Edi Cahyono's Page | |
CERITA KAMI | ||||||
| BURUH Sebagai buruh kita sering mendengar seruan penguasa atau lembaga yang terkait kepada pemilik modal, agar buruh jangan dipandang sebagai faktor produksi. Tetapi merupakan partner dalam mencapai hasil yang diinginkan. Sehingga, hubungan buruh-pengusaha akan memperlihatkan wajah yang manusiawi dan harmonis. Tetapi, sesering itu pula buruh dihadapkan pada "ketidak-adilan" dan "keprihatinan" yang mendalam bagi nasib buruh. Buruh semakin terjepit dan jadi makanan empuk kaum pengusaha. Buruh semakin memperkaya pengusaha dalam cengkeraman kekuasaan kaum kapitalis. Buruh selalu ditekan dengan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan untuk mencapai target produksi yang ditetapkan. Sementara di lain sisi, upah yang diberikan kepada buruh tidak cukup untuk hidup layak. Adanya upah minimum yang kelewat rendah di Indonesia menunjukkan tidak adanya pemerataan dan keadilan. Di negara industri maju, perbandingan upah tertinggi dan terendah adalah 1:12. Sedang di negara sosialis 1:6. Akan tetapi, di Indonesia yang ber-Pancasila perbandingan upah sangat mencolok, mencapai 1:50. Tragisnya lagi kenaikan upah minimum secara regional bukan merupakan kenaikan nilai upah-riil yang berarti meningkatkan daya beli pekerja. Ironisnya, upah buruh Indonesia yang terkenal paling murah, sering ditonjolkan sebagai keunggulan komperatif untuk menarik modal asing ke Indonesia. (Kompas, 24 September 1991.) Lemahnya posisi buruh ini, di sisi lain, bisa dilihat dari beberapa peristiwa pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan pengusaha terhadap buruh. Tindakan PHK sering dilakukan secara sepihak, misalnya bila buruh dianggap melakukan kesalahan. Akan tetapi seperti apa kesalahan itu, tak pernah dijelaskan. Suatu berita PHK yang sempat aku baca terjadi pada Jumirah, ia di PHK karena hamil. (Kompas, 10 Maret 1991.) Menurutku undang-undang dan peraturan hukum yang bermaksud melindungi, tidak lebih merupakan konsep belaka. Karena dalam sistem ekonomi yang telah terjaring dalam lingkungan kapitalisme internasional, undang-undang hanya berupaya membujuk buruh hidup puas dalam lingkaran suatu ekonomi non otonom. Undang-undang merupakan produk kerjasama dan persekutuan antara kaum kapitalis dengan penguasa. Sehingga dapat melahirkan kebijaksanaan menekan upah buruh sekecil mungkin. Sehingga ketenangan investor dalam mengakumulasi modalnya, dapat terjaga. Undang-undang yang untuk orang yang tidak paham seolah-olah menciptakan keadilan sosial bagi buruh, ternyata menempatkan posisi buruh sangat lemah dan terjepit. (Tasirun dan Tarbu, "Menteri tenaga kerja kalah di pengadilan," Media Indonesia, 8 Juni 1991.) Merupakan bukti penyimpangan konsep perburuhan dan lembaga itu sendiri. Dari beberapa gambaran di atas, persoalan menunjukkan perlu dibentuknya organisasi buruh yang dapat menjiwai keinginan buruh. Karena dalam lingkup realitas perburuhan inilah buruh diharuskan menyesuaikan diri kepada "ketidak-adilan sosial" dengan demikian perlu membentuk organisasi buruh yang akan memperjuangkan perbaikan nasib buruh. Klas buruh harus dapat mengembangkan ideologi yang dapat digunakan sebagai pijakan sehingga dapat bekerjasama dengan sektor-sektor produktif yang ada. Kita perlu kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Bila buruh tidak bangkit dari penghisapan para kapitalis, maka kondisi buruh akan semakin buruk, tidak mempunyai suara, tidak tahu bagaimana politik dilangsungkan, tidak tahu bagaimana perekonomian dikelola, bagaimana buruh ditekan. Pengusaha tidak akan memberi peluang atau fasilitas lebih baik kepada buruh bila tidak ada tuntutan dari buruh. Berapa besar penghisapan yang dilakukan kapitalis, dan berapa yang yang diberikan kepada buruh sebagai upah, sebagai kejahatan seorang kapitalis harus segera diketahui oleh buruh. Keadaan seperti itu akan tetap berlangsung, apabila buruh tidak dalam tubuh yang kuat dan terorganisir. Dengan organisasi kita dapat melakukan perjuangan buruh. Bentuk perjuangannya bisa gerakan moral, demonstrasi atau keduanya. ***** AWALNYA KEHANCURAN Di Selatan sana ada suatu desa yang penduduknya ayem tentrem, gemah ripah loh jinawi, toto titi tentrem kerto raharjo. Itu adalah desaku, desa Banyusumurup di Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, Jawa Tengah. Masyarakatnya sangat rukun. Dalam bekerja, di sana ada sebutan kerja sambatan. Maksudnya begini, misalnya di rumah pak Karto esok akan didirikan rumah. Para tetangga yang mendengar kabar tersebut biasanya langsung ada yang turut membantu dengan memberi sejumlah beras, atau lauk pauk, pokoknya sembilan bahan pokok terkumpul dari tetangga untuk keperluan acara di rumah pak Karto. Melalui kerja sambatan ini banyak pekerjaan dilakukan oleh penduduk desa. Mereka bergotong royong, biaya ditanggung bersama. Ada kegiatan jimpitan, yaitu kegiatan mengumpulkan beras setiap sore hari, sebelum setiap keluarga menanak nasi, sebanyak sekitar lima sendok makan. Secara bergiliran warga desa mengambil beras jimpitan tersebut dari rumah ke rumah lalu dikumpulkan di rumah pak erte (RT). Beras jimpitan yang telah terkumpul tersebut, bila telah terkumpul cukup banyak, dijual lelang kepada siapa saja yang membutuhkannya. Uang hasil lelang digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa. Di desa tersebut ada juga organisasi karang taruna. Kerja karang taruna yang saya tahu adalah melakukan membayarkan rekening listrik warga desa, dari kegiatan itu setiap warga yang dibayarkan rekeningnya dipungut biaya jasa Rp.150,-/warga. Sama-rata, itulah yang terlihat dalam kehidupan warga desa. Keindahan hidup tersebut mendadak terkoyak ketika seorang kapitalis dari kota bertamu ke rumah kepala desa. Kapitalis tersebut berniat membangun sebuah proyek besar di desa tersebut. Dengan basa-basi dan rayuan yang ampuh akhirnya si kapitalis berhasil menguasai dua kelurahan, Kelurahan Jaya dan kelurahan di sebelah timur desaku. Untuk kelurahanku riwayatnya begini, diawali sang lurah, Darmosukarto, mengadakan rapat. Dari rapat tersebut terbentuk sebuah panitia. Seorang penduduk, Suto, kebagian kerja untuk merayu warga supaya warga bersedia menjual tanahnya yang berada di lereng bukit (sebab si kapitalis tidak berminat terhadap tanah desa yang sudah penuh dengan rumah penduduk). Kemudian Noyo menjadi keamanan yang bekerja mendukung aksi si Suto, paling tidak melindungi tingkah polah Suto. Ada beberapa jagoan yang bekerja pula membantu pekerjaan Suto, seperti: Aryo Sentono, Sukri Sumitro dan Darmo S. Dengan perlahan-lahan mereka bekerja untuk melakukan pengambilalihan tanah-tanah milik penduduk desa. Dalam melakukan pembelian tanah masyarakat ditakut-takuti bahwa jika tidak mau menjual tanahnya mereka akan dihukum. Sehingga akhirnya sang kapitalis berhasil menguasai tanah-tanah tersebut. Tanah-tanah yang tadinya menjadi sumber kehidupan rakyat petani kini beralih menghidupi si kapitalis. Matilah mata pencaharian rakyat desaku. Setelah berhasil menguasai tanah pedesaan, si kapitalis mulai menanam berbagai pohon seperti akasia, pinus dan pohon kayu putih. Segelintir warga desa yang sadar bahwa mereka kehilangan tanahnya mulai merongrong perkebunan si kapitalis. Mereka merusak sebagian tanaman yang ditanam dalam kebun tersebut. Sehingga si kapitalis gagal memanen keuntungan dari kebunnya. Sehingga si kapitalis melakukan cara baru untuk menyelamatkan kebunnya. Dimulai dengan mengumpulkan warga desaku dan memberikan ðpengarahan yang isinya kira-kira begini: "saudara-saudara ada kabar gembira buat saudara-saudara yaitu saudara-saudara akan diberi antara lain:
secara gratis dengan catatan semuanya ditanam disela-sela antara tanaman yang telah ada di perkebunan tersebut. Meskipun sebagian warga akhirnya ada yang bercocok tanam sesuai saran si kapitalis, namun hasilnya sudah tidak dapat diandalkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu banyak warga desaku yang berhamburan pergi ke kota-kota besar. Pergi ke kota-kota besar untuk menjadi buruh pabrik. Mereka menyebar sebagian ke Tangerang (menjadi buruh di perusahaan sepatu, pakaian jadi, ikat pinggang, kertas, tekstil, tukang batu, dan tukang kayu), ke Sumatera (khususnya ke kota Lahat bekerja di perkebunan kopi dan cengkeh), ke Kalimantan (ke kota Banjarmasin, bekerja di pabrik tripleks), dan ada yang ikut transmigrasi ke Sulawesi dan menjadi guru sekolah dasar (SD) di Irian Jaya. Demikian kisahku sampai menjadi buruh di Tangerang. ***** KISAH BURUH KURUS Entah sampai kapan nasibku akan berubah? Begitu suara yang sering kuucapkan dan kudengar. Berawal dari tuntutan ekonomi dan malunya sebagai penganggur, kini aku bekerja sebagai buruh di perusahaan PMDN yaitu PT WPP yang memproduksi karung plastik dan terpal. Sejak tanggal 11 Juli 1991 aku telah menjadi buruh resmi di perusahaan tersebut. Sebelumnya aku baca adanya lowongan di koran Suara Merdeka tanggal 9 Juli 1991 bahwa di perusahaan PT WPP membutuhkan tenaga STM untuk ditempatkan di bagian listrik. Karena aku cukup memenuhi persyaratan maka aku mencoba melamar pada hari itu juga. Dan setelah diadakan test wawancara dan test kejuruan maka dua hari setelah itu aku masuk kerja. Dengan penuh harap dan semangat pada waktu itu, seakan hari cerah terpampang di depan mata. Dengan upah pertama Rp.2.000,-/hari. Jika dibanding dengan buruh-buruh yang lain upah ini dianggap golongan yang tinggi/besar. Tapi itu tak berlangsung lama, sebelum sebulan masa training habis (masa training 3 bulan) pihak pengusaha merubah perjanjian kerja. Perjanjian semula (pada waktu masuk kerja pertama) bahwa upah aku Rp.2.000,- dan dirubah menjadi upah pokok Rp.1.600,- dan Rp.400,- sebagai tunjangan jabatan. Karena aku tak punya kekuatan maka aku terpaksa menerima perjanjian tersebut dan aku menandatangani juga. Mulai saat itu aku sadar bahwa buruh-buruh yang ada di perusahaan tersebut lemah dan tak punya kekuatan untuk menolak semua peraturan-peraturan yang dibuat pengusaha walaupun itu sangat mengikat. Dan semakin lama semakin kejam pihak pengusaha mengeluarkan peraturan-peraturan. seperti:
Walaupun peraturan-peraturan tersebut tidak berjalan terus-menerus, tapi sempat membuat kerugian terutama potongan-potongan tersebut sampai mencapai 1 juta rupiah lebih. Dan uang potongan tersebut dibelikan dispencer dengan dalih untuk kepentingan karyawan. Tapi sebenarnya buruh-buruh tersebut ingin rekreasi tapi tidak diberi dan rekreasi itu gagal. Berpijak pada hal-hal di atas maka ingin rasanya aku belajar mengenai buruh karena selama ini aku belum mengerti tentang buruh. Apalagi kalau waktu di sekolah itu buruh kelihatan diperhatikan tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Buruh adalah obyek penindasan yang paling empuk bagi para pengusaha. Dengan keinginan belajar, kebetulan salah seorang teman mengajak aku ikut training mengenai perburuhan. Dengan tiga kawan di perusahaan kami berangkat mengikuti training di kota S. Usai mengikuti training kami berusaha untuk mempraktekkan semua yang didapat selama training. Dan kemudian dibentuk suatu arisan bergilir, 2 minggu sekali. Anggota-anggota kami adalah kawan-kawan buruh satu perusahaan. Pada Juni 1992 kami pernah melakukan aksi mogok di salah satu bagian CL (circulair loom). Di perusahaan ini terdapat 3 bagian yaitu: extruder, cl, finishing. Walau tuntutan tidak dipenuhi, dari sini dapat dilihat bahwa para buruh di WPP telah ada rasa kritis dan berjuang melawan pengusaha. Setelah kejadian pemogokan di atas kemudian pihak pengusaha mulai mencari orang-orang yang membahayakan (penggerak buruh). Dan pada pertengahan Agustus 1992 aku dipanggil pengusaha. maka upahku dipotong yaitu uang jabatan dihilangkan, dan dengan terpaksa aku menandatangani surat pernyataan. Dengan perasaan berat dan marah aku tetap masuk kerja seperti biasa dan bertekad semakin giat untuk menyebarkan semangat perlawanan, semangat yang bisa membangkitkan buruh. Pihak pengusaha juga semakin kuat pula mengintai gerak-gerikku. Dengan demikian kerap kali aku menandatangi pernyataan-peryataan yang memberatkan pihak buruh, misalnya:
Dengan pernyataan mutasi ke gudang ini aku sangat marah dan muak melihat pengusaha. aku bekerja di gudang ini selama satu hari dan kemudian aku dipanggil pengusaha untuk menandatangani surat pernyataan lagi yang isinnya bahwa aku tetap di bagian listrik dengan sanksi: apabila melanggar peraturan perusahaan lagi maka aku bersedia dikeluarkan tanpa syarat apapun dan tidak boleh menuntut apapun. Surat pernyataan ini bermaterei Rp.1000,- dan dibubuhi tanda-tangan ketua SPSI unit PT. WPP sebagai saksi. Setelah penandatangan pernyataan tersebut pihak pengusaha memberi tugas yang pengerjaanya banyak di ruang listrik. Hal ini membuat aku tidak bisa masuk ke bagian-bagian lain dan ini seolah-olah memenjarakan aku dalam ruang 3 x 4 meter. Begitulah kisah buruh yang tak punya kekuatan. Walaupun begitu aku tetap akan menggerakkan buruh agar para buruh tidak dalam hidup yang penuh khayal. kesimpulan:
Motto.
(16 Januari 93) ***** LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL ( Click here for English Version)Saat ini aku tinggal di sebuah desa di Kabupaten Tangerang. Seperti halnya desa-desa lain di Tangerang, desa tempatku tinggal ini pun merupakan lingkungan pemukiman buruh. Karena di sekitar desa ini ada 20 perusahaan kecil dan 5 perusahaan besar. Desa ini tidak seberapa luas, maka cukup padatlah desa tempatku tinggal. Karena sebagian besar buruh-buruh pabrik tersebut para pendatang, maka mau tidak mau mereka berebut rumah kontrakan untuk tempat berteduh. Ada beberapa penduduk setempat yang memanfaatkan situasi dengan menjadi pengusaha rumah kontrakan, mereka memanfaatkan tanah-tanah kosong dan mendirikan rumah kontrakan yang sangat sederhana, dan disewakan dengan harga yang cukup mahal untuk upah seorang buruh. Aku dan beberapa teman menyewa sebuah kamar berukuran 4 x 4 dengan harga 30 ribu per bulan. Karena temanku ada 5 orang, maka kami membayar dengan cara patungan. Kami menempati kamar beralas lantai tanpa tempat tidur, dengan alas tikar plastik. Setiap malam kami tidur berjejer dengan alas tikar dan selimut seadanya. Setiap pagi hari kami harus bangun dengan terburu-buru, berebut_ ke kamar mandi, karena selain kamar yang kami tempati, masih banyak kamar-kamar lain yang serupa, padahal kamar mandi dan WC hanya satu, sehingga kami harus antri untuk mendapat giliran mandi atau mencuci dan buang air. Kalau kami kesiangan bangun, otomatis mendapat jatah mandi belakangan dan kesiangan untuk mempersiapkan segalanya untuk berangkat kerja. Apabila musim hujan datang, kami tambah sengsara karena atap selalu bocor walaupun sudah kami laporkan pada pemilik rumah kontrakan tapi sampai saat ini belum juga diperbaiki, sering kebanjiran, WC penuh sehingga baunya masuk ke dalam kontrakan. Jalan yang kami lalui berlobang-lobang dan becek karena truk-truk pabrik yang mengangkut bahan baku dan hasil produksi, karena cukup berat, sering merusak jalan. Masa Laluku Di sebelah kota Yogyakarta ada sebuah desa yang bernama Banyusumurup, Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Di desa itulah aku dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tuaku, aku dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang hidup cukup sederhana. Kedua orang tuaku petani kecil, saudaraku semua tujuh orang. Kakakku tiga orang, dua laki-laki dan satu perempuan, sedang adikku tiga orang laki-laki. Aku anak keempat. Karena orang-tuaku tidak mampunyai banyak tanah jadi setiap hari harus kerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarga. Yah.. kerja apa saja yang penting bisa menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari, maklum anaknya banyak. Maka dari itu kedua orang tuaku tidak bisa menyekolahkan anaknya lebih tinggi. Karena jerih payahnya hanya cukup buat makan dan kebutuhan sehari-hari. Mungkin karena tidak tega melihat beban yang dipikul oleh kedua orang-tuaku, akhirnya ketiga kakakku satu demi satu pergi merantau ke Jakarta. Kemudian tinggal aku dan ketiga adikku yang masih menjadi beban orang tuaku. Waktu pun berlalu dengan cepatnya, setelah lima tahun di Jakarta, kakakku yang paling tua pulang, mengabarkan bahwa dia telah berhasil dalam usahanya, dia membuka usaha jahit, terletak di tepi jalan Hankam, Pondok Gede. Karena aku di rumah menganggur, diajaklah aku pergi meninggalkan desaku. Inilah awal kepergianku ke pinggiran kota Jakarta. Pada tanggal 10-11-82 kutinggalkan desa kelahiranku dengan diiringi doa kedua orang tuaku, aku diajak ke kontrakan kakakku di Bojong Nangka. Setelah beberapa hari kemudian aku dikursuskan menjahit, sekitar sepuluh bulan lamanya aku mengikuti kursus. Mulailah aku bantu-bantu kakak menjahit. Tiga tahun lamanya aku ikut bersamanya. Setelah tiga tahun bekerja tanpa upah tetap aku berhenti kerja, karena aku akan menikah dengan penduduk asli Bojong Nangka. Aku menikah pada 25 Oktober 1986. Kami hidup berumah-tangga yang bahagia. Pada tanggal 22 Agustus 1988 lahirlah seorang bayi mungil yang kami beri nama Rita Apriyani. Dengan kehadirannya bertambahlah kebahagiaan kami berdua. Tapi sayang kebahagiaan itu tidak berlanjut lama, karena suamiku jatuh sakit, walaupun kami sekeluarga sudah berusaha keras mengobatinya, tetapi tidak berhasil. Sakit suamiku semakin hari semakin parah dan akhirnya tidak tertolong lagi. Suamiku meniggal, Kamis, 25 Oktober 1988. Waktu itu anakku baru berumur 4 bulan 3 hari. Sejak itu aku menjalani hidup bersama mertua karena anakku masih kecil, jadi aku belum bisa meninggalkan anakku untuk bekerja. Makan dan kebutuhanku sehari-hari ditanggung kakakku dan saudara suamiku. Setelah anakku berumur 1 tahun, barulah aku mulai bekerja. Kebetulan seorang tetanggaku membutuhkan tenaga penjahit, aku pun mulai kerja setiap hari. Setelah bekerja kebutuhan sehari-hari bisa terpenuhi, tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Aku pun merasa bangga bisa membesarkan anak tanpa suami. Selama 3 tahun lamanya kujalani hidup bersama mertua. Disebabkan terjadi salah-paham antara aku dengan mertuaku, akhirnya kuputuskan untuk pulang kampung. Kembali aku menganggur di kampungku, mau bertani tidak punya tanah, juga tidak ada lapangan kerja. Di kampung aku hanya dapat bertahan selama 2 bulan, dan ku putuskan untuk kembali meninggalkan kampungku. Pilihanku sekarang adalah wilayah industri Tangerang. Pertimbanganku, karena di kota ini sudah ada adikku, yang bekerja sebagai buruh di perusahan kimia. Aku berharap ada tersedia lapangan kerja untukku. Sementara putriku kutitipkan ke orangtuaku. Akhirnya aku dapat kerja di PT. Sutra Indah Utama. Di perusahaan tersebut aku hanya dapat bertahan selama 4 bulan, karena upahku terlalu murah aku ke luar dan mencari pekerjaan di tempat lain yang upahnya lebih baik. Awal September 1991 aku mulai bekerja di PT. Singa Indo Garment Industries (SIGI), sebagai penjahit borongan sampai sekarang. Tempat kerja PT. SIGI terletak di kawasan Batuceper, di Jalan Lio Baru No. 30 Batujaya, Batuceper, Tangerang. Modal perusahaan ini dimiliki oleh dua orang, satu dari Indonesia dan satu lagi dari Singapura. 90% produk perusahaan ini di ekspor ke luar negeri. Di perusahaan ini dihasilkan celana dan jaket jins. Jumlah buruh 250 orang, bekerja di 5 bagian:
Di perusahaan ini digunakan mesin jahit sebanyak 200 unit, yang digunakan secara aktif 150 unit dan dibagi menjadi 7 bagian:
Masing-masing mesin mengunakan tenaga listrik sebesar 250 watt/jam, kecuali mesin make-up sebanyak 4 buah, yang masing-masing menggunakan listrik 400 watt/jam. Jumlah lampu yang digunakan sebanyak 240 buah yang masing-masing menggunakan listrik sebesar 40 watt/jam, 4 unit mesin setrika kecil yang menbggunakan daya listrik sebesar 800 watt/jam dan 8 unit setrika besar yang mengunakan daya sebesar 1200 watt/jam. Pola Perekrutan Tenaga Kerja Di perusahaan tempatku bekerja terdapat tiga cara perekrutan tenaga kerja:
Produksi Jumlah produksi yang dihasilkan dalam jam kerja sehari sebanyak 1.000 potong celana atau jaket, yang dipasarkan ke luar negeri. Untuk satu potong celana misalnya diperlukan bahan kain sebanyak 150 cm, seharga Rp.6.000,-; benang 2 gulung seharga Rp.750,-; satu restleting Rp.250,- dan kancing Rp.250,- jadi total satu potong celana dibutuhkan bahan baku sebesar Rp.7.250,-. Untuk sepotong jaket menghabiskan bahan sebanyak, kain 150 cm Rp.6.000,-; Benang Rp.750,-; kancing 12 buah Rp.3.000,- jadi total bahan baku untuk jaket Rp.9.750,-. Maka untuk satu pasang Jaket dan celana Rp.17.000,- tambah buat upah buruh sebesar Rp.500,-/potong. Harga jual 1 potong celana atau jaket sebesar Rp.30.000,- dan setiap hari dihasilkan 1.000 potong. Hasil kotor sehari sebesar Rp.30.000.000,- bila keuntungan bersihnya hanya 10%, berarti 3 juta sehari, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk buruh @ Rp.3.500,-/hari maka ongkos buruh menjadi Rp.875.000,- jadi keuntungan yang diambil bersih oleh perusahaan tempatku bekerja sebesar Rp.2.125.000,- yang berarti hampir 2,5 kali yang diterima buruh. Kondisi kerja dan upah Jam kerja selama 7,5 jam/hari, istirahat 1 jam. Upah buruh dibayar berdasarkan sistim borongan, jika tidak mencapai target buruh hanya mendapatkan gaji pokok, bagi karyawan lama Rp.2.100,-; bagi karyawan baru Rp.1.600,-; Uang makan dan transpot Rp.1.000,- sehari, premi hadir Rp.15.000,,- satu bulan, jika tidak masuk dalam satu bulan premi hadir hilang, THR tergantung masa kerjanya, untuk 1 Tahun masa kerja Rp.40.000,-; 2 Tahun masa kerja Rp.60.000,-. Pembayaran upah buruh langsung dari bagian personalia. Kondisi lingkungan kerja, masih kurang baik, seragam kerja tidak dikasih, dan di perusahaan ini tidak ada tunjangan-tunjangan seperti di perusahaan lain seperti:
Sehingga pada jam istirahat seluruh buruh makan di warung-warung di pinggir jalan yang disediakan oleh pendunduk setempat. Mereka makan sepiring nasi, sayur, sapotong tempe atau tahu seharga Rp.400,-; minumnya teh es yang seharga Rp.100,- inilah makan buruh setiap harinya. Sehabis makan siang mereka duduk-duduk bergerombol di bawah pohon yang ada di sekitar pabrik. Bagi yang tinggal di mes mereka pulang ke mes, karena di perusahaan ini disediakan mes. Banyak buruh memilih mes karena mereka hanya mendapat upah setiap harinya rata-rata Rp.3.500,-. Dengan upah sebesar itu mereka harus mengatur kebutuhan makan tiga kali sehari, bayar kontrak rumah, beli sabun, beli pasta gigi, dan kebutuhan lainnya. Perusahaan ini juga menyediakan tempat ibadah, kamar mandi, WC, semua ada 5 pintu, tapi semua itu tidak begitu terawat, bila ada WC yang mampet cuma ditutup sama genteng dan orang-orang yang tinggal di mes, membuang sampah di sembarang tempat. ***** MENGAPA KETERGANTUNGAN BURUH SANGAT TINGGI Mengapa hal ini bisa terjadi? dengan melihat kenyataan pada saat ini, kehidupan buruh rata rata sangat memprihatinkan posisinya atau kedudukannya sangat lemah. Betapa tidak banyak bukti-bukti yag terpampang di depan mata. Suatu contoh pemogokan kerja di PT. X. Dan apa akibatnya setelah terjadi ppemogokan tersebut. Banyak keresahan, was-was dan lain lain. Tidak jarang pula waktu mereka melakukan aksi selalu didatangkan pihak-pihak keamanan yang seharusnya melindungi para buruh. Tetapi apa yang terjadi? Sebagian para buruh di intimidasi, ditakut-takuti dan bahkan ada yang dianiaya. Kalau dipikir sebenarnya salah siapa, apa kami salah bila menuntut yang jadi semestinya. Oleh karena majikan ini tidak bisa diajak berdamai, dalam artian, sebenarnya jalur-jalur yang semestinya sudah ditempuh, tapi apa kata mereka: harap bersabar. Bersabar! Apa kami harus bersabar sampai mati. Apakah kami ini kurang tahu diri. Saya rasa tidak begitu. Bagaimanapun juga penyesuaian atau keadilan harus ditegakkan. Tidak mungkin kami akan diam dalam kepuasan selama hak-hak kami tadak terpenuhi. Itulah suatu misal yang terjadi pada umumnya. Oleh karena sebagai mata pencaharian tetap, mereka sebagian bertahan dengan keadaan yang sekarang. Walau sering sebagian mengadakan pemogokan kerja karena menuntut haknya. Suatu misal: ada seorang buruh di-PHK, bagaimanapun juga karena kehidupannya tergantung sebagai buruh, mereka akan terus pontang-panting mencari pekerjaan. Padahal mencari pekerjaan saat ini bukalah hal yang mudah. Oleh sebab itulah mengapa ketergantungan buruh sangat tinggi. Ini karena dia bisa makan, bisa tidur karena bekerja sebagai buruh. Dari berbagai fakta yang ada, hidup sebagai buruh selalu diwarnai keresahan dan ketakutan. Mereka bisa saja bersatu menghimpun kekuatan untuk bersatu menuntut haknya. Tapi akhir dari semua itulah yang perlu pemikiran yang panjang. Apalagi pada sebuah pabrik yang karyawannya berjumlah ribuan, hal ini masih harus memerlukan perjuangan yang panjang dan terus menerus. Watak manusia tiap detiknya selalu berubah, begitu juga dengan seorang buruh. Kadang nyalinya menjadi ciut manakala sebuah kenyataan yang tidak diinginkan menimpanya. Buruh akan menjadi berani bila ada yang melandasinya dalam arti, ada yang mengarahkannya, ada yang membibingnya, ada yang ikut membantu memecahkan masalah dan ada yang memberi semangat dan juga dorongan. Dengan melihat gejala yang terjadi pada saat ini, keyataan buruh selalu berjuang sendiri. Rata-rata mereka ini sudah menyadari hak-hak dengan sepenuhnya, dan kesiapan mental untuk menghadapi apapun yang terjadi dalam arti meskipun pada akhirnya keberhasilan itu tak akan berpihak padanya dan pada akhirnya resiko dari perjuangan itu akan dipikul sendiri. Dan dalam perjuangan untuk merubah nasibnya tidak jarang kawan sendiri akan menjadi musuh dalam selimut, inilah yang paling berbahaya dan ini pula yang paling ditakuti oleh mereka. Maka mereka yang benar-benar sadar akan berusaha dengan ke hati-hatian yang tinggi pula. Dan mereka pun berusaha untuk mencari sandaran yang bisa diajak untuk berkompromi. Ini memang dilakukan untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan. Karena kesadaran mau memberikan petunjuk serta langkah-langkah yang harus dilakukan, sehingga ketaatan itu akan menjadi lebih mantap. Dan pada mereka akan berjuang demi harkat dan martabatnya sebagai buruh. Merekapun akan merasakan bahwa hidup sebagai buruh yang dijalaninya tak ubahnya terjebak dalam perangkap. Oleh karena itulah mereka berusaha untuk menerobos perangkap itu walau apapun yang akan terjadi. Itulah sebabnnya mereka menjadi berani. Kebosananpun datang menjelang, karena yang dihadapi setiap harinya hanya itu itu saja, suara bising mesin, bau-bau kimia, kapas-kapas yang berhamburan dan masih banyak lagi. Inipun bisa disebut sebagai motivasi yang mendorong mereka untuk berjuang memperbaiki nasibnya. Dan mengapa ketergantungan masih ada? Akhir dari perjuangan belum tentu membawa keberhasilan. Suatu contoh mereka mengadakan aksi mogok, bagaimanapun juga kerugian itu akan dirasakan buruh lebih besar, dari pada pihak majikan, karena apa? pada waktu mengadakan pemogokan pihak penggusaha tidak jarang mendatangkan pihak-pihak keamanan yang semestinya pihak ini membantu buruh. Alasannya karena untuk mengamankan situasi, padahal apa yang terjadi malah sebaliknya, pihak buruh selalu diinterogasi bahkan sampai pula dianiaya. Apakah ini manusiawi? Buruh yang posisinya selalu tidak menguntungkan bagaimanapun juga akan selalu dirugikan lebih besar. Itulah sekilas dari apa yang dirasakan oleh para buruh. (7 Pebruari 1991) ***** LEMAHNYA POSISI BURUH Fakta menunjukkan bahwa posisi buruh sangat lemah. Bahkan dilemahkan. Lemah dalam arti misalnya perbandingan kesempatan kerja dengan angkatan kerja yang masuk. Dalam kondisi yang lemah seperti itu semakin dilemahkan. Artinya pertama soal hak berserikat, banyak pembatasan baik di tingkat pengaturan maupun tingkat pelaksanaan peraturan. Satu-satunya wadah bagi buruh untuk berserikat adlah SPSI yang resmi diakui pemerintah. Padahal keberadaan SPSI tidak banyak memberikan harapan bagi buruh sendiri. SPSI kurang bisa menyalurkan aspirasi buruh. Secara konseptual SPSI berangkat dari, oleh dan untuk buruh. Tetapi dalam prakteknya belum pernah SPSI memihak buruh. Pada proses pembentukan SPSI, buruh tidak punya suara. Segalanya harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pengusaha, dan bukan tidak mungkin pengusaha akan mendekati pengurus SPSI (tingkat unit perusahaan) dan menjajikan fasilitas yang lebih dari buruh lainnya. Kalau sudah seperti itu posisi buruh semakin terpojok. Dan pemerintahpun menciptakan pola hubungan antara buruh dengan pengusaha yang kita kenal HIP (Hubungan Industrial Pancasila). Pola hubungannya adalah keselarasan/harmoni. Artinya bahwa konflik tidak dikenal. Tidak ada kontradiksi antara buruh dengan pengusaha. Tapi kalau dilihat bagaimana operasionalnya, banyak peraturan yang merugikan buruh, bahkan memperlemah posisi buruh, antara lain KEPMEN 342/MEN/1986 tentang Pedoman/petunjuk umum pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial. Pada level operasional konflik secara implisit diakui, tapi justru buruh diperlemah. Sedangkan diideologinya konflik tidak diakui. Peraturan Perburuhan selalu mengebawahkan kaum buruh itu merupakan hasil akhir rekayasa sistimatik penguasa untuk menjinakan atau membungkam kaum buruh demi stabilitas pembangunan industrial. Ruang gerak buruh yang sangat terbatas, hanya bisa menghadapi mekanisme proses produksi yang kaku, bisu dan seringkali tidak adil. Tidak bisa dipungkiri, buruh-buruh yang bekerja itu, tidak hanya sekedar bekerja bakti di perusahaan-perusahaan pemilik modal. Lebih dari itu buruh-buruh ingin mendapatkan upah dan fasilitas kesejahteraan lain. Upah memang menjadi tujuan obyek manusia kerja dan sarana memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian sudah selayaknya bahkan menjadi suatu keharusan bahwa upah setiap buruh harus senantiasa berpijak pada pertimbangan seorang buruh bisa memenuhi kebutuhan hidup secara layak, yang meliputi kebutuhan pokok (Kebutuhan Fisik Minimum/KFM) dan Kebutuhan Non Fisik Minimum (Kebutuhan Hidup Minimum) yang meliputi pendidikan, rekreasi dan persiapan akan masa depan. Tetapi kenyataannya nilai hidup seorang buruh hanya dinilai sebesar Rp.2.600,- per hari (untuk wilayah regional Jabar) dan Rp.3.100,- untuk wilayah Jakarta. Apakah betul uang sebesar Rp.2.600,- bisa memungkinkan buruh untuk bisa hidup layak. Apabila ada kenaikan upah yang secara berkala ada, ternyata tidak ada artinya karena kaenaikan upah itu juga diimbangi dengan kenaikan biaya kebutuhan hidup yang bahkan kenaikannya jauh lebih tinggi dengan kenaiakan upah buruh. Buruh dihadapkan pada suatu lingkaran setan yang mencekiknya. Proses perbaikan itu hanya besifat tambal sulam. Buruh dijadikan obyek eksploitasi kapitalis demi kepentingan sendiri. Buruh hanya dibentuk untuk bisa sekedar bertahan hidup untuk mempertahankan kelangsungan proses produksi. Artinya buruh hanya dianggap sebagai faktor produksi. Jadi adalah wajar, apabila buruh berteriak menuntut hak-haknya. Wajar apabila buruh menuntut hak-haknya yang seharusnya menjadi milik buruh, tapi dirampas secara tidak adil. Dalam usahanya untuk mendapatkan hak-haknya itu buruh seringkali terbentur pada kondisi yang tidak menguntungkan. Buruh tidak hanya berhadapan dengan pengusaha, namun harus berhadapan dengan DEPNAKER, SPSI, APINDO, Aparat Keamanan, baik dalam waktu bersamaan ataupun secara terpisah. Hadirnya unsur-unsur di luar buruh-pengusaha pun didukung oleh aparat hukum. Akibatnya hasil yang diperoleh adalah hasil yang sangat minimal, dan rumusan kesepakatan itu seringkali tidak jelas kapan waktu pelaksanaannya. Dan resiko lain seperti mutasi ke bagian lain yang bukan bidangnya, skorsing yang dapat dipastikan sebagai langkah awal PHK sepihak. Beberapa tekanan terhadap upaya buruh yang menuntut hak-haknya terjadi melalui cara-cara berikut: Pertama, melalui campur tangan pihak keamanan dalam berbagai perselisihan perburuhan, bukan rahasia lagi bahwa para buruh yang vokal, yang menutut perbaikan nasibnya, diinterogasi dan diintimidasi. Kedua, beberapa peraturan mengkatagorikan pemogokan buruh yang terutama disertai tindakan pengrusakan sebagai tindak pidana. Sebaliknya penekanan/pelanggaran peraturan ketentuan upah dan hak-hak buruh lainya yang jelas-jelas menentang peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Ketiga, semakin menggejalanya rekayasa pemerintah untuk mengisolasikan buruh dari kelompok masyarakat lain yang bersimpati pada nasib buruh. Itu terutama tampak pada pernyataan berbagai pihak yang menuduh pemogokan buruh sebagai "rekayasa" pihak ketiga. Seakan-akan buruh hanyalah sebuah robot yang tidak mempunyai suara hati untuk mengukur kondisi batas yang tidak tertanggung lagi dari penderitaan akibat perampasan hak-haknya secara tidak adil. Padahal pemogokan kawan-kawan buruh adalah penampakan dari keluhan ketidak-adilan. Tuduhan rekayasa pihak ketiga adalah penggelapan fakta dan pelarian dari akar masalah. Dalam rangka itu tindakan sistimatis juga selalu diterapkan terhadap para buruh yang mencari pembelaan hukum, dicurigainya pendidikan hukum untuk buruh, dan cap-cap lainya. Buruh adalah manusia. Seperti manusia lainya buruh perlu ruang untuk mengekspresikan dirinya. Namun fakta historis yang mencengkeram buruh dengan hadirnya berbagai peraturan (kewajiban) di pabrik-pabrik tempat bekerja, membuat buruh tidak mempunyai peluang untuk itu. Buruh mempunyai waktu yang sangat minim untuk memikirkan hal-hal lain, yang menyangkut dirinya sebagai manusia yang wajar, yang sadar akan posisinya. Berangkat dari kesadaran akan hak-haknya buruh perlu wadah yang betul-betul bisa menyampaikan aspirasinya. Sudah saatnya buruh mengorganisir diri agar bisa membela hak-haknya dan memperbaiki nasibnya. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa kekuatan sendirilah kekuatan kawan-kawan buruhlah yang akan bisa memghancurkan ketidak-adilan. BERSATULAH KAWAN-KAWAN BURUH...!!! (21 Juni 1993) ***
SEJUTA PENGGANTI
ooo0ooo | |||||