Tasawuf
Kumpulan Artikel
dari Diskusi Mailing List Tasawuf
paramartha@makelist.com
Imam Al Ghazaly dalam bukunya yang berjudul
Minhajul Abidin, mengatakan, bahwa Ilmu yang fardlu ain dituntut oleh seorang
muslim adalah mencakup
3 hal, yaitu :
1. Ilmu Tauhid
2. Ilmu Syariat
3. Ilmu Sir (Ilmu tentang hati)
Dan tidaklah ilmu-ilmu itu semua dituntut untuk
tujuan berargumentasi atau memberikan keyakinan kepada orang lain baik yang
beragama Islam maupun
bukan.
Tetapi ilmu tersebut fardlu ain untuk dituntut,
yang berhubungan dengan untuk perubahan diri.
Ilmu Tauhid dan syariat, dikalangan ummat Islam
sekarang ini demikian popular untuk dipelajari. Namun jarang sekali orang
yang mempelajari dan
mengerti mengenai Ilmu Sir (Ilmu tentang hati).
Lantas mungkin kita akan bertanya, untuk apakah
belajar Ilmu tentang hati, atau macam manakah ilmu tentang hati tsb?
Rasulullah SAW pernah bersabda :
"Dalam
diri manusia ada segumpal darah. Yang apabila shalih (tidak rusak), maka akan
shalih seluruhnya, tetapi apabila buruk maka akan buruk pula seluruhnya, itulah
hati".
Bahkan di hadits lain, Rasulullah SAW mengatakan : " Sesungguhnya sebuah amal itu
bergantung dari niatnya".
Sungguh, hal-hal ibadah syariat yang kita
laksanakan sepanjang hari akan tidak mempunyai nilai, bila tidak disertai niat
yang shalih...
Dan letak niat itu adalah di HATI.
Demikian besar fungsi hati, sehingga wajar saja
bila Imam Al Ghazaly mengkatagorikan Ilmu ini menjadi ilmu yang fardlu ain
untuk dituntut.
Dikajian tasawuf, pembahasan tentang hati merupakan
agenda utama. Hal ini sesungguhnya untuk penyelarasan dari Ilmu Tauhid dan
Syariat, yang sebelumnya (oleh kebanyakan orang) telah dipelajari.
Dalam sebuah kata-kata hikmah (bagi sebagian ulama
ini dikatakan sebagai hadits dari Rasulullah SAW) bahwa : "Man 'Arofa Nafsahu faqod 'Arofa Rabbahu". "Barangsiapa
mengenal dirinya (nafsahu) maka ia akan mengenal Tuhannya".
Sementara Ali. R.A mengatakan bahwa : "Awwaluddina Ma'rifatullah". "Awalnya beragama adalah mengenal
Allah".
Sehingga dapat dilihat hubungannya, bahwa Mengenal
diri (An-Nafs) merupakan awal dari seorang beragama dengan haq.
---------
HATI
---------
Diri manusia dapat dilihat secara indrawi dengan
perilaku dan perangai seseorang. Dan seorang berperilaku, seorang berperangai,
merupakan cerminan dari HATI-nya.
Sehingga untuk mengenal diri kita, kita harus
memulainya dengan mengenal Hati kita sendiri.
Hati itu terdapat 2 jenis :
1.
Hati Jasmaniyah
Hati jenis ini bentuknya seperti buah shaunaubar.
Hewan memilikinya, bahkan orang yang telah matipun memilikinya.
2.
Hati Ruhaniyyah
Hati jenis inilah yang merasa, mengerti, dan
mengetahui. Disebut pula hati latifah (yang halus) atau hati robbaniyyah.
Dalam kajian kita, yang dituju dengan kata HATI
atau Qalb adalah hati jenis 2, hati Ruhaniyyah.
Karena Hati inilah yang merupakan tempatnya Iman :
"...
Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu ..." (QS. 49:7)
"...karena
iman itu belum masuk ke dalam hatimu, ...". (QS. 49:14)
"...Mereka
itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka
..." (QS. 58:22)
Bahkan lebih dari itu, dalam sebuah hadits Qudsi
dikatakan :
"...Tidak
akan cukup untuk-Ku bumi dan langit-Ku tetapi yang cukup bagi-Ku hanyalah hati
(qalb) hamba-Ku yang mukmin".
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan : Apakah sebenarnya Iman (mukmin) itu ?
Bahasan tentang Iman (mukmin) akan dibahas lebih
lanjut dalam Subject NUR IMAN.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Maka dengan hatilah, seseorang dapat merasakan
iman. Dengan hatilah seorang hamba dapat mengenal Rabb-nya.
Sebelum kita beranjak jauh tentang hati, ada
beberapa hal yang nantinya bersangkut paut dengan hati dan perlu kita jelaskan
terlebih dahulu.
Kebanyakan orang hanya mengerti bahwa manusia itu
hanya terdiri jasad dan ruh. Mereka tidak mengerti bahwa sesungguhnya manusia
terdiri dari tiga unsur, yaitu : jasad, jiwa dan ruh.
Banyak orang yang tidak mengerti tentang Jiwa ini.
Bahkan dalam bukunya Al Ihya Ulumuddin Bab Ajaibul Qulub, Imam Al Ghazaly
mengatakan, "bahkan ulama -ulama yang masyhur sekarang ini (zaman Imam Al
Ghazaly : red) banyak yang tidak mengerti hal ini". Itu pada zaman Imam Al
Ghazaly. Berapa
ratus tahun yang lalu. Apatah lagi sekarang?
Kebanyakan orang rancu pengertiannya antara Jiwa
dengan Ruh. Padahal jelas-jelas dalam Al Qur'an, Allah membedakan penggunaan
kata Ar-Ruh (Ruh) dengan An-Nafs (Jiwa).
-----------
JASAD
-----------
Jasad adalah anggota tubuh dari manusia. Seperti :
tangan, kaki, mata, mulut, hidung, telinga, dan lain-lainnya. Bentuk dan
keberadaannya dapat diindera oleh manusia. Hewanpun dapat menginderanya.
Dari jasad inilah, timbulnya kecenderungan dan
keinginan yang disebut SYAHWAT. Seperti yang disebutkan dalam Al Qur'an :
"Dijadikan
indah pada manusia kecintaan kepada syahwat, yaitu : wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah
lah tempat kembali yang baik". (QS Ali Imran : 14)
-----------------------
JIWA (An Nafs)
-----------------------
An-Nafs dalam kebanyakan terjemahan ke dalam bahasa
Indonesia, diartikan dengan Jiwa atau diri. Padahal sesungguhnya An-Nafs ini
menunjuk kepada dua maksud, yaitu : hawa nafsu dan hakikat dari manusia itu
sendiri (diri manusia).
1.
Hawa Nafsu
Nafsu yang mengarah kepada sifat-sifat tercela pada
manusia. Yang akan menyesatkan dan menjauh dari Allah. Inilah yang oleh
Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Al Baihaqi dari Ibnu Abbas :
"Musuhmu
yang terbesar adalah nafsumu yang berada diantara kedua lambungmu".
"Dan
aku tidaklah membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
suka menyuruh kepada yang buruk". (QS Yusuf : 53)
"...
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah...". (QS Shaad : 26)
2.
Diri Manusia
Diri manusia ini apabila tenang, jauh dari
goncangan disebabkan pengaruh hawa nafsu dan syahwat, dinamakan Nafsu
Muthmainnah.
"Hai
jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah), kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang
(kepada Tuhan) dan (Tuhan) merasa senang kepadanya". (QS Al Fajr : 27-28)
Namun diri manusia yang tidak sempurna ketenangannya, yang mencela ketika teledor dari
menyembah Tuhan, disebut Nafsu Lawwamah.
"Dan
aku bersumpah dengan jiwa yang amat mencela kejahatan (Nafsu Lawwamah)".
(QS Al Qiyamah : 2)
---------------------
RUH (Ar Ruh)
---------------------
Perkataan Ruh, mempunyai dua arah. Sebagai nyawa
dan sebagai suatu yang halus dari manusia.
1.
Nyawa
Pemberi nyawa bagi tubuh. Ibarat sebuah lampu yang
menerangi ruangan. Ruh adalah lampu, ruangan adalah tubuh. Mana yang terkena
cahaya lampu akan terlihat. Mana yang terkena ruh akan hidup.
2.
Yang Halus dari Manusia
Sesuatu yang merasa, mengerti dan mengetahui. Hal
ini yang berhubungan dengan hati yang halus atau hati ruhaniyah.
Dalam Al Qur'an, Allah SWT menggunakan kata Ruh
dengan kata Ruhul Amin, Ruhul Awwal, dan Ruhul Qudus.
Adapun maksud-maksud dari kata tersebut merujuk
kepada keterangan yang berbeda-beda yaitu :
1.
Ruhul Amin
Yang dimaksud dengan ini adalah malaikat Jibril.
"Dan
sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia
dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin". (QS Asy-Syu'araa' : 192-193)
2.
Ruhul Awwal
Yang dimaksud dengan ini adalah nyawa atau sukma
manusia.
3.
Ruhul Qudus
Yang dimaksudkan dengan ini bukanlah malaikat
Jibril, tetapi ruh yang datang dari Allah, yang menguatkan, menjadi petunjuk
serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah
: "Ruhul Qudus menurunkan Al Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk
meneguhkan hati orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta
khabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS An
Nahl : 102)
"...
dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran kepada Isa putra Maryam dan Kami
memperkuatnya dengan Ruhul Qudus... ". (QS Al Baqarah :87)
"...Mereka
itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan
menguatkan mereka dengan ruh yang datang dari pada-Nya...". (QS Al
Mujadillah : 22)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Catatan : Bahasan Mengenai Ruhul Qudus akan dibahas
lebih jauh dalam Subject RUHUL QUDUS
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah kita mengetahui definisi-definisi atau
penjelasan mengenai jasad, jiwa, dan ruh mungkin kita akan bertanya, lalu apa
manfaatnya?
-------------------------
TENTARA HATI
-------------------------
Hati itu bagi seorang manusia, bagaikan raja dengan
tentara-tentara berupa tentara zahir dan tentara bathin.
Ketika seorang berada dalam ancaman bahaya, maka
orang tersebut untuk menolak atau melawan bahaya, memerlukan dua tentara tsb.
Tentara batin : yaitu marah untuk melawan ancaman
bahaya, tentara Zahir : yaitu tangan dan kaki untuk mengeluarkan
langkah-langkah perlawanan.
Demikian pula ketika seorang akan makan. Ia
memerlukan dua tentara tsb.
Tentara batin : Syahwat untuk makan, tentara zahir
: tangan dan kaki untuk mengambil makanan.
Seorang sedang lapar bagaimanapun, bila hatinya
mendiamkan syahwat (keinginan jasad) untuk makan dan tidak memerintahkan tangan
dan kaki untuk mengambil makan, maka ia tidak akan melakukan pekerjaan makan.
Untuk itulah dikatakan HATI adalah Raja, bagi
seluruh tubuh dan diri manusia.
Sehingga perna penting Raja untuk mengarahkan
kemana tubuh dan diri berjalan, sangat menentukan sekali.
------------------------------------------------
HATI DI TIGA PERSIMPANGAN
------------------------------------------------
Sesungguhnya Hati yang merupakan Raja ini, berada
pada 3 persimpangan. seperti gambar dibawah ini :
Ruhul Qudus
/
/
Nafsu Muthmainnah
/
/
Syahwat ---- HATI
\
\
Hawa Nafsu
Hati berada dalam pengaruh Jasad (Syahwat), Hawa Nafsu,
dan Nafsu Muthmainnah.
Seorang manusia, yang membiarkan hatinya berada
dalam dominasi Syahwat dan Hawa Nafsunya, maka akan menjadi orang yang
tersesat. Yang lambat laun bisa tergelincir menjadi orang yang dimurkai Allah.
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat
berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan
meletakkan tutupan atas penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya
petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil
pelajaran (QS. 45:23)"
Hawa Nafsu itu melingkupi segala aspek. Tidak diperbolehkan kita mengikuti hawa
nafsu, dalam BERAGAMA sekalipun.
Banyak para aktivis dakwah, demikian bersemangatnya
dalam berdakwah kadang kala terlena, tidak menyadari kalau dalam mengatur
strategi dakwah, telah ditunggangi oleh Hawa Nafsunya.
Banyak pula para alim-ulama, yang demikian bangga
terhadap ilmu yang dipelajarinya, sehingga merasa pendapatnya adalah pendapat yang
paling benar, dan selainnya (selain golongannya) adalah pendapat yang salah.
Tidak disadari bahwa Hawa Nafsu telah merasuk dalam
kemurnian beragamanya.
Dan kalaulah kita dapat keluar dari dominasi Hawa
Nafsu dan Syahwat ini, maka Allah menjanjikan :
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada
mereka : "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu",
niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan
sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka,
tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman
mereka).
(QS. 4:66)
Apakah dalam ayat diatas, maksud bunuh diri adalah
mengambil pisau lalu menghujamkannya ke perut? Atau mengambil racun lalu
meminumnya?
Bukan !
Inilah kesalahan yang dapat terjadi bila kita tidak
mengetahui arti yang sesungguhnya dari kata An-Nafs tersebut.
Dalam ayat ini dalam Arabnya dipergunkan kata Anfus
(Jamak dari An-Nafs).
Bila Al Qur'an menggunakan An-Nafs dalam bentuk
jamak, ini sesungguhnya merefer kepada Jiwa-jiwa yang banyak. Yaitu Hawa Nafsu.
Karena bentuk Hawa Nafsu itu banyak. Seperti marah, sombong, ria, ujub, ingin
dihormati, dsb.
Namun bila An-Nafs ini dalam bentuk tunggal, maka
sesungguhnya ia merefer kepada Jiwa yang tunggal yaitu Nafsu Muthmainnah.
Karena memang Nafsu Muthmainnah ini tunggal. Dan ini merupakan Hakikat diri
manusia.
Jadi, bunuhlah dirimu dalam ayat ini, sesungguhnya
mempunyai maksud : Keluar dari Dominasi Hawa Nafsu.
Keluar dari kampungmu dalam ayat ini, sesungguhnya
mempunyai maksud : keluar dari kampung si Jiwa, yaitu Jasad. Atau keluar dari
dominasi Syahwat.
Sehingga, bila seorang dapat keluar dari dominasi
Hawa Nafsu dan Syahwatnya, sesungguhnya Allah akan menguatkan iman mereka.
Namun... Sangat sedikit sekali yang mau
melaksanakan ini.
Hawa Nafsu dan Syahwat ini bukan dibunuh dan
dihilangkan. Tetapi dikontrol oleh Nafsu Muthmainnah.
Ada saatnya hawa nafsu dan syahwat dikeluarkan, dan
saat lain kembali dikekang.
"Dan adapun orang-orang yang takut kepada
kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. (QS. 79:40)
maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:41)"
Kesalahpahaman pengartian An-Nafs juga berimplikasi
kepada penafsiran yang kadang kala kurang tepat pada ayat-ayat seperti dibawah
:
"... Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. ...
(QS. 4:95)"
Banyak orang sering langsung mengarah kepada
ayat-ayat sejenis diatas, berjihad dengan harta dan Jiwa (An-Nafs) adalah
merupakan perang fisik.
Apakah memang demikian? Apakah Islam harus selalu
perang sementara Islam adalah sebuah agama yang damai?
Memang betul, dalam kondisi yang mewajibkan kita
berperang ayat ini merupakan perintah pula untuk berperang.
Namun dalam kondisi damai ada yang lebih berat
dibandingkan dengan perang fisik, yaitu berjihad melawan syahwat dan hawa
nafsu.
Setelah melakukan perang dan akan memasuki bulan
Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda kepada para sahabat :
"Kita kembali dari jihad kecil kepada
perjuangan besar".
(Hadits riwayat Al Baihaqy dan Jabir, dalam hadits
ini ada sanad yang lemah).
Terlepas dari ke-dhoifan hadits diatas logikanya
seperti ini : Seorang manusia yang
telah dapat melepaskan hatinya dari takut kehilangan harta, keluarga, jabatan,
dsb, hanya seorang yang telah mampu melawan syahwat dan hawa nafsunya.
Kalaulah kita temukan orang yang seperti ini,
niscaya dia tidak takut lagi mati. Niscaya dia tidak akan pernah mengelak dari
perintah untuk berperang, bila kondisinya mewajibkannya untuk berperang.
Tetapi orang yang hatinya masih takut kehilangan
harta, pekerjaan, keluarga, jabatan, dsb. ia akan takut mati. Peperangan adalah
sebuah hal yang sangat berat baginya.
Artinya, dalam logika sederhana tersebut, akan
tergambar, kalaupun hadits tsb dhoif dari sanadnya, namun secara ilmiah hal itu
dapat dibenarkan dan secara mathan, tidak ada ayat Al Qur'an yang bertentangan
dengannya.
Dalam bahasan saya diatas, saya juga mencoba
menunjukkan, bahwa tasawuf yang bagi
sebagian orang diidentikkan sebagai pola pendekatan Islam yang mengabaikan
perintah untuk berperang adalah kurang tepat.
Berperang adalah suatu kewajiban apabila kondisinya
mewajibkan untuk melakukannya. Namun bila masa damai bukan lantas mencari-cari
supaya ada perang! Tetapi melakukan jihad yang lebih berat, yaitu melawan Hawa
Nafsu dan Syahwat.
Dan Allah menjanjikan bagi mereka yang mampu
melawan Hawa Nafsu dan Syahwatnya ini dengan menguatkan iman dan surga sebagai
tempat tinggalnya.
Semoga kita termasuk kedalam golongan orang yang
dikuatkan Allah untuk melawan dominasi syahwat dan hawa nafsu yang ada dalam
diri kita.
--------------------------------------
NAFSU MUTHMAINNAH
--------------------------------------
Seorang yang hatinya telah didominasi oleh Nafsu
Muthmainnah, bukan lagi oleh syahwat atau hawa nafsu, maka Nafsu Muthmainnah
menjadi Imam bagi seluruh tubuh dan dirinya.
Dan seperti dikatakan dalam penjelasan sebelumnya,
sesungguhnya Nafsu Muthmainnah inilah yang disebut Jati Diri manusia itu. Hakikat
dari manusia itu.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa (An-Nafs) mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu". Mereka menjawab:"Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:"Sesungguhnya kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS. 7:172)
Siapakah yang berjanji dalam ayat diatas ? Apakah
kita pernah merasa berjanji?
Yang berjanji seperti disebutkan di ayat diatas,
bukanlah ruh. Tetapi Jiwa yang tunggal, Nafsu Muthmainnah.
Namun kemana Nafsu Muthmainnah kita sekarang?
Sejak kita dilahirkan ke bumi, berapa puluh tahun
yang lalu, sudah berapa banyak kita membiarkan hati kita di dominasi Syahwat
dan Hawa Nafsu?
Pada dasarnya, Jiwa (Nafsu Muthmainnah) kita ini
seperti juga jasad. Jasad membutuhkan makan, demikian pula dengan Jiwa.
Jasad membutuhkan makanan berupa : karbohidrat,
vitamin, mineral, protein,
dsb. Jiwa juga membutuhkan makanan, seperti :
shalat, dzikir, puasa, dsb.
Dalam sehari orang pada umumnya jasadnya
membutuhkan makan 3 kali, dengan kadar karbohidrat, vitamin, mineral, protein
tertentu. Apabila ini tidak terpenuhi maka akan sakit, bahkan mati.
Demikian pula jiwa.
Dalam sehari Allah telah menetukan makanan
minimalnya :
==========================================
MAKANAN
JUMLAH KADAR (misal)
==========================================
Subuh 2
Rakaat 200
Dzuhur 4
Rakaat 400
Ashar 4
Rakaat 400
Maghrib 3
Rakaat 300
Isya 4
Rakaat 400
------------------------------------------------------------------------------------
Total 17
Rakaat 1700
==========================================
Dalam sehari Allah mempersyaratkan minimal 1700
nilai (misal untuk memudahkan deskripsi) bagi jiwa kita.
Namun ketika subuh kita sholat sambil mengantuk,
mungkin nilainya hanya 50.
Dzuhur selagi masih banyak perkerjaan, nilainya
mungkin 20. Ashar Sudah hampir pulang bekerja, nilainya mungkin 40. Maghrib
sudah sampai rumah tapi masih capek, mungkin nilainya 60. Isya bisa konsentrasi
dengan baik mungkin nilainya 400.
Namun dalm sehari itu total yang dikonsumsikan oleh
Jiwa hanya 570. Jauh dari nilai minimal 1700. Dan selama puluhan tahun hidup
tahun ini, sepanjang hari kita kurang dalam memberikan konsumsi pada Jiwa.
Apa yang terjadi? Jiwa kita sakit. Nafsu
muthmainnah sakit. Mungkin sekarang ia lumpuh, buta, tuli, dan bisu, atau
mungkin mati !
Itulah yang dikatakan Allah :
Mereka tuli, bisu, dan buta, maka tidaklah mereka
akan kembali (ke jalan yang benar), (QS. 2:18)
maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,
lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS.
22:46)
Hati adalah tempat dari Nafsu Muthmainnah. Ketika
Nafsu Muthmainnah yang dominan terhadap hati, maka hati itu adalah si Nafsu
Muthmainnah.
Kita tidak menyadari, bahwa dengan perjalanan hidup
kita selama sekian puluh tahun, dengan memberikan konsumsi makanan yang kurang
terhadap Jiwa kita dan membiarkan terdominasi oleh Hawa Nafsu dan Syahwat, Jiwa
(hati) kita menjadi lumpuh, buta, tuli, bisu, bahkan mungkin mati.
Jiwa (hati) kita menjadi sakit. Sehingga lupa
terhadap perjanjian yang pernah diucapkan pada Allah seperti dalam QS 7:172.
------------------------------
JIWA YANG SEHAT
------------------------------
Ada orang-orang yang berhasil dalam pelaksanaan
agamanya, menghidupkan dan menyehatkan kembali Jiwa (Nafsul Muthmainnah) nya.
Sehingga hatinya di dominasi oleh Nafsul
Muthmainnahnya. Jiwa yang sekarang ini abstrak/ghaib (tidak terindera) oleh
kita, apabila telah hidup, telah sehat, maka matanya akan melihat, telinganya
akan mendengar, mulutnya dapat berkata-kata.
Jiwa apa bila melihat maka ia akan melihat sesuai
dengan dimensi keghaibannya. Inilah yang dalam terminologi tasawuf dikatakan
Mukasyafah.
Jadi bukanlah suatu hal yang aneh dikalangan para
pejalan tasawuf yang lurus, dapat melihat jin, malaikat, jiwa-jiwa manusia yang
telah mati, dan lain sebagainya yang menurut pandangan kita adalah sesuatu yang
ghaib.
Karena sesungguhnya bukan mata inderawi (jasad) lah
yang melihat tetapi mata si Jiwa yang ada didalam dada.
Dan sehatnya Jiwa Muthmainnah inilah, salah satu
paramater seorang telah beriman dengan benar.
Sumber-sumber
:
1. Al Qur'an dan Terjemah
2. Al Ihya Ulumuddin, Jilid IV : Imam Al
Ghazaly, terjemahan : Prof. TK. H. Ismail Yakub SH. MA, CV Faisan, Jakarta,
Indonesia
3. Minhajul Abidin : Imam Al Ghazaly,
terjemahan : Meniti Jalan Menuju Surga,
M. Adib Bisri, Pustaka Amani, Jakarta, Indonesia
4. Tao Of
Islam : Sachiko Murata, Mizan, Bandung, Indonesia
5. Jalan
Ruhani : Said Hawwa, Mizan, Bandung, Indonesia
6. Kajian Islam : Zamzam Ahmad Jamaluddin, drs.
MSc, Yayasan Islam Paramartha, Bandung, Indonesia