Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Tulisan

TENTANG KONSTITUSI

oleh Imam Hartojo

Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah artikel di Harian Kompas yang diantaranya menyebutkan tentang sikap LIPI yang menuntut dihapuskannya UU Keormasan dan UU Referendum dicabut, yang berarti pula terbukanya kemungkinan untuk mengadakan perubahan terhadap UUD '45. Selama ini membicarakan atau bahkan memikirkan saja hal tersebut dianggap tabu, padahal mungkin saja hal itu dilakukan hanya sekedar untuk mempertahankan status quo belaka.

Polemik yang belakangan ini terjadi mengenai cara pemilihan presiden nampaknya semakin mempermulus jalan untuk diadakannya perbaikan-perbaikan terhadap UUD '45. Banyak sekali pihak yang berpendapat bahwa seorang presiden seharusnya dipilih langsung oleh rakyatnya, bukan oleh MPR, yang mana hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UUD '45 tepatnya pasal 6.

Menurut saya, perubahan terhadap UUD sah-sah saja, selama itu mengarah kepada kebaikan. Lagipula, UUD '45 bukanlah kitab suci yang berisikan firman Tuhan yang tidak boleh dirubah sama sekali. Ia hanya berisikan buah pemikiran para pendiri negeri ini, yang bisa jadi saat ini sudah tidak relevan lagi.

Suatu kajian mengenai konstitusi yang pernah saya ikuti beberapa bulan lalu bahkan sampai pada kesimpulan bahwa reformasi politik saat ini harus dilakukan dari yang paling mendasar, yaitu perubahan UUD '45. Alasannya adalah karena UUD '45 dirasakan memberikan kekuasaan terlalu besar kepada presiden. Bahkan kembalinya kita ke UUD '45 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sepertinya hanyalah strategi Soekarno yang kebakaran jenggot karena kekuasaannya terlucuti oleh adanya kekuasaan perdana menteri pada waktu itu. Dan ternyata, fasilitas tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Soeharto, dengan permainan politiknya yang cantik, yang bertahan sampai 21 Mei 1998 (kira-kira jam 9 pagi) termasuk pula usahanya 'menstabilkan' itu dengan UU Referendumnya.Walaupun begitu, tentunya tidak semua bagian dari UUD '45 tersebut dirubah. Tidak sampai kepada hal-hal yang prinsipil bagi bangsa ini.

Kita tahu bahwa di seluruh dunia kemajuan pembangunan demokrasi suatu negara ditandai dengan penyerahan/pergeseran kekuasaan dari militer ke sipil. Sebagai contoh, belum lama ini di Nigeria, Presiden Abubakar yang militer, berjanji untuk menyerahkan kemenangan sipil dalam pemilu yang akan datang. Dalam pasal 10 UUD '45, presiden kita mendapatkan kekuasaan terhadap AL, AU, serta AD. Hal ini bisa kita maklumi karena pada waktu negara kita memang sedang dalam keadaan baru merdeka, dan sewaktu-waktu memang dapat diambil tindakan-tindakan militer tertentu untuk mengamankan keadaan, tetapi bagaimana dengasn sekarang ? Akibat dari dipertahankannya pasal tersebut sudah jelas. ABRI bingung antara membela kepentingan negara dengan kepentingan rezim. ABRI bisa digunakan untuk mengintimidasi orang untuk nyoblos GOLKAR. Bahkan yang paling dahsyat adalah kejadian yang baru lalu mengenai penculikan para aktivis. Jangan cuma salahin Prabowo, dong. Salahin juga Soeharto pada waktu itu yang menjabat sebagai presiden sekaligus mertuanya. Jelas sekali di sini Prabowo kebingungan antara membela kepentingan negara dengan kepentingan mertuanya.

Selain itu, yang membingungkan adalah dirangkapnya jabatan pangab dengan menhankam. Di sini jelas terjadi kerancuan antara pangab yang jelas-jelas harus berdiri netral dengan menhankan yang merupakan pembantu presiden. Demikian juga dengan jabatan menkeh, dsb.

Selain pasal-pasal di atas ada juga pasal 21mengenai RUU dan pasal-pasal lain yang bisa Anda baca sendiri di rumah (itupun kalau punya) yang memberikan kekuasaan terlalu besar kepada presiden.

Intinya, saya sangat berharap adanya keterbukaan-keterbukaan, keluwesan sikap baik dari rakyat maupun dari pemerintah tentang berbagai hal, sehingga kehidupan yang mencekam, ketakutan dan sebagainya yang diwariskan oleh rezim orde baru dapat segera kita lalui. Mungkin perlu juga dibuat aturan-aturan yang lebih jelas dan konkret mengenai hubungan antara rakyat dengan pemerintah, seperti pemberdayaan MPR sebagai lembaga yang harus dapat menyalurkan aspirasi rakyat sekaligus penghubung antara rakyat dengan pemerintah, dan sebagainya.

Copyright © 1998 Imam Hartojo
Copyright © 1998
Akademika WebSite by Muhamad Shiroth
All rights reserved.

111.11.1100011.10001110001.01001

Ke menu tulisan Kembali ke atas