Site hosted by Angelfire.com: Build your free website today!

Dialog Utama :

Siapakah itu Buruh ?

Abstraksi

Derita buruh nampaknya belum akan berakhir. Gelombang PHK sepihak, aniaya terhadap buruh, pelecehan seksual, eksplorasi buruh dan yang sejenisnya masih menghiasi wajah perburuhan kita. Padahal di sisi lain keberadaan para 'penjual jasa' ini tidak bisa dihilangkan begitu saja, bahkan menjadi tumpuan lajunya roda perekonomian dan pembangunan. Bak kapal tak bernakhoda nasib buruh akhirnya terombang-ambing kemana angin membawa. Tidak tahu kemana hendak menuju !

Kondisi sosial masyarakat dan pandangan hidup suatu bangsa atau umat, diyakini sebagai hal yang sangat menentukan baik-buruknya posisi buruh. Untuk itu sangat perlu bagi kita mendefinisikan ulang tentang ' siapakah sebenarnya buruh itu ? ' Apakah dia harus selalu berkonotasi pekerja rendahan-kuli kasar-dan sejenisnya ? Dan kenapa mereka selalu menjadi sasaran per ' budakan' manusia lainnya ? Apa penyebab semuanya ini ?

Melalui Dialog Utama edisi kali ini, redaksi mengharap pembaca mendapatkan jawaban-jawaban lugas dan tuntas dari para pakar maupun praktisi yang memang bergerak dan kompeten di bidangnya. Tim riset dan data redaksi pun menurunkan hasil penelitian kecil-kecilannya guna memperkuat dialod utama kali ini. Semoga !

Mengomentari pertanyaan dari redaksi Dialog tentang siapakah sebenarnya yang di sebut dengan buruh itu-Ustadz Abdul Hakim SH-mengakui bahwa saat ini memang telah terjadi kerancuan dan salah kaprah tentang arti buruh. Menurut beliau, setiap disebut kata buruh, maka yang tergambarkan adalah buruh kasar yang selalu dikuasai oleh majikannya. Padahal menurut beliau setiap orang yang bekerja dan mengeluarkan tenaga maupun jasa lalu dia mendapatkan imbalan maka orang itu bisa disebut pekerja atau buruh. Namun kenyataannya banyak orang ( karyawan ) yang tidak suka disebut dengan buruh. Mereka lebih bangga dan keren kalau disebut dengan karyawan, personalia atau bagian pemasaran dan beberapa istilah populer lainnya. Padahal orang-orang itu pada hakikatnya juga bekerja dan dibayar atau mendapat upah. Berarti mereka itu adalah buruh!

Lalu ketika dikonfirmasikan tentang sudah ada atau tidaknya UU perburuhan yang mampu menjelaskan status dan fungsi buruh-Ustadz yang juga menjabat sebagai Direktur Badan Wakaf Darul Falah, Yogyakarta ini-menegaskan bahwa UU itu memang ada. Namun beliau menyangsikan realisasi dan kehandalan UU produk man made itu ! Hal ini karena produk UU buatan manusia filosofinya selalu berasaskan kepentingan manusia tertentu pula. Misalnya tentang RUU Ketenagakerjaan yang dianulir itu ! Bisa jadi para buruh curiga bahwa UU itu nantinya hanya akan memihak para pengusaha saja-sebagaimana UU yang sudah pernah ada. Dengan demikian menurut Beliau-yang juga aktif dalam kegiatan di Pusat Pengkajian Islam Strategis ( PPIS ) Yogyakarta ini -yang terpenting adalah landasan filosofi UU tersebut. Seharusnya UU yang disusun harus mencerminkan pengaturan yang paling hakiki dari sifat-sifat manusia dalam aktivitas kerja ini. Dan itu tentu saja harus dijiwai oleh peraturan yang datangnya dari Al-Khalik ( Allah SWT) sebagai Dzat yang Maha Mengetahui tentang tabiat dan karateristik manusia. Allah SWT dalam menurunkan hukum dan syariatnya sudah tentu tidak akan berpihak kepada buruh ataupun majikan. Karena Allah tidak memiliki kepentingan apapun dari keduanya. Melainkan peraturan-peraturan perburuhan itu memang muncul sebagai sebuah aturan yang sempurna bagi kelayakan dan ketentraman pihak-pihak yang melakukannya. Dari sinilah seharusnya UU buruh atau ketenagakerjaan itu disusun. Sehingga akan betul-betul mengenai sasarannya.

Kemudian Ustadz dengan dua orang anak ini juga mengomentari kesalah kaprahan yang terjadi dewasa ini mengenai jaminan yang harus diberikan kepada para buruh. Saat ini seolah-olah menjadi suatu hukum bahwa pengusahalah yang wajib menanggung beban materi bagi kesejahteraan si buruh. Artinya si pengusaha sering dianggap sebagai pihak yang harus menjamin kesejahteraan para buruh, terutama bidang kesehatan dan jaminan bagi keluarga si buruh. Hal ini tentu akan menyulitkan pihak pengusaha. Dan dia pun sebenarnya tidak wajib menjamin semua itu. Karena sebagai pihak majikan ( pengusaha ) dia hanya harus membayarkan upah / honor kepada si buruh yang memang telah menjadi kesepakatan kerja mereka berdua. Itu tuntunan Islam.

Sedangkan jaminan Kesehatan, hidup layak, pendidikan dan sejenis seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Karena negaralah yang bertugas memelihara kemaslahatan umum. Negaralah yang harus menjamin seluruh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang memadai sehingga dapat dinikmati oleh seluruh warga negara-tidak hanya para buruh.

Lalu mengomentari masih banyaknya buruh -TKI kita khsususnya- yang dianiaya di negri orang, Ustadz Abdul Hakim yang juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam di tempatnya ini berkomentar bahwa umat kita ini kebanyakan masih ikut-ikutan dalam merespon suatu peristiwa atau kejadian tertentu. Belum ada pada mereka sebuah analisis khas yang bersudut pandang Islami. Terutama mengomentari kasus Nasiroh yang baru-baru ini terjadi. Banyak yang berkomentar atau berbuat dikarenakan dorongan emosi kebangsaan yang sempit-tampa melihat secara lebih mendalam pokok permasalahannya. Menurut beliau, kasus-kasus penganiayaan dan peyiksaan buruh atau Pembantu Rumah Tangga bukan hanya monopoli negri tetangga. Bahkan di dalam negri pun kasus-kasus serupa banyak di temukan. Apalagi yang belum terbongkar dan masih berlangsung. Jadi menurut beliau ada kesalahan dasar yang harus segera diperbaiki-jika nasib buruh ini ingin lebih baik. Hal itu menyangkut kepastian hukum dari negara, kontrol masyarakat yang dinamis serta ketaqwaan individu sebagai subjek maupun objek dalam kontrak kerja. Kenyataannya semua itu belum bisa terlaksana. Kalau ketiga pilar itu berjalan dengan harmonis, maka bukan suatu hal yang mustahil jika nasib buruh akan segera membaik. Insya Allah. Begitu Ustadz Abdul Hakim mengakhiri wawancaranya dengan Dialog .

Sedangkan menurut Bpk.Ermi.Saelan , Karyawan Senior di PT Eveready Battery Company Indonesia , permasalahan di seputar buruh berawal dari pandangan para pengusaha yang menganggap para buruh adalah aset bagi perusahaan mereka. Pola pandang ini begitu mendominasi sebagian besar para pemgusaha sehingga mereka semua merasa memiliki sang buruh. Mereka bebas memberlakukan buruh mereka -karena toh milik mereka, begitu papar pak Ermy yang juga aktif memperjuangkan nasib kawan-kawan seprofesinya. Menurutnya pula, pandangan ini sering membuat pengusaha lupa bahwa para buruh itu juga manusia biasa ( merdeka ). Yang membutuhkan perhatian dan perlakuan-perlakuan manusiawi. Seringkali karena tuntutan mutu terhadap produk yang akan diekspor, nasib buruh ( baca : perlakuan terhadapnya ) lebih rendah ketimbang terhadap produk itu sendiri. Produk seringkali diperhatikan sedemikian rupa ; tidak boleh terlalu kepanasan ; tidak boleh terlalu dingin, diperlakukan dengan sangat hati-hati. Tapi bagi buruh-sampai-sampai penyediaan bangku untuk makan tidak terpenuhi alias para buruh disuruh makan dengan berdiri, karena seluruh bangku dipakai untuk meningkatkan jumlah produksi. Ironis !

Terlebih lagi saat ini tuntutan dari negara-negara pengimport semakin sulit dan mengada-ada. Belum lagi sertifikat-sertifikat kelayakan mutu produk yang sering berimbas pada nasib buruh yang semakin buruk. Ini semua karena buruh semata dianggap sebagai aset-hak milik. Bak mesin saja layaknya. Disuruh terus berproduksi tampa memperhatikan kondisi dan kemampuan manusiawi si buruh. Hal ini tentunya akan membawa kepada ketegangan-ketegangan antara buruh dan majikan dan bisa berakhir dengan sesuatu yang tidak diinginkan bersama.

Menurut pak Ermy-yang juga aktif dalam mengurus masjid dan pengajian karyawan di lingkungan Eveready-seharusnya para majikan atau pengusaha menjadikan buruh itu sebagai mitra. Mitra berarti teman sejalan dalam menempuh satu tujuan yang sama. Majikan butuh tenaga buruh untuk berproduksi dan menghasilkan devisa. Para buruh butuh upah dari para majikan sebagai pemenuhan kebutuhannya. Maka klop . Mereka akan saling membutuhkan dan diuntungkan. Tidak ada pihak yang dirugikan.

Tapi beliau juga menyangsikan apa konsep bermitra dalam kontrak kerja itu bisa terealisir dalam alam materialisme dan pola sekularistik ini. Karena menurut hemat beliau pola pandang kapitalislah yang saat ini mendominasi pengusaha-pengusaha besar maupun kecil -yang mempekerjakan banyak para buruh. Dengan demikian mereka akan berfikir se-efesien dan se-efektif mungkin. Postulat-postulat ekonomi liberal lah yang akan mendominasi kebijaksanaan para pimpinan pabrik dan para pegusahan itu. Begitu tandas nya. Padahal kalau konsep dan pandangan Islam yang di pakai , maka akan indahlah hubungan antara buruh dan majikan itu, begitu lanjutnya.

Dalam pandangan Islam, bekerja adalah suatu ibadah. Bahkan Islam sangat menjunjung tinggi orang-orang yang telah bersusah payah dalam bekerja untuk mendapatkan nafkah bagi dirinya dan tanggungan nya. Dengan demikian para buruh seharusnya menikmati pekerjaan-nya dan tetap menggapai ridlo Allah dalam setiap pekerjaannya. Hanya saja kondisi ini tentunya juga harus diimbangi dengan prilaku baik dan amanah dari sang majikan dan pengusaha. Dalam pandangan Islam pengusaha atau majikan yang baik adalah yang menepati janjinya sewaktu mengontrak kerja buruhnya dan segera membayarkan gaji atau upah mereka sebelum kering keringat nya. Begitulah yang diajarkan Islam. Bukankah itu sangat indah ?

Tetapi kondisi itu menurut bapak dari 3 orang anak itu sangatlah jauh terjadi di negri kita. Malah katanya negri-negri non Islam atau di negri-negri Eropa dan Australia lah yang kerap memperhatikan dan menjamin kelayakan para buruh mereka. Bahkan di Australia sampai ada Partai Buruh nya segala. Di negri ini sebenarnya sudah ada UU yang mengatur perburuhan dan kontrak kerja, ada pula yang namanya KKB ( Kesepakatan Kerja Bersama ) yang mengatur antara majikan dengan pekerja. Tapi kembali para pekerja selalu di buat tidak mengerti secara maksimal serta tetap dibiarkan dalam kondisi seperti itu. Jadi sudah dari dasarnya para buruh itu kebanyakan berpendidikan rendah, lalu diperbodoh dengan sistematis. Para buruh pun tidak banyak punya pilihan. Ini dikerenakan posisi mereka yang lemah sebagai pencari kerja di tengah rimba persaingan yang kejam ini. Akhirnya mereka lebih banyak pasrah dan menerima apa kata majikan walau itu sebenarnya sangat merugikan dan menodai hak-hak dan kewajiban mereka. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi pada beberapa karyawan di banyak perusahaan belakangan ini. Mereka banyak yang di PHK sepihak. Tampa uang pesangon yang memadai. Dan tampa konfirmasi dengan lembaga-lembaga terkait yang sebenarnya sudah di atur undang-undang. Lembaga-lembaga pelindung buruh juga banyak di buat, tapi tetap tidak maksimal menangani masalah perburuhan ini. Akhirnya semua permasalahan berpulang dari konteks sosial kemasyarakatan saat ini yang dinilai oleh pak Ermy harus segera dibenahi. Selama pola materialistik yang masih mendominasi masyarakat , maka problem perburuhan masihlan akan terus terjadi. Itulah tantangannya !

Dalam wawancara berikutnya, Dialog berkesempatan berbincang-bincang dengan Ir.Ihsan Abdussallam, yang bekerja di perusahaan kontraktor PT.Citra Padutama, Jakarta. Sewaktu ditanyakan kepadanya apakah masih ada perbudakan disaat ini , Beliau dengan antusias mengatakan bahwa perbudakan tidak ada lagi. Ini jika ditinjau dari makna budak yang berarti orang yang tidak merdeka. Atau para hamba sahaya. Adapun kejadian-kejadian pada sebagian TKW dan TKI kita yang pada kenyataannya sering diperlakukan sebagai budak, maka menurut nya itu dikarenakan mafhum sebagian masyarakat di sana ( Saudi Arabia ) yang masih menganggap para pembantunya-sekaligus adalah budaknya. Dan tentu saja pemahaman ini adalah suatu kekeliruan. Begitu tandasnya.

Sedangkan di kita ( negri kita ) problem perburuhan ,menurut Bapak dua orang putra ini adalah masalah hak-hak dan kewajiban antara para buruh dan majikan yang belum jelas dan tepat. Antara hak dan kewajiban para buruh beserta majikan tidak pernah diungkapkan secara transparan di awal transaksi. Padahal menurut beliau, hal ini sesuatu yang urgen, bahkan dalam Islam, syah atau tidaknya suatu transaksi mesti diawali oleh aqad ( kesepakatan ) ini. Para buruh saat ini kebanyakan, hanya berfikir bagaimana dia bisa dapat pekerjaan tampa berfikir berapa upah yang seharusnya dibayar oleh si majikan dengan perkiraan manfaat yang diberikannya. Para buruh saat ini terlalu takut untuk menawar upah/gaji mereka kepada para pengusaha. Sehingga tidak terdapat bergaining power dari pihak buruh / pekerja. Dengan demikian pihak pengusaha atau majikan selalu berada pada posisi yang kuat dan cenderung semena-mena dalam memberlakukan buruh-baik dalam gaji maupun dalam tindakannya.

Kesalahan lain yang saat ini juga terjadi, menurut beliau adalah tuntutan para buruh kepada majikan / pengusaha agar mencukupi dan menjamin kebutuhan -kebutuhan nya,selain gaji-seperti kesehatan, keselamatan dan sejenisnya. Padahal menurut Engenering jebolan Universitas Indonesia ini, kewajiban itu seharusnya adalah tanggungan negara. Para pengusaha hanya berkewajiban membayar upah para buruh yang memang telah menjadi kesepakatan. Dan negaralah yang menjamin kebutuhan dasar lainnya. Saat ini khan kondisinya lain, menurut beliau-yang juga aktif -dalam dakwah islam di kantornya itu. Saat ini, pengusaha yang dituntut untuk memenuhi segala keperluan para buruh. Akhirnya pengusaha menaikkan harga produksinya, karena merasa telah mengeluarkan uang ekstra bagi para buruhnya. Harga-harga barang pun akhirnya menjadi melambung. Rakyat kecil juga yang terkena dampak susahnya !

Ketidak jelasan aqad kerja, selalu terjadi dalam alam perburuhan kita .Ini yang mengakibatkan praktek " perbudakan " sangat memungkinkan timbul--dalam pengertian --karena hukum-hukum perburuhan yang sebenarnya tidak dijalankan, maka yang akan terjadi adalah perbudakan. Eksplorasi manusia atas manusia. Dan ini adalah ciri kapitalis, begitu Ir.Ihsan mengakhiri wawancaranya dengan Dialog.

Pendapat berikut keluar dari orang yang memang berkecimpung secara langsung di dunia perburuhan, khususnya, yang berkaitan dengan masalah pengiriman TKW . Beliau adalah Ahmad Wahid.Spd. Menurut beliau, TKI, baik itu yang berpendidikan ( skillled ) maupun yang tanpa pendidikan ( Unskilled ) masih akan terus ada. Hal ini diakibatkan permintaan yang memang cukup banyak terhadap tenaga-tenaga tersebut. Setiap harinya perusahaan PJTKI di tempatnya bekerja selalu dipenuhi para pelamar, maupun yang telah ' mondok ' di sana ( khususnya wanita ). Belum lama ini saja ada sekitar 3.00-an pelamar yang harus diseleksinya, berkenaan dengan lamaran kerja ke Brunei Darusallam. Adanya suplai dan deman inilah yang membuat para TKI itu bermunculan. Dan itu, beliau yakini pasti akan menimbulkan masalah !

Beliau menuturkan bahwa KBRI kita di Riyadh ( Saudi ) pernah mengeluarkan sebuah laporan tentang nasib dan kondisi para buruh kita di sana ( sampai akhir Oktober 1997 ) telah terjadi sekitar 230-an kasus terhadap nakerwan kita, khususnya yang bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga ( PRT ). 60-70 % kasus tersebut adalah masalah pelecehan seksual. Baik yang sudah terjadi, maupun yang hampir terjadi. Kasus lainnya yang juga mendominasi derita para PRT di sana adalah tidak dibayarnya gaji mereka. Kalau sudah begitu, biasanya mereka ( para PRT ) kabur dari rumah majikan-nya. Dan hal itu malah yang sering menimbulkan masalah, karena biasanya mereka tidak berdokumen lengkap. Akhirnya kemungkinan mereka kena hukuman, baik denda maupun yang lebih berat dari itu.

Sewaktu ditanyakan kepada beliau, mengapa para TKW kita di sana sering mendapat perlakuan yang tidak baik , Beliau menjawab beberapa faktor melatarbelakangi penganiayaan dan perlakuan tersebut. Diantaranya adalah ketidak senangan majikan wanita kepada nakerwan kita. Dan biasanya yang sering memukul dan bermasalah dengan para PRT itu adalah mereka ( majikan wanita ) . Beliau juga mengiyakan kemungkinan adanya rasa " iri atau cemburu " yang melanda majikan wanita kepada para PRT dari nakerwan kita yang mungkin-maaf-diperlakukan " istimewa" atau bahkan dianggap sebagai budaknya, hingga bisa diperlakukan semaunya ( oleh majikan laki-laki).

Selain itu, perlakuan kasar para majikan mungkin timbul akibat lambannya pekerjaan si PRT dan "kekurang mampuan nya " dalam menerjemahkan kemauan si majikan. Atau tidak sedikit juga karena alasan si PRT yang memang " kriminal ". Menurut beliau dari data resmi di sana, saat ini tidak kurang sekitar 100.000 lebih TKW kita bekerja di Saudi, yang mereka ini dikirim oleh sekitar 152 PJTKI yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sebenarnya, prosedur keberangkatan para TKW ini cukup ketat diberlakukan di setiap PJTKI yang ada. Termasuk hal terpenting, yaitu surat izin dari suami atau dari orang tua ( bagi yang belum menikah ) sebelum mereka di kirim ke nagara pengguna jasa mereka. Namun sayangnya syarat ini seringkali tidak dipatuhi oleh para calon TKW. Karena berbagai 'alasan kepentingan' mereka pun banyak yang memalsukan surat izin tersebut. Akhirnya pihak perusahaan hanya bermodalkan percaya untuk kemudian memberangkatkan TKW tersebut. Paling-paling beberapa bulan kemudian, datang suami dari si nakerwan, mencak-mencak dan menuntut perusahaan agar segera mengembalikan istrinya. Ini kan repot jadinya. Begitu lah suka dukanya bekerja di PJTKI, ungkap beliau lagi.

Secara psikologis , para nakerwan yang tampa izin suami berangkat ke sana, berpeluang besar mengkondisikan pelecehan seksual pada dirinya. Hal ini dikarenakan kemauan kerja tersebut, biasanya tampa dirundingkan terlebih dahulu atau bahkan sebagai pelarian atau sakit hati di kampungnya atau bisa juga karena pertengkaran dengan suaminya. Ditambah taqwa individu yang lemah, maka jadilah nakerwan ini berpeluang secara psikologis untuk dilecehkan oleh majikannya. Bahkan , bukan tidak sedikit yang berpura-pura menjadi TKW atau nakerwan, padahal sebelumnya profesi mereka adalah WTS, Mereka tergiur dengan uang yang banyak dari para majikan di Saudi yang memang terkenal kekayaannya. Hal ini diketahui setelah beberapa TKW dan nakerwan gadungan itu pulang ke tanah air dan dengan 'bangga' menceritakan pengalamannya. Sungguh ironis.

Menurut Saudara Ahmad Wahid , hal inilah yang membuat 'gayung bersambut'. Para majikan di sana , memang tidak seluruhnya berpemahaman bahwa semua pelayan-nya adalah juga 'budak'nya. Tetapi dengan peluang-peluang yang ada, maka praktek-praktek a susila sangat besar kemungkinannya terjadi. Hal ini masih di dukung dengan tertutupnya sistem rumah tangga di sana. Hampir bisa dipastikan seseorang tidak akan mengetahui, apa yang terjadi pada rumah tetangganya ( mirip rumah-rumah komplek mewah di negri kita ). Maka makin klop lah suasananya.

Hukum di Saudi, walau tidak secara penuh menerapkan Islam, sebenarnya tergolong ketat dan 'berwibawa'. Setiap majikan yang tertangkap basah menganiaya buruhnya sampai mengeluarkan darah, maka si majikan akan di hukum berat, yaitu denda dan kurungan selama 6 bulan. Apalagi untuk penganiayaan berat dan pemerkosaan. Maka hukumnya bisa sampai pada kematian. Tapi semua itu membutuhkan saksi-saksi untuk dapat menyeretnya ke pengadilan. Inilah yang menyulitkan !

Sanksi bagi para buruh atau PRT di sana, juga diakui lebih banyak dilakukan langsung oleh para majikan tampa memprosesnya di pengadilan. Perasaan memiliki secara penuh jiwa dan raga para PRT oleh sang majikan adalah penyebab utamanya. Kalau sudah demikian sebenarnya tidak berbeda lagi dengan perbudakan. Hanya tinggal taqwa individu para majikan di Saudi sajalah yang memegang peranan penting. Namun apakah itu cukup di zaman seperti ini ? Begitu kepada Dialog beliau mengakhiri perbincangan.

Begitulah nasib kaum buruh, masih saja keruh. Lihat saja hasil kerja tim riset dan data Dialog kali ini. Sewaktu ditanyakan kepada para responden , apakah upah / gaji yang diberikan kepada mereka sesuai dengan beban pekerjaan mereka?. Maka 81,81 % dari sekitar 22 responden yang kami tanyai menjawab tidak layak atau tidak sesuai. Kebanyakan mereka digaji terlalu rendah. Bahkan untuk kepentingan hidup bulanannya, mereka masih harus berhutang di sana-sini. Sungguh ironis.

Apakah mereka ( para buruh ) juga sering mendapat perlakuan tidak manusiawi ( seperti di siksa, dipermalukan dan sejenisnya ) atau bahkan mendapat pelecehan seksual ( khususnya bagi yang wanita ). Maka jawab para responden yang rata-rata buruh pabrik di kawasan-kawasan industri ini cukup bervariasi. Sekitar 4,44 % dari mereka mengatakan sering mendapat perlakuan di atas. Sedangkan 45,45 % nya memberikan jawaban sukup sering mendapatkan perlakuan tidak senonoh tersebut. Dan 50 % nya mengatakan tidak pernah mendapatkannya.

Pertanyaan lain yang juga kami ajukan adalah , Apakah sanksi yang diberikan kepada mereka sesuai dengan tingkat kesalahan yang dibuat. Maka tidak satupun responden yang menyatakan kesesuaian tingkat sanksi tersebut. 45,45 % menyatakan bahwa sanksi yang diberikan kadang-kadang cukup sesuai tetapi lebih banyak tidaknya. Dan 54,55 % dari responden menyatakan tidak sesuai antara sanksi yang mereka dapat dengan kesalahan yang mereka perbuat.

Begitulah kondisi menyedihkan para buruh kita. Perlakuan terhadapnya masih sering tidak manusiawi. Padahal keberadaan mereka sangatlah dibutuhkan. Mereka masih sering mendapat siksaan semau para pengusaha ( ingat kasus Marsinah ! ) Gaji mereka sering tidak layak. Dan mereka sering kali mendapatkana pelecehan seksual. Kalau begitu apa bedanya mereka dengan budak ?

Maka, sistem kehidupan suatu kaum atau bangsa jelas menjadi penentu nasib para buruh ini. Semua berpulang kepada kita semua, mampukan kita mendefinisikan ulang posisi buruh, sehingga nasibnya tidak lagi keruh seperti ini !