan pajak oleh bendaharawan pemerintah sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu sehubungan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22.

  3. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 25.

  4. Pelunasan Pajak Penghasilan melalui pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu yang diatur tersendiri dengan peraturan pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2).

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan dan Pajak Penghasilan yang wajib dipungut oleh bendaharawan atau pejabat yang berwenang, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah/atau bangunan adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Pajak Penghasilan (PPh) dikategorikan atau diklasifikasikan dalam pos Pendapatan Dalam Negeri Non Migas. Pendapatan Dalam Negeri digunakan untuk membiayai Belanja Rutin Negara baik dalam dan luar negeri. Dalam perekonomian negara, Pajak Penghasilan sebagai pajak langsung berhubungan langsung dengan pendapatan negara. Karena sifat pajak langsung adalah sebagai berikut:

  1. Dikenakan atas pendapatan di atas batas minimum bebas pajak.

  2. Bersifat progresif, artinya besar pajak akan semakin besar bila pendapatan yang diterima juga semakin besar.

Bila pendapatan per kapita meningkat maka konsekuensinya adalah:

  1. Semakin banyak penduduk yang terkena pajak karena memiliki pendapatan di atas batas minimum bebas pajak.

  2. Semakin tinggi tarif yang dikenakan akibat semakin tinggi pendapatan yang diterima.

Sedangkan yang menjadi determinan besar kecilnya pajak adalah:

Susunan atau komponen APBN adalah sebagai berikut:
  1. Pendapatan Dalam Negeri
    • Pendapatan Migas
      • Minyak
      • Gas
    • Pendapatan Non Migas
      • PPh
      • PPN
      • Bea Cukai
      • Pajak Ekspor
      • Bea Materai
      • PBB
      • Pajak Lainnya
      • Pendapatan Non-Pajak
  2. Pendapatan Pembangunan
    • Bantuan Program
    • Bantuan Proyek
  1. Belanja Rutin
    • Belanja Pegawai
    • Belanja Barang
    • Bunga dan Cicilan Hutang
    • Subsidi dan Bantuan
    • Pengeluaran Lainnya
  2. Pengeluaran Pembangunan
    • Dana Rupiah
    • Pengeluaran Proyek

 

PERAN PAJAK PENGHASILAN DALAM APBN

Bila kita lihat APBN di negara ini, nampak sekali bahwa penerimaan non-migas sangat dikuasai oleh penerimaan dari pajak. Terbukti dari tahun ke tahun sejak dimulainya Orde Baru, pajak menempati posisi yang tertinggi dalam komposisi penerimaan, baik dalam rencana maupun dalam realisasi APBN. Dari data yang kami peroleh pada tahun 1993 saja, dalam penerimaan non-migas yang totalnya 60,4% dari total penerimaan dalam negeri, 51.3%-nya merupakan penerimaan pajak. Berarti sisanya (yang bukan pajak) kurang dari 10%. Untuk tahun 1999, di dalam RAPBN ditetapkan pendapatan non-migas sebesar Rp. 119.836,8 milyar dan dari angka tersebut hanya Rp. 25.799,1 milyar yang bukan berasal dari pajak.

Pajak penghasilan dalam total penerimaan pajak ternyata menempati posisi yang cukup besar secara proporsional. Kita dapat melihatnya dari tabel berikut ini.

Penerimaan Pajak Penghasilan di APBN Dibandingkan dengan Total Penerimaan Pajak:
Tahun APBN Penerimaan dari Pajak Penghasilan (milyar Rp.) Persentase terhadap total penerimaan pajak (%)
1989-1990 5488 35.58
1990-1991 6755 34.25
1991-1992 9580 39.82
1992-1993 10930* 34.41
1993-1994 14759 40.25
1994-1995 18764 42.22
1995-1996 21012 43.16
1996-1997 25496 45.66
1997-1998 28458 44.42
1998-1999 25846 35.44
1999-2000 40626* 43.2
* RAPBN

Gambar 1
GRAFIK PENERIMAAN PPH DALAM APBN TAHUN 1989-2000
... gambar tidak dimasukkan dalam halaman web ini!

Pendapatan di luar migas tahun 1989/90 adalah sebesar 60,85% terhadap total pendapatan dalam negeri dan sebesar 47,06% terhadap total penerimaan. Pada tahun 1998/1999, pendapatan di luar migas adalah sebesar 66,70% terhadap total pendapatan dalam negeri dan sebesar 37,74%.

Dari data di atas terlihat bahwa penerimaan dari pajak cukup besar proporsinya terhadap total penerimaan dalam negeri.

Pendapatan Pemerintah dari pajak penghasilan dari tahun ke tahun menunjukkan suatu kecenderungan yang meningkat. Sejak tahun 1993/94, nilainya di atas 40% terhadap total penerimaan pajak. Namun demikian pada tahun 1998/99, nilainya anjlok hingga di bawah 35%. Ini kemungkinan terjadi karena Indonesia sedang mengalami kondisi perekonomian yang memburuk yang menyebabkan membengkaknya APBN pada periode tersebut sehingga % pajak penghasilan terhadap total penerimaan pajak menurun. Karena dengan tingkat penghasilan yang masyarakat yang tetap bahkan cenderung turun secara nominal sedangkan total pengeluaran dan penerimaan pemerintah yang membengkak tersebut maka wajarlah jika proporsinya turun.

Perlu diketahui bahwa persentase pajak penghasilan adalah yang terbesar dibandingkan dengan jumlah pendapatan pajak dan nilainya cukup signifikan terhadap penerimaan dalam negeri. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak penghasilan cukup penting buat pemerintah.

Pada periode 1999/2000, nilai pajak penghasilan yang diharapkan menjadi bagian dari peneriman dalam negeri lebih dari Rp. 40 triliun. Nilai ini cukup besar secara absolut, namun proporsinya terhadap penerimaan dalam negeri hampir sama bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin pemerintah cukup yakin akan kemampuan untuk memperbaiki cara kerjanya dalam meraih nilai pajak penghasilan yang cukup tinggi sehingga proporsinya meningkat kembali.

Profesor Sumitro mengatakan bahwa potensi pajak penghasilan Indonesia sebenarnya sangat besar . Beberapa tahun yang lalu dia memperkirakan ada 8 juta wajib pajak penghasilan, namun pada kenyataannya wajib pajak yang terjaring cukup sedikit. Ini membuktikan bahwa penerimaan pajak penghasilan bisa lebih besar lagi bukan dengan cara meningkatkan tarifnya tapi dengan meningkatkan efektifitas dan efisiensi pemungutan pajak. Sebelum krisis perekonomian yang menimpa, pertumbuhan perekonomian negara kita ini cukup besar. Ini menyebabkan pendapatan masyarakat meningkat pula. Berarti jumlah wajib pajak penghasilan juga meningkat dan kemungkinan sudah lebih besar daripada 8 juta orang. Peningkatan ini tentu memperlihatkan suatu potensi peningkatan penerimaan dalam negeri dari pajak penghasilan. Karena itulah pemerintah harus memperbaiki sistem administrasi perpajakannya agar nilai pajak penghasilan bisa lebih besar dan tentunya menguntungkan pemerintah.

 

STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN PAJAK

Pengelolaan APBN yang berimbang dan dinamis, mengkondisikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan harus sesuai dengan kemampuan pendanaan. Dengan adanya penurunan penerimaan negara dari sektor migas, maka usaha peningkatan penerimaan dalam negeri di luar migas menjadi semakin penting, untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan yang semakin besar. Mengingat potensi pajak yang besar di masa datang, maka suasana perpajakan yang sehat dalam sistem perpajakan nasional diperlukan untuk keberhasilan penghimpunan dana tersebut. Ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan merupakan langkah yang besar dan penting untuk mewujudkan azas pembiayaan pembangunan mandiri, sekaligus melepaskan dari ketergantungan migas.

Oleh karena itu, Pemerintah harus berupaya meningkatkan peningkatan dari pajak penghasilan. Berbagai strategi diupayakan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor pajak ini.

Membentuk Citra Pajak dalam Masyarakat
Sikap positif tentang sesuatu yang baru harus bermula dari adanya pengetahuan tentang hal tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah harus berupaya untuk memasyarakatkan konsep-konsep mengenai perpajakan dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa membayar pajak dengan baik memberikan keuntungan bagi masyarakat sendiri. Pemerintah harus berusaha menyadarkan masyarakat bagaimana peran pentingnya pajak dalam pembangunan, tetapi hal ini harus diikuti pula oleh itikad baik Pemerintah dalam melaksanakan pembangunan sehingga masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari membayar pajak itu sendiri. Arah dan rencana yang jelas terhadap penggunaan dana yang dihimpun dari pajak, akan mendorong kesediaan wajib pajak memenuhi kewajibannya.
Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai penyuluhan, memberikan brosur-brosur pajak, pelayanan pajak melalui telepon untuk melayani pertanyaan-pertanyaan seputar masalah pajak, dan mengikutsertakan pers dalam upaya melakukan pendidikan perpajakan ini kepada masyarakat. Insentif berupa penghargaan kepada para pembayar pajak terbesar masih perlu dilaksanakan.
Pendidikan perpajakan ini harus diupayakan menarik, tidak kaku, menggunakan jargon-jargon yang sulit dimengerti. Di Swedia, brosur pajak dibuat lucu dengan ilustrasi gambar karton yang memiliki sifat humor, dan menghindari gambar yang kaku dari para petugas pajak.
Pemerintah juga bisa melakukan pendidikan pajak pada para pelajar dan mahasiswa dengan memasukkan pendidikan pajak sebagai mata pelajaran di sekolah. Secara perlahan, generasi yang memiliki kesadaran membayar pajak akan terbentuk.

Ekstensifikasi Pajak Penghasilan
Ada berbagai penghasilan yang belum dikenakan pajak. Beberapa cara terjadi untuk mendapatkan penghindaran pajak, karena beberapa penghasilan dapat diperoleh tanpa harus membayar pajak.
Pemerintah dapat mengenakan pajak penghasilan kepada penghasilan bunga deposito. Usaha menghindarkan pajak secara legal lainnya seperti membentuk koperasi telah banyak dilakukan. Ada koperasi-koperasi yang berdiri, yang sebenranya beroperasi sebagai lembaga kredit karena penghasilan dalam bentuk koperasi tidak menjadi obyek pajak. Pemerintah harus berusaha untuk mengantisipasi usaha-usaha penghindaran pajak ini dan melihat apakah kebijaksanaan untuk meniadakan pajak penghasilan bagi beberapa objek pajak sudah benar.
Banyak orang yang seharusnya menjadi wajib pajak yang belum terjaring. Pemerintah harus melakukan cross checking wajib pajak potensial dengan data dari instansi lain, misalnya : perbankan, pasar modal, dan sebagainya.

Sistem
Sistem menghitung pajak di Indonesia adalah dengan self-assesment. Sistem ini sebenarnya hanya bisa dilaksanakan dengan pbaik pada suatu sistem perekonomian yang sudah mapan. Di negara-negara tersebut, sistem pembukuannya sudah maju menyebabkan lebih mudah bagi petugas pajak untuk melakukan pengawasan dan juga keberadaan bukti-bukti transaksi yang lengkap.
Masyarakat kita belum cukup dewasa untuk diminta mengisi jumlah yang harus dibayarkannya dengan benar. Hal ini karena kita masih berada pada tahap trnasisi yang sering dicirikan dengan rendahnya kesadaran hukum. Kurangnya kesadaran hukum ini ditunjukkan oleh berbagai kasus perpajakan yang terjadi. Bila Pemerintah ingin menggunakan sistem ini, Pemerintah harus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pajak bagi wajib pajak tersebut sehingga wajib pajak dengan kesadaran sendiri membayar pajak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
Sistem dalam memperoleh, mengisi dan mengembalikan SPT yang mudah akan meningkatkan kegairahan untuk membayar pajak. Bila untuk melakukan pembayaran seorang wajib pajak harus melewati birokrasi yang berbelit-belit dan memakan waktu, wajib pajak akan malas dalam menunaikan kewajibannya.
Pembenahan struktur organisasi aparatur perpajakan juga dapat dilakukan, termasuk juga penggunaan teknologi informasi dapat mempercepat dan memudahkan pelayanan yang berdampak pada efisiensi pemungutan pajak, seperti pada pengolahan SPT PPh.

Pemerintah / Petugas Pajak
Orang mengharapkan pajak yang dibayarnya dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Pemerintah. Rakyat berharap mendapatkan manfaat dari pajak yang dibayarnya tersebut. Oleh karena itu, Pemerintah harus berusaha untuk menunjukkan hasil pembangunan yang berhasil dilaksanakan karena pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Misalnya : dalam pembangunan sebuah jalan, perlu diumumkan bahwa pembangunan tersebut dibiayai oleh pajak.
Semakin baik dan mudahnya pelayanan aparatur perpajakan akan mendorong kepatuhan wajib pajak. Selain aspek tersebut, aspek sumber daya manusia yang menjadi pelaksana perpajakan perlu mendapatkan peningkatan pendidikan dan ketrampilan, untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi
Personil pajak harus diupayakan peningkatan kualitasnya, terutama dalam perofesionalitas dan kejujuran.
Petugas yang profesional memiliki pengetahuan aspek pengetahuan perpajakan yang selanjutanya mampu direalisasikan dalam pelayanan pajak yang memuaskan. Pengurusan pajak menjadi lebih efektif dan efisien, dan wajib pajak lebih mudah dalam mengurus pajaknya. Bila petugas mampu berkomunikasi dengan para wajib pajak dengan efektif , memberikan penjelasan yang mendasar, dan memecahkan masalah-masalah yang diajukan maka wajib pajak akan merasakan pelayanan yang baik dan akan merasa lebih mudah dalam membayar pajak.
Kejujuran adalah sikap spiritual dan kepribadian yang selalu mengacu kepada kebenaran ketika melakukan sebuah tindakan. Dengan kejujuran ini, petugas pajak bisa menolak berbagai jenis godaan melakukan penggelapan atau berkolusi dengan wajib pajak. Cukup banyak penyimpangan dilakukan oleh petugas pajak dan ini harus segera dibenahi karena menurunkan kewibawaan hukum dan menurunkan minat masyarakat dalam membayar pajak.

Hukum
Bentuk peraturan perundangan diusahakan sederhana dan mudah dipahami. Hal ini akan memudahkan masyarakat mengerti dan konsep akan semakin tersosialisasi dengan lebih baik.
Semakin besar kemungkinan seseorang tertangkap bila melakukan penggelapan pajak, maka akan semakin kecil keberanian untuk melakukan penggelapan pajak. Petugas pajak harus semakin meningkatkan pengawasannya karena dengan demikian orang-orang akan sulit untuk melakukan pelanggaran.
Semakin besar hukuman yang diterima, semakin kecil keberanian untuk melanggar. Misalnya bila seseorang melakukan penggelapan pajak sebesar Rp. 100 juta dan hanya didenda Rp. 5 juta, maka orang-orang akan lebih berani mengambil resiko untuk melakukan pelanggaran karena resikonya kecil. Tapi bila hukuman yang diberikan cukup berat sesuai dengan kesalahannya, maka pelanggaran akan semakin kecil.
Semakin besar kepastian hukum, semakin kecil keberanian untuk melanggar. Peraturan harus jelas dan memiliki sanksi hukum yang pasti. Pemerintah harus berusaha untuk menutup celah-celah yang mungkin pada berbagai peraturan dan sistem perpajakan dan mengenakan sanksi yang tegas terhadap pelaku pelanggar pajak. Hal ini akan sangat mendorong ketaatan wajib pajak dalam membayar pajaknya. Misalnya bila seseorang tertangkap melakukan penggelapan pajak, dan orang tersebut bia melakukan "negosiasi" dalam menyelesaikan masalahnya, maka orang-orang akan semakin berani melakukan pelanggaran. Tapi bila semua orang yang tertangkap dihukum dengan standar yang pasti dan jelas, maka orang-orang semakin tidak berani melakukan pelanggaran.
Oleh karena itu dalam penerapan Undang-Undang Pajak Penghasilan, perlu dilengkapi penyempurnaan peraturan pelaksanaannya untuk mempermudah law enforcement dan mencegah penggelapan pajak.

 

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yozar. Strategi Perpajakan Mendukung Pembangunan. Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1990
Guritno, Gerard A. "Beberapa Masalah Perpajakan, Pemecahannya dan Strategi Optimalisasi Pajak." Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan: Center for Fiscal and Monetary Studies, 1996.
Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997
Marpaung, Waldeni Virgo. "Strategi Mengoptimalkan Penerimaan Sektor Pajak dalam Pembiayaan Pembangunan."Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan: Center for Fiscal and Monetary Studies, 1996.
Melina. "Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan." Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan: Center for Fiscal and Monetary Studies, 1996.
Musfin Ode. "Meningkatkan Peranserta Masyarakat Dalam Membayar Pajak dan Solusi Terhadap Hambatan dalam Pelaksanaannya." Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan: Center for Fiscal and Monetary Studies, 1996.
Zubaidah." Pajak sebagai Sumber Utama Pembiayaan Pembangunan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegairahan Masyarakat Membayar Pajak." Pajak Kunci Kemandirian Pembiayaan Pembangunan: Center for Fiscal and Monetary Studies, 1996.

Copyright © 1999 Muhamad Shiroth, Eko S Mulyanto, Eko Togi, Esti Sulistyani, Jhoni Tuerah, and Nana Mardiana
Copyright © 1999
Akademika WebSite by Muhamad Shiroth
All rights reserved.

Ke menu emshi's writingKembali ke atas