Edi Cahyono's Page | |
CERITA KAMI | |||||||||||||||||||
|
Sistem perekonomian dunia yang semakin kapitalistik ternyata membawa dampak negatif yang tidak sedikit. Setelah runtuhnya blok sosialis, semakin terlihat bagaimana negara-negara Barat sebagai negara-negara industri maju ingin memegang kendali atas perekonomian dunia. Salah satu caranya adalah dengan memaksakan konsep perekonomian mereka kepada negara lain. Globalisasi perekonomian, itu istilah keren yang selalu didengungkan mereka. Dan, tampaknya pemerintah kita telah menerima konsep tersebut tanpa menyadari atau memang tidak mau tahu dengan apa maksud sebenarnya dari mereka untuk memaksakan konsep tersebut kepada negara-negara berkembang. Indonesia, sebagai negara berkembang, tak luput dari permasalahan tersebut. Keikutsertaan Indonesia dalam GATT dan kemudian APEC, merupakan manifestasi dari globalisasi ekonomi, yang secara tidak langsung merupakan tindakan menjual negara beserta seluruh sumber dayanya kepada negara-negara maju, yang saat ini secara terang-terangan telah mulai menjalankan dan memaksakan politik imperialisme ekonomi mereka. Selain itu, persoalan penindasan yang menimpa kaum buruh sepertinya tidak ada habis-habisnya. Berbagai persoalan seperti masalah upah, kondisi kerja dan tiadanya jaminan kesehatan dan hari tua masih merupakan masalah yang menghantui kaum buruh. Khusus masalah upah, pada nomor ini akan dibahas bagaimana tak mampunya upah buruh yang ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah untuk mengejar laju inflasi yang semakin menggila. Perjuangan kaum buruh di Indonesia sebetulnya telah dimulai sejak tahun 20-an. Ketika itu pada masa represif kolonial, kaum buruh telah mempunyai konsep dan organisasi yang cukup kuat dan matang. Bahkan pada pemberontakan nasional anti kolonial yang pertam pada tahun 1926, kaum buruh merupakan penggerak utamanya. Sejarah pemikiran kaum buruh dalam melakukan perjuangan dapat pembaca simak pula pada nomor ini. Sebagai referensi untuk melihat bagaimana perkembangan organisasi buruh yang berhasil, ada baiknya kita belajar dari Kilusang Mayo Uno (Gerakan Satu Mei), sebuah serikat buruh independen di Filipina yang juga dibahas dalam rubrik Internasional kail ini. REDAKSI
INFLASI DAN UPAH BURUH Beberapa bulan terakhir ini harga-harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan yang begitu cepat, contoh konkritnya dapat dilihat dari harga beras yang sebelumnya masih sekitar Rp 300 sampai Rp 400,- sekarang melonjak menjadi Rp 700 hingga Rp 800,- per liter. Demikian pula dengan harga kebutuhan pokok lainnya seperti kopi yang sebelumnya masih dapat dijangkau dengan harga Rp 400 sekarang harganya meroket mencapai Rp 800,-. Yang menjadi pertanyaan apakah kebutuhan pokok lainnya akan turut meningkat harganya. Kalau harga kebutuhan pokok turut meningkat bagaimana nasib buruh yang hanya menerima upah Rp 3.800,-? Atau yang akan direncanakan p ada bulan Januari 1995 upah buruh di sekitar Jabotabek dinaikkan menjadi Rp 5.000,- Memang tidak dapat dipungkiri pemerintah sekarang ini sedang mengalami krisis dana 'pembangunan,' maka untuk itu pemerintah tidak segan-segan menarik pajak dari masyarakat baik itu dari pajak pertambahan nilai maupun pajak penghasilan. Yang menjadi titik berat pembicaraan kita adalah dengan pemerintah menaikkan harga-harga barang kebutuhan pokok, maka uang yang kita pegang atau upah yang dibayarkan kepada buruh semakin rendah nilai tukarnya. Untuk mengimbangi nilai tukar, maka pemerintah akan mencetak uang besar sebanyak-banyaknya di pasaran, uang pecahan Rp.500,- kemungkinan besar hanya dicetak sedikit, tetapi sebaliknya pecahan ribuan akan dicetak lebih banyak. Ini akan berakibat terjadi inflasi. Artinya dengan uang besar banyak beredar, namun harga kebutuhan pokok terus-menerus membumbung, akan berakibat inflasi. Contoh sederhananya uang seharga Rp 5.000,- sudah tidak ada artinya untuk hidup tiga hari atau 5 hari. Dan bagaimana dengan nasib kita, kaum buruh? Kalau kita bandingkan upah buruh sekarang yang dipatok 3.800 rupiah dengan kebutuhan sehari-harinya, maka hasil nyata yang diterimanya sangatlah rendah. Seorang buruh yang bekerja 8 jam belum lagi ditambah jam lembur wajib membutuhkan kalori yang cukup banyak. Harga beras yang sekarang meroket mencapai Rp 700; hingga Rp 800,- per liter, mengakiibatkan upah buruh terus merosot. Belum lagi ongkos transportasi lokal yang mau tidak mau juga ikut melonjak. Mereka juga harus membayar sewa rumah yang otomatis juga meningkat, akibatnya upah yang diterima per-minggu habis dalam sekejap. Meskipun pemerintah sudah memastikan menaikkan upah buruh minimum di sembilan propinsi yang dimulai 1 Agustus 1994, namun kenaikkan upah itu tidak mempunyai arti jika harga kebutuhan pokok terus meningkat. Selain itu, kenaikan UMR untuk 9 provinsi ini tidaklah merata, misalnya Sumut dari Rp 3.100,- menjadi Rp 3. 750, Daerah Istimewa Aceh dari Rp 2.500,- menjadi Rp 3.150,- atau Irian Jaya dari Rp 3.500,- menjadi Rp 4.500,-. Ketidaksamaan kenaikkan upah minimum, menurut Dirjen Binawas nilainya tidak bisa diseragamkan di seluruh Indonesia karena kondisi maupun biaya hidup di satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. (Media Indonesia, 30 Juli 1994). Bagaimana mungkin biaya hidup di masing-masing daerah berbeda, kalau harga kebutuhan pokoknya sama. Yang lebih parah lagi, meskipun bahan pokok, terutama beras yang dihasilkan petani harganya terus membumbung, tetapi nilai tukar yang diterima petani terus merosot. Sebagai perbandingan tahun 1974, harga traktor hanya Rp 1.750.000,- sedangkan harga padi sudah mencapai seratus ribu rupiah per-ton, sehingga perbandingannya ialah satu traktor sama dengan 17 ton padi. Sembilan belas tahun kemudian, yakni tahun 1993 harga traktor telah mencapai lima belas juta rupiah, sedangkan harga padi per-ton hanya Rp 300.000,-. Dengan demikian, satu traktor, kini sama dengan lima puluh ton padi. Dengan nilai tukar petani yang rendah akan membawa dampak yang luar biasa bagi mereka. Petani akan berbondong-bondong datang ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan, yang menjadi tujuan utama mereka adalah menjadi buruh. Sementara itu petani yang menjadi buruh di kota besar tidak mempunyai keahlian dalam bidang industri manufaktur, walaupun demikian para pemilik pabrik akan menerima mereka dengan upah yang rendah (di bawah standar upah minimum) dengan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian. Dengan menerima upah di bawah standar yang ditentukan oleh Menaker, maka petani yang beralih menjadi buruh kehidupannya juga akan di bawah standar. Menaker sendiri juga tidak mau memaksakan kehendaknya kepada perusahaan yang tidak mampu untuk membayar upah standar upah minimum. Ini merupakan sebuah kontradiksi, sementara pada satu pihak buruh dituntut untuk produktif, pada pihak lain para pengusaha yang melanggar peraturan tidak membayar standar upah minimum tidak mendapatkan sanksi. Padahal kalau diperhitungkan dari upah yang dibelanjakan oleh buruh sudah tidak lagi memadai, karena barang-barang kebutuhan pokok buruh terus meroket harganya. Sebagai contoh konkrit, tarif listrik telah diputuskan naik rata-rata untuk setiap 3 bulan sebanyak 7,68 persen. Hal ini jelas turut mendorong laju inflasi. Untuk rumah tangga kecil dan sedang, persentase kenaikannya malah lebih besar dibandingkan usaha lainnya. Sementara itu, kenaikan tarif listrik ini berdampak pada posisi industri tekstil, sehingga industri ini makin tidak kompetitif di pasar. Celakanya, harga barang tidak bisa dinaikkan sepihak, seperti halnya pemerintah menaikkan tarif listrik (Kompas, 25 Oktober 1994). Untuk menekan ongkos produksi akibat kenaikan tarif listrik para pengusaha menekan upah buruh. Secara nyata produktivitas buruh yang bekerja di sektor industri manufaktur cenderung meningkat. Namun sebaliknya biaya buruh dalam komponen produksi di sektor tersebut justru cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan terdapat kecenderungan pengusaha industri di sektor ini untuk terus menekan upah buruh demi meningkatkan keuntungan semaksimal mungkin. Dengan naiknya tarif listrik secara otomatis akan mengikutsertakan barang-barang kebutuhan pokok lainnya, seperti beras, telur dan lain sebaginya. Harga telur satu kilo yang sebelumnya Rp.1.600,- telah meningkat menjadi Rp.2.900,-. Berdasarkan analisis Kwik Kian Gie, kenaikan tarif listrik "atas dasar filosofi yang tidak jelas, dan tanpa mendiskusikan dengan rakyat melalui DPR, pemerintah berpindah haluan menjadikan listrik barang dagangan biasa yang harus mendatangkan laba." (Kompas, 24 Oktober 1994). Ini berarti dibuatlah perhitungan harga pokok standar ditambah laba. Seandainya ada yang naik dari komponen harga pokok, tarif listrik akan dinaikkan. Maka ditempuh kebijaksanaan kenaikan tarif listrik yang mesti naiknya setiap tiga bulan, dan naiknya itu didasarkan atas kenaikan faktor-faktor harga bahan bakar, harga pembelian tenaga listrik (dari swasta, perubahan tingkat inflasi, dan perubahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Meningkatkannya tarif listrik 7,68 persen ini berhadapan dengan bagaimana dengan rakyat yang harus membayar pajak atas pendapatannya? Pajak yang berhadapan dengan rakyat masih memberlakukan asas pendapatan yang belum dibelanjakan, yang tidak membolehkan memasukkan faktor inflasi secara korektif di dalam penentuan pendapatan atau laba kena pajak. Bagi rakyat kebanyakan rupiah adalah rupiah. Tidak boleh dikoreksi bahwa daya belinya sudah turun. Tetapi pemerintah dalam hal ini memberlakukan koreksi dua kali terhadap rupiah. Yang pertama, koreksi inflasi atau jatuhnya daya beli rupiah di dalam negeri. Yang kedua, adalah koreksi terhadap jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar AS. Dan hasilnya, rakyatlah yang terbebani. Sementara itu, beberapa perusahaan besar seperti Maspion Group akan melakukan tawar menawar dengan pemerintah berkenaan dengan naiknya tarif listrik. Karena menurut manejer humasnya, perusahaan elektronik ini setiap bulannya membayar listrik mendekati 2 milyar rupiah. Tetapi jika tawar-menawar ini tidak mengalami jalan buntu, maka tidak ada cara lain melakukan efisiensi. Melakukan penghematan bukan secara otomatis mengurangi pemakaian listrik, tetapi dengan merasionalisasi pos-pos pengeluaran lainnya. Pos-pos pengeluaran lainnya sudah dipastikan juga menyangkut pengurangan biaya produksi, dan untuk menekan biaya produksi, harus mempekerjakan buruh lebih produktif. Jalan keluar seperti ini pernah dilakukan oleh beberapa pengusaha semen, saat terjadi kemelut harga semen beberapa bulan yang lalu. Meroketnya harga semen membuat para pengusaha semen mengambil kebijakan untuk menekan ongkos produksi dan menambah jam kerja buruh. Faktor lain yang ikut mendorong meningkatnya inflasi adalah meningkatnya barang-barang kebutuhan pokok rumah-tangga, seperti beras, gula, telur, sayur-mayur dan lain sebagainya. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh pemerintah tingkat inflasi pada harga kebutuhan pokok di akhir September 1994 telah mencapai 12,4 persen. Dan diperkirakan menjelang bulan Desember harga kebutuhan pokok akan cenderung terus meningkat. Perkiraan ini dilandaskan karena pemerintah telah memutuskan tidak lagi mensubsidi beras, dan direncanakan beras akan di impor dari luar negeri. Beras impor yang berasal dari negara yang mata uangnya mengalami apresiasi cukup tajam terhadap rupiah. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana buruh dapat bertahan dengan upah riil yang terus-menerus merosot? Meskipun pada Januari 1994 Upah Minimum Regional dinaikan kembali, yang untuk wilayah Jabotabek mencapai Rp 5.000,- apakah mencukupi untuk belanja kehidupan sehari-harinya? Jawabnya: tidak! Menurut Menaker Abdul Latief, secara riil tingkat produktivitas tenaga kerja yang bekerja di sektor industri manufaktur cenderung meningkat. Namun sebaliknya biaya buruh dalam komponen produksi tersebut justru cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan terdapat kecenderungan, pengusaha industri di sektor ini terus menekan upah buruh demi meningkatkan keuntungan semaksimal mungkin. (Kompas, 21 Oktober 1994) Pernyataan ini kalau dikaitkan dengan inflasi selama beberapa tahun terakhir ini memang tidak dapat disangkal. Hal ini terlihat dari alokasi biaya yang dikeluarkan oleh industri manufaktur untuk biaya buruh terus merosot dalam sepuluh tahun terakhir ini. Artinya, dari tahun 1984 hingga 1994 persentase biaya buruh terus menurun. Bahkan pada beberapa sektor industri, biaya persentasenya lebih rendah ketimbang tahun 1984. Keadaan ini disebabkan pada tahun 1984 hingga akhir tabun 1990 kebutuhan bahan pokok masih mendapatkan subsidi dari pemerintah. Namun setelah pemerintah harus melakukan penyesuaian pada anggaran belanjanya, maka diambil keputusan untuk melakukan liberalisasi pada kebutuhan pokok rumah tangga. Sejak tahun 1990 hingga 1994 inflasi mengalami pasang surut. Misalnya pada tahun 1990 untuk kebutuhan pokok 3, 5 persen, pada tahun 1991 meningkat menjadi 10,0 persen, sedangkan pada tahun 1992 kembali menurun menjadi 6,1 persen dan pada tahun 1993 turun menjadi 5,1 persen dan pada tahun 1994 meningkat menjadi 12,9 persen. (Laporan Mingguan, No. 1845, 30 September 1994) Sekarang kalau kita perhitungkan ke depan, seandainya pemerintah menaikkan upah buruh Rp 5.000,- pada Januari 1995, berapa penghasilan bersih yang mereka dapatkan. Berdasarkan penuturan seorang buruh lajang yang bekerja di sektor manufaktur di Bogor untuk makan per-hari Rp 2.000,- dengan perincian Rp 500,- untuk makan Indomie plus telur pada pagi hari, lantas makan siang Rp 1000,- dengan nasi, sayur dan ikan dan malam hari kembali makan indomie plus telur Rp. 500,-. Meskipun mendapatkan uang transportasi Rp.500,- tetap tidak mencukupi, setiap harinya ia harus menombok Rp.100,-. Belum lagi harus membayar uang pondokan Rp 25.000,- perbulannya. Belum lagi dengan kenaikkan tarif fstrik kaum buruh paling tidak harus menyediakan uang sebanyak Rp 25.000,- hingga Rp 50.000,-. Dapat dibayangkan upah buruh dalam satu bulan akan habis tanpa buruh dapat menabung untuk menjaga kesehatannya atau pergi berekreasi. Dengan biaya hidup sedemikian rupa bagaimana buruh harus bekerja produktif. Sebagaimana ditegaskan oleb Sekjen SPSI bahwa dalam memasuki PJP II pekerja harus produktif untuk menunjang keunggulan komperatif dan kompetitif dalam rangka mengundang modal asing, sehingga untuk itu upah skala nasional perlu dinaikkan. (Kompas, 12 September 1994). Jadi meskipun upah buruh dinaikkan menjadi Rp. 5000,- hidup mereka tetap dalam keadaan terjepit, hal ini disebabkan selain terjadinya inflasi dan juga secara otomatis terjadi pula devaluasi, yakni merosotnya nilai tukar mata uang rupiah. Merosotnya nilai tukar rupiah terhadap barang dagangan, disebabkan barang dagangan (komoditi) telah masuk ke dalam pertukaran dalam bentuk uang. Ketika harga barang naik, nilai mata uang kita yang beredar, nilainya tidak naik, malah merosot, ketika dihadapkan dengan harga barang, mata uang kita sudah tidak setara lagi. Maka terjadilah devaluasi mata uang rupiah. Sebagai jalan ke luar untuk meningkatkan upah riil buruh mungkin sudah saatnya para pengusaha menghilangkan komponen-komponen biaya yang tinggi seperti biaya kolusi (korupsi) diantara birokrat yang terus berlangsung di KBN (Kawasan Berikat Nusantara) dan pelabuhan. Atau menekan biaya bahan baku, yang untuk industri garmen saja mencapai 60 persen dari seluruh biaya produksi. Sedangkan untuk biaya produksi tenaga kerja buruh, pengusaha senantiasa menekannya, hal ini untuk meningkatkan daya saing penjualan barang, demi mendapatkan keuntungan yang sebesar-besamya. Tanpa pemerintah membenahi persoalan-persoalan mendasar ini, upah buruh akan terus-menerus melorot.****
Analisis tentang P4P: UU DARURAT YANG MENGEKANG HAK BURUH DAN MEMIHAK MAJIKAN HARUS DIGANTI Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburahan (P4P) lahir pada tahun 1951 dalam keadaan UU Darurat, dalam pengertian klas buruh di Indonesia menghadapi krisis karena Konfrensi Meja Bundar (KMB) mengizinkan kembali perusahaan-perusahaan asing mengambil alih modalnya di Indonesia. P4P ini sebenarnya melanggar hak kaum buruh.
Hal ini dibuktikan bahwa UU tersebut mengharuskan pihak-pihak yang berselisih memberi tahu kepada P4D 3 minggu sebelumnya apabila hendak melakukan aksi, karena tidak diperolehnya penyelesaiaan mengenai sesuatu perselisihan. Setelah P4D menerima surat pemberitahuan perselisihan tersebut. P4D diharuskan memberi tahu kepada Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri wajib menyerahkan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh P4D itu kepada P4P (pasal 12). Kemudian pasal 13 ayat (3) menyatakan, bahwa P4P berhak mengadakan putusan mengikat atau mengadakan angket yang tidak boleh ditolak oleh pihak-pihak yang berselisih yang dilarang mengadakan aksi. Nampaknya seperti otomatis sesudah memberi tahu 3 minggu sebelumnya kepada P4D pihak-pihak yang berselisih bisa mengadakan tindakan kalau teryata perundingannya gagal. Tetapi tidak demikian halnya. Waktu dua minggu termaksud dibutuhkan oleh P4P untuk bisa mengadakan putusan mengikat atau mengadakan angket guna mencegah timbulnya pemogokan. Ini artinya tidak lain memindahkan hak mogok dari tangan buruh kepada P4P (pemerintah). Buruh hanya boleh mogok kalau pemerintah membolehkan. Hak mogok adalah hak azasi bagi kaum yang telah terjamin dalam UU Dasar 45 pasal 21. Hak ini tidak boleh dipindahkan, sekalipun kepada Pemerintah. Usaha pemerintah untuk memindahkan hak azasi ini ke dalam tangannya berarti suatu perampasan dan tidak sah. Hak pemerintah tentang hak mogok sebagaimana telah diterangkan pada pasal 2l, UU hanya mengatur dalam pengertian agar pemogokan itu dilakukan secara tertib, tidak melakukan pengrusakan, dan mengatur agar sebab yang menimbulkan pemogokan itu ditiadakan atau sedikitnya dikurangkan, tetapi sekah-kali tidak boleh memindahkan dari tangan yang berhak, yaitu kaum buruh ke tangan pemerintah. Apalagi dengan melibatkan aparat meliter. Dengan tidak adanya perumusan secara terang sejak kapan dinyatakan ada perselisihan antara buruh dan majikan, maka kalau perselisihan itu terjadi karena adanya tindakan-tindakan majikan yang tidak disetujui oleh kaum buruh, dalam hal ini kaum buruh selalu berada dalam pihak yang dirugikan. Jelasnya begini: Seandainya majikan menurunkan upah atau memecat kaum buruh dan SPSI (organisasi buruh) tidak menyetujui selain membawa persoalan tersebut menjadi perselisihan kepada P4D. Biasanya selama mengurus perselisihan ini pihak P4D senantiasa bertindak membela majikan, artinya upah buruh tidak dibayar bahkan buruh terbentur dengan belitan biokrasi di P4D, yang harus menunggu pesoalannya hingga bertahun-tahun. Sebagai contoh seorang teman buruh yang terkena PHK di suatu perusahaan di Tangerang, karena menuntut upahnya dinaikkan dan tidak disetujui oleh pihak perusahaan, maka persoalan ini dibawa ke P4D. Di P4D urusan ini tidak terselesaikan hingga kasus ini dibawa ke P4P, di P4P sendiri untuk melakukan persidangan tanpa prosedur yang jelas teman buruh tersebut diharuskan membayar Rp.100.000,-. Namun demikian hingga kini buruh tersebut belum juga mendapatkan pesangonnya, padahal kasus ini telah ditangani oleh pihak P4D sejak tahun 1989. Hal ini memperhhatkan, sebenarnya jika buruh menuntut kenaikkan upah atau mengurangi jam kerja yang panjang dan tidak disetujui majikan, dan persoalan tersebut menjadi perselisihan dalam pengurusan P4D, upah buruh tidak akan ditambah atau tuntutannya tidak disetujui. Meskipun baru-baru ini Menaker telah menyetujui kenaikkan upah di 9 propinsi di luar Jawa, tetapi beberapa perusahaan masih juga belum menaikkan upah. Keadaan ini secara langsung atau tidak langsung bermaksud mendudukkan buruh lebih rendah dari majikan. Seharusnya ada ketentuannya, bahwa kaum buruh berhak mengadakan aksi sebagai pernyataan, sebagai cerminan tindakan kaum majikan tersebut. Dan setelah persoalan tersebut dinyatakan sebagai perselisihan yang akan diurus oleh P4D dan P4P, maka harus dinyatakan bahwa tindakan majikan itu tidak sah. Oleh karena itu tidak boleh dijalankan sampai ada penyelesaiaan lebih lanjut, atau harus ada ketentuan, bahwa majikan tidak boleh bertindak atas syarat-syarat perburuhan sebelum dirundingkan dengan kaum buruh. Sementara itu, senjata majikan yang dilumpuhkan hanya dalam hal menolak buruh bekerja--sebagian atau seluruhnya--sedangkan lainnya majikan masih mempunyai senjata-senjata lain yang tidak kurang ampuhnya daripada menolak buruh bekerja, yaitu menurunkan upah, memindahkan buruh ke lain tempat pekerjaan, merubah status buruh, mengurangi alat-alat kerja dan lain sebagainya. Oleh karma itu kalau pemerintah tidak sengaja memihak kepada majikan, maka dalam hubungan ini semua senjata majikan harus dihapuskan seperti, majikan dilarang mengadakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan syarat-syarat perburuhan atau hubungan kerja jika tidak melalui perundingan dengan kaum buruh, bukan dengan SPSI, karena SPSI adalah serikat buruh yang tidak mewakili buruh. Maka semua perselisihan perburuhan baik yang bersifat lokal, maupun yang tidak akan diurus oleh P4D. Tetapi kalau dianggap perlu P4D dapat menarik perselisihan dari P4D ke Pusat. Bahaya yang dapat kita lihat dengan tidak tegasnya pemisahan mana perselisihan lokal dan mana yang tidak, kemungkinan organisasi-organisasi buruh bisa dikacaukan oleh P4P, artinya oleh pemerintah karena jumlah mayoritas anggota P4P di tangan pemerintah. Akibatnya perselisihan antara majikan dengan kaum buruh selalu melalui P4P, dan putusan P4P selalu mengikat. Hal ini membawa kesulitan yang luar biasa bagi kaum buruh untuk dapat membela perkaranya melalui mogok hilang untuk selama-lamanya. Dalam hubungan ini perlu kita pertanyakan kepada pemetintah, apakah keberatan pemerintah kalau membagi perselisihan itu sebagai berikut: a. suatu perselisihan yang meliputi perusahaan dan/atau buruh di suatu perusahaan di daerah P4D disebut perselisihan lokal, dan b. suatu perselisihan yang meliputi perusahaan/dan atau buruh di lebih dari satu daerah P4D disebut perselisihan pusat (nasional). Selanjutnya prosedur penyelesaian pokok-pokoknya diatur sbb:
Dengan prosedur di atas, bukan saja hak mogok bagi buruh terjamin, tetapi juga turut campur Pemerintah dalam Perselisihan Perburuhan terjamin pula.****
PEMERINTAHAN ORDE BARU DAN GERAKAN BURUH
SEJARAH PEMIKIRAN SERIKAT BURUH DI INDONESIA
SERIKAT BURUH DI FILIPINA I. Gerakan dan Serikat Buruh Filipina. Sejarah gerakan buruh di Fifpina telah dimulai sejak tahun 1872, saat berlangsung pemogokan buruh yang didukung oleh masyarakat sipil di basis militer Amerika Serikat. Pada saat itu mereka menentang sistem pajak dan tekanan-tekanan pemerintah kolonial terhadap kaum buruh. Namun demikian baru pada tahun 1902 tercatat berdirinya Serikat Buruh Percetakan Filipina, yang bertujuan untuk memerdekakan Filipina dari penjajahan Amerika. Pendirian serikat buruh ini juga diikuti dengan pembentukan Federasi Nasional Serikat Buruh Filipina yang memimpin aksi 100.000 kaum buruh Filipina di depan istana Malacanang dengan menggunakan slogan: " Death to American Imperialism" (Mampuslah imperalisme Amerika). Demonstrasi yang dilakukan pada hari buruh internasional (1 Mei) membuat gusar Gubernur Jendral Amerika dan memerintahkan penangkapan atas para pemimpin serikat buruh dengan tuduhan melakukan tindakan subversif serta diikuti dengan pembubaran kegiatan Federasi Nasional Serikat Buruh Filipina. Peristiwa ini membuat kocar-kacir kepemimpinan serikat buruh di Filipina sampai pada tahun 1912 dibentuk kembali sebuah dewan federasi dengan nama Kongres Buruh Filipina. Namun setahun setelah pembentukan dewan kongres ini, pemerintah kolonial di Filipina juga membentuk sebuah serikat buruh "kuning" sebagai tandingan, di mana serikat buruh bentukan pemerintah ini mencanangkan agar terciptanya sebuah hubungan harmonis antara kaum Buruh dan Majikan. Namun demikian gerakan serikat buruh Filipina semakin semarak hingga pada tahun 1924 berdiri sebuah Partai Buruh. Baru setahun berdiri, terjadi kekisruhan di dalam partai buruh, akibat manuver politik kelompok konservatif yang ingin merubah tujuan partai dan ingin bekerja sama dengan pemerintah kolonial. Hal ini membuat sebagian besar kelompok progresif ke luar dari partai dan mendirikan Serikat Proletariat Filipina. Dan lagilagi dalam aksi peringatan hari buruh intemasional (Satu Mei) para pemimpin SPF ditangkap dan disiksa oleh aparat militer Amerika, namun demikian kaum buruh Filipina dengan gagah berani tetap bertahan dan meneruskan perjuangannya. Pada dasamya bangkitnya gerakan buruh di Filipina pada tahun 1920-an tak dapat dilepaskan dari perluasaan modal perusahaan multinasional Amerika. Pada seperempat pertama abad ke-20 perusahaan Amerik.a berpusat pada sektor industri pertanian, seperti kopra dan tembakau, dan baru kemudian pada pertengahan tahun 1930 perusahaan tambang Amerika menjarah bahan baku alamiah, seperti dioperasikannya tambang emas dan tembaga. Pertumbuhan modal perusahaan multinasional Amerika ini juga tak bisa dilepaskan dari prasyarat politik dan ekonomi yang sangat menguntungkan, yakni mulai dari harga tenaga kerja yang murah sampai dengan aturan-aturan ekonomi dan politik pemerintahan boneka Amerika yang mempermudah arus ekspor dan perdagangan hasil produksi. Ketika kancah Perang Dunia II pecah praktis kaum buruh Filipina berada di bawah penjajahan Jepang yang sangat kejam. Penguasa baru ini tidak hanya menangkap para pemimpin serikat buruh tapi juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan. Akibatnya sentimen anti penjajahan Jepang di kalangan masyarakat Filipina merebak ke mana-mana dan melahirkan kelompok-kelompok buruh tani bersenjata (Hukbalahap) yang melawan serta ingin mengenyahkan penjajahan Jepang. Tapi setelah Jepang kalah dan pergi dari Filipina, Amerika kembali lagi serta menangkapi para pemimpin Hukbalahap dan mempreteli senjata dari tangan kaum buruh tani. Bersamaan dengan itu kaum buruh industri dan pertanian terus memperjuangkan hak ekonomi dan politiknya dengan membentuk kembali Kongres Organisasi Buruh yang berhasil menghimpun 100.000 anggota di bawah pimpinan 78 serikat buruh lokal. Untuk menghadapi para pemimpin serikat buruh yang sangat radikal pemerintah boneka penjajah membuat Undang-undang Perdamaian Perselisihan Perburuhan pada tahun 1954 (kurang lebih sama dengan P4P/P4D di Indonesia, pen.), di mana dalam undang-undang ini ditetapkan: bila terjadi perselisihan antara buruh dan majikan, maka posisi pemimpin Serikat Buruh diganti oleh para pengacara hukum. Tentunya undang-undang ini bertujuan untuk mengurangi peran para pemimpin serikat buruh serta mengurangi peran organisasi buruh di dalam perjuangan kaum buruh. Meskipun demikian kaum buruh Filipina terus membentuk sentral organisasi buruh yang berlingkup nasional hingga pada tahun 1980 dibentuk Kilusang Mayo Uno, yang hingga sekarang masih konsisten mempertahan tujuan dasar perjuangan buruh, yakni demokrasi bagi seluruh rakyat II. Tindak Kekerasan Terhadap Gerakan Buruh Walaupun secara de jure Filipina telah diberi kemerdekaan oleh AS, namun faktanya Amerika Serikat beserta konco-konco tuan tanah dan kapitalis komprador Filipina masih sangat berkuasa dalam pengaturan ekonomi perdagangan maupun pengaturan politik. Hal ini misalnya tampak dalam regulasi ekspor dan impor maupun dengan dikeluarkannya undang-undang darurat (Martial Law) pada tahun 1975, yang isinya melarang pemogokan buruh di lingkungan industri vital; mengadakan badan penyelesaian perselisihan perburuhan di tempat-tempat pemogokan; dan melarang kegiatan penghimpunan dana untuk pemogokan. Dengan ke luarnya Undang-undang darurat maka perekonomian Filipina didukung penuh oleh aparat minter yang bertambah lima kali lipat sejak tahun 1975 hingga tahun 80-an. Selajutnya pada tahun 1981 pemerintah Marcos mengeluarkan keputusan baru di bidang perburuhan dan hubungan industri, seperti berikut:
Di samping undang-undang darurat yang melarang pemogokan, pemerintah Marcos juga melakukan"teror putih" yang bertujuan untuk rnenghabisi para pemimpin dan aktivis buruh progresif. Aksi ini dijalankan oleh beberapa kelompok para-militer, seperti Citizen Armed Force Geographical Units (CAFGU--Unit Pertahanan Sipil Bersenjata Geografis--Special CAFGU Active Auxillaries ( SCAA)--Unit Pertahanan Sipil Tambahan dan Civilian Volunteer Selff-Defense Organizations (CVOS)--Organisasi Bela Diri Sipil Sukarela--yang dibentuk oleh pemilik pabrik dan tuan tanah serta diberi wewenang oleh pemerintah untuk menggunakan senjata. Selain itu juga ada kelompok semi-militer (Vigilante) dan Satuan Pengamanan Pabrik yang sering kali terlibat aktif bersama-sama aparat militer untuk menghancurkan gerakan Buruh Filipina. Berdasarkan laporan Amnesty International semua organisasi para militer dan semi militer di atas terlibat dalam penangkapan dan pembunuhan pemimpin dan aktivis serikat buruh, khususnya yang menjadi anggota Kilusang MayoUno (KMU) dan afiliasinya serta dari TUPAS (Serikat Buruh Filipina dan Lembaga Pembela Buruh). Untuk melengkapi pembatasan gerakan kaum buruh, pada tahun (975 pemerintah Marcos memprakasai pendirian serikat buruh kuning yang bernama Trade Union Congress of Philipinnes--TUCP--(Kongres Serikat Buruh Filipina) dan menjadikan serikat buruh ini satu-satunya federasi nasional yang diakui pemerintah. Tujuan dasar TUCP adalah terciptanya hubungan industri yang harmonis. Tapi selain itu sentra organisasi buruh yang mengklaim jumlah anggotanya mencapai 1,2 juta orang, ikut menjadi mata-mata pemerintah dan bekerja sama dengan kelompok paramiliter dalam penangkapan para pemimpin Sentra Organisasi Buruh saingannya.****
A. KASUS UMR PT. INDOSPIRIT Sebuah pabrik yang memproduksi sepatu dengan merek-merek yang cukup terkenal antara lain Eagle, Adidas, dll. dan berlokasi di kawasan CCIE (Cibinong Central Indsutrial Estate). Seorang buruh PT. INDOSPIRIT bernama W sudah bekerja di perusahaan tersebut selama 5 bulan. Saat ada kenaikan gaji pada bulan Januari 1994 ia merasa bingung karena nyatanya upah yang diterima tidak naik, walaupun pihak pabrik mengatakan bahwa upahnya telah dinaikkan sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 414/1993. Yang dialami W adalah upah minimum dinaikkan, tapi digabung dalam tunjangan-tunjangan tidak tetap seperti transpor, kerajinan, sehingga kalau dijumlahkan memang sebesar Rp 3.800,- sesuai dengan SK menteri tersebut. Tanya: Sebenarnya yang termasuk tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap itu yang seperti apa sih? Jawab: Sebelum menjawab bagaimana tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap itu, saya akan menerangkan tentang upah minimum.
Jadi kalau perusahaan menaikkan upah dengan menggabungkan tunjangan-tunjangan tidak tetap berarti perusahaan itu belum memenuhi peraturan menteri yang berlaku. B. MASALAH ASTEK/JAMSOSTEK T bekerja di sebuah pabrik garmen di Tangerang. Beberapa minggu terakhir bagian personalia menanyakan kesediaannya untuk ikut Astek, yang berarti upahnya akan dipotong Rp 2.500,-/bulan. Tentunya ia kelabakan, saat mengetahui bahwa akan ada potongan lagi, sementara apa itu Astek dan Jamsostek ia sama sekali tak tahu. Dan ia semakin bingung ketika tahu bahwa tak seorang pun temannya yang memegang kartu Astek, padahal setiap bulan gajinya dipotong. Selain itu sebagai wanita single ia masih bercita-cita kelak akan berumah-tangga dan mungkin tidak bekerja di perusahaan itu lagi. Lantas bagaimana nasib potongan upah untuk premi Astek? Yang menjadi pertanyaan T adalah:
Untuk menjawab kebingungan T ini perlu juga mengetahui UU yang mengatur tentang ketentuan Astek dan Jamsostek. Nah, UU yang mengaturnya adalah Peraturan Pemerintah No. 33 Th 1997 yaitu yang mengatur soal Astek, sedangkan untuk Jamsostek UU yang mengaturnya adalah UU No. 3 tahun 1992 tertanggal 17 Februari 1992. Jamsostek merupakan penyempurnaan daripada ASTEK yang meliputi jaminan pemeliharaan kesehatan. Sedangkan ASTEK itu sendiri merupakan jaminan perlindungan tenaga kerja yang meliputi jaminan hari tua, tunjangan kematian dan tunjangan kecelakaan kerja. Untuk pertanyaan no. 1 sudah terjawab. Sekarang coba kita jawab pertanyaan-pertanyaan berikutnya: Jawaban no. 2, tentang tata cara pemungutan iuran ASTEK/Jamsostek:
Nah, kalau ada dari buruh yang dipotong upahnya apabila terjadi kecelakaan atau ada kematian, buruh-buruh harus bisa menolaknya atau menuntut upah yang dipotong itu. Jawaban untuk pertanyaan no. 3 tentang masa berlakunya uang jaminan: Apabila tenaga kerja yang telah ke luar dari perusahaan tidak ada lagi perusahaan yang menanggung iurannya, dengan demikian untuk sementara pertanggungannya terputus. Pertanggungan tersebut akan berlaku kembali apabila yang bersangkutan bekerja kembali. Namun apabila yang bersangkutan terpaksa tidak dapat bekerja kembali, tenaga kerja akan memperoleh Tunjangan Hari Tua. Jawaban untuk no. 4 tentang kartu keanggotaan: Setiap peserta Astek/Jamsostek wajib memiliki kartu anggota sebagai bukti keanggotaan yang nantinya bisa digunakan untuk mengambil jaminan ataupun bisa dipakai terus masa keanggotaannya meskipun peserta pindah kerja, artinya kartu itu bisa diperpanjang lagi. Sekarang kebingungan T sudah terjawab dan semoga kawan-kawan buruh yang alin pun mulai sedikit mengerti apa itu Astek/Jamsostek. Jadi, apabila kawan-kawan mengalami persoalan pemotongan upah yang tidak jelas, tanyakan pada petugas kasir atau yang bersangkutan. Karena sering dengar cerita dari kawan-kawan kalau upahnya sering dipotong nggak jelas, meskipun kadang-kadang pemotongan upah upah itu kelihatan sedikit sebagai misal per kepala Rp 100,0, tapi kalau dikalikan dengan jumlah buruh yang ada, berapa keuntungan yang dikeruk yang bukan menjadi haknya. Jadi sekali lagi jangan malu atau takut untuk menanyakannya.
KEGAGALAN PERUNDINGAN DAGANG AS-INDONESIA: ANCAMAN PHK TERHADAP BURUH TEKSTIL DAN GARMEN
PEMOGOKAN BURUH TRANSPORTASI DAN PERSOALANNYA
Buruh-buruh transportasi kembali memperlihatkan kekuatannya. Selama tiga hari berturut-turut tepatnya tanggal 7 s/d 9 September 1994 kota Jakarta dan sekitarnya mengalami kekacauan dan hampir seluruh aktivitas menjadi terganggu akibat buruh-buruh transportasi melakukan pemogokan. Ini menunjukkan kepada semua pihak, bahwa betapa vital peranan para buruh transportasi tersebut. Tanpa mereka (baca: supir) aktivitas ekonomi, sosial, dan keamanan akan menjadi kacau. Pemogokan yang dimulai oleh kendaraan angkutan jenis metromini yang kemudian diikuti oleh jenis angkutan lain sangat mengguncang ibu kota ini, disebabkan dikeluarkannya peraturan UULLAJ No. 14 Th 1992 yang mulai berlaku tanggal 14 September 1994. Isi peraturan itu adalah dinaikkannya denda tilang bagi pelanggaran lalu lintas. Denda tilang baru besarnya 50%-200% lebih tinggi dari sebelumnya. Hal ini jelas memberatkan para supir yang berarti akan mengurangi pendapatan mereka. Karena para supir itu bekerja dengan sistem setoran per hari. Dan para pemilik mobil itu atau perusahaan telah menetapkan besarnya jumlah setoran per hari. Persoalannya seluruh uang setoran harus diserahkan kepada pihak perusahaan, dengan alasan pihak perusahaan memandang para supir itu telah mendapat kelebihan dari hasil mereka bekerja. Dalam kenyataannya para buruh transportasi itu banyak sekali mengalami ancaman pengurangan hasil kerjanya. Karena dalam perjalanan harus membayar berbagai macam pungutan, dari tukang parkir jalanan sampai denda damai polisi. Belum lagi pada saat pelajar atau anak-sekolah naik dengan ongkos cepean yang kadang banyak yang tidak bayar. Persoalan ini sangat membebani para buruh transportasi tersebut. Bisa dipahami ketika para supir mengendarai mobilnya banyak yang kelihatan ngebut seperti tidak memperdulikan keselamatan penumpang atau peraturan lalu lintas. Dalam hati dan pikiran supir adalah bagaimana mengejar uang setoran. Sementara keluarga di rumah selalu menunggu dengan harap-harap cemas. Persoalan yang harus dilihat lagi adalah hampir semua supir dan kenek tidak ada yang bergaji tetap. Karena seperti yang sudah disebut di atas bahwa kerja mereka adalah sistem setoran. Dan tak kalah pentingnya adalah persaingan-persaingan jalur trayek antar angkutan kota, ditambah dengan peraturan lalu lintas yang sering mengalami perubahan. Dalam hal ini kalau kita lihat yang terjadi adalah bukannya infrastruktur untuk transportasi dibenahi secara baik, tetapi jumlah angkutannya yang diperbanyak, tentu saja terjadi kompetisi antar sopir untuk mengejar target setoran. Belum lagi ketika mobil mereka masuk ke terminal harus membayar iuran, karena dalam hal ini mereka dianggap telah menggunakan fasilitas yang ada di terminal. Padahal para supir itu masuk ke terminal hanya untuk mengambil penumpang. Kalau kita analisis sebenarnya kasus-kasus buruh transportasi itu adalah akibat dari sistem peraturan yang ada, yang diciptakan oleh para penguasa yang menciptakan kondisi para pemilik perusahaan angkutan kota untuk menekan para supirnya. Apabila target setoran tidak terpenuhi tetap saja itu menjadi beban sopir. Seperti yang diulas pada harian Kompas, 7 September 1994: awak bus lah yang harus bertanggung-jawab agar setoran hari itu cukup, sehingga dapur "si pemilik tetap mengepulkan asapnya.: Si pemilik tak akan mau tahu bahwa untuk hari itu si awak tak bisa menyetor dengan cukup karena kena tilang polisi, atau rut-nya kurang karena ada kemacetan, atau karena ban-nya meletus. Tanggung jawab si pemilik adalah sekedar menjaga kondisi bus-nya sehingga bisa di eksploitasi bersama sopir termasuk hanti oli, ban, aki dan sebagainya. Bukan sedikit sopir terpaksa pindah ke pemilik lain sambil meninggalkan utang yang terus menumpuk, akibat jalannya selalu tersandung di jalan atau di terminal. Tidak sedikit pula pemilik yang mengusir supirnya karena setoran tidak pernah penuh. Padahal si sopir sudah malang melintang dan kumal seharian di udara panas dan debu ibu kota. Sangat ironis bahwa Panglima ABRI menegaskan bahwa pihaknya tidak akan melakukan dialog dengan para buruh transportasi yang mogok. Alasannya bahwa kita hanya perlu sopir yang disiplin (Kompas, 8 September 1994). Jelas pihak penguasa tidak mau melihat akar persoalannya, malah terkesan menutup mata. Secara tidak langsung para buruh transportasi yang upahnya sangat minim harus menanggung beban negara seperti kesejahteraan polisi, angkutan pelajar. Sedangkan buruh transportasi semakin terlilit oleh kondisi yang semakin sulit, yang terjadi adalah persoalan disiplin yang dipersoalkan. Buntut dari pemogokan itu, 16 buruh transportasi ditangkap oleh pihak aparat keamanan dengan tuduhan menghasut buruh transportasi lain untuk ikut mogok (Kompas, 8 September 1994). Menyusul penangkapan 35 buruh transportasi yang juga dituduh telah menghasut pemogokan (Kompas, 12 September 1994). Apakah dengan penangkapan para buruh transportasi, denda yang sangat tinggi akan menyelesaikan persoalan lalu lintas. Persoalan lalu lintas bukan hanya persoalan disiplin supir, polisi, penumpang tetapi harus didukung oleh infra struktur yang memadai sehingga tidak membuat peluang terjadinya pelanggaran, kesejahteraan sopir yang jelas-jelas mutlak dibutuhkan agar di dalam bekerja pikiran dan tenaga dicurahkan untuk kerjanya dengan baik dan faktor yang sangat penting adalah mekanisme peraturan pemerintah terhadap perusahaan angkutan, sehingga hak-hak buruh transportasi akan terpenuhi dengan begitu bisa melakukan kewajibannya dengan baik.
INDONESIA DAN KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL Belum lama ini, tanggal 14-15 November, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi kepala-kepala negara anggota Asia Pasifik Economic Cooperation (APEC), yaitu sebuah forum kerjasama ekonomi negara-negara yang berada di kawasan Asia Pacific. Kota Bogor, Jawa Barat, telah menjadi tempat penyelenggaraan pertemuan tersebut. Keputusan utama yang diambil oleh para kepala negara anggota APEC pada pertemuan tersebut adalah upaya mendorong peningkat dan kerjasama ekonomi negara-negara anggota dan mendorong terciptanya perdagangan bebas di kawasan Asia Pacifik. Salah satu agenda lain yang ikut dibahas dalam pertemuan tersebut adalah tentang bagaimana upaya untuk meningkatkan infrastruktur di negara-negara anggota APEC yang masih terbelakang, sehingga tidak terjadi ketimpangan. Isu ini sebenarnya telah disinggung pada konferensi internasional yang berlangsung di Hotel Puri Nusa Dua Bali pada tanggal 29 Agustus - 1 September 1994, yang bertema Which Way APEC? Pembicaraan dan kertas kerja pada konferensi yang berlangsung atas kerjasama ISEI-FEUI dan American Committee on Asian Economics Studies (ACAES) tersebut terutama berkisar pada bahasan tentang perdagangan dalam APEC. Suatu hal yang menarik adalah apa yang dikemukakan oleh seorang staff ahli WORLD BANK yang pada sambutannya mengatakan bahwa bagi negara seperti Indonesia yang diperlukan sekarang adalah liberalisasi ekonomi terutama dalam kaitannya dengan direct-investment (investasi langsung). Bahkan menurut Ketua Kelompok Tokoh Terkemuka (EPG-Eminent Persons Group) Fred Bergsten, APEC akan lari lebih cepat ketimbang GATT dalam proses liberalisasi perdagangan dan investasi, serta mencapai segmen yang luas ketimbang GATT. (Kompas, 2 September 1994). Dikatakan lebih jauh olehnya bahwa keuntungan bagi Indonesia dan beberapa negara di kawasan ini dengan adanya APEC adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terciptanya lapangan perkerjaan, dan peningkatan standar hidup. Indonesia sendiri telah mempersiapkan suatu Peraturan Pemerintah No. 20/1994 yang memberikan kesempatan pada investor asing untuk menanamkan modal 100% dan pada sektor-sektor yang selama ini dianggap strategis dan diperuntukan bagi investor lokal. Sektor-sektor tersebut termasuk jasa pelabuhan, pembangikit listrik dan jaringan transmisi, telekomunikasi, pendidikan, jasa penerbangan, air minum, jalan kereta api, pembangkit listrik nuklir, dan mass media. Karenanya tidak kurang banyak kalangan mengkaitkan pencabutan SIUPP 3 media massa (Tempo, DeTik, dan Editor) erat kaitannya dengan akan masuknya investor asing pada sektor media massa. Kedatangan Rupert Murdock, raja media massa dari Australia, ke Indonesia sebelum pencabutan SIUPP memperkuat dugaan tersebut. PP 20/1994 itu sendiri telah menimbulkan perdebatan di dalam negeri, salah satu reaksi yang muncul adalah kedatangan sekitar 20 orang ke DPR guna mengusulkan agar pemerintah meninjau kembali keluarnya PP 20. (Jakarta Post, Sepetember 5, 1994). Terlepas dari berbagai reaksi yang muncul, di tengah perdebatan tentang keefektifan peraturan tersebut, langkah itu sendiri memang harus diambil oleh pemerintah. Sebagai konsekwensi turutnya Indonesia dalam perjanjian Putaran Uruguay (GATT), mau tidak mau Indonesia harus membuka pasar seluas-luasnya bagi produk impor dan juga bagi masuknya investasi asing. Ditambah lagi dengan beberapa keputusan yang dibuat pada pertemuan APEC di Bogor, membuat Indonesia harus mengambil langkah-langkah restrukturisasi perekonomian dalam negeri guna bersaing dengan negar-negara lain di Asia sebagai tempat investasi. WORLD BANK dan IMF sendiri telah memberikan masukan-masukan kebijaksanaan ekonomi kepada Indonesia. Program penyesuaian struktural yang diusulkan oleh IMF biasanya akan memberikan masukan-masukan kepada pemerintah di negara berkembang yang akan meliputi beberapa kebijaksanaan, yang antara lain; peningkatan pendapatan negara dari sektor pajak, pengurangan biaya-biaya subsidi pemerintah pada sektor umum, deregulasi dan penghapusan monopoli pada sektor-sektor industri tertentu. APEC sendiri haruslah dilihat sebagai sebuah kepanjangan dari GATT. Bila di Amerika Utara, Kanada dan Mexico telah dibentuk suatu blok perdagangan NAFTA maka ada upaya dari Amerika serikat untuk membendung pengaruh Jepang di Asia dengan membentuk APEC. Bila kita ingat tentang keberatan Malaysia untuk menjadikan APEC sebagai blok perdagangan ini tidak lain karena Malaysia melihat bagaimana besar peran yang hendak dimainkan oleh Amerika Serikat. Sehingga dengan mendapat dukungan yang besar dari Jepang, Malaysia justru mengusulkan satu bentuk kerjasama ekonomi yang lain yang mereka sebut sebagai EAEC yang tidak meliibatkan Amerika Serikat, Selandia Baru, dan Australia di dalamnya. Di antara negara-negara ASEAN sendiri telah tercapai kesepakatan untuk memajukan rencana realisasi AFTA (Zona Perdagangan Bebas ASEAN) dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Kesepakatan ini dicapai oleh menteri-menteri ekonomi se ASEAN dalam pertemuan mereka di Ciang Mai (Thailand). (Jakarta Post, 26 September 1994) AFTA merupakan suatu perjanjian dagang dan pengurangan pajak barang di antara negara-negara ASEAN, yang semula akan mulai diterapkan pada Janari 2008 menjadi Januari 2003. Dalam kerangka besar perdagangan dunia yang akan berada dibawah kontrol World Trade Organization (WTO). APEC merupakan sub bagian mereka yang berada di Asia Pasific. Diperkirakan pada institusi tersebut, WTO, peran yang besar akan dimainkan oleh negaranegara G7 dan IMF serta World Bank. Beberapa kerangka kerjasama ekonomi birateral yang ada, seperti Indonesia-Australia, Indonesia-Australia-New Zealand, hanyalah beberapa kerjasama yang bergerak di bawah kontrol WTO. Dengan kata lain WTO adalah alat yang diciptakan oleh negara-negara imperialis bagi upaya kontrol mereka terhadap perdagangan dan perekonomian dunia. Dampak yang akan dialami oleh Indonesia tidaklah sedikit. Di awal tahun ini saja Indonesia harus menurunkan harmonisasi standar tarif masuk sebesar 20% sebagai konsekwensi GATT, sehingga banyak kalangan ekonom yang mengatakan bahwa Indonesia merugi dengan turut dalam GATT. Namun dampak yang lebih keras sudah tentu akan menimpa buruh Indonesia. Upah buruh murah dan barisan buruh yang berlimpah merupakan satu tawaran menarik bagi investor asing. Bila selama ini banyak pihak pemerintah yang mengatakan bahwa upah buruh murah bukan lagi menjadi jaminan datangnya investor ke Indonesia, itu adalah kebohongan yang sangat besar. Pekerjaan rumah yang harus dibenahi oleh Indonesia kini adalah bagaimana meningkatkan efektifitas infrastruktur yang ada serta skill (keterampilan) yang dimiliki oleh buruh-buruh Indonesia. Bila kita ingat tentang isu bantuan dana dari Pemerintah Australia pada SPSI, maka program tersebut boleh dikatakan telah berjalan dengan lancar melalui naungan lembaga buruh dunia ILO. Sebagian besar bantuan tersebut akan berfokus pada rank and file training, di mana yang lebih diutamakan adalah training-training peningkatan kemampuan skill buruh. GATT sendiri, sebagaimana kita tahu berdasarkan sejarah, merupakan sejarah panjang dari upaya negara-negara imperialis yang berupaya mengkontrol perdagangan dan ekonomi dunia. GATT didirikan tidak lama setelah berakhirnya Perang Dunia II, yang hampir berbarengan dengan didirikannya IMF dan World Bank. namun upaya ini menemui kendala semasa perang dingin. Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya menjadi sandungan utama negara-negara imperialis seperti AS untuk menguasai dunia secara mutlak. Kini setelah runtuhnya Uni soviet dan Eropa Timur, batu sandungan ini tidak ada, sehingga dengan leluasa AS dan negara-negara imprealis lainnya dapat dengan segera menggolkan perjanjian GATT yang akan disusul dengan pembentukan WTO. Dana-dana bantuan yang diberikan oleh IMF dan WB pada negara-negara dunia ketiga lebih pada bantuan untuk meningkat infrastruktur, yang nantinya sudah barang tentu akan lebih menguntungkan penanaman modal. Bila salah satu dari ciri imperialisme adalah ekspor kapital (modal) yang berasal dari negara maju ke negara-negara terbelakang, maka boleh dikatakan bahwa IMF danWorld Bank merupakan fasilitator dari itu semua. Sementara itu WTO akan menjadi ajang utama dari eksploitasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis, blok-blok perdagangan seperti APEC, NAFTA, AFTA, atau ME (Masyarakat Ekonomi Eropa) merupakan lahan-lahan terbatas yang diberikan pada negara imperialis yang berada pada kawasan tersebut, yang dalam konteks Asia Pasifik adalah Jepang dan Amerika Serikat, atau bisa pula menjadi ajang persaingan diantara mereka sendiri dalam merebut suatu kawasan perdagangan tertentu.***
| ||||||||||||||||||