Geger berita pemancungan tenaga kerja Indonesia ( TKI ) , Nasiroh di Arab Saudi, tak pelak lagi telah memicu sejumlah persoalan di seputar ' pahlawan devisa ' ini. Bak gelinding bola salju, persoalan-persoalan di seputar TKI pada khususnya dan buruh pada umumnya-terus bermunculan dan menjadi perbincangan menarik.
Tindakan spontan pemerintah- memulangkan ribuan TKI yang terkena sanksi kelebihan waktu izin tinggal ( over stay ) juga tidak luput dari pro dan kontra masyarakat. Pemerintah dianggap hanya ingin menangguk devisa tanpa perduli derita si TKI. Ini juga memicu kejengkelan beberapa pihak dan kemudian mengusulkan agar pengiriman TKI ( terutama wanita / nakerwan ) dihentikan saja. Karena hanya akan membuat masalah dan mencerminkan bahwa bangsa ini adalah bangsa budak-yang hanya bisa ekspor pembantu ( budak ? ).
Sementara itu, daftar TKI bermasalah semakin panjang saja-sepanjang penderitaan mereka.( Lihat tabel TKW yang Teraniaya ). Diantara mereka ada yang di deportasi, meninggal tampa diketahui penyakitnya, bunuh diri atau loncat dari tingkat teratas rumah majikannya sampai gaji yang tidak dibayar dengan semestinya. Mereka juga kerap dilecehkan secara seksual-bahkan di 'kerjain' oleh sebagian majikan karena dianggap sebagai ' budak- nya ' ( lihat juga artikel Buruh bukan Budak ). Derita terakhir kaum TKI adalah ancaman penjara atau bahkan hukuman pancung-yang juga nyaris menimpa Nasiroh. Begitulah kisah sedih para TKI ini.
Kabid Imigrasi KBRI Malaysia, Hamsuk Santawijaya , mengatakan bahwa saat ini masih ada sekitar 6.000 tenaga kerja Indonesia ( TKI ) ilegal yang ditahan di delapan pusat tahanan Imigrasi Malaysia. ( Republika, 21 -11-1997, ).
Sedangkan menurut Mennaker Abdul Latief , ada sekitar 150.000 WNI tinggal selama beberapa tahun di Arab Saudi tampa dilengkapi dokumen yang sah. Jumlah ini menurutnya sangat mengejutkan sebab semula jumlahnya ditaksir hanya 15.000 orang saja. ( Kompas, 16-11-1997 ).
Walhasil, bagaimanakah mengatasi masalah
TKI ini ? dan apa akar permasalahan yang seharusnya dipecahkan
?
_______________________________________________________________
Contoh TKW Yang Teraniaya di Arab Saudi di Tahun 1997
_______________________________________________________________
Nama Asal PJTKI Keterangan
St.Ropiah Karawang PT Duta Kusama Bunuh diri
Solikhi Malang PT Adromeda Hukum Pancung
Uum Khumayah Karawang - Gila
Eias binti Enib Karawang PT Hikmah Dianiaya
Nurhaeni - - Disiksa
Siti Nonah Karawang PT.Duta Wijaya Perkosaan
Yayah Rokayah Karawang PT.Sekar Tanjung Disiksa
Tacih bint Nalim Karawang PT Husana AK Hampir dibunuh
Tasih Kuningan - Disiksa
Kokom Karawang PT Doman CN Pelecehan seks
Imas bin Amat Karawang - Gila
Adminah Banyumas PT Duta Wibawa Disiksa
Nasiroh Cianjur PT Avia Aviaduta Diancam
pancung
_______________________________________________________________
Sumber : Diambil dari Solidaritas Perempuan berdasarkan koresponden di Arab Saudi,yang dikutip oleh ' Mimbar Pekerja '
MEREKA INGIN HIDUP LAYAK !
Secara alami, manusia akan terdorong untuk mencurahkan tenaga sehingga bisa menghasilkan harta yang akan dipergunakannya untuk menyambung hidupnya. Sementara itu kebutuhan-kebutuhan manusia itu sangat beragam dan tidak mungkin terpenuhi dengan mengisolasi diri dari sesamanya. Oleh karena itu sesuatu yang sangat wajar apabila dalam hidup seseorang dalam suatu masyarakat terjadi saling tukar menukar hasil tenaganya dengan tenaga orang lain atau antara tenaganya dengan harta. Dari sinilah, maka pertukaran tenaga manusia itu pasti akan terjadi.
Dorongan sebagian besar TKI dan buruh untuk bekerja-menyabung nyawa-di mancanegara, tampaknya tidak jauh dari faktor utama di atas. Keinginan untuk memperbaiki taraf kehidupan sebagian besar masyarakat kita cukup tinggi. Hal ini ditunjang oleh beberapa kondisi dan situasi yang kondusif-mendorong orang beramai-ramai ke luar negari-terutama negara-negara yang telah di kenal memberikan upah relatif tinggi.
Situasi dan kondisi itu antara lain ;
1. Sulitnya mencari pekerjaan
Problem ini sebenarnya bukan monopoli negara-negara berkembang saja, melainkan telah menjadi problem ekonomi dunia secara keseluruhan. Hasil laporan Pembangunan Manusia ( Human Development Report ) untuk UNDP menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dunia yang tidak seimbang dan tidak manusiawi mengakibatkan 35 juta orang di negara maju menganggur. Dan untuk negara berkembang angkanya tentu lebih besar lagi. Bahkan masih menurut laporan yang diterbitkan oleh Oxford University Press dinyatakan dalam beberapa kasus manusia menjadi lebih miskin dibandingkan 30 tahun sebelumnya dengan hanya sedikit harapan. ( lihat Bulettin Ekonomi Alternatif, edisi September 1996 )
Sebagai contoh kasus, Jerman yang dikenal sebagai negara Industri maju, saat ini memiliki jumlah pengangguran mencapai 4.316 juta orang. ( lihat Kompas, 15-11-1997 )
Di tanah air tingkat penganggurang juga sudah mencapai taraf yang memprihatinkan. Saat ini diperkirakan sekitar 2,5 Juta orang membutuhkan lapangan pekerjaan. Dan pertumbuhannya pun sangatlah tinggi, yaitu 17 % per tahun dan untuk kota besar mencapai 40 % per tahun nya. ( lihat Kompas, 1 Desember 1997 ).
Kesulitan mencari pekerjaan ini semakin menjadi-jadi terutama setelah ' Krisis Moneter ' terjadi di negara-negara Asia. Kita lihat saja akibat yang sudah mulai terasakan. 2.000.000 pekerja di bidang konstruksi terancam kehilangan pekerjaannya akibat krisis moneter. Setelah 16 Bank di likuidasi, 8.000 karyawan Bank terancam menganggur. 2.000 pekerja properti kini pun mulai menganggur. Dan ribuan lagi bakal kena PHK akibat perampingan pekerja yang dilakukan perusahaan-perusahaan untuk menghemat biaya yang melonjak akibat kemerosotan nilai rupiah. Semua ini tentu akan menambah angka pengangguran yang memang sudah tinggi .
Kesulitan mencari pekerjaan , mencangkup
sedikitnya lapangan pekerjaan dibandingkan pelamar- termasuk juga
persaingan yang keras dan tidak sehat . Sudah menjadi rahasia
umum bila di negri ini butuh uang jutaan rupiah untuk bisa menduduki
pekerjaan-pekerjaan di pemerintahan, BUMN ataupun swasta. Hal
ini membuat alergi calon pekerja yang memang pas-pas-an ekonominya.
Terlebih bagi mereka yang tidak punya ketrampilan dan pengetahuan
apapun-kecuali tenaga -untuk mencari kerja di negri sendiri-sangatlah
sulit. Kelompok berpendidikan rendah akhirnya harus rela tersisih.
Menjadi orang-orang pinggiran. Akhirnya negri tetanggalah yang
menjadi harapan.
2. Upah yang tinggi.
Masalah upah yang tinggi, hampir bisa dipastikan menjadi motif utama, para nekerwan dan TKI lainnya untuk berangkat ke luar negri. Siapa yang tidak tergiur bila untuk pekerjaan menjadi koki masak saja ( di Brunei ) di hargai 5 juta rupiah perbulannya. Ini berarti sekitar 166 ribu perharinya. Gaji seorang PRT di Hongkong mencapai 500 dolllar AS atau sekitar 1,5 juta lebih. Sementara itu, pekerja pabrik di Taiwan gajinya bisa mencapai Rp 3,5 Juta per bulan. Ini belum termasuk kerja lembur mereka.
Sekarang coba kita bandingkan dengan gaji pegawai negri Golongan .II B ( lulusan sarjana ) di negri ini yang hanya dibayar / digaji sekitar 150-200 ribu per bulan nya. Padahal mereka semua adalah orang-orang yang pendidikannya tinggi. Sarjana ! Apalagi bagi yang tidak berpendidikan. Tentu lebih rendah upah atau gaji yang didapatnya.
Seorang buruh tani di Cirebon, hanya di bayar Rp 4.000 perhari. Sedangkan menjadi buruh bangunan di Jakarta di upah antara Rp 5.000-8.000 per hari. Padahal menjadi pembantu Rumah Tangga ( PRT ) di Saudi Arabia atau di Malaysia bisa mengantongi sekitar 2-3 juta perbulannya. Buruh paling kasar di Malaysia bisa dihargai sekitar 10 sampai 15 ringgit per hari. Itu sama saja dengan 10 atau 15 ribu rupiah per harinya ( kurs tertanggal 25-11-1997 ). Sungguh suatu iming-iming yang menggiurkan para pekerja.
Suatu kenyataan pula, bahwa permintaan terhadap tenaga kerja 3D ( dirty, difficult , and dangerous ) yang akrab dengan pekerjaan kotor, sulit dan berbahaya sangatlah tinggi. Negara-negara berkembang dan negara-negara industri baru, setelah menjalankan kapitalisme industri ,otomatis membutuhkan tenaga kerja 3D ini. Jenis pekerjaan ini membuka banyak lowongan dengan berbagai sebutan diantaranya pembantu rumah tangga , sopir, pekerja kasar pabrik sampai ke pekerja perkebunan. Maka klop lah kondisi ini bagi sebagian besar pencari kerja kita. Mereka yang sudah merasa ' kalah ' dalam persaingan mencari pekerjaaan di negri sendiri, atau yang memang lebih tergiur dengan upah yang lebih tinggi dari negara tetangga-segera memilih hengkang ke negri tetangga. Segala rintangan dan hambatan pun menjadi nomor dua di benak mereka. Yang utama adalah, bagaimana caranya bisa bekerja dan bawa uang sebanyak-banyaknya nanti.
Kisah sukses, TKI yang mencoba nasib di
negri orang ( karena upah tinggi ) juga ikut memicu derasnya gelombang
pekerja kita ke luar negri. Menurut Haji Ikhsan Jafar-pengusaha
umroh dan ONH plus -yang berpusat di Cianjur, para TKI yang bekerja
di Saudi terbukti dapat mensejahterakan diri mereka dan keluarganya.
Ia melihat sendiri, rumah-rumah mereka yang mewah dan mereka punya
banyak sawah. Masjid dan sarana jalan pun mereka perbaiki. Kehidupan
dan martabat mereka bertambah baik. Ini membuat yang lain ingin
mencobanya. Terlebih setelah mereka menyadari bahwa di kampung
mereka sendiri, tanahnya gersang dan mereka pun sudah tidak lagi
memiliki sawah. Sawah-sawah mereka kini sudah menjadi milik orang
kota !
MENGAPA TERJADI PETAKA
Bila kita mengikuti perkembangan perbincangan
mengenai permasalahan TKI, maka hal-hal yang sering menjadi '
kambing hitam' permasalahan TKI diantaranya adalah :
1. Visa Umroh
Tim TKI DPR menyimpulkan visa umroh merupakan
penyebab TKI di negri Arab sengsara. Penyalah gunaan visa umroh,
kata ketua Tim TKI DPR Mayjen TNI Samsoedin, jelas
telah menyebabkan makin banyaknya TKI bermasalah. ' Seharusnya
mereka kembali lagi ke tanah air, tetapi realitanya banyak yang
menetap sehingga menimbulkan masalah TKI ilegal' ( lihat Republika,
). Adakalanya pengguna visa umroh ini ingin men-siasati biaya
haji dengan ONH yang sudah ditetapkan pemerintah. Sehingga dengan
visa umroh yang cuma berumur 14 hari itu-kemudian menunggu sampai
musim haji tiba. Nah, ketika menunggu itulah, mereka mencari sambilan
pekerjaan. Lalu keterusan ( dan merasa ' untung' ) akhirnya
menjadi profesi . Dari sini kemudian tersebar informasinya akan
kemudahan dan untungnya bekerja di sana. Maka berbondong-bondonglah
pengikut jejak mereka.
2. Masuk secara ilegal
Telah dikenal umum, bahwa TKI ada yang legal dan ilegal. Keberadaan TKI ilegal inilah yang terus diburu dan dianggap sering menimbulkan masalah. Mereka juga mendapat julukan yang tidak enak di dengar yaitu ' pendatang/tenaga kerja haram'. Ketidak legal-an mereka biasanya diukur dengan prosedur keimigrasian sewaktu masuk ke negri tujuan.
Mereka dikatakan masuk secara tidak resmi ( karena
tidak melalui prosedur imigrasi ) , tidak membawa dokumen perjalanan,
atau mereka membawa dokumen tetapi tidak melalui 'pintu' resmi.
Kondisi inilah yang oleh Mendagri Saudi Nayef bin Abdul
Aziz akan ditertibkan. Dia mengumumkan akan memenjarakan
mereka maksimal 6 bulan atau denda maksimal 100 000 reyal atau
Rp 90 juta lebih ! ( lihat Republika , 18-10-1997 )
3. Rendahnya pengetahuan Buruh /TKI
Pendidikan yang rendah, ketrampilan yang terbatas serta tidak mampunya berbahasa Arab ( untuk TKI di Saudi ) serta memahami adat istiadat setempat , sering dianggap sebagai faktor penting dalam timbulnya permasalahan para TKI ini. Kebanyakan TKI kita bermodal nekat , bekerja tampa mempunyai kualifikasi atau keterampilan kerja yang mencukupi . Akibatnya mereka sering mendapatkan perlakuan semena-mena dari majikannya dan mereka hanya diam saja, tidak tahu harus bagaimana, apalagi berusaha untuk mendapatkan hak perlindungan hukum. Apalagi kepada TKI 'ilegal' , para majikan sering mengancam mereka akan dilaporkan kepada imigrasi bila tidak menuruti perintah nya.
Bekal pengetahuan yang bersifat administratif
pun sangat kurang di miliki oleh TKI. Sehingga sewaktu formulir-formulir
di sodorkan kepada mereka , mereka tidak mampu mengisinya-dan
menpercayakan begitu saja kepada orang lain atau petugas untuk
mengisinya.
4. Sistem yang buruk
Instrumen pengaturan yang lemah dari sistem UU, juga sering menjadi alasan timbulnya permasalahan TKI. Saat ini yang dimiliki pemerintah hanyalah UU no.25 Tahun 1997. UU tersebut mengatur TKI dalam garis besarnya saja, karena UU itu tak memuat tentang pengaturan kontrak antara TKI dengan majikan , mekanisme penyelesaian konflik antara TKI dengan majikan atau pemberian jaminan keamanan dan perlindungan dalam bekerja. Ini semua masih sangatlah kurang. Padahal persoalan buruh dan ketenagakerjaan sangatlah kompleks dan butuh aturan main yang jelas !
Ironisnya lagi UU Ketenagakerjaan ( UU Naker ) -yang belum selesai itu-saat ini bermasalah . Bahkan tidak kurang dari Ketua Fosko 66 Eben BAF dan Ketua DPP Ikadin Mohammad Assegaf menyatakan bahwa UU naker itu harus dianulir dan dibatalkan demi hukum, keadilan dan kepentingan kaum pekerja karena dibuat secara kolutif, merugikan rakyat pekerja dan sangat lemah bobotnya sehingga sangat diragukan keabsahannya.
Kurangnya koordinasi antara Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia ( PJTKI ), PJTKA ( Asing ), Atase Ketenagakerjaan maupun Konsul Jendral RI dan Depnaker serta Deparlu-sering pula dianggap menjadi penyebab TKI bermasalah. Kurangnya koordinasi ini semakin memperburuk sistem TKI dari mulai mempersiapkan-sampai pulang kembali. Di sinilah kemudian peran calo disebut-sebut-menambah ruwetnya masalah TKI. Percalo-an TKI sudah semakin merajalela . Mereka berperan memalsukan identitas TKI, sampai memberangkatkan TKI ke negri asal tujuan. Koordinasi antar aparat pemerintah terkait-Depdagri, Depnaker dan Dephankam- menjadi sasaran untuk segera dibenahi. Namun akan selesaikah permasalahan TKI yang bak 'benang kusut 'ini ?
Seperti yang diungkapkan Hamsuk Santawijaya, Kabid Imigrasi KBRI di Malaysia, ' entah sampai kapan masalah ini ( ketenagakerjaan ) akan berakhir. Untuk menyelesaikannya pun, saya tidak tahu lagi memulai dari mana dan apa dulu yang mesti dikerjakan' ?
SOLUSI ISLAM, KELUAR DARI KEMELUT
Sudah menjadi ciri khas Islam, bila menyelesaikan masalah maka tidak akan menimbulkan masalah yang baru. Ini dikarenakan Islam selalu melihat masalah tidak hanya sekedar masalah itu sendiri. Melainkan selalu mengkaitkannya dengan sisi manusia-nya sebagai subjek sekaligus objek permasalahan itu sendiri.
Manusia, adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Allah SWT telah menciptakan manusia terdiri dari pria dan wanita dengan suatu potensi ( vitalitas ) hidup. Potensi tersebut berupa kebutuhan jasmani , seperti rasa lapar, haus dan lain-lain. Allah SWT juga telah menjadikan pada manusia naluri ( insting ) yang antara lain naluri mengagungkan sesuatu ( beragama ), naluri mempertahankan diri dan naluri melestarikan jenis ( seksual ). Selain potensi -potensi ini, Allah juga memberikan akal sebagai kekuatan berfikir dan alat untuk memilih dan menentukan setiap tindakannya. Adakalanya akal manusia dapat mengangkatnya menjadi lebih mulia diabandingkan makhluk lainnya. Akal juga mampu mengantarkan manusia untuk memperbaiki mutu kehidupannya, dirinya bahkan mampu untuk menaklukkan dan memanfaatkan alam semesta, benda-benda di dalamnya, tumbuhan serta hewan. Tentu saja semua ini berlaku bila akal tersebut digunakan sesuai dengan tabiat penciptaannya.
Kebutuhan memenuhi potensi hidup pada manusia inilah yang kemudian dikenal dengan kebutuhan asasi bagi setiap manusia, yaitu sandang ( pakaian ) pangan ( makanan ) dan papan ( tempat tinggal ) ( Lihat Abdurrahman Al-Malikiy dalam As-Siyaasatul Iqthishadiyatul Muthsla ).
Syariat Islam yang mulia telah menjelaskan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan dasar manusia di atas, yaitu melalui beberapa hukum di bawah ini :
1. Kewajiban bekerja untuk mencari nafkah bagi laki-laki dewasa yang mampu
2. Kewajiban bagi ayah untuk menafkahi istri dan dan anak-anaknya.
3 Kewajiban bagi anak laki-laki menafkahi orang tuanya ( apabila mereka sudah tidak mampu)
serta kerabat dekatnya yang termasuk ahli waris apabila ia masih memiliki kelebihan harta
4. Kewajiban nafkah harus didahulukan daripada kewajiban membayar hutang
5. Kewajiban negara memaksa orang yang wajib bekerja guna menafkahi tanggungannya
6. Kewajiban negara memikul nafkah bagi siapa saja yang tidak mampu malalui Baitul Maal
Dari sini jelas, bagaimana solusi Islam
dalam rangka memenuhi kebutuhan asasi manusia. Bekerja ( apa
saja -sepanjang halal ) adalah langkah pertama yang harus dilakukan
oleh seorang muslim dalam rangka memenuhi kewajibannya. ( lihat
juga artikel Wanita bekerja dalam Islam ). Jika tidak
ada lapangan pekerjaan , maka pemerintah wajib menyediakannya
sebagai salah satu kewajibannya dalam memelihara urusan dan kepentingan
rakyat ( ri'ayatusy syu'un ). Jika seseorang tidak mampu
lagi bekerja, maka keluarganya wajib memberinya nafkah. Jika tidak
ada satu pun dari keluarganya ( dan ahli warisnya ) yang mampu,
maka kewajiban memenuhi kebutuhan dasar itu jatuh ke pundak negara.
Karena negara dalam Islam memang bertugas memelihara urusan rakyatnya.
Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rosulullah SAW :
" Setiap pemimpin adalah penanggung jawab dan ia bertanggung jawab atas ( urusan ) rakyat yang dipimpinnya ."
( HR Ahmad, Syaikhan , Tirmidzi, Abu Daud dari
Ibnu Umar )
Dari sinilah kita bisa memahami mengapa Islam menganjurkan agar politik perekonomian ditujukan bagi tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok untuk setiap individu rakyat secukup-cukupnya, dan memberikan kesempatan mendapatkan kebutuhan pelengkap dalam batas-batas wajar, sebatas kemampuannya.
Dari sini jugalah akhirnya kita mengetahui mengapa Islam memandang problem ekonomi dunia saat ini adalah masalah pembagian kekayaan ( distribusi ) dan penggunaannya bagi rakyat, bukan masalah bagaimana menaikkan pendapatan perkapita ( pertumbuhan ) saja. ( lihat An Nabahaniy dalam An Nizham Al Iqthishadi fil Islam ).
Faktanya saat ini, penduduk Amerika dan Eropa Barat yang jumlahnya tidak lebih dari 16,5 % penduduk dunia menguasai 2/3 kekayaan dunia. ( World Bank Report, 1979 ). Andre Gunder Frank melukiskan penguasaan ekonomi sebagai berikut ; 30 negara maju yang berpenduduk kurang dari 20 % penduduk dunia pada tahun 2000 akan menguasai 90 % pendapatan dunia, sumber keuangan, produksi baja, pruduksi iptek dunia. Delapan dari negara-negara itu menguasai 80 % produksi manufaktur dunia, dengan rincian Jerman Barat 21 %, Amerika Serikat 17 %, Jepang 14 %, Inggris, Perancis dan Italy masing-masing 8 % dan Kanada 4 % . ( lihat Journal of Internasional Study Vol. &. hal.153 ).
Padahal dalam Islam masalah pemerataan dan pemenuhan kebutuhan asasi bagi setiap individu rakyat menjadi prioritas utama. Sehingga rakyat menjadi tentram dan tenang hidup dalam naungannya.
Dalam Islam, sekalipun negara telah menjamin semua kebutuhan pokok umat/rakyat yang tidak mampu bekerja, tidak berarti masyarakat yang berkecukupan hanya tinggal diam. Sudah menjadi tradisi dan sifat kaum muslimin untuk menolong dan menyantuni si lemah. Hal ini terlebih lagi didorong oleh keinginan mendapatkan pahala dari Allah sebanyak-banyaknya-seperti yang dijanjikan -baik melalui ayat-ayat Al-Qur'an maupun hadist-hadist.
Seperti firman Allah SWT ini :
" Mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan."
( QS Al Insan : 8 )
"...( Dan ) tolong menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebaikan dan taqwa, serta janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran."
( QS Al Maidah : 2 )
Juga beberapa hadist Nabi SAW ini :
" Orang yang ( berusaha) membantu janda dan orang miskin bagaikan pejuang fisabilillah, bahkan ia laksana orang yang tidak pernah berhenti shaum dan senantiasa bangun ( untuk ) shalat malam ."
( HR Bukhari dan Muslim )
" Siapa saja yang memiliki lahan, maka ia harus menggarapnya. ( Apabila tidak mampu ), maka hendaklah ia menyerahkan tanah tersebut kepada saudaranya ( siapa saja diantara kaum muslimin ). Apabila ia tidak mau ( memberikannya ), maka ia harus mengolahnya sendiri."
( HR Bukhari dan Muslim )
Kenyataan tradisi saling tolong menolong dan menyantuni yang lemah seperti di atas, sudah barang tentu telah menjadi barang langka saat ini. Bahkan tidak sedikit yang me- mustahil- kan kondisi di atas. Hal ini bisa dimaklumi, melihat kehidupan saat ini segala sesuatunya dilihat dan ditimbang berdasarkan materi semata. Paham kehidupan materialistik dan hedonistik telah mencerabut akar-akar kemuliaan syariat Islam yang ada pada kaum muslimin. Yang tinggal hanyalah sisi-sisa dan kenangannya saja. Kesemuanya tergantikan oleh pola hidup saling mementingkan kehidupan pribadi, bersaing dengan menghalalkan segala cara dan tidak perduli penderitaan sesamanya. Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar dari negara hanya menjadi angin surga yang tak kunjung tiba. Padahal kekayaan alam kita sangatlah lebih dari cukup.
Tidak seperti di beberapa negara Barat, ( Jerman dan Australia, contohnya ). Mereka menjamin para pengangguran dan beberapa warga negara yang memang tidak mampu-sehingga banyak orang yang mengganggap negara-negara Barat itu lebih Islami ketimbang negara-negara kaum muslimin sendiri. Dan tentu saja anggapan itu adalah sebuah kekeliruan ! ( lihat juga dalam Dialog Utama ).
Akhirnya gelombang TKI yang ingin mengadu nasib di negri lain menjadi tak terbendung. Karena memang suatu kenyataan, negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai bagi rakyat yang memang sangat membutuhkan. Bandingkan dengan Hongkong yang akan menggelar proyek senilai 20.945 milyar dollar AS meliputi pembangunan pangkalan udara baru, pembangunan jaringan telepon fiber optic. Semua ini tentunya menyedot tenaga kerja besar yang potensial bagi para TKI kita ( lihat Business week edisi November 1994 ).
SIAPA YANG DISEBUT DENGAN BURUH
Pangkal masalah TKI/buruh juga timbul dari kesalah pahaman dalam mendefinisikan siapa itu buruh ? Buruh , yang dalam istilah lainnya work man atau labourer ( lihat kamus lengkap W.J.S Poerwadarminta ) lebih sering dinisbatkan pada para pekerja kasar / pabrik , para Pembantu Rumah Tangga ( PRT ) atau segala jenis pekerjaan yang masuk kategori 3D. ( dirty, difficult and Dangerous )
Dalam Kamus Hukum, karya J.C.T Simorangkir SH, Buruh diartikan sebagai orang yang bekerja di bawah perintah orang lain dan mendapat upah.
Keberadaan buruh juga tidak bisa dilepaskan dari sistem perekonomian dan sosial budaya suatu bangsa/masyarakat. Dimana masyarakat dan Bangsa tersebut dengan segala aturannya telah memberikan defenisi dan ketentuan tentang siapa itu buruh. Sehingga sering terjadi pula pemberlakuan buruh disamakan dengan budak, yang bisa dimiliki dan dimanfaatkan sekehendak tuan / majikannya. ( Lihat pula dalam artikel Buruh bukan Budak ! )
Sedangkan dalam syariat Islam, yang dimaksud dengan buruh/ pekerja adalah tiap orang yang bekerja dengan upah ( honor ) tertentu. Baik yang mengontrak itu adalah pribadi, swasta / jama'ah maupun negara. ( lihat An Nabhaniy dalam An Nidzam Al Iqthishadi fil Islam ). Oleh karena itu dalam Islam pemberi jasa atau pekerja ( di sebut dengan Ajiir ) mencakup orang yang bekerja dalam bidang kerja apapun -tampa dibedakan-apakah dia pekerja/pegawai negara maupun yang lainnya. Sehingga pegawai negara, pegawai kantoran, pegawai pribadi , masing -masing adalah pekerja .Petani adalah pekerja/ajiir , buruh-buruh pabrik adalah pekerja , akuntan adalah pekerja, pegawai negri adalah pekerja dan mereka masing-masing adalah pekerja .Semuanya layak diberlakukan hukum-hukum kerja bagi mereka. Mereka layak mengetahui jenis dan bentuk pekerjaannya ( job description ). Seberapa besar tenaganya akan dikerahkan ( skill ). Berapa gaji bersihnya ( take home pay ). Dan kapan batas waktunya ( timing ). Keempat hal ini sebagai pokok-pokok kontrak kerja wajib mereka ketahui dan mereka sepakati sebelum mereka memulai pekerjaannya. ( lihat juga artikel Upah Buruh, Bagaimana Seharusnya ? ).
Dari sini akan menjadi jelas bahwa keberadaan buruh atau pekerja adalah sesuatu yang lumrah dan layak terjadi dalam suatu masyarakat. Hal ini dikarenakan kebutuhan manusia akan manusia lainya tidak terelakkan. Manusia saling membutuhkan. Dan tidak ada seorang pun yang mampu memenuhi semua kebutuhannya sendiri. Maka pertukaran jasa dan tenaga ini dengan suatu imbalan pasti akan terjadi dalam masyarakat manapun.
Bahkan sebenarnya keberadaan kaum buruh
yang mau menangani pekerjaaan katagori 3D sangatlah menolong dan
dan dibutuhkan orang-orang yang berkecukupan. Karena tampa ada
mereka,, niscaya tidak akan terselesaikanlah beberapa persoalan
dan beberapa pekerjaan. Bahkan dalam pandangan Islam, kaum lemah
( dlu'afa ) yang sering berposisi sebagai buruh / TKI ini-lah
yang sebenarnya menolong dan memberi rezqi orang-orang kaya.
Hal ini sebagaimana Sabda Rosulullah SAW :
" Dan sesungguhnya kalian mendapatkan rezqi serta kemenangan karena adanya kaum dlu'afa"
( HR An Nasa'i )
" Sesungguhnya Allah telah memenangkan umat ini dengan adanya kaum dlu'afa, karena do'a-do'a, shalat dan keikhlasan mereka "
( HR An Nasa'i )
Sekedar catatan, pada Pelita IV lalu-dengan TKI sebanyak 292.262 orang ( 76,5 % kerja di Saudi )-berhasil meraup devisa sebesar 363.295.605 dollar AS atau sekitar 835,7 milyar. Pada pelita V lalu, dengan TKI sebanyak 558.287 orang, berhasil mencapai devisa sebesar 934.585.032 dollar AS atau sebesar Rp 2 triliyun. Dan tahun 1997 ini hingga September lalu, jumlah devisanya mencapai 2,3 milyar dollar AS. Sungguh menakjubkan !
Namun yang menjadi persoalannya kemudian adalah bagaimana hukum-hukum " Kontrak Kerja" itu bisa di tegakkan dan direalisir dengan semestinya, sehingga nasib buruh tidak selalu suram. Sehingga devisa yang mereka hasilkan tidak hanya dibayar oleh derita yang mereka terima. Di sinilah dibutuhkannya aturan main atau sistem yang jelas sehingga posisi buruh dan majikan / tuan menjadi proporsional.
Buruh / pekerja seharusnya memiliki pula kekuatan tawar -menawar sebelum ia bekerja. Karena keridloan dua belah pihak dalam transaksi kontrak kerja mutlak di butuhkan. Tidak diperbolehkan seseorang bekerja dengan orang lain atas suatu paksaan dan tekanan tertentu. Karena para buruh / pekerja adalah orang-orang yang merdeka-yang memiliki hak-hak sebagai rakyat dan warga negara dan tentu kemuliaan dan kehormatannya sama dengan orang-orang merdeka lainnya.
Dalam pandangan Islam, aqad-aqad kontrak dan transaksi haruslah jelas, tidak ada unsur penipuan dan sejenisnya. Sehingga tercapailah keinginan dua belah pihak yang saling membutuhkan itu, sekaligus diridlai oleh Allah SWT. Itulah keistimewaan pengaturan kontrak kerja dalam Islam.
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian
awal dalam tulisan ini, kita tidak memiliki aturan yang jelas
tentang hukum-hukum 'kontrak kerja ' dan perburuhan . UU yang
ada , yakni UU no : 25 tahun 1997 hanya mengatur TKI secara garis
besarnya saja. Sedangkan UU ketenaga kerjaan yang ditunggu-tunggu
masih bermasalah dan belum bisa disahkan. Sistem yang lemah dan
rusak inilah yang lalu dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Menangguk keuntungan di atas penderitaan yang
lainnya. Sungguh Ironis.
UNIVERSALISME ISLAM, GLOBALISASI BURUH
Ada suatu kejanggalan sedang terjadi dalam masyarakat Islam dewasa ini. Di saat semua orang membicarakan globalisasi dan universalisme, kaum muslimin malah tersekat-sekat berpecah belah hampir menjadi sekitar 50-an negara. Yang lebih parah lagi , masing-masing penguasa negara muslim tersebut menerapkan aturan keimigrasian yang ketat dan kaku antar sesama kaum muslimin. Pendatang haram, ilegal dan sebutan yang sejenisnya kerap dijadikan alasan untuk menangkapi sesama kaum muslimin yang bekerja di negara muslim yang lainnya. Padahal secara aqidah Islam, mereka adalah bersaudara. Dan di zaman globalisasi ini, di mana dunia bagaikan sebuah desa kecil saja layaknya, penerapan aturan batas-batas negara yang kaku seperti itu sudah tidak masanya lagi. Kuno dan tidak manusiawi.
Negara-negara Eropa sendiri telah menyadari, akan pentingnya persatuan diantara mereka. Mereka membentuk Masyarakat Eropa . Mereka membebaskan rakyat mereka untuk berkunjung ke sesama negara Eropa tampa pasport, visa dan uang fiskal. Mereka membaurkan sesama rakyat mereka. Bahkan mereka ingin menyatukan mata uang mereka menjadi mata uang tunggal Eropa. Lalu ada apa dengan kaum muslimin ?
Padahal Islam adalah risalah yang universal
dan berlaku umum bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman
Nya :
" Dan Kami tidak mengutus Kamu ( Muhammad ), melainka kepada umat manusia seluruhnya sebagai pemberi berita gembira dan sebagai pemberi peringatan."
( QS Saba : 28 )
Sebagai bukti, di masa Islam setiap rakyatnya bisa melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu atau mencari nafkah dari satu negri Islam ke negri Islam yang lainnya tampa paspor, visa dan membayar uang fiskal !
Imam Syafi'i ( Muhammad bin Idris ) digelari al Hijazi al Makki . Beliau lahir tahun 150 H di Gazza, Palestina dan sejak umur 2 Tahun dibawa ibunya dan tingga lama di Mekkah. Pernah menjadi tamu Imam Malik di Madinah ( selama 8 bulan). Lalu melakukan perjalanan ke Kuffah, Irak Utara, Anatolia Selatan, Palestina dan tinggal di kota Ramallah ( selama 2 tahun ). Kembali ke Madinah dan berguru ke Imam Malik ( selama 4 tahun ) sampai Imam Malik wafat ( 177 H ). Beliau kemudian pergi ke Yaman dan mendapat fitnah, lalu dikirim ke Baghdad dan kembali lagi ke Mekkah ( tinggal selama 17 tahun ) Berangkat lagi ke Irak ( selama 1 bulan ) dan pergi ke Mesir dan tinggal di sana ( selama 6 tahun ) sampai beliau wafat ( 204 H ).
Kejadian di atas tentunya belum bisa dilakukan lagi secara gratis, oleh kaum muslimin saat ini. Ini kerena mereka masih terpaku pada sekat-sekat tapal batas antar negara mereka. Bahkan yang lebih ironis lagi , masing-masing negri-negri Islam saling tidak menghargai dan merendahkan sesama mereka. Sementara itu mereka sepakat memberikan hormat dan terkagum-kagum pada Barat. Orang-orang muslim Indonesia dianggap rendah oleh warga Saudi. Dan mungkin pula dianggap budak ! Demikian juga pandangan warga muslim Malaysia yang menjuluki muslim Indonesia yang bekerja di sana sebagai pendatang haram ! . Sedangkan terhadap tenaga kerja Asing / Barat- mereka / kaum muslimin yang ada di Saudi / Malaysia bahkan negri kita menghromat-hormat dan memberikan penghargaan yang luar biasa tinggi-baik dari segi upah maupun kehormatan.
Dimanakah perasaan Ukhuwah Islamiyyah kaum muslimin ? Bukankah keadilan Islam manjangkau siapa saja ? Bukankah perlindungan Islam menjangkau orang muslim yang paling rendah sekalipun ? Bahkan keadilan Islam menjangkau seorang Qibti ( bangsa Mesir yang Nasrani ) ketika di masa Khalifah Umar bin Khattab ia diberi hak mencambuk seorang putra wali Negri ( gubernur ) Mesir sebagai balasan qishas ? Sungguh betapa mulia keadilan dan jaminan hukum dalam Islam.
Seharusnya di era globalisasi ini, kaum muslimin pun sudah harus siap menghadapinya. SDM kaum muslimin sebenarnya sangatlah potensial dengan sekitar 1 milyar milyar pemeluknya. Pemberdayaan kaum muslimin dengan suatu tatanan yang khas lah yang akan mampu menggerakkan umat secara efektif. Sehingga bukan sesuatu yang mustahil apabila di kemudian hari, seorang muslim bisa menjadi buruh/bekerja di negara muslim manapun tampa visa, pasport maupun uang fiskal. Globalisasi buruh muslim sudah merupakan tuntutan yang mendesak.
Walhasil, segala problema TKI dan perburuhan
tidak akan terselesaikan sebelum dituntaskan terlebih dahulu
problem-problem dasarnya. Kaum muslimin haruslah melihat masalah
ini secara utuh dan menyeluruh. Sebagai suatu masalah sistem dan
peradaban yang besar yang mempengaruhi kehidupan secara umum.
Maka tidak ada jalan lain kecuali mencoba mengembalikan segala
sesuatunya kepada solusi Islam. Karena hanya dengan solusi Islamlah
permasalahan itu bisa terselesaikan dengan tuntas, dan memuaskan
! Insya Allah !